Dari Pura
Dalem Puri ke timur dan membelok lagi ke selatan yaitu di
sebelah timur jalan raya, di tempat yang agak terpencil, terletak
Pura Pesimpangan. Piodalannya pada hari Anggara
Keliwon Julungwangi, pura ini merupakan tempat pesimpangan
(singgah) sejenak bila kembali melelasti dari Segara
Kelotok Klungkung.
Pura Pesimpangan berada kurang lebih 2 km di sebelah barat Pura
Penataran Agung Besakih. Bangunan suci atau Pelinggih yang utama
di Pura Pesimpangan ini adalah bangunan suci yang disebut Gedong
Limas Catu. Di samping itu ada satu bangunan yang disebut pepelik
untuk menempatkan sesajen sebagai sarana persembahan umat. Ada
juga bangunan yang disebut bebaturan dan balai yang disebut piyasan
tempat menempatkan sesajen persembahan yang lebih besar.
Di samping itu, ada juga beberapa peninggalan batu yang sulit
dinyatakan bentuknya karena sudah rusak. Batu itu mungkin bentuk-bentuk
sarana pemujaan pada zaman megalitikum atau peninggalan sarana
pemujaan saat Sekte Siwa Pasupata yang lebih eksis sebelum muncul
dan semakin kuatnya Sekte Siwa Sidanta. Meskipun sekte Siwa Pasupata
tidak eksis lagi tetapi para penganut Siwa Sidanta tidak menghilangkan
sarana peninggalan Siwa Pasupata, justru tetap dibuatkan tempat
seperti yang kita jumpai di beberapa bebaturan di berbagai kompleks
Pura Besakih.
Meskipun sarana pemujaan Sekte atau Sampradaya Siwa Pasupata
tidak menjadi unsur utama dalam sistem pemujaan Siwa Sidanta,
tetapi hal itu tetap dihormati tidak dimusnahkan atau tidak diperlakukan
semena-mena saja. Gedong Limas Catu sebagai pelinggih utama di
Pura Pesimpangan berfungsi sebagai ''pesimpangan'' atau stana
sementara Ida Batara di Besakih. Mengapa ada stana sementara?
Dalam kegiatan ritual keagamaan yang bersifat rutin di Pura Besakih
ada kegiatan yang disebut Melasti. Upacara Melasti simbol perjalanan
para dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa itu dilakukan di Besakih
umumnya ke Pura Batu Klotok di pantai selatan Kabupaten Klungkung,
ke Tegal Suci dan ke Toya Sah. Ketiga tempat inilah setiap tahun
dilakukan upacara Melasti.
Saat iring-iringan Melasti itu kembali ke Pura Besakih atau ke
Penataran Agung Besakih tidak langsung menuju Pura Besakih. Iring-iringan
Melasti itu berhenti untuk beberapa jam lamanya di Pura Pesimpangan
ini. Saat berhenti itulah Pelinggih Gedong Limas Catu di Pura
Pesimpangan itu disimbolkan sebagai stana sementara Ida Batara
di Besakih. Kata ''simpang'' berasal dari bahasa Bali yang artinya
singgah.
Jadi, Pura Pesimpangan itu sebagai tempat singgah sementara dari
Ida Batara simbol Tuhan Yang Maha Esa yang dipuja di Pura Penataran
Agung Besakih. Iring-iringan Melasti itu saat kembali ke pelinggih
semula umumnya dipersembahkan beberapa sesaji. Besar kecilnya
sesaji itu tergantung tingkatan upacaranya. Kalau upacaranya besar
maka sesaji untuk kembali berstana di pelinggih asal lebih besar
lagi.
Untuk mempersiapkan sesaji itu membutuhkan waktu yang lama. Karena
itulah iring-iringan Melasti yang kembali itu membutuhkan singgah
untuk berhenti sejenak di Pura Pesimpangan. Zaman dahulu belum
ada alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih seperti
sekarang. Sehingga sulit untuk mengetahui siap dan tidaknya penyambutan
iring-iringan Melasti itu di Pura Besakih.
Yang menjadi tanda bahwa iring-iringan itu sudah dekat dengan
Pura Penataran Agung Besakih adalah suara gong atau gamelan. Konon
iring-iringan Melasti itu kalau sudah sampai di Pura Pesimpangan
suara gongnya sudah kedengaran dengan jelas dari Penataran Agung.
Kalau suara gong sudah terdengar maka segala sesuatu menyangkut
ritual sakral penyambutan kedatangan iring-iringan Melasti itu
sudah dapat mulai dipersiapkan.
Setelah berhenti beberapa jam lamanya di Pura Penataran barulah
iring-iringan Melasti itu berangkat lagi menuju Penataran Agung
Besakih. Begitu iring-iringan itu sampai di Penataran Agung segala
sarana upacara penyambutan sudah siap dilangsungkan.
Yang sangat menarik di Pura Pesimpangan ini adalah bentuk Pelinggih
Limas Catu ini. Di setiap Merajan Gede yang disebut di Gedong
Pertiwi tempat pemujaan leluhur umat Hindu di seluruh Bali umumnya
pada Pelinggih Limas Catu yang dibangun di sebelah kanan Gedong
Pertiwi. Limas Catu itu pun juga sebagai pesimpangan Batara Gunung
Agung di Besakih. Sedangkan sebelah kirinya ada Gedong Limas Mujung
sebagai pesimpangan Ida Batara di Gunung Batur.
Limas Catu dan Limas Mujung wujud umumnya sama tetapi yang berbeda
tutup atapnya di puncak dari bangunan tersebut. Kalau Limas Catu
puncaknya berbentuk kerucut semakin ke atas semakin mengecil yang
dibuat dari ijuk. Sedangkan Limas Mujung puncak atapnya ditutup
dengan topi yang dibuat dari tanah liat beserta hiasannya yang
ada ukirannya.
Pura Besakih dan Pura Batur adalah Pura Kahyangan Jagat yang
tergolong Pura Rwa Bhineda. Fungsi Pura Rwa Bhineda sebagai media
memuja Tuhan untuk memohon keseimbangan hidup lahir dan batin.
Pura Besakih memohon kebahagiaan hidup rohaniah, sedangkan Pura
Batur untuk memohon kesejahteraan hidup lahiriah. Jadinya tujuan
pemujaan leluhur di Merajan Gedong Pertiwi adalah untuk memuja
memohon kepada leluhur agar ikut serta memperkuat pemujaan umat
pada Tuhan untuk membangun kehidupan yang sejahtera lahir batin.
Karena itulah ada Pelinggih Pesimpangan Besakih dan Batur dalam
wujud Limas Catu dan Limas Mujung.
Memperhatikan konsep pemujaan pada Ida Batara di Besakih dapat
dibuat dalam wujud besar, megah dan luas. Pemujaan seperti itu
kedudukannya sebagai pemujaan jagat masyarakat umat Hindu umumnya
tetapi untuk memuja Ida Batara di Besakih dalam keluarga yang
lebih kecil dapat dilakukan dengan cara yang amat sederhana. Di
Merajan Gede di sebelah kanan Gedong Pertiwi umumnya ada Pelinggih
Limas Catu namanya.
Pelinggih inilah sebagai Pelinggih Pesimpangan Ida Batara di
Besakih sebagai Tuhan dalam manifestasi sebagai Batara Siwa. Sarana
pemujaan Tuhan yang ada di mana-mana itu dapat dilakukan dengan
berbagai bentuk seperti dinyatakan dalam petikan Kekawin Dharma
Sunia di atas.
Sumber: Bali Post - PDHB (I Ketut Gobyah)
|