5 Okt 2003
|
Rekan sedharma Yth.,
Om Swastyastu,
Kertas Ulantaga memang diimport dari Cina, dibuat dari bahan sejenis bambu yang hanya tumbuh di Cina. Mengapa harus memakai Ulantaga, tidak ada sumber sastra yang saya temukan. Lontar-lontar seperti Yama Purana Tattwa tidak menyebutkan "kenapa" tetapi hanya mengatakan "harus menggunakan". Demikian juga mengenai penggunaan "pis bolong" dari Cina. Hanya saja untuk penggunaan pis bolong sudah ada keputusan Paruman Sulinggih yang dituangkan dalam Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, bahwa pis bolong bisa diganti dengan uang Rupiah resmi yang berlaku sekarang, misalnya dengan uang logam. Jadi jika dalam lontar disebut menggunakan "pis bolong solas keteng" maka kita dapat menggunakan uang logam pecahan Rp.100,-- atau lebih sebanyak 11 biji. Jika tidak punya uang logam apa bisa pakai uang kertas?
Nah ini dalam Kesatuan Tafsir tidak disebutkan dengan jelas. Jadi gunakan "wiweka" (kebijaksanaan). Penggunaan uang logam maksudnya agar awet dan tidak gampang rusak. Mengenai penggantian Ulantaga dengan kertas tik biasa yang tipis sudah sering saya lihat digunakan oleh beberapa Sulinggih, namun saya pribadi belum berani menggikuti seperti itu karena belum ada acuan resmi dari Paruman Sulinggih yang disyahkan PHDI. Jadi saya masih tetap menggunakan Ulantaga, walaupun potongannya di perkecil untuk menghemat biaya. Harga selembar Ulantaga ukuran 30 x 30 Cm sekarang di Pasar Badung +/ - Rp. 75.000,-
Mengapa Ulantaga belum diganti dengan kertas tik biasa, saya "menduga" bahwa Paruman Sulinggih yakin bahwa kertas ulantaga itu masih ada pabriknya di Cina, sedangkan pis bolong sudah tidak di produksi lagi di Cina.
Om Santi, Santi, Santi, Om....
|
|