Pura Batu Madeg
 
1 Bale Papelik
2 Bebaturan
3 Bale Papelik
4 Bebaturan
5 Bebaturan
6 Bale Papelik
7 Gedong Pujungsari
8 Meru Tumpang-11
Pelinggih Ida Ratu Manik Bungkah
9 Meru Tumpang-11
Pelinggih Ida Batara Bebotoh
10

Meru Tumpang-11
Linggih Ida Batara Batu Madeg

11 Bebaturan
12 Meru Tumpang-9
Linggih Ida Ratu Mas Buncing
13 Meru Tumpang-9
Linggih Ida Batara Manik Angkeran
14 Panggungan
15 Sedahan Pengerurah
16 Pesamuan Agung
17 Bale Gong
18 Bale Papelik
19 Bale Papelik
20 Bale Papelik
21 Bebaturan
22 Bale Pegat
23 Bale Agung
24 Bale Pawedaan
25 Babaturan
26 Gedong Sakepat
27 Bale Sakulu
28 Candi Bentar
29 Bale Pawaregan
30 Bale Pebatan


 
PURA BATU MADEG

Kalau dari Pura Penataran Agung, Pura Batu Madeg dapat dicapai dengan berjalan kaki ke utara disebelah Barat Suci dan kemudian membelok sedikit ke Barat.

Pura ini cukup luas di mana di dalamnya banyak terdapat palinggih-palinggih dan meru. Palinggih pokok adalah stana Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Hyang Wisnu berupa meru tumpang 11. Upakara Yadnya atau Pangaci di pura Batu Madeg terdiri dari piodalan pada hari Soma Umanis Tolu, Ngusabha Warigadian pada hari penanggal 5 sasih kelima dan Benaung Bayu pada hari tilem sasih kelima.

Palinggih-palinggih di Pura Batu Madeg antara lain:

  1. Bebaturan tempat memuja Bhatara Gajah Waktera. Di masa-masa yang lalu yaitu pada waktu perjuangan merebut kemerdekaan, konon para pejuang banyak yang bersemadhi di palinggih ini.
  2. Bebaturan linggih Bhatara Batudinding.
  3. Gedong Palinggih Bhatara Pujungsari.
  4. Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Manik Bungkah.
  5. Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Bagus Babotoh.
  6. Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Sakti Batu Madeg (Hyang Wisnu).
  7. Bebaturan Palinggih I Ratu Kelabangapit, tempat masyarakat memohon keselamatan bila akan membuat empelan (bendungan besar) dan memohon agar sawah-sawahnya tidak mengalami kekurangan air.
  8. Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik Buncing.
  9. Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik Angkeran yang dimuliakan oleh para prati sentananya dan sekarang dikenal dengan sebutan Pinatih, Sulang dan Wayabya, di samping oleh Masyarakat umat Hindu umumnya.
  10. Bale Tegeh Palinggih Lingga.
  11. Bale Pesamuhan Agung tempat pemujaan umum ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagi Hyang Wisnu.
  12. Bebaturan Pelinggih Bhatara Sanghyang Batur.
  13. Gedong Palinggih Sanghyang Kumpi Batur.
  14. Enam buah Bale Pelik diantaranya terdapat tempat pemujaan pada Dukuh Suladri di Bale Pelik bagian Timur.
  15. Bangunan-Bangunan Bale Pegat, Bale Gong, Bale Pewedaan, dan Candi bentar.

Bila terdapat karya-karya agung di pura Besakih demikian pula pengaci di pura Batu madeg, maka semua palinggih-palinggih yang terdapat di Pura ini dihias dengan pengangge-pengangge Palinggih seperti ider-ider, Lelontek, Pedapa dan lain-lainnya dengan warna serba hitam.


''Aci Penaung Bayu'' di Pura Batu Madeg

Salah satu upacara yang diselenggarakan di Pura Batu Madeg setiap Tilem Sasih Kesanga adalah Aci Penaung Bayu. Upacara ini sejatinya bertujuan untuk mengisi atau menguatkan tenaga kepada semua makhluk hidup. Apa sesungguhnya makna yang dapat dipetik dari upacara tersebut?


JIKA diartikan secara harfiah, penaung bayu berasal dari kata penaung dan bayu. Penaung berasal dari kata ''naung'' yang dalam bahasa Bali artinya mengisi atau menambahkan. Sedangkan ''bayu'' dalam bahasa Bali artinya tenaga. Tetapi, ada juga yang mengartikan angin. Kadang-kadang ada juga yang mengartikan darah, tergantung konteks kalimatnya. Dengan demikian kata ''penaung bayu'' artinya menambah tenaga.

Tenaga dalam makhluk hidup bersumber dari makanan.

Hal itu jelas dinyatakan dalam Bhagawad Gita III. 14 bahwa kehidupan makhluk hidup berasal dari makanan. Sementara makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan berasal dari air atau hujan. Adanya hujan karena yadnya dari proses alam. Yadnya itu adalah karma. Karma berarti kerja atau perbuatan. Hujan akan jatuh apabila manusia senantiasa berbuat untuk menjaga lestarinya sumber-sumber makanan. Sumber makanan itu adalah tumbuh-tumbuhan sebagaimana dinyatakan dalam Bhagawad Gita di atas.

Upacara Penaung Bayu ini sebagai media untuk mengingatkan umat lewat ritual sakral agar secara spiritual semakin sadar bahwa memelihara sumber-sumber tenaga hidup sesuatu yang amat penting. Karena itu setiap umat manusia di kolong langit ini wajib memelihara sumber-sumber makanan tersebut. Dewa Wisnu adalah manifestasi Tuhan sebagai dewanya air. Air itu berasal dari hujan. Hujan merupakan proses alam, dari air laut yang menguap menjadi mendung. Karena proses alam, mendung itu menjadi hujan. Kalaupun ada hujan, jika hutan tak terpelihara dengan baik, air hujan itu akan bablas mengalir ke laut lagi. Kalaupun ada hutan, jika tidak terpelihara dengan baik, apalagi daerah resapan tidak berfungsi maka siklus hidup sarwa prani tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Karena itu, Aci Penaung Bayu ini memiliki arti yang sangat luas dan universal dalam wujud lokal. Sebab, Penaung Bayu artinya terus-menerus menguatkan dan memelihara tenaga kehidupan. Memelihara tenaga hidup itu ada dua, yaitu di bhuwana alit dan bhuwana agung. Di bhuwana agung manusia harus membantu proses alam untuk menghasilkan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan makanan utama dari semua makhluk hidup. Manusia harus bekerja agar proses alam itu benar-benar dapat berjalan dengan sebaik-baiknya untuk menghasilkan bahan makanan berupa tumbuh-tumbuhan.

Selanjutnya manusia harus juga mendapatkan bahan makanan itu dengan cara yang benar. Jika makanan yang diperoleh dengan cara melanggar dharma, itu dapat mengotori jiwa. Demikian juga manusia harus dapat memilih makanan yang satvika. Mengkonsumsi makanan yang satvika sangat dianjurkan oleh sastra suci agama Hindu seperti dalam Bhagawad Gita. Memasukkan makanan ke bhuwana alit harus makanan yang terpilih atau yang satvika. Demikian juga jenis makanan itu harus juga seimbang. Di samping itu, memasak makanan harus juga dengan cara yang benar dan tepat, sehingga tidak kehilangan zatnya yang berguna bagi hidup. Demikian juga orang yang memasak makanan itu harus berjiwa murni agar makanan tidak terkontaminasi oleh sifat buruk orang yang memasaknya.

Dalam ilmu kesehatan juga dinyatakan bahwa makanan itu akan tidak dapat memberikan tenaga atau bayu yang prima kalau pola makannya juga tidak benar. Kalaupun pola makan itu benar dan tepat, kalau gaya hidup atau vihara seseorang tidak mendukung, makanan itu juga bisa tidak berfungsi prima memberikan tenaga atau bayu kepada manusia dan makhluk hidup.

Aci Penaung Bayu di Pura Batu Madeg memiliki dimensi yang sangat luas dan universal, karena menyangkut aspek yang sangat esensial dalam hidup ini. Karena itu sangat diperlukan upaya nyata untuk menegakkan dan menyebarluaskan makna dari nilai-nilai universal yang dikandung oleh upacara Aci Penaung Bayu di Pura Batu Madeg. Sebab, pada hakikatnya Penaung Bayu itu sebagai upaya untuk terus-menerus menjaga kesehatan, kesegaran dan kebugaran hidup manusia agar dapat memelihara aspek-aspek yang menyangkut penguatan tenaga hidup yang disebut bayu tersebut. Ia tidak semata menjaga kecukupan tumbuh-tumbuhan bahan makanan saja. Tetapi menyangkut aspek yang demikian luas agar semua makhluk hidup dapat terus-menerus memiliki tenaga yang memadai agar ia dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kodratnya.

Manusia sebagai ciptaan Tuhan harus cerdas mengembangkan berbagai sumber tenaga hidupnya seperti tumbuh-tumbuhan dengan beraneka jenisnya.

Jangan sampai Indonesia yang sumber daya alamnya amat kaya, tetapi sampai kekurangan bahan pangan. Bila perlu masyarakat Indonesia berusaha secara terus-menerus melatih penduduknya untuk mengembangkan konsep makanan yang berasal dari aneka tumbuh-tumbuhan. Jangan hanya tergantung pada beras semata.

Tujuan Aci Penaung Bayu adalah untuk mendoakan dan dengan usaha nyata agar semua makhluk hidup senantiasa dapat terus-menerus menjaga tenaga hidup atau bayu. Ini berarti banyak sesungguhnya umat manusia memiliki peluang untuk mengembangkan berbagai jenis sumber bahan makanan agar tidak tergantung pada satu jenis sumber tenaga hidup atau bayu saja. Dalam menyelenggarakan Aci Penaung Bayu di Pura Batu Madeg sesungguhnya banyak hal yang dapat diprogramkan secara nyata untuk menjaga segala jenis sumber tenaga hidup di bumi ini.

* wiana


Memuja Dewa Wisnu di Pura Batu Madeg


Ma kakambiram ud vrho navaspatim asastir vi hi ninasah. (Regveda VI.48.17}
Ma apo himsir, ma aosadhir hmsaih. (Yajurveda VI.22).

Maksudnya: Janganlah menebang pepohonan sembarangan, karena pohon itulah yang menyingkirkan pencemaran.

Janganlah mencemari air dan menyakiti tumbuhan, karena ialah yang memberikan kita kehidupan.


Pura Batu Madeg adalah tempat suci umat Hindu yang terletak di utara Pura Penataran Agung Besakih. Disebut Pura Batu Madeg karena di pura tersebut terdapat sebuah batu yang tegak. Batu madeg dalam bahasa Bali diartikan batu tegak berdiri. Batu Madeg dalam ilmu arkeologi disebut menhir, pada zaman kebudayaan megalitikum.

Batu Madeg ini simbol pemujaan Batara Ida Ratu Sakti Watu Madeg manifestasi Ida Batara Wisnu dalam sistem pemujaan Paksa Siwa Pasu Pata. Ketika sistem pemujaan itu berubah menjadi Siwa Sidhanta, Batu Madeg itu diletakkan di dalam sebuah Meru Tumpang Sebelas. Meru Tumpang Sebelas dengan Batu Madeg di dalamnya inilah pelinggih yang utama di Pura Batu Madeg tersebut. Pura ini tergolong Pura Catur Dala berposisi di arah utara, simbol stana Dewa Wisnu dalam konsep pangider-ider Siwa Sidhanta Paksa.

Yang patut kita perhatikan adalah Pelinggih Meru Tumpang Sebelas dengan Batu Madeg di dalamnya. Menhir sebagai peninggalan kebudayaan Hindu zaman megalitikum sebagai simbol pemujaan Batara Wisnu itu tetap dipergunakan, meskipun sistem pemujaan itu sudah berubah. Meskipun yang dominan sistem Siwa Sidhanta Paksa, tetapi Paksa Siwa Pasupata tetap juga dilanjutkan, bahkan dipadukan dalam satu tempat pemujaan. Ini artinya perbedaan paksa atau sekte keagamaan itu tidak menjadi persoalan di antara kelompok sosial keagamaan Hindu tersebut. Apalagi perbedaan kedua paksa keagamaan Hindu saling melengkapi.

Siwa Pasupata lebih menekankan pada arah beragama ke dalam diri atau Niwrti Marga. Sedangkan Siwa Sidhanta suatu paksa keagamaan Hindu yang juga sekte Siwa lebih menekankan pada arah beragama keluar diri atau Prawrti Marga. Kedua arah beragama ini memang berbeda tetapi saling melengkapi. Demikian bijaksananya leluhur umat Hindu di Bali dalam mengelola perbedaan. Tidak terjadi satu sekte merendahkan sekte yang lainnya. Pada zaman modern dewasa ini hal itu patut kita renungkan dalam mengelola perbedaan. Lebih-lebih ke depan keadaan zaman akan semakin heterogen dalam segala tatanan kehidupan, termasuk dalam kehidupan beragama. Apalagi agama Hindu menyediakan banyak jalan untuk mengembangkan diri dalam bidang spiritual menurut kitab suci Veda. Terjadinya berbagai perbedaan penampilan luar dari sistem beragama Hindu bukan sebagai suatu pertentangan. Tetapi itulah keindahan dari Hinduisme.

Pura Batu Madeg sesungguhnya menghadap ke barat ke arah Pura Ulun Kulkul. Tetapi umat pada umumnya merasakan pura itu menghadap ke selatan. Di Pura Batu Madeg ini terdapat lima buah pelinggih Meru. Di sisi timur areal jeroan pura, berjejer dari utara ke selatan. Dari utara ada dua Meru Tumpang Sembilan. Yang paling utara merupakan Pelinggih Ida Manik Angkeran. Di selatannya Pelinggih Ida Ratu Mas Buncing. Di selatan pelinggih Ida Ratu Mas Buncing adalah Meru Tumpang Sebelas yang di dalamnya ada Batu Madeg. Meru inilah sebagai pelinggih yang paling utama sebagai stana pemujaan Batara Sakti Batu Madeg sebagai manifestasi Batara Wisnu.

Di selatannya ada Pelinggih Meru Tumpang Sebelas juga sebagai Pelinggih Ida Batara Bagus Bebotoh. Di pelinggih ini umat memuja Tuhan agar dapat mengalihkan sifat bebotoh berjudi menjadi bebotoh bekerja untuk tujuan yang mulia. Umat jangan salah tafsir Pelinggih Ida Batara Bebotoh itu bukan tempat pemujaan umat agar menang berjudi. Sebab, ajaran Veda sangat melarang umatnya berjudi. Meru Tumpang Sebelas yang paling selatan sebagai Pelinggih Ida Ratu Manik Bungkah. Pelinggih ini mungkin ada kaitannya dengan fungsi Tuhan sebagai Batara Wisnu untuk melindungi kesuburan tanah.

Sebab, hanya air yang dapat menembus tanahlah yang akan dapat menyuburkan tanah. Hal ini dimaksudkan agar umat jangan menutup lahan sebagai daerah resapan. Kalau lahan resapan tertutup maka air akan langsung terbuang ke laut. Ini artinya memuja Batara Manik Bungkah sebagai media spiritual untuk memotivasi umat agar senantiasa melindungi daerah resapan air agar tanah dengan akar-akar pepohonannya dapat berfungsi bagaikan waduk menyimpan air sepanjang masa.

Keberadaan tanah yang penuh dengan pepohonan itu akan dapat menyerap air dan pohon juga dapat membersihkan pencemaran udara dan juga air. Memuja Tuhan sebagai Batara Wisnu adalah memotivasi diri umat agar senantiasa melindungi keberadaan air dan pepohonan. Sebab, keberadaan alam itulah yang akan membuat hidup kita menjadi lestari.

Di depan Meru Tumpang Sebelas, pelinggih pemujaan Batara Sakti Batu Madeg terdapat Balai Pesamuan yaitu pelinggih yang berbentuk segi empat dengan enam belas tiang berjejer dua baris. Jajar baris di luarnya disebut jajar dan yang di dalamnya disebut beti. Balai Pesamuan inilah sebagai media untuk turun ke dunia berkumpulnya semua sidhinya Batara Wisnu sebagai pemelihara dan pelindung ciptaan Tuhan. Balai Pesamuan itu akan sangat kelihatan fungsinya terutama saat ada pujawali dan upacara yadnya yang besar. Di sebelah kanan Balai Pesamuan terdapat Balai Sedahan Ngerurah terdapat sebuah Lingga yang wujudnya sangat sempurna sebagai media pemujaan Dewa Siwa dalam budaya megalitikum. Di sebelah Meru Pelinggih Ratu Bagus Bebotoh terdapat Pelinggih Pepelik stana Batara Hidung Lantang sebutan masyarakat pada Batara Gana. Upacara Piodalan di pura ini setiap enam bulan wuku yaitu setiap Soma Umanis Wuku Tolu.

Di pintu atau pemedal jeroan pura terdapat pelinggih yang disebut Balai Pegat bertiang delapan dengan dua balai yang terpisah. Balai Pegat ini fungsinya untuk nunas Tirtha Pangelukatan sebagai simbol umat berkonsentrasi memusatkan pikirannya pada Ida Batara Sakti Batu Madeg dan untuk sementara melupakan hal-hal yang bersifat duniawi.

* I Ketut Gobyah - PHDI - Balipost