Pura Merajan Slonding
OM Svastyastu,
http://www.balipost.com/balipostcetak/2007/6/6/bd1.htm
Daivadyantam tadiheta.
Pitrayantamna tad bhavet.
Pitradyantam tvihamanah.
Ksipram nasyati sanvayah.
(Manawa Dharmasastra, III.205).
Maksudnya:
Melakukan pemujaan leluhur (upacara Sradha) hendaknya dilakukan
mendahului pemujaan Dewa manifestasi Tuhan. Hendaknya pemujaan
leluhur itu jangan berakhir dengan pemujaan leluhur saja. Kalau
pemujaan leluhur berhenti pada pemujaan leluhur tidak dilanjutkan
dengan pemujaan Dewa, keluarga itu akan cepat hancur bersama keturunannya.
PURA Merajan Slonding tergolong salah satu dari kompleks Pura
Besakih yang memiliki kedudukan yang cukup penting. Pura ini terletak
di sebelah utara Pura Ulun Kulkul atau masyarakat menyebutnya
di sebelah barat Pura Ulun Kulkul. Pura ini tergolong Pura Soring
Ambal-ambal. Pura Merajan Slonding adalah bagian dari Merajannya
Raja Kesari Warma Dewa.
Meskipun seorang raja yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas
di dalam rumah tempat tinggalnya yang disebut istana atau puri
selalu ada juga tempat pemujaan leluhur sang raja sebagai hulu
dari pekarangan purinya. Seorang raja sebagai kesatria memiliki
kewajiban dan tanggung jawab yang amat berat.
Dalam Manawa Dharmasastra I.89 dinyatakan kewajiban raja sebagai
kesatria adalah mengupayakan rasa aman (Raksanam) dan kesejahteraan
(Danam) untuk rakyatnya. Karena itu sebagai kesatria diwajiban
untuk setiap hari mengupayakan melakukan pemujaan kepada leluhur
dan kepada Tuhan, mempelajari Weda, melakukan upacara yadnya dan
mengusahakan pengekangan hawa nafsu (wisayeswaprasaktatih).
Karena demikian beratnya tugas-tugas seorang raja akan Merajan
tersendiri bagi seorang raja tentunya amat dibutuhkan untuk melakukan
kotemplasi spiritual untuk menguatkan diri bagi seorang raja.
Di areal Pura Merajan Slonding inilah tempat Merajan Raja Kesari
Warma Dewa.
Mengapa pura ini disebut Merajan Slonding. Karena di pura ini
sebagai tempat menyimpan suatu alat musik tradisional yang disebut
Slonding. Slonding ini adalah sejenis gamelan Bali yang digunakan
saat ada upacara keagamaan yang penting di pura ini.
Gamelan Slonding ini disimpan di sebuah Pelinggih Gedong Penyimpenan
bertiang enam beratap ijuk. Di Gedong inilah disimpan Gamelan
Slonding, lontar, semua pratima dari semua pura yang tergolong
Soring Ambal-ambal. Di Gedong ini juga disimpan prasasti Bradah.
Sedangkan berbagai busana sakral dengan perlengkapan pura di Soring
Ambal-ambal disimpan di Bale Pengangge.
Di samping itu ada juga Pelinggih Gedong Saraswati bertiang empat
beratap ijuk. Di Pura Merajan Slonding ini disebutkan sebagai
Linggih Ida Ratu Bagus Slonding. Ada juga Balai Piyasan sebagai
tempat mengaturkan sesajen kalau ada upacara besar.
Yang cukup menarik perhatian kita adalah mengapa pratima dan
berbagai perlengkapan sakral dari Pura Soring Ambal-ambal disimpan
di Pura Merajan Slonding. Dari segi praktisnya sepertinya agak
janggal. Karena cukup merepotkan. Mengapa tidak cukup disimpan
di masing-masing pelinggih dari Pura Soring Ambal-ambal tersebut.
Pura Soring Ambal-ambal ini adalah pura sebagai tempat memuja
Tuhan yang memberikan jiwa alam bawah.
Disatukannya pratima dan berbagai sarana sakral tersebut sebagai
suatu simbol bahwa di alam bawah tersebut meskipun Tuhan diberikan
berbagai sebutan yang berbeda-beda namun sumbernya satu yaitu
Tuhan Yang Maha Esa. Berstana Ida Batara Ratu Mas Malilit di Pura
Manik Mas, Ida Batara Ananta Bhoga di Pura Bangun Sakti, Ida Batara
Basukian di Pura Basukian, Ida Batara Naga Raja atau Naga Tiga
di Pura Goa Raja, dstnya.
Sebutan Tuhan sebagai jiwa alam itu hanya untuk mudah membeda-bedakan
fungsi dari sumber alam yang dijiwai oleh Tuhan Yang Maha Esa
tersebut. Karena semua sumber alam tersebut tidak mungkin dapat
berfungsi sebagaimana mestinya tanpa ada kekuatan Tuhan yang memberikan
makna.
Ditempatkannya dalam satu tempat semua pratima dan simbol-simbol
sakral tersebut di Pura Merajan Slonding nampaknya bukan semata
untuk lebih mudah mengamankannya.
Tetapi ada makna lain untuk memberikan motivasi pada sang raja
agar dalam membangun kemakmuran rakyatnya dengan memberikan perhatian
pada unsur-unsur alam yang disimbolkan oleh semua pura di Soring
Ambal-ambal.
Setiap ada upacara di masing-masing Pura Soring Ambal-ambal pratima
dan simbol-simbol sakral itu pasti diambil melalui prosesi ritual
tertentu. Dari Pura Merajan Slonding. Hal ini akan mengingatkan
raja dan rakyat apa makna dari masing-masing pemujaan di setiap
pura di Soring Ambal-ambal tersebut.
Demikian juga saat mengembalikan tersebut sebagai suatu proses
untuk mengingatkan raja dan rakyat secara berulang-ulang apa makna
dari pemujaan tersebut. Dengan cara berulang-ulang itu seyogianya
pemaknaan pemujaan itu lebih dapat diwujudkan dengan lebih nyata
dalam kehidupan sehari-hari, baik oleh sang raja maupun dari rakyat
sendiri.
Demikian juga adanya Gedong Saraswati sebagai suatu sarana untuk
mengingatkan raja dan rakyatnya agar dalam mengelola kehidupan
bersama dalam wadah negara kerajaan senantiasa menggunakan ilmu
pengetahuan suci yang berasal dari ciptaan Tuhan. Weda tersebut
juga ibu atau Weda Mata. Karena dari Weda-lah lahirnya dua macam
ilmu yaitu Para Widya dan Apara Widya.
Para Widya adalah ilmu pengetahuan rohani dan Apara Widya adalah
ilmu pengetahuan duniawi. Dua ilmu atau kalau diterapkan secara
seimbang dan terpadu akan dapat membangun kehidupan yang seimbang
antara kehidupan rohani dan kehidupan duniawi. Seimbangnya kehidupan
rohani dan duniawi itulah yang akan membawa masyarakat bahagia
lahir batin.
* I Ketut Gobyah
Kiriman dari: Putra Semarapura
Source : HDNet
|