http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/1/19/pot1.html
BABAD merupakan historiografi tradisional. Sebagai sumber sejarah, babad tidak bisa diabaikan dalam penulisan sejarah lokal maupun nasional. Hampir semua etnis atau suku bangsa di Indonesia memiliki sejarah tradisional sejenis babad, misalnya di Jawa, Bali dan Lombok -- dari Babad Dalem, Babad Buleleng, Babad Blahbatuh, Babad Tanah Jawi, sampai Babad Lombok. Pengkajian bangsa Belanda terhadap babad, pada tahap awalnya hanya ditekankan pada telaah teks dari sudut filologi, dengan demikian babad dipandang sebagai bentuk sastra sejarah (Siti Baroroh Baried, dkk., 1994). Perhatian terhadap penerbitan naskah berupa babad telah mendapat perhatian yang cukup serius dari lembaga pernaskahan, Ecole Francaise d'extreme-Orient yang telah menerbitkan naskah-naskah babad seperti Babad Wilis (1980), Les Pande de Bali (1987) dan Babad Blambangan (1995). Penyalinan naskah babad di Bali merupakan tradisi masyarakat Bali dari generasi ke generasi. Walaupun begitu, sesuai teori sejarah, perjalanannya mengalami kontinuitas dan diskontinuitas, ada yang berlangsung sepanjang yang dikehendaki oleh pendukungnya, ada pula yang mengalami perubahan karena tidak sesuai dengan keadaan zaman. Lalu bagaimana dengan penulisan babad di masa kini serta apa fungsinya? Berikut wawancara Bali Post bersama pakar babad Jro Mangku Gde Ktut Soebandi. Wawancara ini juga disiarkan di Radio Global FM, Sabtu (18/1) kemarin.
SEJAK kapan Anda tertarik dengan babad?
Ketika saya sekolah di Bangli, raja Bangli Ida Anak Agung Ktut Ngurah membentuk semacam pesantian. Anggotanya antara lain Ida Pedanda Made Sidemen, Guru Ketut Sukrata, I Dewa Gede Tegeh, Ida Bagus Kaler, Ida Bagus Oka dan banyak lainnya mulai tahun 1938-1942. Setiap malam, terutama pada hari Sabtu makakawin kita lakukan hingga pukul 3 pagi. Hari biasa sampai pkl. 24. Yang ikut dalam acara itu bukan hanya dari Bangli walaupun transport sulit. Guru Sukrata adalah penilik sekolah dari Klungkung, ada pula yang berasal dari Singaraja. Kebetulan pada waktu beliau membaca lontar, banyak kata-kata sulit yang tidak dimengerti. Raja Bangli, Ida Anak Agung Ktut Ngurah punya empat buku yang berbahasa Belanda yang di dalamnya memakai bahasa Belanda, Melayu, Sansekerta dan Bali. Saya kebetulan ditugaskan oleh beliau untuk mencari kata-kata sulit ini. Itu saya lakukan hampir setiap hari dari sore hingga malam sampai saya payah.
Di samping itu, oleh raja saya ditugaskan untuk menyalin beberapa lontar yang dari tembaga, lontar ke buku. Saya waktu itu merasa kurang senang, maklum masih muda dan masih sekolah. Umur saya waktu itu sekitar 14 tahun. Akhirnya setiap kali menulis lontar dari tembaga ke buku, saya buatkan duplikatnya dengan memakai karbon. Nulis Bali memang sulit, apalagi tidak ada mesin ketik. Satu lontar saya kerjakan paling cepat tiga bulan. Awalnya memang saya kurang tertarik dengan bidang ini, namun ketika saya tua barulah tertarik. Saya dituduh oleh keluarga sebagai orang yang kurang aktif di bidang agama. Memang saya akui. Akhirnya, setelah saya tua, salinan lontar itu saya kumpulkan kembali dan saya ketik lagi dengan huruf Latin sebab kertas yang saya gunakan sudah rusak. Lalu saya susun sesuai dengan komposisinya semula, misalnya babad keluarga, sejarah pura, catatan upacara dan sebagainya.
Rupanya seperti peribahasa mengatakan, manusia boleh berbuat, Tuhanlah yang menentukan. Sehingga waktu alm. Tjokorda Rai Dherana (bupati Gianyar) menanyakan pada saya, kok aneh, Jro ini sekolah pertanian, jadi polisi, sekarang kok tertarik babad? Lalu saya katakan, itu begini Tjok, kalau itu dibicarakan alasannya selama 7 tahun pun tidak selesai. Yang pasti, manusia boleh berbuat, Tuhan yang menentukan. Sama halnya dengan mati hidup itu hanya Tuhan yang menentukan. Akhirnya memang banyak yang tertarik dengan babad, banyak yang menanyakannya. Sekarang pun saya aktif mengisi acara tentang babad di Radio Genta FM setiap Senin. Di harian Denpost juga saya mengasuh rubrik konsultasi.
Lantas, apakah sudah ada kaderisasi?
Saya pernah ditanya sama seorang dosen, sudah kaderisasi atau belum? Saya jawab, ini bukan seperti partai. Ini kehendak dari atas. Walaupun kita pelajari, namun jika dari atas tidak menghendaki, itu tidak mungkin. Kenyataannya, banyak dari beberapa pihak yang ikut penyuluhan, ada juga yang mempelajarinya tahunan, namun ia sendiri merasa jemu. Sebab tidak "masuk". Itulah sebabnya saya utarakan bahwa ini bukan seperti kaderisasi partai. Nantinya akan ada yang mewarisinya. Namun hingga sekarang saya belum temukan.
Apakah harus memiliki pengalaman religius magis untuk dapat mewarisi ilmu itu?
Saya tidak punya pengalaman itu. Kalau menyusun suatu naskah, saya tidak memakai konsep, langsung diketik. Akhirnya setelah saya dapatkan sekian halaman, kalau macet, saya berhenti. Oleh karena itu memang tidak bisa dipelajari karena merupakan petunjuk dari sana. Misalnya kalau ada orang yang berkonsultasi dengan saya, saya tidak mengambil cacatan, namun itulah peristiwa yang dialaminya. Caranya hanyalah menghubungi leluhur orang tersebut. Misalnya, ibu Megawati pernah mengirimkan utusannya ke mari.
Orang-orang kan sering riak jalan pikirannya, kalau sudah kaya sudah lupa. Tidak boleh begitu, sebab dalam hidup ini harus ada imbangannya. Ibarat kendaraan, ban keduanya harus pas. Walaupun mesinnya bagus dan baik, tapi kalau bannya kempes, maka mobil itu tidak mungkin jalan dengan baik. Nah, kita hidup di dunia ini kan banyak kesalahan. Maka saya anggap ini kredit poin. Dalam hidup ini saya anggap banyak salah, sehingga dengan memperdalam babad ini, para leluhur akan memberikan jalan yang lebih baik. Itulah sebabnya sering saya serukan, bagi mereka yang merasa bersalah, sebaiknya menyerah pada polisi. Kalau di dunia fana ini ada hari Nyepi, Natal, Idul Fitri atau tahun baru dapat pengurangan tahanan, namun di dunia sana saya belum pernah dengar pengurangan kesalahan itu -- di neraka maupun surga. Nah, daripada begitu, kan lebih baik di dunia fana ini kita menyerahkan diri jika ada kesalahan.
Anda tadi katakan pernah macet ketika menulis babad, lalu bagaimana?
Saya tunggu hingga inspirasi itu muncul. Makanya sering pkl. 3 pagi saya terbangun dan langsung mengetik. Pokoknya kalau ketemu begini, ya tulis. Makanya, kadang-kadang saya mengetik sepanjang hari sampai nggak mandi karena kebetulan dapat petunjuk. Karenanya, saya tidak pernah berani berjanji pada orang, kapan menyelesaikan penulisan babad itu.
Apakah babad berlaku hanya untuk orang Bali?
Bukan. Saya temukan di Jawa banyak babad, misalnya pelantikan Sri Sultan, pelantikan patih Gajah Mada, gempa bumi, jatuhnya kerajaan Majapahit, berdirinya kerajaan Panjalu, semuanya disebutkan dalam babad. Cuma persoalannya, babad di Bali lebih dikenal. Semua peristiwa harus ada babad. Itulah sebabnya dalam sarasehan Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun 2000 saya diminta Gubernur untuk menjelaskan bahwa babad adalah sumber sejarah untuk mengenal jati diri yang sesungguhnya sebagai berkat bangsa. Kalau kita tidak tahu sejarah, lalu bagaimana?
Apa fungsi babad untuk keluarga?
Fungsinya jelas sekali. Sebab dalam babad itu ada prasasti dan prekempa rajapurana yang ada petunjuk dari leluhur. Di situ antara lain disebutkan, nantinya kalau kamu lupa lewat dari 10 odalan tidak menyembah kepada aku, mudah-mudahan hidupmu tidak menentu, banyak halangan. Ada begini, ada begitu. Sugih gawe kurang pangan. Bagaimana pun kayanya, apa pun jabatannya, saya buktikan. Baru-baru ini datang pejabat dari Jakarta yang masa kecilnya di Jawa, setelah berkonsultasi, ternyata leluhurnya dari Bali. Sekarang keturunan yang di Jawa agamanya Islam dan sudah tidak tahu kawitan-nya lagi. Tetapi bagaimana pun Islam tetap menyembah pada leluhur. Istri saya juga orang Jawa. Makanya setiap hari raya Idul Fitri, ia mengadakan syukuran atau nyekar ke kuburan. Kalau ini tidak dilaksanakan, terkutuk dia. Mantu saya yang Kristen juga membawa sodan ke kuburan orangtuanya berupa kopi, nasi, jajan dan sebagainya. Tujuannya untuk menghubungkan diri dengan leluhur. Orang Hindu ke merajan bawa canang untuk menghubungkan diri dengan leluhurnya. Oleh karenanya, masalah leluhur tidak bisa dikaitkan dengan agama apa pun. Misalnya, istri saya sudah berpindah agama ke Hindu, apakah ia tidak boleh menyembah leluhurnya? Kan keliru. Jadi bagi saya no problem, apa pun agamanya.
Dalam mempelajari babad harus ada studi banding, mengapa?
Ya, saya biasa begitu. Babad di Bali itu kebanyakan omong kosong. Kadang-kadang enggak benar karena dasar hukum di Bali adalah monopoli atau feodal/ fanatik, seolah-olah mereka lebih dari yang lain. Sesungguhnya mereka satu keturunan. Cuma karena gelarnya berbeda, ada Anak Agung, Gusti Agung, Gusti, Nanang, Wayan, seolah-olah mereka bukan satu keturunan. Yang kita cari sekarang adalah leluhur, bukan gelar. Oleh karena itu, di pura kawitan, merajan, pedarman, akan bertemu dengan orang-orang yang berbeda gelar, bukan berbeda leluhur.
Tetapi kita tahu kasta masih kuat di masyarakat, bagaimana?
Menurut Hindu tidak ada ajaran kasta. Yang disebut sudra adalah orang-orang yang tidak boleh potong gigi, tidak boleh potong rambut, tidak boleh sekolah. Tetapi lihat, sekarang di Unud, dosennya 1.600 tidak lebih dari 100 dosennya yang mengaku berkasta. Oleh karenanya di Bali tidak ada sudra, yang ada jaba atau di luar. Para sulinggih tinggal di griya, namun anaknya tidak boleh menyebut griya. Jangan pengertian itu atas dasar kepentingan kelompok, memang kita tahu mereka tidak mudah menyerah. Di Bali ada istilah cakraning gilingan atau berputarnya roda. Apakah ia tetap di atas? Apakah semua bupati keluarga raja?
* Pewawancara: Asti Musman
|
Nama |
Jro Mangku Gde Ktut Soebandi |
Tempat/ tgl lahir |
Abangsongan, Kintamani, 1 Juni 1926 |
Nama istri |
Rohma |
Nama anak |
- Made Susilawati
- Komang Rai Sujaka, S.H.
- Drs. Wayan Java Dwipa
- Made Tri Juli Astuti
- Nyoman Yani Sundari
- Ketut Oka Janna Uttama, S.H.
- Putu Gde Patra Tisna, S.H.
|
Pendidikan |
- Vervolgschool (Sekolah Dasar)
- Landbouw School (Pertanian)
- Sekolah Komandan Polisi
- Sekolah Polisi Negara
|
Jabatan |
- Kepala Cabang Mitsubitshi Kaisa (perusahaan penanaman kapas & rami).
- Polisi di Bangli
- Polisi di Kapeda Bali (Kepolisian Daerah Bali)
- Polisi di Kapekom (Kepolisian Komisariat Bali, kini Polda Nusa Tenggara)
- 1 Juli 1981, pensiun dengan pangkat Letnan Kolonel Polisi
|
|