Padmasana berasal dari Bahasa Kawi, menurut Kamus Kawi-Indonesia yang disusun oleh Prof. Drs. S. Wojowasito (Penerbit CV Pengarang, Malang, 1977) terdiri dari dua kata yaitu: "Padma" artinya bunga teratai, atau bathin, atau pusat. "Sana" artinya sikap duduk, atau tuntunan, atau nasehat, atau perintah. Dengan demikian Padmasana adalah symbol yang menggambarkan kedudukan Hyang Widhi sebagai bunga teratai, atau dapat juga dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan bathin atau pusat konsentrasi. Bunga teratai dipilih sebagai symbol yang tepat menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi unsur-unsur:
1 |
Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan Horizontal:
Barat Laut (Wayabya)
|
sebagai Sangkara
|
|
|
Utara (Uttara)
|
sebagai Wisnu
|
|
|
Timur Laut (Airsanya)
|
sebagai Sambhu
|
|
|
|
|
|
|
Barat (Pascima)
|
sebagai Mahadewa
|
|
|
|
|
Timur (Purwa)
|
sebagai Ishwara
|
|
|
|
|
|
|
Barat Daya (Nairity)
|
sebagai Rudra
|
|
|
Selatan (Daksina)
|
sebagai Brahma
|
|
|
Tenggara (Aghneya)
|
sebagai Mahesora
|
|
|
2 |
Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan symbol kedudukan Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai: Siwa (adasthasana/ dasar), Sadasiwa (madyasana/ tengah) dan Paramasiwa (agrasana/ puncak)
|
3 |
Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/ lumpur disebut pertiwi, air disebut apah, dan udara disebut akasa. Bunga teratai merupakan sarana utama dalam upacara-upacara Panca Yadnya dan juga digunakan oleh Pandita-Pandita ketika melakukan surya sewana. |
Menurut Lontar "Dwijendra Tattwa", pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, atau nama (bhiseka) lain beliau: Mpu Nirartha atau Danghyang Nirartha. Berdasarkan wahyu yang diterima beliau di pantai Purancak (Jembrana) ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bali setelah menyeberang dari Jawa Timur di abad ke-14, penduduk Bali perlu dianjurkan membangun pelinggih Padmasana.
Sebelum kedatangan beliau, agama Hindu di Bali telah berkembang dengan baik di mana penduduk memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya secara horizontal. Ajaran itu diterima dari para Maha Rsi yang datang ke Bali sejak abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Danghyang Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah. Bentuk-bentuk pelinggih sebagai symbol/ niyasa ketika itu hanya: meru tumpang tiga, Kemulan rong tiga, bebaturan, dan gedong.
Wahyu yang diterima oleh Danghyang Nirartha untuk menganjurkan penduduk Bali menambah bentuk palinggih berupa Padmasana menyempurnakan symbol/ niyasa yang mewujudkan Hyang Widhi secara lengkap, baik ditinjau dari konsep horizontal maupun vertikal.
(bersambung)
|