Wayang Kulit, seni pertunjukan yang sudah
cukup tua umurnya, adalah salah satu bagian dari seni pertunjukan
Bali yang hingga kini masih tetap digemari oleh masyarakat
setempat. Di desa-desa maupun di kota, masyarakat masih
sering mempergelarkan Wayang Kulit dalam kaitan dengan
upacara agama Hindu,
upacara adat Bali,
maupun sebagai hiburan semata.
|
Asal-usul Wayang Kulit di Indonesia
hingga kini masih diperdebatkan oleh para ahli dan masih
belum ada kesepakatan apakah Wayang Kulit memang
asli Indonesia, dari India ataupun dari negara lain.
Di lingkungan budaya Bali, pertunjukan Wayang Kulit
diperkirakan sudah ada sejak sekitar abad ke IX. Dalam prasasti
Bebetin yang berangka tahun Çaka 818 ( 896
M), dari zaman pemerintahan raja Ugrasena di Bali,
ditemukan sejumlah istilah seni pertunjukan yang diyakini
berarti wayang atau pertunjukan wayang (baca
: Serba Neka Wayang Kulit Bali, 1975).
Sejak masa lampau pertunjukan Wayang
Kulit menjadi salah satu media pendidikan informal bagi
warga masyarakat. Betapa tidak, pertunjukan Wayang Kulit
yang memadukan berbagai unsur seni
rupa, sastra, gerak
dan suara, dalam
pementasannya tidak saja menampilkan lakon-lakon literer
yang diambil dari karya-karya sastra klasik terutama Mahabrata
dan Ramayana, kesenian ini juga menyajikan petuah-petuah
mengenai nilai-nilai moral, spiritual dan sosial sehingga
masyarakat yang buta huruf akan memperoleh ajaran-ajaran
tatwa, yadnya,
etika dan lain-lain.
Oleh masyarakat penonton semuanya ini dijadikan pedoman
dan tuntunan bagi kehidupan mereka sehari-hari.
Sementara para dalang secara kreatif melakukan
penyegaran kesenian mereka, wayang-wayang kreasi baru sudah
banyak diciptakan sehingga menambah perbendaharaan seni
perwayangan di pulau ini. Yang tidak kalah pentingnya adalah
munculnya dalang-dalang wanita berbakat yang siap bersaing
dengan para dalang pria.
Di Bali, pertunjukan Wayang Kulit melibatkan
antara 3 orang sampai 15 orang yang meliputi : dalang, pengiring
dan jika diperlukan sepasang pembantu dalang (tututan).
Komando tertinggi dalam pertunjukan Wayang Kulit ada pada
si dalang. Untuk mementaskan wayang para dalang Bali memerlukan
sekitar 125 - 130 lembar wayang yang disimpan dalam kotak
wayang (kropak).
Kiranya belumlah lengkap jika pembahasan
mengenai seni pewayangan Bali tidak dilengkapi dengan adanya
beberapa usaha inovasi dan kreatif dari para seniman dalang
di pulau ini, atau memalui kerja patungan atau kolaborasi
dengan seniman luar atau asing. Dalam usahanya memberikan
nafas baru dalam wayang Parwa, dalang I
Made Sidja atau Ida
Bagus Ngurah (Buduk) memasukan gamelan Suling atau Pegambuhan.
Belakangan ini dalang muda berbakat, Ida
Bagus Sudiksa berkali-kali mementaskan wayang kulit
Parwa dengan iringan gamelan Angklung lengkap, bahkan pernah
dengan gamelan Balaganjur. Sebagai sajian tugas akhir, baik
untuk menyelesaikan program Seniman (setingkat Sarjana)
pada jurusan Seni Pedalangan di STSI Denpasar, para mahasiswa
juga telah melakukan berbagai percobaan. Misalnya:
- Penggunaan layar lebar berganda.
- penggunaan tata-lampu modern, seperti lampu strobo,
spot-lights, dan sebagainya.
- pemakaian overhead-projector untuk menciptakan
citra-citra realistis sebagai latar belakang.
- pemakaian pemain wayang dalam jumlah yang banyak dengan
satu orang dalang sebagai narator.
- pemakaian wayang golek besar.
- dan lain sebagainya.
Kesemuanya merupakan wujud nyata dari usaha
para seniman dalang muda untuk terus menyegarkan kehidupan
seni Pewayangan di Bali.
Dalam hal iringan, gamelan Selonding
dan Selukat juga telah dicoba untuk mengiringi pertunjukan
wayang Bali. Masih merupakan bagian dari perkembangan wayang
kulit Bali adalah wayang Listrik yang merupakan hasil
kerja patungan antara seniman (I
Made Sidja, I Nyoman Catra, Desak Suarthi Laksmi) dengan
seniman dalang Larry
Reed dari San Francisco, Amerika Serikat, yang didukung
oleh Gamelan Sekar Jaya
di bawah asuhan komposer muda, I
Dewa Bratha. Nama ini diberikan berdasarkan kenyataan
bahwa dalam pertunjukannya terdapat perpaduan dua unsur
penting yaitu : pemain wayang kulit Bali dengan permainan
atau proyeksi cahaya lampu listrik.
Pertunjukan pertama wayang listrik ini
dilakukan di San Fransisco dan pada tahun 1996 yang lalu
juga dipentaskan di Bali dalam rangka Festival Wayang Walter
Spies.
|