|
|
|
Inilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat
kayu-kayuan serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula
sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali). Pulau Bali dan
pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh
laut. Pulau itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa
Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan
nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang
bernama Resi Markandeya.
Beliau berasal dan Hindustan
(India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara
Giri Rawang karena kesucian rohani,
kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada mulanya
Sang Yogi Markandeya
bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung
Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah
yang berasal dan kata DI HYANG). Sekian lamanya beliau
bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar beliau
dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa setelah
selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.
Sang Yogi Markandeya
melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah timur bersama
para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang.
Setelah tiba di tempat yang dituju Sang
Yogi Markandeya menyuruh semua
para pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan
sebagai mana mestinya.
Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang
Yogi Markandeya yang sakit, lalu
mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak
didahului dengan upacara yadnya (bebanten / sesaji)
Kemudian perabasan hutan
dihentikan dan Sang Yogi Markandeya
kembali lagi ke tempat pertapaannya semula (Konon ke gunung
Raung di Jawa Timur. Selama beberapa waktu Sang
Yogi Markandeya tinggal di gunung
Raung. Pada suatu hari yang dipandang baik (Dewasa Ayu)
beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan
daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa yang akan diajak
bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan Hyang Widhi Wasa
bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya
berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk
di kaki gunung Raung) dengan membawa alat-alat pertanian selengkapnya
termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di hutan yang akan dirabas
itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang
Yogi Markandeya segera melakukan
tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan
upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya.
Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja
melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan
dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Karena dipandang
sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung
wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang
Yogi Markandeya memerintahkan
agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan
pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing
dijadikan sawah, tegal dan perumahan.
Di tempat di mana dimulai
perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya
menanam kendi (payuk) berisi air, juga Pancadatu
yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan perunggu disertai
permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten
/ sesajen) selengkapnya diperciki tirta Pangentas
(air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi
nama BASUKI. Sejak saat itu para pengikut Sang
Yogi Markandeya yang datang pada
waktu-waktu berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah
baru, tidak lagi ditimpa bencana sebagai mana yang pernah dialami
dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari lontar Markandeya
Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang
seperti disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam
perkembangannya kemudian sampai hari ini bernama Besakih.
Mungkin berdasarkan
pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum
dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya,
sampai saat ini setiap kali umat Hindu akan membangun sesuatu
bangunan baik rumah, warung, kantor-kantor sampai kepada pembangunan
Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di perusahaan-perusahaan,
terlebih dahulu mereka mengadakan upakara yadnya seperti
Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan. Setelah itu
barulah pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar mendapatkan
keberhasilan secara spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha
yang dikerjakan dengan tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau
keahlian yang mereka miliki. Selanjutnya memperhatikan isi lontar
Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan pula dengan
kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari sampai
saat ini tentang tata kehidupan masyarakat khususnya dalam hal
pengaturan desa adat dan subak di persawahan. Oleh karena itu
dapat kita simpulkan bahwa Besakih adalah tempat pertama
para leluhur kita yang pindah dari gunung Raung di Jawa
Timur mula-mula membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan
khususnya dalam bidang pertanian dan peternakan. Demikian pula
mengembangkan ajaran-ajaran agama Hindu.
|
|
Dari Pura
Dalem Puri ke timur dan membelok lagi ke selatan yaitu di
sebelah timur jalan raya, di tempat yang agak terpencil, terletak
Pura Pesimpangan. Piodalannya pada hari Anggara
Keliwon Julungwangi, pura ini merupakan tempat pesimpangan
(singgah) sejenak bila kembali melelasti dari Segara
Kelotok Klungkung.
Lebih lanjut ...
|
|
Pura ini terletak paling selatan dari Pura
Penataran Agung, yaitu di sebelah barat sungai. Untuk mencapainya
kita harus berjalan kaki kira-kira 300 meter ke utara dan kemudian
membelok ke barat di suatu tempat yang agak terpencil. Di pura
ini distanakan Bhatari Durga yang
dahulu dinamai Pura Dalem Kedewatan. Para umat Hindu
yang telah selesai mengadakan Upakara Pitra Yadnya yaitu
ngaben dan Memukur atau Ngeroras biasanya
ke pura ini, Mendak Nuntun Sang Pitara untuk distanakan
di Sanggah atau Pemerajan masing-masing. Di sekitar
Pura Dalem Puri terdapat suatu tanah lapang yang agak luas yang
dinamai Tegal Penangsaran dilengkapi sebuah Pelinggih
Tugu kecil di sebelah timur pura. Piodalan di pura
ini pada hari Buda
Keliwon Ugu, sedang setiap tahun pada sasih Kepitu
penanggal 1, 3 atau
5 diselenggarakan upakara Yadnya Ngusaba Kepitu.
Di dalam pura inilah menurut suatu cerita, Sri
Jayakasunu menerima pewarah-warah atau sabda dari
bhatari Durga tentang Upacara
Eka Dasa Rudra, Tawur Kesanga, Galungan, Kuningan
dan lain - lainnya, yaitu setelah Sri
Mayadenawa dihancurkan karena tindakannya menghalang-halangi
masyarakat melakukan ibadah agamanya ke Pura Besakih.
Lebih rinci ...
|
|
Pura ini merupakan Kahyangan Dewi Pertiwi
atau disebut juga Sang Hyang Giriputri
(Saktinya Siwa). Piodalannya
pada hari Saniscara
Keliwon Wariga (Tumpek Uduh). Di tempat ini seharusnya
umat sembahyang dengan mempersembahkan aturan sepatutnya sebelum
ia akan ke Pura Penataran Agung
Besakih. Maksudnya agar baik jasmani dan rohani disucikan secara
niskala sebelum akan menyelenggarakan sesuatu upakara Yadnya
baik di Pura Penataran Agung maupun
di pura pura sekitarnya. Diceriterakan oleh orang-orang tua,
bahwa di masa-masa yang lalu yaitu waktu zaman Dalem atau Raja
beliau biasanya ke Besakih dengan menunggang kuda, diiringi
oleh masyarakat. Di sebelah selatan Pura Manik Mas beliau turun,
kemudian bersama-sama muspa (sembahyang) di Pura Manik
Mas. Selanjutnya barulah beliau menuju ke Pura
Penataran Agung Besakih dengan berjalan kaki. Hal ini dilakukan
karena wilayah antara Pura Manik Mas sampai ke puncak disebut
Telajakan Pura Besakih yaitu Soring Ambal-ambal
dan Luhuring Ambal-ambal. Oleh karenanya pula baik sekali
bila mulai sekarang dirintis jalan agar setiap orang yang akan
sembahyang ke Pura Penataran Agung
Besakih, terlebih dahulu turun dan sembahyang di Pura Manik
Mas, dan kemudian barulah setelah itu berjalan kaki ke Pura
Penataran Agung sehingga keagungan dan kemuliaan Pura Besakih
ini akan semakin dapat dirasakan serta diresapi.
Lebih lanjut ...
|
|
Letaknya disebelah
timur jalan raya, di mana distanakan Triantabhoga yaitu
Hyang Naga Basukih, Hyang
Naga Sesa dan Hyang NagaTaksaka.
Piodalannya pada hari Buda
Pon Watugunung. Di samping itu setiap waktu tertentu diselenggarakan
aci Pengangon dan Ngusaba Posya pada hari Tilem
sasih keenem. Di pura inilah konon Danghyang
Manik Angkeran di hidupkan kembali setelah beberapa lamanya
wafat akibat kesalahannya kepada Hyang
Naga Basukih.
Lebih lanjut ...
|
|
Di sebelah barat jalan
terletak Pura Ulun Kulkul di mana Hyang
Mahadewa distanakan. Sebuah kulkul (kentongan
besar) terdapat di pura ini dan dipandang sebagai kulkul
yang paling utama dan mulia dari pada semua kulkul yang
ada di Bali. Di zaman dahulu setiap desa atau banjar membuat
kulkul, kulkul itu harus dipelaspas dan
dimohonkan tirta di Pura Ulun Kulkul, agar atas asung
wara nugraha Hyang Widhi Wasa, kulkul itu mempunyai
taksu, yaitu ditaati oleh krama desa atau krama
pemaksan pura yang akan memakai kulkul tersebut.
Adapun piodalan di pura ini jatuh pada hari Saniscara
Keliwon Kuningan atau tepat pada hari Raya
Kuningan, sedang pada setiap hari tilem
ketiga diadakan upakara aci Pengurip Bumi dan pada
setiap hari tilem
kaulu menghaturkan aci sarin tahun. Aci Pengurip
Bumi dimaksudkan untuk memohon agar semua tanam-tanaman
baik di sawah maupun di ladang menjadi subur dan sebagian kecil
dari hasil pertanian itu kemudian dipersembahkan yang dinamakan
aci sarin tahun. Jika ada Upakara-upakara Yadnya
di Pura ini dan di Pura Penataran
Agung, maka semua bangunan Pelinggih yang terdapat
di dalamnya harus dihias dengan pengangge-pengangge sarwa
jenar atau hiasan serba kuning.
Lebih lanjut ...
|
|
Di sebelah utara Pure
Ulun Kulkul dan agak masuk ke barat dan jalan raya terdapat
Pure Merajan Selonding. Dahulu kala pura ini adalah Merajan
dari Dalem Kesari Warmadewa yang
diperkirakan pernah mempunyai istana di Besakih dengan nama
Bumi Kuripan. Raja Purana Besakih dalam bentuk
lontar yang sering disebut Prasasti Bredah disimpan di
pura ini, demikian pula seperangkat gamelan kuno yang bernama
Selonding. Dalam Lontar Catur Muni-Muni yaitu yang menceriterakan
tentang asal mulanya ada tabuh gamelan di Bali, dikatakan bahwa
Bhagawan Narada mengajarkan para
pertapa menabuh gamelan dengan gamelan Selonding. Sementara
itu dalam Markandeya Purana ditegaskan bahwa Sang
Yogi Markandeya juga memakai nama Hyang
Naradatapa. Apakah yang dimaksud dengan Bhagawan
Narada ini Sang Yogi Markandeya
dan gamelan yang dipakainya itu gamelan selonding yang tersimpan
di pura ini, masih perlu diadakan penelitian lebih lanjut oleh
para ahli. Piodalan di pura merajan Selonding pada hari
Wraspati Keliwon
Warigadian.
Lebih lanjut
...
|
|
Ke utara dari Pura Manik
Mas di sebelah timur jalan raya terletak Pura Gua di mana
Hyang Naga Basuki diistanakan.
Di sebelah timur Pura ini terdapat sebuah sungai dan pada tebingnya
ada sebuah gua besar, tetapi sekarang gua tersebut sudah tertimbun
runtuhan tanah longsor. Dalam ceritera tentang perjalanan Dang
Hyang Sidimantra ke Besakih, diceriterakan bahwa di gua
inilah beliau setiap hari-hari tertentu mempersembahkan haturan
kepada Hyang Naga Basuki berupa
empahan (susu), madu dan telur. Juga di tempat ini Dang
Hyang Manik Angkeran memotong ekor Naga
Basuki, sehingga Dang Hyang Manik
Angkeran dipanggang sampai meninggal, tetapi kemudian
dihidupkan lagi setelah Dang Hyang Sidimantra
(Ayah dan Dang Hyang Manik Angkeran)
dapat memasang kembali ekor Naga Basuki
yang terpotong itu. Menurut ceritera rakyat, dahulu kala gua
itu tembus sampai ke Gua Lawah Klungkung, sehingga pernah
terjadi pada waktu ada sabungan ayam di Gua Lawah, salah
seekor ayam sabungan itu lari masuk ke Gua Lawah kemudian
dikejar terus oleh pemiliknya dan akhirnya ia keluar di gua
Besakih. Pada permukaan gua sekarang ini sudah diperbaiki
sehingga memungkinkan orang duduk untuk sembahyang atau semadi.
Piodalan di pura Gua pada hari Buda
Wage Kelawu atau Buda
Cemeng Kelawu.
Lebih jelas lagi ...
|
|
Pura Banua Kawan terletak di sebelah timur
jalan raya yaitu di timur parkir kendaraan menghadap ke selatan.
Di sini diistanakan Batari Sri
dan hari piodalannya jatuh pada hari Sukra
Umanis Kelawu. dahulunya di sebelah timur pura ini agak
ke selatan terdapat sebuah lumbung padi untuk tempat menyimpan
sebagian dari padi hasil sawah druwe Pura Besakih. Sekarang
lumbung ini sudah tidak ada dan akan diusahakan untuk dibangun
kembali. Dengan adanya lumbung ini diharapkan sebagai sarana
permohonan untuk penginih-inih, artinya segala yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan pangan dapatlah dipenuhi, meskipun
sederhana tetapi cukup.
Lanjutannya ...
|
|
Letaknya di sebelah
timur Banua Kawan, yaitu di ujung timur
di tepi sebuah sungai menghadap ke selatan. Di sini distanakan
Bhatara rambut Sedana dan terdapat
pelinggih untuk memulyakan Empu Bradah
dan Bhatara Indra. Adapun piodalannya
jatuh pada hari Saniscara
Keliwon Kerulut atau tumpek
Kerulut. Menurut ceritera-ceritera yang pernah didengar
oleh para orang-orang tua di Besakih, konon Pura ini bekas merajan
dan Danghyang Manik Angkeran sewaktu beliau menjadi pertapa
di Besakih.
Lebih lanjut
...
|
|
Dari Pura
Banua Kawan ke barat melalui jalan setapak agak jauh ke
dalam dan kemudian membelok ke utara akan kita dapati Pura Jenggala
di atas sebuah bukit kecil. Menurut masyarakat setempat pura
ini sering juga disebut Pura Hyang Haluh dan difungsikan
sebagai Kahyangan Prajapati. Hal ini bisa dimengerti
karena agak ke selatan dari Pura Jenggala terdapat tanah kuburan
yang disebut Setra Agung. Di pura ini terdapat beberapa
patung batu yang agak kuno menyerupai seorang resi, garuda dan
lain lainnya, yang sakral dan dibuatkan pelinggih-pelinggih.
Banyak sekali ceritera rakyat yang dihubungkan dengan pura ini,
ada yang mengatakan bekas pertapaan Dyah
Kulputih, ada yang mengatakan Kahyangan Melanting
dan ada pula yang memperkirakan semacam Pura Alas Angker.
Lebih lanjut
|
|
Di kaki Pura Penataran
Agung Besakih yaitu di sebelah kanan kalau kita akan menaiki
tangga Pura Penataran Agung, terdapat
sebuah pura yang pelinggih induknya berupa meru tumpang pitu
(tingkat tujuh). Pura ini bernama Pura Basukihan di tempat mana
menurut perkiraan para sulinggih, Danghyang
Markandeya menanam Pedagingan Pancadatu (lima
jenis logam dengan kelengkapan upakaranya). Pura Basukihan,
Pura Penataran Agung dan Pura
Dalem Puri adalah induk dari Kahyangan Tiga di desa-desa
yaitu pura Puseh, pura Desa dan pura Dalem.
Dari kelengkapan palinggih-palinggih yang terdapat di
masing-masing pura itu, demikian pula sastra-sastra agama yang
ada hubungannya dengan tata cara membangun suatu pura, nampak
bahwa pura Basukihan itu adalah pura Puseh Jagat, Pura
Penataran Agung berfungsi sebagai pura Desa Jagat
dan Pura Dalem Puri sebagai pura Dalem
Jagat. Dengan demikian Pura Basukihan, Pura
Penataran Agung dan Pura Dalem Puri
adalah pusat dan semua pura Puseh, pura Desa dan
pura Dalem yang terletak di manapun, sehingga pura Besakih
secara keseluruhan adalah pura Penyungsung Jagat. Adapun
yang distanakan di pura ini ialah Hyang
Naga Basuki. Hari Piodalannya jatuh pada hari
Buda Wage Kelawu
atau Budha Cemeng
Kelawu.
Lebih detil ...
|
|
Di sebelah utara
Pura Basukihan dinamai Pura Penataran
Agung. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks
Pura Besakih. maka Pura Penataran Agung ini adalah yang terbesar,
terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis
upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada
di Besakih. Dalam Raja Purana Besakih dikatakan bahwa
Pura Penataran Agung Besakih adalah tempat Pesamuaning Batara
Kabeh.
Denah pura Penataran Agung Besakih diuraikan habis, di sini...
|
|
Untuk mencapai Pura Batu Madeg ini kita berjalan
kaki keutara disebelah Barat Suci dan kemudian membelok sedikit
ke Barat.
Pura ini cukup luas di mana di dalamnya banyak
terdapat palinggih-palinggih dan meru. Palinggih
pokok adalah stana Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai
Hyang Wisnu berupa meru tumpang
11. Upakara Yadnya atau Pangaci di pura Batu
Madeg terdiri dari piodalan pada hari Soma
Umanis Tolu, Ngusabha Warigadian pada hari
penanggal 5 sasih
kelima dan Benaung Bayu pada hari tilem sasih
kelima.
Palinggih-palinggih di Pura Batu Madeg antara lain:
- Bebaturan tempat memuja Bhatara
Gajah Waktera. Di masa-masa yang lalu yaitu pada waktu
perjuangan merebut kemerdekaan, konon para pejuang banyak
yang bersemadhi di palinggih ini.
- Bebaturan linggih Bhatara
Batudinding.
- Gedong Palinggih Bhatara Pujungsari.
- Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara
Manik Bungkah.
- Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara
Bagus Babotoh.
- Meru tumpang II Palinggih Bhatara
Sakti Batu Madeg (Hyang Wisnu).
- Bebaturan Palinggih I Ratu
Kelabangapit, tempat masyarakat memohon keselamatan
bila akan membuat empelan (bendungan besar) dan memohon
agar sawah-sawahnya tidak mengalami kekurangan air.
- Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara
Manik Buncing.
- Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara
Manik Angkeran yang dimuliakan oleh para prati sentananya
dan sekarang dikenal dengan sebutan Pinatih, sulang
dan Wayabya, di samping oleh Masyarakat umat Hindu
umumnya.
- Bale Tegeh Palinggih Lingga.
- Bale Pesamuhan Agung tempat pemujaan umum
ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa dalam
manifestasinya sebagi Hyang Wisnu.
- Bebaturan Pelinggih Bhatara
Sanghyang Batur.
- Gedong Palinggih Sanghyang
Kumpi Batur.
- Enam buah Bale Pelik diantaranya terdapat tempat
pemujaan pada Dukuh Suladri di
Bale Pelik bagian Timur.
- Bangunan-Bangunan Bale Pegat, Bale Gong, Bale Pewedaan,
dan Candi bentar.
Bila terdapat karya-karya agung di pura Besakih
demikian pula pengaci di pura Batu madeg, maka semua
palinggih-palinggih yang terdapat di Pura ini dihias
dengan pengangge-pengangge Palinggih seperti ider-ider,
Lelontek, Pedapa dan lain-lainnya dengan warna serba hitam.
Lebih lanjut ...
|
|
Dari Pura
Penataran Agung ke timur melewati jalan setapak di sebelah
menyebelah pura-pura Pedharman dan pada ujung timur terdapat
Pura Kiduling Kreteg, yaitu di sebelah Timur sungai melalui
sebuah jembatan. Luas Pura ini demikian pula jumlah palinggih-palinggihnya
hampir sama dengan Pura Batu Madeg, di
mana pelinggih pokoknya Meru tumpang 11 kahyangan
Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya
sebagai Hyang Brahma. Di dalam
lontar-lontar Pura ini kadang-kadang dinamai Pura Dangin
Kreteg dan kadang Pura Kiduling Kreteg, mungkin karena
tempatnya seolah-olah berada di sebelah timur jembatan dan seolah-olah
di sebelah selatan jembatan kalau kita sedang berada di Pura
Penataran Agung . Ini bisa dimengerti karena Pura Besakih
sesungguhnya tidak sepenuhnya menghadap ke Selatan tetapi agak
miring kearah Barat berhadapan dengan Pura Luhur Uluwatu di
desa Pecatu Kabupaten Badung. Ini pulalah sebabnya Pura Luwur
Uluwatu dan Pura Besakih Hyang Hyangning Segara Ukir atau Hyang
Hyangning Segara Gunung dalam arti Pura Luhur Uluwatu berfungsi
Predana dan Pura Besakih Purusa.
Adapun bangunan-bangunan pelinggih yang terdapat di
Pura Kiduling Kreteg antara lain:
- Meru tumpang 11 Pelinggih Hyang
Brahma, yang oleh umum disebut Bhatara
Agung Sakti.
- Meru Tumpang 7 Pelinggih Bhatara
Bayu, yang oleh umum disebut
I Ratu Bagus Bayusan.
- Meru tumpang 5 Palinggih Ida
Ratu Bagus Swa.
- Meru tumpang I I Palinggih Ida
Ratu Bagus Cili.
- Meru tumpang 5 Palinggih Ida
Ratu Bagus Soha.
- Meru tumpang 3 Palinggih Ida
Ratu Sihi.
- Meru tumpang 3 Palinggih Dewa-Dewi.
- Bale Pesamuan Agung.
- Bale Agung.
- Bale Pegat.
- BalePawedaan.
- Bebaturan.
- Bale Tegeh.
- Bebaturan.
- Panggungan.
- Bale Gambang.
- Bale Gong.
- Candi Bentar.
- Bale Pesambiyangan.
Piodalannya jatuh pada Anggara
Wage Dungulan atau Penampahan Galungan, sedang Aci
Panyebab Brahma diselenggarakan setahun sekali pada
hari purnama
sasih Kaenem. Aci Panyebab Brahma adalah untuk
memohon agar padi di sawah tidak merana dan hangus kekeringan.
Dalam karya-karya di pura Kiduling Kreteg, semua penganggen
pelinggih berwarna merah.
|
|
Dari jalan setapak di sebelah timur Pura
Penataran Agung ke utara (jalannya agak menanjak kira-kira
5 menit perjalanan), terdapat Pura Gelap di ketinggian. Pelinggih
pokok berupa Meru tumpang 3 di sana distanakan Hyang
Iswara, di samping sebuah Padma, Palinggih Ciwa Lingga,
Bebaturan Sapta Petala, Bale Pewedaan dan Bale Gong.
Piodalan di Pura Gelap jatuh pada hari Soma
Keliwon Wariga dan Aci Pengenteg Jagat pada setiap
hari Purnama sasih
Karo.
Di sinilah pura tempat umat maturan dan memohon kedamain
pikiran dan kesejahteraan hidup sesuai dengan makna pengacinya
yang disebut Aci Pengenteg Jagat. Pada waktu karya-karya
di Pura Besakih semua pengangge-pengangge di Pura ini
berwama serba putih.
Lebih lanjut ...
|
|
Pura Pengubengan
ini letaknya ke utara dari Pura Penataran
Agung melalui jalan setapak kira-kira 30 menit perjalanan.
Di sini terdapat pelinggih pokok meru tumpang 11 di samping
bale gong, bale Pelik, Piyasan, Candi Bentar dan tembok
penyengker. Di sinilah pelinggih Pesamuhan
Bhatara Kabeh sebelum Bhatara Turun Kabeh di Penataran
Agung. Di antara pura-pura lainnya yang ada di Besakih, letak
Pura Pengubengan ini yang tertinggi. Jika masyarakat bermaksud
mempersembahkan aturannya kepuncak Gunung Agung akan tetapi
tidak mampu karena tingginya, maka cukup aturan itu dipersembahkan
di Pura Pengubengan ini. Sama halnya dengan dan Pura
Peninjoan, dari sinipun pemandangan alam kelihatan indah
sekali, akan tetapi Pura Penataran
Agung tidak nampak. Sesungguhnya baik sekali apabila pada
hari-hari tertentu (Rerainan) kita dapat pedek tangkil
serta mempersembahkan aturan di Pura Peninjoan
dan Pura Pengubengan secara berombongan, karena di samping hal-hal
berkunjung ke Pura Pura itu termasuk Yadya yang disebut
Tirtha Yatra, juga kita mengetahui secara langsung pura-pura
itu. Piodalan di Pura Pengubengan jatuh pada hari Budha
Wage Kelawu.
|
|
Tempatnya tidak begitu jauh dan Pura
Pengubengan yaitu disebelah timurnya kira-kira 10 menit
perjalanan. Di sini terdapat sumber tirtha atau air suci
yang dipergunakan bila ada karya-karya agung di Pura Besakih
ataupun karya-karya agung di desa-desa pekraman, demikian pula
di sanggar-sanggar pemujaan umat seperti di sanggah maupun
merajan. Piodalan di pura Tirtha
jatuh pada hari Budha
Wage Kelawu.
|
|
Letak Pura ini agak
kebarat-laut dari Pura Batu Madeg, melalui
jalan setapak, menuruni lembah dan menyelusuri pinggir sungai
kering tegalan penduduk. Perjalanan kurang lebih atarara 15
sampai 25 menit dan kita akan sampai di Pura Peninjoan disebuah
bukit kecil. Di sana terdapat sebuah Meru tumpang 9.
Dari tempat inilah konon Empu Kuturan
meninjau wilayah Desa Besakih yang sekarang menjadi tempat pelinggih-pelinggih
di Pura Penataran Agung dan sekitarnya,
sewaktu beliau merencanakan pembanguan dan memperluas Pura Besakih
ini yang di masa yang lalu tidak sebanyak yang kita saksikan
sekarang. Di tempat inilah Empu Kuturan
menjalankan tapa yoga samadhi bila beliau ke Besakih.
Ajaran-ajarannya tentang tata cara membangun pura, membuat pelinggih
meru, kahyangan tiga, Asta Kosala Kosali dan lain-lainnya
sampai sekarang masih dipraktekkan oleh segenap lapisan masyarakat
Hindu. Setelah beliau wafat beliau tidak lagi disebut Empu
Kuturan, tetapi Bhatara Empu Kuturan,
karena beliau dipandang sebagai Awatara atau Dewa
Kemanungsan tidak ternilai besar jasanya dalam menuntun
masyarakat Umat Hindu dan untuknya distanakan di Meru tumpang
9 di Pura Peninjoan ini, selain di tempat-tempat lain seperti
di Silayukti (Padangbai - Karangasem). Dari Pura Peninjoan,
semua pelinggih di Pura Penataran
Agung dapat dilihat dengan jelas, demikian pula pantai dan
daratan pulau Bali di sebelah selatan kelihatan indah sekali.
Selain dari meru tumpang 9, pura ini juga dilengkapi
dengan dua buah Bale Pelik dan Piyasan. Piodalan
di Pura Peninjoan pada hari Wraspati
Wage Tolu.
|
|
Denah pedarman
|
|