|
Sehubungan dengan 4.2.2.a di atas harap dibedakan dengan jelas sistem primer lambang bunyi (bahasa Bali dan atau bahasa Indonesia) dengan sistem sekunder ejaan EYD (selain bahasa Indonesia, bahasa Bali juga memiliki ejaan dengan huruf Latin yang telah disempurnakan). Dalam bentuk penuangannya kedua sistem tersebut, baik yang primer maupun yang sekunder, dapat dipakai acuan menulis dengan aksara Bali sesuai dengan keperluan. Hal ini memberi manfaat dalam menuliskan unsur bunyi atau bentuk-bentuk linguistik yang mirip atau hampir sama (kognit). Perhatikan bagan penulisan aksara Bali berikut.
Balai |
Bale |
|
Balai |
|
Pulau |
Pulo |
|
Pulau |
|
Budaya |
Budaya |
|
Budaya |
|
Kebudayaan |
Kabudayan |
|
Kebudayaan |
|
Kecamatan |
Kecamatan |
|
Kecamatan |
|
Telepon |
Telpun |
|
Telepon |
|
Teleks |
Telek |
|
Teleks |
|
Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini sehubungan dengan bentuk teks dan konteksnya dalam kalimat, seperti : bale dalam konteks bahasa Bali (bale gede), (bale bengong), dan dalam konteks bahasa Indonesia penulisannya menjadi (balai desa), (balai pengobatan). Meskipun terdapat kemiripan bentuk dan juga makna tetapi jelas mengacu pada sistem yang berbeda. Dalam hal lebih khusus lagi, pangangge suara .... (taleng marepa) seperti dalam penggunaan aksara Bali di atas, secara internal tak pernah melambangkan bunyi ai (karena bahasa Bali memang tak memiliki diftong). Tetapi untuk penggunaan aksara Bali pada Ranah Modem pengembangan fungsi lambang-lambang tradisional seperti itu dianggap perlu dengan mengombinasikan penggunaan aksara wrehastra dan swalalita seperlunya.
Bentuk dasar budaya dalam konteks bahasa Bali, bentukannya ditulis (kabudayan), tetapi dalam bahasa Indonesia menjadi (kebudayaan). Meskipun bentuk dasarnya sama atau mirip tetapi proses bentukan morfologi maupun ortografi dan kedua sistem di atas jelas berbeda. Itulah dasar yang prinsipal mengapa bentuk tulisan dalam aksara Bali dan kedua ranah (adat dan modem) terhadap unsur leksikal atau gramatikal yang mirip dapat berbeda. Tetapi, apabila terdapat perbedaan cara menulis seperti dan (budaya) atau sejenisnya yang membedakan sistem ejaan pasang pageh dan pasang biasa, hanya dianggap perbedaan teks belaka dan bukan menurut konteksnya. Dengan demikian tak dapat dipakai dasar membedakan penulisan aksara Bali pada kedua ranah di atas.
|
|
|
|
Ketentuan-ketentuan yang telah digariskan di atas ditujukan untuk hal-hal yang bersifat primer. Namun dalam beberapa kekhususan (kekecualian) tindakan yang bersifat sekunder dapat dilakukan. Seperti penulisan nama tokoh atau orang (termasuk titel, jabatan dan sejenisnya) seperti :
Jalan Yudistira |
|
Lapangan
Mandala Krida
Desa Bajera |
|
Jalan Dr. Sutomo |
|
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan aslinya meskipun tulisan itu sendiri sebaiknya sesuai dengan ejaan dan bunyi-bunyi bahasanya.
|
|
|
|
Untuk nama-nama tempat yang biasanya ditulis dengan pasang pageh dalam komposisi pemakaian ranah Modem dapat dipertahankan kekhasannya sehingga tidak terjadi kemenduaan penulisan nama, seperti :
Singaraja |
|
Negara |
|
Sukasada |
|
|
|
|
|
Khusus mengenai penulisan singkatan (anceng) pada ranah modem, sebaiknya mengacu ke pelafalan bunyi aslinya. Masalahnya, bagaimana simbol-simbol huruf Bali itu diucapkan sesuai dengan bunyi singkatan aslinya, seperti :
SMP |
|
bukannya |
|
STKIP |
|
bukannya |
|
Meskipun penulisan singkatan di atas tampak cukup rumit dan aneh. Hal ini harus disadari, karena sistem penyingkatan dalam bahasa Indonesia yang berdasarkan pada sistem alfabetik huruf Latin : a, b, c, d, e, . .. .. (fonemik) berbeda dengan alfabet aksara Bali :ha, na, ca, ra, ka,. .... (suku kata).
Dengan demikian tidak akan berdampak pada kesalahan cara membacanya, sebagai konsekuensi bentuk pelafalan sistem suku kata yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kegaduhan sekaligus menghambat arus informasi/ komunikasi sebagai hal yang tidak diinginkan.
|
|
|
|
Tetapi apabila singkatan dalam aksara Bali telah tidak sesuai dengan hakikat atau tujuan kepraktisannya maka dianjurkan agar ditulis saja sesuai dengan bunyi pengungkapannya. seperti :
Jl. Gunung Agung |
|
Gg. Merak |
|
|
|
|
|
Singkatan yang berbentuk akronim atau dapat dilafalkan sebagai suatu bentuk dasar (tidak secara alfabetik), ditulis sesuai dengan bunyi-bunyi aslinya (cara pelafalannya yang umum), misalnya :
Bentuk singkatan ditulis di antara (diapit) carik siki, kecuali bentuk akronim (lihat nomor f di atas) yang penulisannya mirip dengan kata. Kekecualian tersebut didasarkan pada konteks penggunaannya cenderung mengalami kristalisasi kepukalan semantik ke arah bentuk dasar.
|
|
|
|
Komposisi penulisan aksara Bali pada ranah modem dapat menggunakan pasang jajar palas (sistem pemenggalan kata/ frasa). Perhatikan contoh- contoh di atas !.
|
|
|
|
Semua aturan di atas, baik yang menyangkut ranah adat maupun modern, lebih mendasarkan kodifikasinya pada tatanan kedwiaksaraan dengan mengacu pada sistem ekabahasa (perhatikan formulasi rumus l dan II di atas). Namun, khusus untuk penulisan wacana seperti pada papan-papan pengumuman, larangan, peringatan dll. yang biasanya dipasang di sekitar areal pura, obyek-obyek pariwisata, tempat-tempat berbahaya dll. Penulisan dwiaksara dalam hal ini sebaiknya paralel komplementer dengan tatanan kedwibahasaan atau kemultibahasaan (di Indonesia, sesuai dengan garis haluan politik bahasa: trilingual).
Dengan demikian baik aksara Bali maupun Latin dalam komposisi dwiaksara, masing-masing dapat menunjukkan fungsi representatif hingga jelas dapat dicapai sasaran informasi/komunikasi sesuai dengan yang diinginkan. Bentuk pemakaiannya dapat diformulasikan seperti dalam rumus III :
Khusus (Dwiaksara - Trilingual) = |
BB - B
BI / BA - L
|
(BA = bahasa Asing)
Contoh :
Jika memasuki pura ini agar:
|
Awas ! Listrik bertegangan tinggi
|
|