Yang mengajarkan pendirian Kahyangan Tiga di
setiap desa pakraman adalah Mpu Kuturan kira-kira pada abad
ke-11. Pada abad tersebut yang menjadi raja di Bali adalah Raja
Udayana yang didampingi oleh permaisurinya dari Jawa bernama
Mahendradatta dengan gelar Gunapriya Dharma Patni.
Gagasan Mpu Kuturan mendirikan Kahyangan Tiga
di setiap desa pakraman itu diperkirakan muncul saat ada pesamuan
besar di Pura Samuan Tiga sekarang yang terletak di Desa Bedulu
Kabupaten Gianyar. Ada berbagai pendapat tentang pesamuan agung
tersebut. Ada yang menyatakan bahwa pesamuan di Samuan Tiga
itu untuk menyatukan sekte-sekte Hindu yang pecah belah pada
saat itu. Tetapi banyak guru besar arkeologi yang menyatakan
tidak menjumpai bukti-bukti yang mengandung nilai sejarah yang
menyatakan bahwa zaman tersebut sekte-sekte Hindu yang ada pecah
belah.
Raja Udayana dan permaisurinya saja saat itu
beda sekte keagamaannya. Raja Udayana menganut Buddha Mahayana,
sedangkan permaisurinya menganut sekte Siwa Pasupata. Pesamuan
tersebut nampaknya untuk menetapkan kebijaksanaan dalam meningkatkan
daya spiritual masyarakat Bali untuk membangun kehidupan yang
sejahtera lahir batin. Karena pendirian Kahyang Tiga di setiap
desa pakraman itu untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai
Tri Murti sebagaimana dinyatakan dalam Pustaka Bhuana Kosa III.
76.
Tuhanlah yang menciptakan (utpati), melindungi
(sthiti) dan mempralayakan (pralaya atau pralina) semua ciptaan-Nya.
Kemahakuasaan Tuhan untuk melakukan Utpati, Sthiti dan Pralina
ini disebut Tri Kona (dengan lambang Lukisan Segi Tiga, lambang
siclus Utpati, Sthiti, Pralina). Dengan pemujaan Tuhan Siwa
sebagai Tri Murti mengandung dua konsep pembinaan kehidupan
spiritual, yaitu konsep
Tri Kona dan Tri Guna.
Dalam Bhagawata Purana dinyatakan ada tiga
kelompok Maha Purana. Ada Satvika Purana dengan Ista Dewatanya
Dewa Wisnu. Ada Rajasika Purana dengan Dewa Brahma sebagai Ista
Dewatanya dan ada Tamasika Purana dengan Dewa Siwa sebagai Ista
Dewatanya. Dengan demikian Tri Murti menurut Bhagawata Purana
adalah Brahma, Wisnu dan Siwa sebagai Guna Awatara. Artinya
Tuhan-lah yang menjadi sumber pengendali tertinggi tiga dasar
sifat manusia yang disebut Tri Guna itu.
Pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti di setiap
desa pakraman di Bali sebagai media sakral untuk menerapkan
konsep untuk menguatkan kehidupan spiritual. Penguatan kehidupan
spiritual melalui penguatan sistem pemujaan pada Tuhan, agar
umat hidupnya terarah dalam mengarungi dinamika kehidupan di
dunia ini.
Untuk mewujudkan empat tujuan hidup mencapai
Dharma, Artha, Kama dan Moksha minimal ada dua konsep hidup
yang harus dijadikan pegangan untuk mengarahkan dinamika hidup
di tingkat desa pakraman.
Dua konsep itu adalah Tri Kona dan Tri Guna.
Dua konsep spiritual tersebut akan membina
kehidupan di desa pakraman untuk menuntun umat mewujudkan empat
tujuan hidup tersebut sesuai dengan tahapan hidup yang disebut
Catur Asrama. Tri Kona sebagai kemahakuasaan Tuhan dijadikan
sumber tuntunan tertinggi dalam melakukan tiga dinamika hidup
tersebut. Artinya manusia hendaknya menjadikan konsep Tri Kona
itu sebagai guide line dalam berperilaku mencipta (utpati),
memelihara (sthiti) dan meniadakan (pralina) untuk menegakkan
kehidupan yang benar, suci dan harmonis (Satyam, Siwam dan Sundharam).
Ciri hidup yang baik dan benar itu adalah melakukan
kreativitas untuk menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan.
Hal inilah yang disebut Utpati atau Sthiti. Selanjutnya kreatif
untuk memelihara sesuatu yang sepatutnya dipelihara atau Utpati.
Dalam kehidupan ini ada hal-hal yang memang seyogianya ditiadakan
agar dinamika hidup ini dengan laju menuju kehidupan yang Jana
Hita dan Jagat Hita. Jana Hita artinya kebahagiaan secara individu
dan Jagat Hita adalah kebahagiaan secara bersama-sama. Inilah
yang seyogianya yang dikembangkan oleh umat di desa pakraman.
Melaksanakan ajaran Tri Kona tersebut tidaklah semudah teorinya.
Karena itu dalam melakukan upaya penciptaan agar upaya tersebut
benar-benar berguna dalam kehidupan ini membutuhkan tuntunan
spiritual dengan memuja Batara Brahmana di Pura Desa sebagai
unsur Kahyangan Tiga di desa pakraman.
Demikian juga untuk memelihara dan melindungi
sesuatu yang baik dan benar yang sepatutnya dilindungi tidaklah
mudah. Melakukan upaya Sthiti ini juga dibutuhkan daya spiritual
dengan memuja Tuhan sebagai Batara Wisnu. Dalam hidup juga banyak
adanya sesuatu yang menghalangi proses hidup menuju dharma.
Untuk meniadakan sesuatu yang sepatutnya ditiadakan juga membutuhkan
daya spiritual yang kuat. Untuk menguatkan daya spiritual untuk
melakukan Pralina itulah Tuhan dipuja sebagai Rudra atau Batara
Siwa.
Dinamika hidup dengan landasan Tri Kona inilah
yang dapat menciptakan suasana hidup yang dinamis, harmonis
dan produktif dalam arti spiritual dan material secara berkesinambungan.
Dari konsep Tri Kona ini sesungguhnya dapat dikembangkan menjadi
berbagai kebijakan di desa pakraman. Betapa pun maju suatu zaman
yakinlah dapat dikendalikan dengan konsep Tri Kona. Dengan konsep
Tri Kona ini desa pakraman tidak akan pernah kehilangan jati
dirinya sebagai lembaga umat Hindu khas Bali. Kemajuan zaman
justru akan menguatkan jati diri kehidupan di desa pakraman.
Karena itu pertahankanlah adat-istiadat. Adat-istiadat itu buatan
manusia sebagai sarana menjalankan ajaran agama. Ibarat kendaraan
yang memiliki batas waktu. Ada saatnya sarana itu baik karena
masih baru, ada masa tuanya dan ada masanya berakhir. Ciptakan
adat-istiadat yang tetap dibutuhkan zaman, adat-istiadat yang
masih baik dan benar akan terus dipelihara dan dipertahankan.
Sedangkan adat-istiadat yang sudah usang ketinggalan zaman hendaknya
ditinggalkan secara suka rela. Kalau adat-istiadat yang sudah
usang karena bertentangan dengan kebenaran dan kemanusiaan agar
ditinggalkan dengan cara-cara yang baik dan benar juga.
Pemujaan Tuhan di Pura Kahyangan Tiga di desa
pakraman juga untuk membina tiga dasar sifat manusia yang disebut
Tri Guna. Kalau komposisi Tri Guna tidak ideal maka dari Tri
Guna itulah akan muncul sifat-sifat yang tidak sesuai dengan
dharma. Dalam Wrehaspati Tattwa 21 dinyatakan bahwa Guna Sattwam
dan Guna Rajah hendaknya seimbang menguasai Citta atau alam
pikiran. Guna Sattwam menguatkan manusia untuk mengembangkan
niat dan tekad mulia untuk berbuat baik berdasarkan dharma.
Sedangkan Guna Rajah yang kuat seimbang dengan Guna Sattwam
akan membangun kemampuan untuk mewujudkan niat dalam perbuatan
nyata. Dalam sastra Hindu banyak sekali ajaran untuk membangun
keseimbangan Guna Sattwam dan Guna Rajah. Pengamalan ajaran
Hindu tersebutlah yang semestinya diprogramkan oleh desa pakraman
dalam membina umat menjadi SDM yang baik. |