Rekan-rekan sedharma Yth.
Om Swastyastu,
Saya sudah lama berpikir bahwa banten-banten yang digunakan dalam ritual/upacara di Bali itu: terlalu banyak, terlalu mahal, terlalu sulit dan ..........sia-sia. Kalau banyak, mahal dan sulit tidak perlu dijelaskan karena rekan-rekan sudah mengerti. Tetapi yang saya berani katakan sia-sia karena:
-
Yang melakukan upacara tidak tahu arti dan makna banten.
-
Lungsuran (prasadam) banyak yang tidak bisa dimakan, misalnya buah-buahan yang busuk, jajan yang "piing", nasi/ tumpeng yang "oongan", sate, ayam panggang dan itik panggang yang setengah matang dan sudah bau busuk.
-
Bunga-bungaan, janur "jejahitan" banyak yang sudah layu bahkan kering.
- Mantram/ Puja yang diucapkan para Pandita/ Sulinggih ada yang tidak sesuai dengan tujuan upacara dan jenis banten yang disajikan.
Berbagai terobosan telah saya lakukan dalam memimpin upacara ("muput") dengan prinsip: Satvika, hemat/ murah, sederhana, namun segar. Di Buleleng sudah banyak yang mengikuti saya, tetapi masih ada juga yang "gugon tuwon" mule keto, nak keto dapet, dll. Biar saja dahulu, jangan dipaksakan secara drastis, nanti lama-lama mereka akan sadar karena saya terus-menerus memberikan dharmawacana.
Saya mencoba menyusun jenis banten yang sederhana, memenuhi tattwa, dan murah dari semua Panca Yadnya dalam sebuah buku yang berjudul: Upakara, Upacara dan Yadnya. Ternyata buku yang lengkap itu sangat tebal, karenanya saya resume menjadi lebih sistematis. Jika anda mau, resumenya saya kirimkan, berikan alamat pos anda yang benar. Dalam resume itu hanya disebutkan nama bantennya saja.
Om Santi, Santi, Santi, Om....
|