Vaisyah krsivalah karyo-
gopah sasya bhrtvratah,
vartayukto grhopatah-
ksetra palo tha Vaisyah.
(Slokantara, 37)
Maksudnya:
Swakarma vaisya varna adalah bertani, mengembala ternak mengumpulkan
padi-padian, berdagang, mengusahakan rumah penginapan dan menjadi
pelindung ladang.
BERTANI dan beternak merupakan mata pencaharian awal dari manusia
sebelum adanya perkembangan industri barang maupun industri jasa.
Dari bertani dan beternak itulah munculnya usaha dagang sebagai
lapangan pekerjaan untuk melangsungkan kehidupan. Orang yang bekerja
di sektor ekonomi ini disebut Vaisya Varna dalam sistem profesi
untuk mendapatkan mata pencaharian berdasarkan Weda.
Tugas petani sebagai Vaisya Varna di samping memproduksi hasil-hasil
tersebut agar dapat digunakan sehemat mungkin. Tentunya tidak
sampai mengurangi fungsinya untuk membangun hidup sehat sejahtera
lahir batin. Memproduksi sumber-sumber kebutuhan hidup sehari-hari
itu dan juga menggunakannya agar hemat dan tepat guna bukan pekerjaan
yang dapat dilakukan begitu saja.
Pekerjaan itu harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan dan juga
ketenangan hati. Membina sikap hidup produktif yang hemat tepat
guna dapat dilakukan dengan memulainya dari pemujaan pada Tuhan.
Pemujaan ini untuk menumbuhkan bahwa pemahaman bahwa Tuhan menghendaki
agar semua ciptaan-Nya ini tidak ada yang tersia-siakan. Swami
Satya Narayana menyatakan bahwa ada empat hal yang tidak boleh
diboroskan. Empat hal ini adalah rezeki, makanan, tenaga, dan
waktu.
Hidup produktif dan hemat itu ditanamkan juga dalam sistem pemujaan
pada Tuhan oleh umat Hindu di Bali. Karena hidup produktif dan
hemat itu salah satu cara untuk membangun hidup yang sejahtera.
Hal itu dikembangkan di salah satu kompleks Pura Besakih yang
disebut Pura Banua. Di pura ini Tuhan dipuja sebagai Dewa Sri,
Sakti Dewa Wisnu sebagai Dewi Kemakmuran.
Pura Banua ini salah satu kompleks Pura Besakih yang juga berkedudukan
sebagai hulunya lumbung di Bali. Pura ini terletak bersebelahan
dengan Pura Basukian di kanan jalan menuju Pura Penataran Agung
Besakih. Kata ”banua” dalam bahasa Bali kuno artinya
desa menurut pengertian sekarang. Banua dalam pengertian yang
lebih luas adalah suatu wilayah pemukiman untuk membina kerja
sama membangun dan memelihara kesejahteraan hidup bersama yang
produktif dan hemat. Pelinggih atau bangunan suci yang paling
utama di pura ini adalah sebuah pelinggih berbentuk Gedong sebagai
stana pemujaan Batari Sri sebagai sakti atau power-nya Dewa Wisnu
sebagai Dewa Kemakmuran.
Di pura ini ada sebuah jineng dalam ukuran besar yaitu lumbung
padi menurut tradisi umat Hindu di Bali. Sayang lumbung yang disebut
jineng itu setelah rusak tidak diperbaiki lagi sehingga bangunan
tersebut terhapus. Di lumbung besar itulah hasil-hasil tanah laba
Pura Besakih disimpan.
Umat Hindu di Bali kalau memanen padi di sawah umumnya menyisihkan
seikat kecil padinya terus diupacarai dan distatuskan sebagai
simbol Dewa Nini. Dewa Sri yang dalam hal ini disebut Dewa Nini.
Seikat padi yang disimbolkan sebagai Dewa Nini inilah yang distanakan
di bagian hulu atau keluwan di ruangan dalam lumbung yang ada
di Pura Banua tersebut. Mungkin karena kurang paham akan makna
jineng atau lumbung itu maka saat rusak tidak lagi diperbaiki
karena saat ini tidak ada lagi orang menyimpan padi dengan cara
tradisi seperti dahulu.
Sesungguhnya adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata
(sekala) dewasa ini. Jineng di Pura Banua itu hendaknya dilihat
dari sudut niskala sebagai simbol sakral. Simbol sakral berupa
jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif
dan hemat kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun
kembali untuk dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual
kepada generasi penerus agar ia bisa hidup produktif dan hemat
sebagai cara membangun hidup yang makmur secara berkelanjutan.
Untuk masyarakat awam ajaran agama yang abstrak itu divisualisasikan
dalam bentuk simbol. Dengan simbol itulah berbagai hal bisa dijelaskan
secara lebih mudah kepada umat kebanyakan. Apa lagi simbol tersebut
terkait dengan pemujaan pada Dewi Sri, Sakti Dewa Wisnu manifestasi
Tuhan sebagai Dewi Kemakmuran. Kehadiran Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran
diwujudkan sebagai Dewi Sri di pelinggih Gedong dan sebagai Dewa
Nini di lumbung pura.
Dewi Sri lambang Tuhan dalam spirit kemakmuran, sedangkan Dewa
Nini dalam wujud kongkretnya. Dewi Sri ibarat jiwa atau Purusa-nya,
sedangkan Arca Dewa Nini sebagai wujud fisik atau Pradana-nya.
Demikianlah dapat diumpamakan. Karena itu Dewa Nini itu disimbolkan
dengan seikat padi. Padi yang dijadikan simbol Dewa Nini itu tentunya
padi dari pilihan yang terbaik sehingga menjadi contoh produksi
untuk diupayakan oleh masyarakat petani mempertahankan kualitas
produknya.
Ini artinya seikat padi terpilih sebagai simbol arca itu, di
samping bermakna sebagai simbol sakral ia juga memiliki nilai
sebagai simbol material untuk dijadikan contoh oleh pada petani
dalam mempertahankan dan mengembangkan kualitas produknya.
Di Pura Banua ini di samping ada Gedong dan Jineng stana Dewi
Sri dan Dewa Nini ada juga Balai Pesamuan yang terletak di sebelah
kiri Gedong Dewi Sri. Balai Pesamuan ini bertiang delapan dan
dibagi menjadi dua bagian yang disekat dengan sebilah papan. Balai
Pesamuan ini sebagai tempat bertemunya para pemimpin masyarakat
Desa Besakih dengan telah ditentukan tempat duduknya masing-masing.
Balai Pesamuan ini sebagai simbol bahwa dalam membangun kehidupan
ekonomi agraris itu tidak bisa para petani berjalan sendiri-sendiri.
Apa lagi kehidupan petani sangat tergantung pada iklim dan musim
yang ditentukan oleh dinamika alam. Para petani harus mendapat
tuntunan dari para akhli dan praktisi astronomi yang dalam ajaran
Weda disebut Jyothisa.
Di samping ditentukan oleh musim bertani itu juga ditentukan
oleh hari baik atau dewasa menanam padi. Yang juga amat menentukan
adalah manajemen irigasi. Hal-hal inilah yang akan menjadi pembahasan
umat petani dalam mengembangkan kemakmuran bersama. Hidup bersama
itu harus dikembangkan berbagai kebijakan melalui suatu musyawarah
agar semua informasi yang ada dapat ditata sesuai dengan fungsi
dan profesi yang dimiliki oleh masyarakat bersangkutan.* i ketut
gobyah
|