http://www.balipost.com/balipostcetak/2007/5/30/bd2.htm
Nityamewa sukham svarge sukham duhkhamilobhayam. Narake duhkhamevaitam
mokse tu paraman sukham. (Sarasamuscaya 362)
Maksudnya
Di Sorga Loka hanya kegembiraan yang dirasakan. Di dunia yang
fana ini suka duka yang dirasakan silih berganti. Di neraka loka
penderitaan saja yang dirasakan. Tetapi di Moksha Loka, kebahagiaan
yang terluhur yang didapatkan.
Salah satu kompleks Pura Besakih ada yang bernama Pura Jenggala.
Pura ini juga disebut oleh umat Pura Hyang Haluh. Pura ini terletak
di sebelah kanan Candi Bentar Pura Panataran Agung di seberang
jalan atau di sebelah utara jalan atau menurut pengelihatan umum
di barat jalan berseberangan dengan Candi Bentar Pura Penataran
Agung Besakih.
Mengapa pura ini bernama Pura Jenggala dan Pura Hyang Haluh,
saya belum menjumpai sumber penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Apa ada hubungannya dengan Kerajaan Jenggala di Jawa Timur, hal
tersebut sungguh masih sangat samar sekali.
Namun dari kata Hyang Haluh kemungkinan lain nama dari sebutan
Ida Ratu Ayu. Kata Hyang artinya yang suci. Kata Haluh mungkin
berasal dari kata Galuh yang menunjukkan identitas wanita cantik
atau ayu.
Dengan demikian Hyang Haluh itu identik atau juga lain nama dari
Ida Ratu Ayu. Pelinggih utama di Pura Jenggala atau Hyang Haluh
ini adalah sebuah Gedong beratap ijuk sebagai tempat pemujaan
Ida Ratu Ayu. Ida Ratu Ayu ini adalah salah satu manifestasi Siwa
Durgha sebagai penguasa Setra.
Di setra desa pakraman umumnya disebut Sedahan Setra ada juga
yang menyebut Siwa Bairawa. Pura Jenggala ini oleh Desa Pakraman
Besakih difungsikan sebagai Pura Prajapati. Saat ada orang ngaben
di pura inilah dilangsungkan upacara ngendagin atau ngebug tanah
untuk membangunkan roh orang yang akan diaben. Caranya dengan
memukul tanah tiga kali, tentunya dengan suatu ritual tertentu.
Upacara ini ada juga yang dipimpin oleh Pandita Dwijati. Memukul
tiga kali ini adalah suatu simbol kebaikan atau kesucian. Tiga
kali itu simbol tujuan prosesi upacara Pitra Yadnya untuk mengantarkan
Atman yang meninggal dari Bhur Loka dan terus diharapkan mencapai
Swah Loka. Dalam Lontar Gayatri dilukiskan bahwa saat orang itu
meninggal Atman atau rohnya disebut Preta. Setelah diupacarai
ngaben melalui Ngaskara maka rohnya disebut Pitara. Selanjutnya
dengan upacara Atman Wedana seperti upacara Nyekah, Memukur atau
Maligia maka Sang Hyang Atma sebutannya meningkat menjadi Dewa
Pitara.
Saat roh masih dalam status Preta keluarganya belum mampu menyelenggara
upacara ngaben maka roh yang disebut Preta itulah yang distanakan
di Pura Prajapati. Sedangkan stana sementara Sang Roh adalah Sanggah
Cukcuk yang umumnya ditancapkan di bagian hulu kuburan. Saat itulah
ada upacara matur piuning atau permakluman dan permohonan kepada
Sang Hyang Sedahan Setra yang berstana di Prajapati.
Kalau sudah saatnya akan melaksanakan upacara ngaben tiga hari
sebelumnya ada proses upacara ada yang menyebut upacara ngendagin
atau upacara ngebug tanah yang bertujuan memanggil sang roh yang
masih dalam status Preta dengan permakluman atau atur piuning
pada Sedahan Setra yang di Pura Jenggala disebut Ida Ratu Ayu
lain sebutan dari Sang Hyang Siwa Durgha.
Jadinya Pura Prajapati itu adalah salah satu bagian dari simbol
Para Loka tempat sementara sang Preta berada sebelum diupacarai
oleh keluarganya yang masih hidup. Keberadaan Para Loka ini harus
diyakini sebagai umat Hindu. Kalau tidak yakin pada keberadaan
Para Loka ini menurut Sarasamuscaya 110 maka kita akan sengsara
dalam hidup ini dan kelak.
Menurut Lontar tentang Pitra Yadnya seperti Yama Purana Tattwa
menyatakan bahwa kalau roh yang masih berstatus Preta itu tidak
distanakan di setra dengan Pura Prajapati sebagai hulunya maka
sang roh akan menjadi apa yang disebut Atma Diyadiyu dan akan
gentayangan ke desa-desa mengganggu kehidupan di dunia sekala.
Mensatnakan roh yang masih berstatus Preta itu dilakukan dengan
Tirtha Pengentas Tanem. Nanti kalau sudah ngaben akan dilanjutkan
dengan Tirtha Pengentas Pemuput.
Demikianlah fungsi Pura Prajapati yang hulunya di Pura Jenggala
di kompleks Pura Besakih. Kemungkinan istilah Jenggala ini berasal
dari kata Jeng dan Gala. Jeng artinya sebutan kehormatan untuk
wanita dan kata gala dalam bahasa Jawa kuno artinya lampu penerangan.
Mungkin pula kata jeng itu berasal dari kata Rahajeng yang artinya
rahayu atau selamat. Dan dari kata gala yang berarti lampu ini
menjadi kata galang.
Dengan demikian tujuan dari permohonan kepada Sedahan Setra atau
Ida Ratu Ayu ini agar roh yang masih Preta ini terus-menerus mendapatkan
penerangan kerahayuan dari Tuhan yang disebut Ida Ratu Ayu atau
Sedahan Setra. Dengan demikian istilah Jenggala adalah sebutan
lain dari Ratu Ayu sebagai Dewi yang berfungsi memberikan penerangan
kepada roh yang masih berada di bawah pengawasan Ida Ratu Ayu
yang berstana di Pelinggih Gedong di Pura Jenggala itu.
Sebelum dilakukan upacara ngaben roh atau Preta yang berada di
Setra mendapatkan penerangan di setra lewat Pura Prajapati. Karena
saat masih hidup di dunia sekala ini manusia terus-menerus menghadapi
gelombang suka dan duka. Barang siapa yang bisa tidak kacau atau
dapat mengendalikan diri dalam gelombang suka duka di dunia sekala
ini ialah dapat disebut manusia hidup berbahagia.
Dalam Bhagawad Gita II.15 ada dinyatakan Samaduhkham dhiram.
Artinya, Seimbang dan teguhlah menghadapi suka dan duka. Karena
di dunia ini hidup akan selalu menghadapi suka dan duka sebagaimana
dinyatakan dalam kutipan Sarasamuscaya di atas.
Roh yang masih di setra di bawah pengawasan Sedahan Setra tersebut
statusnya masih dalam proses menuju sorga atau neraka. Karena
itu perlu diupacarai ngaben. Upacara ngaben itu hanya menambah
karma baik dari sang roh kalau ngaben itu dilakukan dengan upacara
Satvika Yadnya atau upacara yadnya yang berkwalitas. Tetapi kalau
sebaliknya justru dapat menambah dosa. Karena yang paling menentukan
adalah karma yang bersangkutan. Kalau lebih banyak karma buruk
yang diperbuat upacara ngaben itu hanya menambah karma baiknya
saja, sehingga karma buruknya sedikit berkurang. Hanya permohonan
umat agar leluhur yang diaben mendapatkan sorga.*
I Ketut Gobyah
|