http://www.balipost.com/balipostcetak/2007/5/16/bd1.htm
Resi yadnya ngarania kapujan ring sang pandita, muang sang wruh
ring kalingganing dari wwang (Dikutip dari Agastia Parwa).
Maksudnya:
Resi yadnya namanya berbakti pada beliau Sang Pandita dan mereka
yang paham akan hakikat hidup sebagai manusia.
HAKIKAT mengabdi pada kehidupan di dunia ini membutuhkan bimbingan
guru yang sudah mencapai tingkatan hidup Pandita Acarya. Berguru
pada Pandita Acarya itu bukan semata-mata untuk mendalami sastra
kerohanian semata. Demikian juga tujuan belajar bukan semata-mata
mencari keterampilan untuk mencari nafkah.
Tujuan berguru adalah agar memiliki kemampuan untuk menjalani
hidup yang baik dan benar sesuai dengan norma yang ditetapkan
dalam kitab suci. Termasuk di dalamnya berbakti pada guru yang
berjasa memberikan kita ilmu dengan sejujur-jujurnya dan juga
memberi penerangan jiwa sesuai dengan pertumbuhan diri kita masing-masing.
Demikian jugalah Ida Manik Angkeran, putra Mpu Siddhi Mantra
dari Jawa Timur, memiliki tempat pemujaan keluarga di kompleks
Pura Besakih yang disebut Merajan Kanginan. Ida Manik Angkeran
adalah seorang pengabdi yang tulus untuk ikut serta dalam mengeksistensikan
dinamika Pura Besakih sebagai tempat pemujaan umat Hindu di seluruh
Bali.
Sebagai pengabdi yang tulus, Ida Manik Angkeran tentunya mendapat
bimbingan dari para rohaniwan yang sudah sekaliber Pandita Acarya.
Karena itulah di Merajan tempat pemujaan keluarga beliau dibangun
juga Pelinggih Gedong yang khusus untuk memuja Mpu Beradah, salah
satu guru spiritual Ida Manik Angkeran yang telah mencapai status
Pandita Acarya. Merajan ini kemungkinan tidak diberikan sebutan
khusus. Umatlah yang kemudian menyebutnya Merajan Kanginan.
Umumnya umat melihat Merajan Ida Manik Angkeran ini terletak
di sebelah timur Pura Banua tempat
memuja Batara Sri dan juga pusat Jineng atau lumbung umat Hindu
di Bali. Sesungguhnya letak Merajan Kanginan ini adalah agak di
selatan Pura Banua kalau dilihat dengan alat kompas.
Di Merajan Kanginan ini ada sepuluh pelinggih utama dan pelinggih
pelengkap. Lima pelinggih terletak di areal dalam atau jeroan
pura dan lima lagi terletak di areal tengah atau jaba tengah.
Pelinggih di jeroan pura itu ada Pelinggih Balai Pengaruman dan
yang di sebelahnya ada pelinggih yang disebut Gedong Busana di
sudut pura.
Di Pelinggih ini ditempatkan berbagai perlengkapan sakral dari
semua Pelinggih Pura Merajan Kanginan seperti busana dan perlengkapan
lainnya. Di sebelah kiri dari Gedong Busana ini terletak pelinggih
yang disebut Balai Tegeh. Pelinggih Balai Tegeh ini bertiang empat
dan beratap ijuk.
Fungsi utama Pelinggih Balai Tegeh ini adalah sebagai Pelinggih
Batara Tirtha. Umat Hindu di Bali pada zaman dahulu kalau yang
daerahnya diserang hama semut umumnya mohon kekuatan spiritual
dengan mohon Tirtha di Pura Merajan Kanginan ini sebagai sarana
sakral untuk menghilangkan hama semut tersebut.
Di areal dalam atau jeroan pura terdapat Pelinggih Gedong Simpen
yaitu pelinggih dengan tiang empat beratap ijuk sebagai Pelinggih
untuk Mpu Beradah. Mpu Beradah inilah sebagai salah satu Pandita
Acarya dari yang memiliki jasa besar bersama-sama pandita yang
lainnya dalam menanamkan kehidupan beragama Hindu di Bali. Di
areal jeroan juga terdapat pelinggih yang disebut Balai Pengaruman
sebagai tempat menata berbagai keperluan upacara yang bertujuan
untuk menjaga kesucian Pura Merajan Kanginan tersebut.
Di jaba tengah Pura Merajan Kanginan ini terdapat Pelinggih Pelengkap
yaitu ada Balai Paebatan, dapur, Bebaturan, Balai Gong dan Balai
Kulkul. Meskipun semuanya itu sebagai bangunan pelengkap, tetapi
semuanya memiliki nilai yang tinggi sebagai media untuk mengembangan
kehidupan yang berkualitas.
Misalnya ada balai paebatan dan agar dalam menyiapkan berbagai
sarana yang berupa makanan dilakukan dengan sebaik-baiknya. Salah
satu syarat yadnya yang disebut Satvika Yadnya menurut Bhagawad
Gita XVII.13 adalah adanya suguhan makanan yang disebut srsta
annam, artinya makanan yang Satvika.
Dalam tradisi Hindu di India adanya suguhan makanan dalam setiap
ada upacara yadnya disebut anna seva. Karena dalam Manawa Dharmasastra
ada dinyatakan bahwa betapa pun besar dan mahalnya suatu upacara
yadnya kalau ada orang yang kelaparan di sekitar upacara yadnya
tersebut maka yadnya tersebut tidak akan berhasil meraih karunia
Tuhan. Hal inilah yang menyebabkan umat Hindu setiap melangsungkan
upacara yadnya selalu disertai dengan jamuan makanan kepada para
atithi yadnya atau tamu yang hadir diundang dalam upacara yadnya
tersebut.
Adanya dapur dan balai paebatan di pura tersebut untuk menyiapkan
berbagai keperluan upacara yadnya baik sebagai sarana kelengkapan
upacara maupun untuk menjamu para tamu upacara. Tujuan adanya
dapur dan balai paebatan itu untuk menyiapkan agar makanan tersebut
makanan suci atau Satvika Ahara.
Melalui simbol dapur suci dan balai paebatan itu diharapkan umat
agar dalam mencari makanan dan juga menyiapkan makanan menggunakan
cara-cara yang dibenarkan oleh dharma dalam kehidupan sehari-hari.
Bukan hanya saat ada upacara saja umat menyiapkan makanan dengan
cara-cara yang suci, tetapi justru upacara itu sebagai proses
memotivasi umat agar dalam kehidupannya sehari-hari justru selalu
mencari dan juga memilih dan menyiapkan makanan dengan cara-cara
yang suci.
Demikian juga adanya Balai Kulkul dan Balai Gong di pura tersebut
memiliki makna yang dalam juga. Balai Kulkul itu sebagai simbol
untuk mengupayakan terpeliharanya keamanan atau santiraksa. Salah
satu tujuan berbakti pada Tuhan adalah untuk mengembangkan upaya
bersama untuk bisa menciptakan rasa aman dan damai dalam kehidupan
bersama itu.
Dalam Manawa Dharmasastra pun pada Ksatria diwajibkan oleh Hyang
Widhi agar berusaha untuk memberikan rasa aman (Raksanam) dan
sejahtera (Dhanam) kepada masyarakat (Praja). Rasa aman dan sejahtera
dalam masyarakat merupakan kebutuhan hidup yang paling utama dalam
kehidupan di dunia ini.
Demikian juga adanya Balai Gong di Jaba Tengah Pura Merajan Kanginan
ini sebagai simbol adanya keindahan dari seni dalam mewujudkan
ajaran agama. Umat Hindu mengenai ajaran Satyam, Siwam dan Sundaram.
Maksudnya agar umat menggunakan kesenian yang indah itu (Sundaram)
untuk mewujudkan kebenaran (Satyam) dan kesucian (Siwam). Keindahan
seni akan mubazir kalau bukan untuk Satyam dan Siwam.
· I Ketut Gobyah
|