Rekan-rekan sedharma Yth.
Om Swastyastu,
Bulan yll. saya sudah pernah membahas mengenai cuntaka, dan sudah dimuat di Raditya No. 74 September 2003 halaman 87-88, harap dibuka-buka lagi. Untuk orang yang meninggal dunia penjelasannya lebih lengkap, mengacu pada Lontar Catur Cuntaka, dan Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu sebagai berikut:
|
|
-
Bila sudah lama meninggal (lebih dari 42 hari sejak dikubur), lalu akan dibuatkan upacara Pitra Yadnya, maka cuntaka mulai sejak upacara Mejauman, sampai Ngaben. Setelah Ngaben, cuntaka segera berakhir jika sudah ada upacara mecaru di rumah, mabeyakala dan maprayascita bagi seluruh keluarga yang ngaben, sehingga ketika melanjutkan pada upacara Nyekah, Mepaingkup dan Meajar-ajar, sudah tidak cuntaka lagi.
-
Untuk jenazah baru yang di kuburkan, cuntaka dimulai sejak wafatnya keluarga itu (paling jauh sampai mindon) sampai tiga hari setelah dikuburkan. Namun ada juga yang memakai "tradisi" gugon tuwon membebaskan cuntaka lebih dari tiga hari setelah di kubur, misalnya 7 hari, 42 hari dst.
-
Untuk jenazah baru yang dibuatkan upacara "Makingsan ring Gni" cuntaka dimulai sejak wafatnya keluarga itu (paling jauh sampai mindon) sampai selesai pembakaran di setra dan nganyut ke segara, dengan syarat di rumah duka mecaru dan semua keluarga mabeakala dan maprayascita.
-
Untuk jenazah baru yang dibuatkan upacara "Pitra Yadnya", cuntaka dimulai sejak wafatnya keluarga itu (paling jauh sampai mindon) sampai selesai upacara Ngaben, dengan syarat di rumah duka ada upacara mecaru dan semua keluarga mabeakala dan maprayascita.
Jero Mangku dan semua orang yang sudah Mawinten jika memegang jenazah, nyumbah jenazah, atau "kaungkulin" Tirta Pengentas, maka Pawintenannya harus diulang kembali, dengan istilah di Bali disebut "Masepuh" tidak cukup dengan mabeakala, maprayascita, apalagi hanya me-banyuawangan saja.
Sekarang bagaimana halnya kalau yang meninggal itu kakak/ ayah/ ibu/ kakek/ nenek dari mereka yang mawinten, apakah juga yang mawinten tidak boleh nyumbah atau memegang (apalagi memandikan) jenazahnya? Jawabannya tegas: TIDAK BOLEH. Karena Jero Mangku sudah menjadi TAPAKAN WIDHI.
Apakah ia tidak berdosa atau kurang bhakti kepada yang lebih tua? Jawabannya: TIDAK, karena:
-
Sebelum dia mawinten dia harus "Nyumbah" dahulu semua kakak/ ayah/ ibu/ kakek/ nenek/ dll. Jadi ketika mereka meninggal dunia, Jero Mangku sudah tidak berhutang sumbah.
-
Ada jalan lain jika yang nomor 1 belum dilaksanakan, yaitu "mesatia rambut" di mana Jero Mangku menggunduli seluruh rambut kepalanya jadi plontos ("amundi"). Rambut itu di bungkus dengan kain putih, diberikan "kwangen" dengan uang 11 kepeng, lalu di letakkan di dada jenazah, ketika selesai "nyiramang layon" (memandikan jenazah). Rambut itu terus di"lelet" (bungkus) bersama jenazah, menyatu.
Upacara pensucian keluarga untuk kasus jenazah yang ditanam di kuburan seperti yang dikemukakan di atas, dengan mecaru, mabeakala, maprayascita adalah tiga hari setelah di kubur. Sekali lagi tidak cukup hanya dengan ma-banyuawangan saja.
Mebanyuawangan itu hanya bagi orang lain (pelayat) yang bukan keluarga (sampai mindon) dilakukan segera setelah pulang melayat. Jika jenazahnya bermalam tujuh hari (misalnya) dan setiap hari anda (bukan keluarga) ngeleyat maka setiap hari pulang dari ngelayat anda harus mebanyuawangan. "Banyu" artinya air, dan "awang" artinya pengentas kesucian. Jadi Banyuawang adalah tirta yang diperoleh dari air kelapa gading muda (klungah) diisi dengan tepung tawar: semacam banten kecil terdiri dari unsur-unsur: arang jaja uli, beras putih, beras merah, daun dapdap diiris-iris, kemudian ada "lis" dari "jejahitan" daun kelapa muda.
|
"Mindon" artinya anak-anak dari Bapak/ Ibu yang "memisan" (bersepupu). Jadi kalau Bapak/ Ibunya bersepupu dengan Bapak/ Ibu lain, maka anak-anaknya ini namanya "mindon". Itulah batasan cuntaka dalam lingkup keluarga. Namun walaupun ia sudah lebih dari memindon jika ia turut aktif dalam upacara kematian maka dia terkena cuntaka. Sebaliknya jika ia lebih dari hubungan mindon dengan "sang lina" (almarhum), karena tempatnya jauh, tidak sempat pulang/ ketemu, walaupun "tunggal dadia" (ada dalam satu kekerabatan Sanggah Pamerajan), maka dia TIDAK terkena cuntaka.
Apa sudah jelas? Atau malah makin bingung? Nah jika makin bingung tanya lagi, atau baca lagi berkali-kali. Jangan putus asa atau mundur. Makin banyak kita belajar rasanya makin bodoh. Logikanya makin banyak kita belajar, baru kita tahu bahwa Ilmu itu begitu luasnya, sedangkan yang kita kuasai ibarat sebutir pasir dari samudra. Itulah Weda.
Wejangan Nabe saya, andaikan anda reinkarnasi ke dunia sampai 20 kali, dan setiap kali reinkarnasi anda belajar Weda dengan tekun, belum tentu anda bisa menguasai Weda seluruhnya dengan sempurna, karena Weda itu ibarat mutiara yang terlepas dari untaiannya, kita harus mencari, mencari, mencari, mencari terus, jangan berhenti belajar selama hayat dikandung badan.
Om Santi, Santi, Santi, Om....
|