TAFSIR AGAMA HINDU
 
Pedoman Pelaksanaan Diksa

 

  1. Syarat- syarat madiksa.
    Umat Hindu dan segala warga yang memenuhi syarat tersebut di bawah ini dapat disucikan (didiksa).
    1. Laki- laki yang sudah kawin dan yang nyukla Brahmacari.
    2. Wanita yang sudah kawin dan yang tidak kawin (kanya).
    3. Pasangan suami istri.
    4. Umur minimal 40 tahun.
    5. Paham dalam bahasa Kawi. Sanskerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum, pendalaman intisari ajaran- ajaran agama.
    6. Sehat lahir batin dan berbudi luhur sesuai dengan sesana.
    7. Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana.
    8. Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabenya yang akan menyucikan.
    9. Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri ataupun swasta kecuali bertugas untuk hal keagamaan.

  2. Sarat- sarat nabe.
    1. Seorang selalu yang dalam keadaan bersih dan sehat, baik lahir maupun batin.
    2. Mampu melepaskan diri dari ikatan keduniawian.
    3. Tenang dan bijaksana.
    4. Selalu berpedoman kepada kitab suci Weda.
    5. Paham dan mengerti tentang Catur Weda.
    6. Mampu membaca Sruti dan Smrti.
    7. Teguh melaksanakan Dharma Sadhana (sering berbuat amal jasa dan kebajikan).
    8. Teguh melaksanakan tapa dan brata.

  3. Pelaksanaan upacara pediksan.
    1. Upacara awal.
      1. Upacara mejauman.
        Sang Calon Diksita (suami istri) berkunjung ke rumah calon nabe dengan membawa upakara semestinya.
      2. Sembah pamitan pada keluarga. Sang Calon Diksita wajib menyembah orang tua yang masih hidup atau yang patut disembah, mohon restunya demi keselamatan pada saat dan sesudah didiksa. Calon Diksita juga minta ijin kepada sanak saudaranya yang berumur lebih muda. Sembah pamitan kepada orang tua merupakan sembah terakhir karena di kemudian hari seorang sulinggih tidak boleh menyembah si apapun yang masih walaka.
      3. Upakara mapinton.
        Pertama: ke Segara gunung untuk membersihkan diri asucilaksana. Dalam hal ini sekurang- kurangnya ke Kahyangan tiga.
        Kedua: upacara mapinton ke pemerajan calon nabe yang langsung dipuput oleh calon nabe sendiri.
        Di samping untuk memohon restu upacara ini juga mengandung makna sebagai perkenalan dan pernyataan ikatan secara resmi antara calon diksa dengan guru nabe.
        Upacara ini dilaksanakan menurut dresta.
    2. Upacara Puncak.
      1. Upacara mati raga atau Penyekeban.
        Sebelum mati raga, calon Diksita dilukat oleh nabe di merajannya calon diksita dilanjutkan .dengan muspa. Selesai upacara itu barulah calon diksita melakukan amati raga yaitu melakukan yoga. Busana serba putih, sikap tangan ngregep dan ngramasika, yaitu mono
        brata dan upawasa. Upacara ini berlangsung sehari penuh, yaitu sehari sebelum upacara diksa.
      2. Upacara Andi.
        Upacara ini dilakukan pada dini hari sekitar pukul 05.00 WITA. Upacara ini dilakukan oleh guru saksi, calon diksita pria dimandikan oleh guru saksi pria, sedangkan calon diksita perempuan oleh guru saksi perempuan. Dibantu oleh sanak keluarga calon diksita sendiri. Selesai mandi calon diksita berpakaian serba putih (sarwa petak), diantar menuju ke merajan tempat calon diksita melakukan diksa.
    3. Upacara pokok.
      1. Pedanda nabe memuja atau ngarga.
      2. Calon diksita ada di hadapan sanggar untuk melakukan upacara mabeakaon, kemudian dilanjutkan dengan muspa dituntun oleh nabe, langsung luhur amari sudana (ganti nama)
      3. Calon diksita menghadap kepada sang guru nabe matepung tawar (atepung tawar) segawu.
      4. Calon diksita membersihkan kaki kanan (wasa ijeng ring tengen) nabe, digosok dengan kayu putih, diasapi tiga kali, digosok dengan minyak, (dilisahi dening minyak), kaki tersebut ditaruh di atas ubun- ubun.
      5. Guru nabe memberikan kekuatan gaib kepada sisya antara lain dengan anilat empuning pada tengen.
      6. Anuhun pada . . . Guru nabe napak calon diksita.
      7. Di atas ubun- ubun diberi bunga tunjung yang dipotong delapan kali dengan gunting.
      8. Sambutang kusa pengaras yaitu diambilkan daun alang- alang diusapi badannya dan dikelilingi tiga kali (inderakna ring sariranya ping tiga), dijilat dengan lidah tiga kali, digosokkan pada bahu kanan tiga kali, pada tulang punggung tiga kali (tengah gigirnya ping tiga), kemudian daun alang- alang ditaruh.
      9. Pungu- punguning ring wuwunan ping tiga : yaitu suatu upacara untuk ubun- ubun.
      10. Diambilkan pancakorsika (alang- alang) cincin kalpika dan gunting diperciki tirta.
      11. Mengunting : rambut calon diksita digunting 5 kali, yang diawali dengan rambut bagian depan (ring arep), rambut bagian kanan (ring tengah) rambut bagian belakang (ring kuri), rambut samping kiri(ring kiwa) dan rambut bagian tengah (ring pusehan).
      12. Halap atmaya : jiwanya sisya diambil.
      13. Dagdhi damalaning sariranya: tubuh beserta kekotorannya dibakar (api gaib).
      14. Api membakar dihentikan (pademi).
      15. Merta kramaning : sisya metirta, Sanghyang Atma diturunkan kembali.
      16. Guru nabe karasadhananing, yaitu mengadakan pemujaan setelah itu sisya kakaduti sekar (disuntingkan bunga di dada).
      17. Di dadanya mohana cecatu : wawisik dan guru nabe, dautang, prastawa" : cincin sisya diambil nabe. tutulakna dienjung ring siwadwaranya ping tiga : diusapi bunga tunjung.
      18. Pangpadhayadi: guru nabe memberikan bhasma, sirawista, diperciki air suci siwamba, anecepi. meraup tiga kali.
      19. Nuhun Sekah : Sisya menunjang sekah dewa- dewi disertai peras dan sesarik.
      20. Tetebus : sisya metebus.
      21. Guru nabe nyiratang tirta pada bebanten - sesayut, dana pemulih, pengambyan setanan. Sorohan, panyeneng, jerimpen, bebangkit
      22. Angayab sesayut :sang sisya ngayab atau nganteb sayut.
      23. Masirat : sang sisya mendekat pada nabe matirta (matoya).
      24. Majaya- jaya . sang sisya- majaya- jaya oleh guru nabe dengan prana bayu murti Bhuwana.
      25. Tatabi dupidipa : sisya ngayab atau natab dupa.
      26. Minum air suci . siwamba (sang sisya).
      27. Amet tetebus : diberikan tetebus sang sisya. dicium 3 kali kemudian ditaruh di hulu hati (ring radaya).
      28. Wahi wija : sisya diberi bija dimakan (anguntal) Ini berarti pawisik sasipanan.
      29. Wehi sekar : sisya diberi sekar(bunga).
      30. Malaba padambel : sisya mapedambel.
      31. Menyembah : terakhir sisya menyembah mepamit pada kaki guru nabe (raris tamuita anikel ri pada nira dang guru panembaha), lanjut menerima biseka dari nabe.
      32. Demikianlah urutan upacara diksa telah berakhir.

  4. Loka Pala Sraya.
    Loka Pala Sraya dapat dilakukan setelah mendapat ijin (pengesahan) dan nabe, setelah ngelinggihan puja kemudian melaksanakan tirtayatra.
    1. Amurub sasana (pelanggaran).
      Apabila terdapat kasus yang menyimpang dan sesana sulinggih patut ditangani oleh nabe, Parisada, aparat pemerintah.
    2. Hak untuk mencabut status kesulinggihannya tetap pada nabe sesuai dengan aguron- guron.

Catatan :

Dengan penyempurnaan di atas maka keputusan ini menjadi pedoman pelaksanaan diksa dan loka pala sraya.