|
Penduduk asli yang mendiami India sekarang
bermukim di daerah dataran tinggi Dekkan. Kehidupannya masih
sangat sederhana.
Bangsa Dravida berasal dari daerah Asia Tengah (Baltic)
masuk ke India dan mendiami daerah sepanjang sungai Sindhu
yang subur. Kebudayaan mereka lebih tinggi dari penduduk
asli. Bangsa Arya juga berasal dari daerah sekitar Asia
Tengah, menyebar memasuki daerah- daerah Iran (Persia),
Mesopotamia, dan juga masuk ke daerah Eropa. Yang sampai
masuk ke India adalah merupakan bagian dari yang pernah
masuk ke Iran. Mereka masuk ke India dalam dua tahap di
dua tempat yang berbeda. Pertama mereka masuk di daerah
Punjab yaitu daerah lima aliran anak sungai yang disambut
dengan peperangan oleh bangsa Dravida yang sudah lebih dulu
bermukim di sana. Karena bangsa Arya lebih maju dan lebih
kuat, Bangsa Dravida dapat dikalahkan. Tahap kedua Bangsa
Arya masuk ke India melalui daerah dua aliran sungai yaitu
lembah sungai Gangga dan lembah sungai Yamuna, daerah ini
dikenal dengan nama daerah Doab. Kedatangan mereka tidak
disambut peperangan, bahkan kemudian terjadi percampuran
melalui perkawinan. Bangsa- bangsa inilah yang menjadi nenek
moyang bangsa India sekarang.
|
|
Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan
pada awal Tarikh Masehi, dibawa oleh para Musafir dari India
antara lain: Maha Resi Agastya yang di Jawa terkenal dengan
sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para Musafir
dari Tiongkok yakni Musafir Budha Pahyien. Kedua tokoh besar
ini mengadakan perjalanan keliling Nusantara menyebarkan
Dharma. Bukti- bukti peninggalan ini sangat banyak berupa
sisa- sisa kerajaan Hindu seperti Kerajaan Tarumanegara
dengan rajanya Purnawarman di Jawa Barat.
Kerajaan Kutai dengan rajanya Mulawarman di Kalimantan Timur,
Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah dengan rajanya Sanjaya,
Kerajaan Singosari dengan rajanya Kertanegara dan Kerajaan
Majapahit di Jawa Timur, begitu juga kerajaan Watu Renggong
di Bali, Kerajaan Udayana, dan masih banyak lagi peninggalan
Hindu tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Raja- raja
Hindu ini dengan para alim ulamanya sangat besar pengaruhnya
dalam perkembangan agama, seni dan budaya, serta kesusasteraan
pada masa itu. Sebagai contoh candi- candi yang bertebaran
di Jawa di antaranya Candi Prambanan, Borobudur, Penataran,
dan lain- lain, pura- pura di Bali dan Lombok, Yupa- yupa
di Kalimantan, maupun arca- arca dan prasasti yang ditemukan
hampir di seluruh Nusantara ini adalah bukti- bukti nyata
sampai saat ini. Kesusasteraan Ramayana, Mahabarata, Arjuna
Wiwaha, Sutasoma (karangan Empu Tantular yang di dalamnya
terdapat sloka "Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma
mangrwa") adalah merupakan warisan- warisan yang sangat
luhur bagi umat selanjutnya. Agama adalah sangat menentukan
corak kehidupan masyarakat waktu itu maupun sistem pemerintahan
yang berlaku; hal ini dapat dilihat pada sekelumit perkembangan
kerajaan Majapahit.
Raden Wijaya sebagai pendiri kerajaan Majapahit menerapkan
sistem keagamaan secara dominan yang mewarnai kehidupan
masyarakatnya. Sewaktu meninggal, oleh pewarisnya dibuatkan
pedharman atau dicandikan pada candi Sumber Jati di Blitar
Selatan sebagai Bhatara Siwa dan yang kedua didharmakan
atau dicandikan pada candi Antapura di daerah Mojokerto
sebagai Amoga Sidhi (Budha). Raja Jayanegara sebagai Raja
Majapahit kedua setelah meninggal didharmakan atau dicandikan
di Sila Petak sebagai Bhatara Wisnu sedangkan di Candi Sukalila
sebagai Buddha.
Maha Patih Gajah Mada adalah seorang Patih Majapahit sewaktu
pemerintahan Tri Buana Tungga Dewi dan Hayam Wuruk. Ia adalah
seorang patih yang sangat tekun dan bijaksana dalam menegakkan
dharma, sehingga hal ini sangat berpengaruh dalam pemerintahan
Sri Baginda. Semenjak itu raja Gayatri memerintahkan kepada
putranya Hayam Wuruk supaya benar- benar melaksanakan upacara
Sradha. Adapun upacara Sradha pada waktu itu yang paling
terkenal adalah mendharmakan atau mencandikan para leluhur
atau raja- raja yang telah meninggal dunia (amoring Acintya).
Upacara ini disebut Sradha yang dilaksanakan dengan Dharma
yang harinya pun telah dihitung sejak meninggal tiga hari,
tujuh hari, dan seterusnya sampai seribu hari dan tiga ribu
hari. Hal ini sampai sekarang di Jawa masih berjalan yang
disebut dengan istilah Sradha, Sradangan yang pada akhirnya
disebut Nyadran.
Memperhatikan perkembangan agama Hindu yang mewarnai kebudayaan
serta seni sastra di Indonesia di mana raja- rajanya sebagai
pimpinan memperlakukan sama terhadap dua agama yang ada
yakni Siwa dan Budha, jelas merupakan pengejawantahan toleransi
beragama atau kerukunan antar agama yang dianut oleh rakyatnya
dan berjalan sangat baik. Ini jelas merupakan nilai- nilai
luhur yang diwariskan kepada umat beragama yang ada pada
saat sekarang. Nilai- nilai luhur ini bukan hanya mewarnai
pada waktu lampau, tetapi pada masa kini pun masih tetap
merupakan nilai- nilai positif bagi pewaris- pewarisnya
khususnya umat yang meyakini agama Hindu yang tertuang dalam
ajaran agama dengan Panca Sradhanya.
Kendatipun agama Hindu sudah masuk di Indonesia pada permulaan
Tarikh Masehi dan berkembang dari pulau ke pulau namun pulau
Bali baru mendapat perhatian mulai abad ke-8 oleh pendeta-
pendeta Hindu di antaranya adalah Empu Markandeya yang berAsrama
di wilayah Gunung Raung daerah Basuki Jawa Timur. Beliaulah
yang memimpin ekspedisi pertama ke pulau Bali sebagai penyebar
agama Hindu dengan membawa pengikut sebanyak ± 400
orang. Ekspedisi pertama ini mengalami kegagalan.
Setelah persiapan matang ekspedisi kedua dilaksanakan dengan
pengikut ± 2.000 orang dan akhirnya ekspedisi ini
sukses dengan gemilang. Adapun hutan yang pertama dibuka
adalah Taro di wilayah Payangan Gianyar dan beliau mendirikan
sebuah pura tempat pemujaan di desa Taro. Pura ini diberi
nama Pura Murwa yang berarti permulaan. Dari daerah ini
beliau mengembangkan wilayah menuju pangkal gunung Agung
di wilayah Besakih sekarang, dan menemukan mata air yang
diberi nama Sindhya. Begitulah permulaan pemujaan Pura Besakih
yang mula- mula disebut Pura Basuki.
Dari sini beliau menyusuri wilayah makin ke timur sampai
di Gunung Sraya wilayah Kabupaten Karangasem, selanjutnya
beliau mendirikan tempat suci di sebuah Gunung Lempuyang
dengan nama Pura Silawanayangsari, akhirnya beliau bermukim
mengadakan Pasraman di wilayah Lempuyang dan oleh pengikutnya
beliau diberi gelar Bhatara Geni Jaya Sakti. Ini adalah
sebagai tonggak perkembangan agama Hindu di pulau Bali.
Berdasarkan prasasti di Bukit Kintamani tahun 802 Saka (880
Masehi) dan prasasti Blanjong di desa Sanur tahun 836 Saka
(914 Masehi) daerah Bali diperintah oleh raja- raja Warmadewa
sebagai raja pertama bernama Kesariwarmadewa. Letak kerajaannya
di daerah Pejeng dan ibukotanya bernama Singamandawa. Raja-
raja berikutnya kurang terkenal, baru setelah raja keenam
yang bernama Dharma Udayana dengan permaisurinya Mahendradata
dari Jawa Timur dan didampingi oleh Pendeta Kerajaan Empu
Kuturan yang juga menjabat sebagai Mahapatih maka kerajaan
ini sangat terkenal, baik dalam hubungan politik, pemerintahan,
agama, kebudayaan, sastra, dan irigasi semua dibangun. Mulai
saat inilah dibangun Pura Kahyangan Tiga (Desa, Dalem, Puseh),
Sad Kahyangan yaitu Pura Lempuyang, Besakih, Bukit Pangelengan,
Uluwatu, Batukaru, Gua Lawah, Sistem irigasi yang terkenal
dengan Subak, sistem kemasyarakatan, Sanggar/ Merajan, Kamulan/Kawitan
dikembangkan dengan sangat baik.
Sewaktu kerajaan Majapahit runtuh keadaan di Bali sangat
tenang karena tidak ada pergolakan agama. Pada saat itulah
datang seorang Empu dari Jawa yang bernama Empu Dwijendra
dengan pengikutnya yang mengembangkan dan membawa pembaharuan
agama Hindu di Bali. Dewasa ini, terutama sejak jaman Orde
Baru, perkembangan Agama Hindu makin maju dan mulai mendapat
perhatian serta pembinaan yang lebih teratur.
|