|
|
|
|
|
|
|
Bagian 3 dari 5 |
|
|
|
|
Diceriterakan
sekarang, pada suatu hari. Ida Sang Pendeta
Danghyang Bang Manik Angkeran berjalan menuju
ke arah Barat Laut, ke arah tempat kediaman
Ki Dukuh Murthi. Tidak diceriterakan di jalan,
sampailah beliau di hutan Jehem, kemudian, menuju
Padukuhan, dan berjumpa dengan Ki Dukuh Murthi.
Keduanya kemudian berbincang-bincang mengenai
mertua Sang Pendeta yakni Ki Dukuh Belatung
yang sudah moksa. Ki Dukuh Murthi memang bersaudara
dengan Ki Dukuh Belatung. Pada saat itu Ki Dukuh
Murthi memiliki seorang anak wanita yang sangat
cantik bernama Ni Luh Canting. Putrinya itu
dipersembahkan oleh Ki Dukuh kepada Sang Pendeta,
sebagai haturan utama yang tulus ikhlas, bukti
besar bhaktinya Sang Dukuh kepada Sang Pendeta,
sebagai pengikat hingga kelak di kemudian hari.
Beliau Sang Pendeta sangat mencintai dan mengasihi
Ni Luh Canting, serta bertemu cinta didasari
rasa kasih sayang yang suci. Namun karena ada
pekerjaan yang sangat mendesak serta didatangi
oleh warga desa-desa lain untuk memberikan pelajaran
pengetahuan keagamaan, tergesa-gesa beliau meninggalkan
Ni Luh Canting untuk melanjutkan perjalanan
memberikan petuah kepada warga desa-desa lainnya.
Ni Luh Canting kemudian hamil,
dan lama-kelamaan melahirkan seorang putra yang
tampan, diberi nama Sira Agra Manik. Belakangan
Sira Agra Manik kembali ke Besakih, sehubungan
dengan pesan ayahandanya untuk menghaturkan
Lawangan Agung.
Dengan demikian Ida Danghyang
Bang Manik Angkeran memiliki putra empat orang,
yakni Ida Bang Banyak Wide, Ida Bang Tulusdewa,
Ida Bang Wayabiya dan Si Agra Manik, yang keturunannya
kemudian bernama Catur Warga.
|
|
|
Patut
diketahui perihal kesaktian Sang Bidadari sehari-hari,
menanak nasi dengan sebulir padi. Sehelai bulu
ayam, jika dimasak, menjadi ikan ayam. Keadaan
demikian itu jelas tidak boleh dilihat oleh
orang lain. Hal itu sudah dipermaklumkan kepada
Sang Pendeta, agar beliau jangan mencoba kesaktian
Sang Bidadari, agar kesaktian Sang Bidadari
tidak hilang. Itu sebabnya keberadaan sehari-hari
Sang Pendeta dengan isteri dan putranya di Besakih,
tiada kurang suatu apapun.
Setelah berapa tahun lamanya,
Ida Danghyang Bang Manik Angkeran melaksanakan
swadharma berkeluarga dengan istri beliau bertiga
beserta putranya tiga orang di Besakih, maka
tibalah waktunya perjanjian Sang Bidadari harus
kembali ke Sorgaloka. Keluar pikiran Ida Sang
Pendeta mencoba kesaktian sang istri. Beliau
mengintip isterinya Sang Bidadari sedang memasak,
manakala isterinya menaruh sebulir padi. Setelah
lama nian memasak, dibukanya kekeb - penutup
alat masak- itu oleh Sang Bidadari. Dilihat
padinya sebulir itu masih seperti sediakala.
Saat itu, berpikir Sang Bidadari, kemungkinan
memang sampai saat itu Sang Bidadari bersuamikan
Sang Pendeta. Kemudian beliau menghadap dan
menghaturkan sembah: "Inggih kakandaku,
Sang Pandita, rupanya sampai di sini dinda mengabdikan
diri - bersuamikan kanda. Sudah usai rupanya
perjanjian kita. Dinda sekarang, akan memohon
diri ke hadapan palungguh kanda, untuk pulang
kembali ke Sorgaloka".
Sang Pandita kemudian berkata
halus: "Nah, kalau begitu Silakan adinda
pulang lebih dahulu, kanda akan mengikuti perjalanan
dinda". Sang Bidadari lalu kembali ke Indraloka.
Sejak saat itu Ida Sang Pendeta
Danghyang Bang Manik Angkeran selalu melaksanakan
Yoga Panglepasan untuk pulang ke alam baka.
Dan lagi, beliau menyadari akan segera kembali
pulang ke Sunyaloka, lalu beliau memanggil putranya
bertiga, memberitahukan bahwa putranya bertiga
memiliki kakek di Jawa, yang bernama Ida Danghyang
Siddhimantra. Bersama isterinya yang dua orang
itu, beliau memberikan petuah yang sangat bermakna:
" l Dewa, Bang Banyak Wide, l Dewa, Bang
Tulusdewa, l Dewa Bang Wayabiya, anakku bertiga
yang sangat ayahanda cintai dan kasihi, ayahanda
sekarang bersama ibu-ibumu berdua, akan meninggalkan
ananda. Ayahanda akan pulang ke Sorgaloka. Satukan
diri ananda dalam bersaudara. Ala Ayu tunggal
! Duka maupun suka hendaknya tetap satu! Kemudian
juga agar selalu ingat kepada Bhatara Kawitan,
serta senantiasa bhakti menyembah Ida Bhatara
semua di sini di Besakih serta Ida Bhatara Basukih.
Tidak boleh ananda lalai serta ingkar dengan
petuah ayahandamu ini". Demikian nasehat
Ida Sang Pendeta, dicamkan betul oleh para putranya
bertiga.
Pada hari yang baik, beliau
kemudian berpulang ke Nirwana, moksa dengan
Adhi Moksa-moksa yang utama, diiringkan oleh
isterinya berdua, karena keduanya memang setia
dan bhakti kepada beliau.
Diceriterakan, beliau-beliau
itu sudah menyatu dengan Tuhan. Tinggallah para
putranya bertiga, ditinggal oleh ayah serta
bundanya. Namun demikian masyarakat se wilayah
desa Bukcabe, masih tulus bhaktinya, karena
ingat kepada petuah Ki Dukuh Sakti Belatung
dahulu. Pada saat itu, putera Ida Bang Manik
Angkeran yang nomor empat dari Ni Luh Canting
yakni Sira Agra Manik, belum ada dan belum berdiam
di Besakih.
Tidak terhitung berapa tahun
ketiga putera itu ditinggal oleh ayah ibunya
semua, lalu ada keinginan Ida Sang Bang Banyak
Wide akan berbincang dengan kedua adiknya. Setelah
semuanya duduk, maka berkatalah Ida Bang Banyak
Wide "Inggih, adikku berdua, yang kanda
kasihi dan cintai. Teringat kanda dengan petuah
Ida l Aji, kata beliau Kakek kita yang bernama,
mohon maaf, Ida Danghyang Siddhimantra, bertempat
tinggal di Pulau Jawa, tepatnya di daerah Daha.
Kalau sekiranya dinda berdua menyetujui, marilah
kita pergi ke sana, bersembah sujud menghadap
kepada Ida l Kakiyang- kakek kita, agar kita
mengetahui keberadaan beliau, agar jangan seperti
ungkapan yang mengatakan , tahu akan nama namun
tidak tahu akibat rupa. Lagi pula kalau Kanda
pikir, mungkin sekali Ida l Kakiyang - kakek
kita tidak tahu sama sekali akan keberadaan
kanda dinda, karena tidak ada yang menceriterakan
perihal keberadaan ayahanda kita serta kita
bertiga".
Baru didengar perkataan kakaknya
demikian, maka menjawablah Ida Sang Bang Tulusdewa
dengan sangat sopan: "Inggih palungguh
kanda, mengenai perihal itu, perkenankanlah
dinda menyampaikan pendapat, namun mohon dimaklumi,
bila mana ada yang tidak berkenan di hati kanda.
Perihal keinginan kanda , disebabkan niat bhakti
kehadapan Ida l Kakiyang, memang wajar sekali.
Dinda sangat berbesar hati. Namun bila mana
kanda akan pergi ke Jawa, untuk menghadap kepada
Ida Kakiyang kakek kita, apalagi berkeinginan
untuk bertempat tinggal di sana, mohon maaf
dan mohon perkenan kakanda, bahwa dinda tidak
bisa mengikuti kehendak kanda itu. Biarkanlah
hamba di sini di Bali, agar ada yang melanjutkan
yadnya dari ayahanda Ida Sang Pendeta, sebagai
tukang sapu di sini di Besakih, seperti menjadi
petuah dari ayahanda".!
Kemudian Ida Bang Wayabiya
menghaturkan sembah: "Inggih palungguh
kanda Sang Bang Banyak Wide yang sangat dinda
hormati, dinda juga, bukan karena kurang bhakti
dinda kepada Ida l Kakiyang, walaupun belum
dinda ketahui. Yang nomor dua, tidak kurang
bhakti serta kasih dinda bersaudara dengan kakanda.
Namun kalau berpindah tempat meninggalkan Bali
ini, berat rasanya bagi dinda, karenanya, mohon
maaf pula, dinda juga tidak ikut mendampingi
kanda, seperti pula pada yang dikatakan kanda
Tulusdewa baru. Dinda tidak sekali akan menghalangi
niat luhur kakanda untuk pergi ke Jawa, menghadap
kepada Ida l Kakiyang. Itu juga sangat pantas.
Kalau kakanda berkehendak akan pergi, silakan
kakanda pergi sendiri, agar ada yang memberitakan
keberadaan di Bali ke hadapan Ida l Kakiyang.
Biarkan dinda berdua di sini di Bali ".
Baru mendengar hatur adik-adiknya
berdua, lama Ida Sang Banyak Wide berdiam, berpikir-pikir.
Karena memang tidak pernah berpisah dan mereka
saling mengasihi satu sama lainnya. Kemudian
beliau berkata: "Inggih, kalau demikian
pendapat dinda berdua, patut juga, di Bali agar
ada, ke Jawa, menurut kanda, juga agar ada yang
memberitahukan perihal keadaan kita di Bali
ini, seperti yang dikatakan dinda Wayabiya baru.
ltu sebabnya perkenankan kanda akan sendirian
pergi ke Jawa, untuk menghadap kepada Ida l
Kakiyang. Namun ada petuah kanda kepada dinda
berdua. Walaupun kanda tidak lagi berada di
sini bersama dinda berdua, di mana saja mungkin
kanda - dinda berdiam, kalaupun kanda - dinda
menemui kebaikan atau keburukan, agar supaya
tidak kita lupa bersaudara sampai nanti kepada
keturunan kita di kelak kemudian hari. Ingat
betul nasehat suci dari Ayahanda kita: Ala Ayu
Tunggal! Ayu tunggal, Ayu kabeh. Ala tunggal,
ala kabeh! Duka dan suka tunggal! Kalau satu
orang mendapatkan kegembiraan, agar semuanya
bisa ikut menikmatinya.
Demikian juga kalau salah satu
mengalami kedukaan agar semuanya merasakannya.
Mudah-mudahan kita semuanya bisa bertemu kembali.
Kalau tidak kanda yang bisa bertemu dengan dinda,
semoga anak cucu kita bisa bertemu serta mengingatkan
persaudaraan kita di kelak kemudian hari".
Inggih, silakan palungguh kanda
pergi, dinda menuruti semua apa yang kanda katakan,
Semoga kanda selamat, serta bisa bertemu dengan
Ida l Kakiyang". Demikian hatur adiknya
berdua.
Pada hari yang baik, Ida Bang
Banyak Wide mohon diri kepada saudaranya berdua,
seraya berangkat. Diceriterakan perjalanan Ida
Bang Banyak Wide, demikian banyaknya desa, perumahan
serta hutan dilewatinya, lembah dan jurang yang
dituruninya, jarang sekali berjumpa dengan manusia.
Banyak sekali kesulitan yang ditemuinya di jalan
tak usah diceriterakan, namun Ida Bang Banyak
Wide, walau masih jejaka muda-belia, demikian
teguhnya kepada tekadnya, tidak pernah takut
dan khawatir menghadapi kesulitan dan hambatan
di jalan.
Pada siang hari beliau berjalan,
di mana beliau merasa lesu, di sana berharap
untuk beristirahat. Kalau hari sudah menjelang
malam, beliau bermalam di mana beliau mendapatkan
tempat. Kalau kemalaman di desa, berupaya beliau
menumpang di tempat orang, namun seringkali
beliau berada di tengah hutan, dan paksa tidur
di pohon-pohon kayu. Setiap kali beliau berjumpa
dengan orang, tidak lupa beliau menanyakan di
mana negeri Daha itu.
Singkat ceritera, sampailah
beliau di perbatasan negeri Daha. Terkesan beliau
akan keadaan negeri itu yang demikian ramai
dan indah. Berbeda sekali kalau dibandingkan
dengan desa Besakih, yang sedikit bangunannya.
Bangunan di sana semua besar-megah serta memakai
tembok yang tinggi dari batu bata. Orang di
sana semuanya memakai pakaian yang bagus - bagus.
Jalannya juga lebar, setiap beberapa meter ada
lampu yang berderet di sisi jalan.
Setelah tenggelam sang mentari,
kala itu nampak oleh beliau ada sebuah bangunan
seperti Jero, bertembok bata dengan memakai
pintu gerbang kori agung Di bagian luar dari
bangunan yang serupa jero itu, ada balai-balai
kecil: bale panjang layaknya seperti tempat
orang berteduh dan beristirahat. Di sana lalu
beliau berteduh dan beristirahat. Demikian gembiranya
beliau, sebab mendapatkan tempat beristirahat
yang nyaman.
Tidak lama, karena demikian
lesunya, sekejap beliau sudah terlelap. Ternyata
itu ternyata sebuah Griya - tempat seorang pendeta
yang bernama Ida Mpu Sedah Di sana, di bagian
luar dari Griya Ida Pandita terdapat sebuah
batu ceper yang berukuran besar, sebagai tempat
Pendeta Mpu Sedah duduk-duduk tatkala beliau
beranjangsana. Konon, dahulunya, di tempat batu
itu, tak seorangpun berani bermain atau lewat
di sana, apalagi untuk mendudukinya. Walau hanya
seekor capungpun, kalau hinggap di tempat itu,.
langsung akan hangus terbakar.
Singkat ceritera, ketika hari
itu Ida Pandita keluar untuk berjalan-jalan,
tiba-tiba beliau berhenti sejenak ketika melihat
ada seorang jejaka duduk di batu ceper itu.
Lalu didekatinya seraya berkata: " Uduh
kaki, ndi sang kayeng tuan, agia tunggal-tunggal,
eman-eman warnanta masmasku. Mwang siapa puspatanira
? Was duga-duga kawongane sira, dadine sira
Kaki pasti maweruha. Nah, anakku, dari megerangan
sebenarnya ananda ini datang sendirian ke mari.
Kagum kakek menyatakan prabawamu . Siapa namamu,
serta apa keluarga dan kelahiran ananda? Ayuh
jelaskan agar kakek mengetahuinya !"
Kemudian Ida Sang Bang Banyak
Wide berkata, seraya menghaturkan sembah bakti
"Singgih pukulun Sang Pendeta, hamba adalah
cucu dari Sang Pendeta Siddhimantra, ayahanda
hamba adalah Sang Pendeta Angkeran. Nama hamba
Sang Banyak Wide, maksud tujuan hamba adalah
ingin bertemu dengan kakek Kakiyang hamba di
Griya Daha, Ida Sang Pendeta Siddhimantra itu".
Baru didengar hatur Ida Sang
Banyak Wide demikian, menjadi sangat terharu
perasaan Ida Pandita, seraya berkata: "Aum
cucuku tercinta, kalau demikian maksud tujuan
cucunda, ketahuilah bahwa kakek cucunda ini
memiliki hubungan saudara dengan kakekmu itu
yang kini sudah tiada. Karena itu sekarang yang
paling baik, dengarkan kakekmu ini, jangan dilanjutkan
keinginan cucunda pulang ke Griya kakekmu. Di
sini saja cucunda berdiam, mendampingi kakekmu
ini yang sudah tua renta. Cucuku menjadi pewaris
keturunanku, sebab kakekmu ini tidak memiliki
keturunan atau anak. Dulu putera kakek ada Iaki-laki
seorang, bernama Sira Bang Guwi. Sudah dibunuh
oleh sang raja, dosanya karena membangkang kepada
raja. Sebab itu sekarang putung - tidak berketurunan
kakekmu ini, semoga berkenan cucunda menjadi
sentana-keturunan pewarisku, yang akan memelihara
tempat kediaman ini kelak di kemudian hari.
Sekarang cucunda yang memerintah di kawasan
ini. Di samping itu ada petuah Kakek, sebab
cucunda memakai pegangan Ke-Budhaan, sementara
kakekmu ini melaksanakan Kesiwaan, karena itu
sekarang cucunda janganlah lagi menggelar Kebudhaan,
gelaran Siwa yang cucunda jadikan pegangan ".Demikian
wacana Ida Mpu Sedah kepada Ida Bang Banyak
Wide yang memahami dan menyetujui kehendak Ida
Pandita, sehingga akhirnya Ida Bang Banyak Wide
diresmikan sebagai putera angkat - kadharma
putera.
Sangatlah sukacita perasaan
Sang Pendeta. sangat dimanja putranya Ida Bang
Banyak Wide. Singkat ceritera, sekarang telah
berdiam Ida Sang Bang Banyak Wide di Griya Daha
mendampingi kakeknya Ida Mpu Sedah. |
|
Diceriterakan
sekarang, betapa bahagianya hati Ida Mpu Sedah,
Ida Wang Bang Banyak Wide - putra angkatnya
sangat disayanginya. Singkat ceritera, sekarang
Ida Bang Banyak Wide sudah berdiam di Geria
Daha, di Geriya kakek beliau Ida Mpu Sedah.
Dikisahkan kemudian Ki Arya Buleteng, yang menjadi
patih di Kerajaan Daha, mempunyai seorang putri
benama I Gusti Ayu Pinatih. I Gusti Ayu Pinatih,
tatkala itu sudah remaja putri, parasnya cantik
nian, bagaikan Dewi Saraswati nampaknya, serta
juga bijaksana dan memiliki ilmu pengetahuan
yang tinggi, cocok memang sebagai putri seorang
bangsawan, serta sangat dimanja oleh ayah bundanya
dan semua keluarganya. Puri Ki Patih Arya Buleteng
itu tidaklah demikian jauh dari tempat tinggal
Geria Ida Mpu Sedah, dan lagi pula sering Ida
Mpu Sedah beranjangsana ke Puri sang Patih.
Demikian juga putra sang Mpu, Ida Bang Banyak
Wide, sering berkunjung ke Puri. Dan semakin
lama semakin sering sang teruna remaja berkunjung
ke Puri, untuk menghadap kepada sang patih,
namun yang paling utama adalah untuk bertemu
dengan I Gusti Ayu Pinatih. Lama-kelamaan semakin
bersemi cinta kasih di antara sang teruna dan
sang dara, tidak bisa dipisahkan lagi. Lalu
diambillah I Gusti Ayu Pinatih oleh Ida Sang
Bang. Itu sebabnya marah besar Ki Arya Buleteng,
disebabkan putri beliau diambil oleh Ida Sang
Bang Banyak Wide. Kemudian datanglah Ki Arya
menghadap sang Mpu, menyampaikan prihalnya beliau
memiliki anak hanya sorang. Disebabkan karena
putra sang Mpu juga hanya seorang yakni Ida
Sang Bang Banyak Wide, maka menjadi sangat prihatin
perasaan keduanya, dan berkehendak akan memisahkan
kedua teruna-daha itu. Tiba-tiba Ida Sang Bang
Banyak Wide menghaturkan sembah di hadapan Ida
Mpu seraya mengatakan bahwa sama sekali beliau
tidak mau dipisahkan dengan I Gusti Ayu Pinatih.
Kalau saja dipisahkan, tak urung mereka akan
membunuh diri berdua. Itu sebabnya beliau tak
bisa berkata-kata. Kemudian berkata Ki Arya
Buleteng, menjelaskan keinginan beliau : ? Aum
sang mahapandita, jikalau begitu kehendak ananda
sang Mpu, kalau menurut saya, kalau saja ananda
sang Mpu mau menjadi putraku, sampai di kelak
kemudian hari, saya berikan putri saya kepada
ananda Sang Bang?, demikian atur Ki Arya Buleteng.
Belum selesai perbincangan beliau berdua, segera
menghaturkan sembah Sang Bang Banyak Wide :
?Duh, beribu maaf, ayahanda Ki Arya Buleteng
serta ayahanda sang Pendeta, jikalau demikian
keinginan mertua nanda, ananda menuruti kehendak
mertua hamba, dan jika nanti hamba memiliki
keturunan, agar menjadi Arya.
|
|
Semakin tak
bisa berkata-kata lagi Danghyang Mpu Sedah mendengar
atur putranya, namun sang Pandita menyadari
bahwa semuanya itu adalah kehendak Yang Maha
Kuasa, lalu berkatalah beliau ?Ah anakku, juwita
hatiku Sang Banyak Wide, nah karena sekarang
ananda berkehendak menjadi pratisentana - putera
dari Ki Arya Buleteng, maka dengarkanlah ini,
tanda cinta kasihku kepadamu anakku:
?Sloka: Wredhanam kretanugraham, jagadhitam
purohitam, wacanam wara widyanam, brahmanawangsatitah,
Siwatwam, pujatityasam, trikayam pansudham,
kayiko, waciko suklam, manaciko sidha pumam.
Puranam tatwam tuhwanam, silakramam, sirarya
pinatyam maho, witing kunam purwa Daham.?
Berkatalah kemudian Ida Sang Pandita: ?Aum,
Sang bang, inilah merupakan titah Yang Maha
Kuasa, berupa aturan sidhikarana yang kakek
berikan kepadamu, perjalanan sejarah dan status
brahmana yang dahulu, sekarang menjadi Arya
Pinatih, ini ada tanda kasihku padamu berupa
keris sebuah, bemama Ki Brahmana Siwapakarana
- peralatan pemujaan pendeta, pustaka weda,
itu semua agar dipuja, sebagai pusaka yang berkedudukan
bagaikan kawitan-leluhurmu, sebagai pertambang
jati dirimu sebagai Arya Bang Pinatih, yang
berasal dari brahmana dahulu. Ada nasehatku
juga, kalau ada keturunan Arya Wang bang, tahu
tentang Filfasat Kedharman, kokoh melakukan
tapa yoga brata, memiliki ilmu pengetahuan yang
berguna, pandai akan ilmu kerohanian, serta
selalu mengupayakan ketrentraman, menganut prilaku
Brahmana Wangsa, dapat didiksa, menjadi pendeta
maharesi. Ingatlah hal ini.
Serta ada pula anugerahku, kepada mu, jika ada
yang tahu tentang siapa yang membawa pusaka
itu di kemudian hari, menyucikan diri sanak
saudaramu kelak, dan bila sesudah meninggal,
bilamana sanak saudara yang telah menyucikan
diri meninggal, jika melakukan upacara atiwa-tiwa
- palebon, berhak memakai sarana upacara seperti
seorang brahmana lepas, berhak mempergunakan
padmasana, serba putih, serta segala sarana
upacara sebagai sang brahmana, pendeta.
Bilamana yang meninggal adalah walaka, bilamana
memperoleh kebahagiaan utama memegang kekuasaaan
serta memiliki banyak rakyat, berhak mempergunakan
bade bertumpang 9, petulangannya lembu, semua
sarana yang dipakai ksatriya, terkecuali naga
bandha, berhak dipakainya.
Serta bila walaka biasa meninggal, jika mengadakan
upacara atiwa-tiwa-pitra yadnya, berhak mempergunakan
bade tumpang 7, serta sarananya, demikian yang
berlaku pada Arya Pinatih. Habis.
Serta prihal keadaan kacuntakan bagi Ki Arya
Pinatih, yang - karenanya ingatlah sampai di
kemudian hari, jika meninggal bayi belum kepus
pungsed, cuntakanya 7 hari, jika meninggal bayi
sesudah kepus pungsed, cuntakanya 11 hari, namun
belum tanggal gigi. Jika ada yang meninggal
sudah dewasa, remaja atau sudah tua, cuntakanya
satu bulan 7 hari. Jangan lupa pada nasehatku
ini.
Serta ada lagi nasehatku, di kemudian hari,
dalam hal bersanak-saudara, jika ada orang luar
desa datang, berkehendak untuk ikut menyungsung
- menyembah Sanghyang Kawitan Ki Brahmana serta
Siwopakarananya, mengaku Sira Arya Pinatih,
walaupun orangnya nista madhya utama, janganlah
ananda kadropon, perhatikan dahulu, jikalau
tidak mau anapak sahupajanjian Sanghyang Kawitan,
bukan sanak saudaramu itu. Jika dia mau anapak
Sanghyang Kawitan walaupun nista, madya utama,
sungguh dia bersanak saudara denganmu, dan berhak
ikut menyungsung bersama, bhatara Kawitan, walaupun
jauh tempat tinggalnya. Serta sanak saudaramu
si Arya Pinatih tidak boleh anayub dewagama
lawan patunggalan dadya, jika melanggar nasehatku
ini, hala tunggal, hala kabeh - satu menemui
celaka, semuanya celaka. Serta kemudian tidak
bisa disupat Sanghyang Rajadewa Kawitannya,
oleh Pendeta Resi Siwa Budha, serta jika melanggar
seperti nasehatku ini. OM ANG medhalong, ANG
OM mepatang, ANG UNG MANG ti sudha OM NRANG
OM. Semuanya paras paros, wetu tunggal, demikian
pahalanya, jangan tidak periksa. Kukuhkan dirimu
dalam mengamong kawitanmu, serta kukuh seperti
nasehatku pada ananda, habis.? |
|
Setelah mencari
hari baik, maka diselenggarakanlah upara Perkawinan
Agung di Puri Ki Arya Buleteng. Para raja-adipati,
menteri-menteri serta sanak saudara se wilayah
Daha semua diundang, dan yang terutama diundang
adalah Ida Pendeta Siwa Budha yang akan memimpin
upacara Pawiwahan - Pernikahan Agung itu. Tidak
bisa diperpanjang lagi prihal upacara Perkawinan
itu, semua rakyat menjadi riang dan gembira.
Ida Sang Bang Banyak Wide sudah bertempat tinggal
di Puri Patih Arya Buleteng, serta memakai nama
Sang Arya Bang Banyak Wide. Kemudian I Gusti
Ayu Pinatih melahirkan seorang putra laki-laki,
dinamai Ida Bang Bagus Pinatih, mempergunakan
nama sang ibu. Pada hari tertentu, diceriterakan
anak Ida Bang Banyak Wide diculik oleh seorang
raksasa. Namun tiada berapa lama, ditemui I
Raksasa beserta putranya di sebuah goa. Saat
itu Ida Bang Banyak Wide menghunus kerisnya
Ki Brahmana. Baru keris itu dihunus gemetar
seluruh tubuh I Raksasa, kemudian memohon hidup.
Katanya : ?Inggih, sekarang ini agar tuanku
suka memberi hidup kepada hamba. Dan sekarang
saya menaruh janji agar sampai kelak di kemudian
hari turun temurun, sepanjang hidup keturunan
Tuanku, semoga tidak akan pernah dibencanai
oleh kaum Durga?. Demikian ucap I Raksasa yang
bernama Buta Wilis itu, kemudian menghilang.
Singkat ceritera, Ida Bagus Pinatih sudah semakin
besar, dewasa dan sudah mengambil isteri serta
memiliki putra yang bernama sama dengan nama
ayahandanya. Ida Bagus Pinatih juga bernama
Pangeran Anglurah Pinatih atau Sira Kuda Anjampiani.
Demikian dulu keadaaannya di kawasan Daha.
|
|
Diceriterakan
sekarang daerah Daha diserang oleh Raja Singasari
serta kemudian dikuasai oleh Singasari. Ida
Bang Banyak Wide tatkala itu menjabat sebagai
Demang atau Patih pada saat pemerintahan Prabu
Kertanagara tahun 1272 Masehi. Lama kemudian
para menteri yang sudah tua di Singosari semuanya
diturunkan pangkatnya masing-masing diganti
dengan pejabat yang muda-muda. Saat itu patih
tua Rangganata diberhentikan. Ki Arya Banyak
Wide diturunkan jabatannya ke Sumenep menjadi
Adhipati Madura bergelar Arya Wiraraja. Hal
seperti itu jelas menjadi bibit tidak baik di
kemudian hari.
Lalu diceriterakan Prabu Singasari menyerang
Tanah Melayu, semua bala tentaranya dikirim
ke Tanah Melayu. Tatkala sang Prabu bersenang-senang
di Puri, Ida Arya Bang Banyak Wide kemudian
memberikan surat sindiran kepada Raja Daha yang
bernama Prabu Jayakatwang tentang leluhur beliau
yang bernama Dandang Gendis dirusak oleh sang
Prabu Singosari. Patut sang Prabhu Daha membalas
dendam kepada Sang Prabu Kerthanegara. Pemberitahuan
Adipati Banyak Wide diluluskan oleh Sang Prabu
Daha. Kemudian Singosari diserang oleh Daha,
tidak urung kemudian kalah Singasari.
Pada saat itu ada putra Singasari yang berama
Raden Wijaya secara sembunyi-sembunyi datang
ke Madura, bermaksud bermitra dengan Adipati
Madura. Sesampainya di Madura, diadakan daya
upaya, agar Raden Wijaya mau menyerahkan diri
kepada Prabu Kediri. Sang Bang Banyak Wide atau
Arya Wiraraja akan memohonkan jabatan untuk
Raden Wijaya agar menjadi orang penting di Keraton.
Kemudian Raden Wijaya agar memohon kepada Raja
agar diberikan hutan Tarik dengan alasan untuk
dipakai tempat raja bersenang-senang. Ida Bang
Banyak Wide sanggup akan memberikan bala sahaya
serta Raden Wijaya agar memberitahukan kepada
rakyat di Tumapel ikut membuat tempat tinggal
di alas Tarik.
Singkat ceritera, hutan Tarik itu sudah diberikan,
kemudian Raden Wijaya di tempat itu membuat
pasraman, kemudian diberi nama tempat itu Majapahit
atau Wilwatikta disebabkan karena banyaknya
buah maja yang pahit ditemukan di sana. Disebabkan
pekerjaan merabas hutan itu dipimpin oleh Ida
Bagus Pinatih, putra Ida Sang Bang Banyak Wide
atau Arya Wiraraja, maka kepada Ida Bagus Pinatih
diberikan gelar sebagai Sira Ranggalawe.
Sekarang ada daya upaya dari Raden Wijaya akan
menyerang wilayah Kediri. Namun demikian Ida
Arya Wiraraja atau Arya Bang Banyak Wide memberitahu,
agar menunggu kedatangan prajutir Tartar yang
juga akan menyerang Kediri. Arya Wiraraja sudah
mengadakan perjanjian dengan Pasukan Tartar
akan secara bersama-sama menyerang Kediri. Di
tahun Masehi 1292, kerajaan Kediri kemudian
diserang oleh prajurit Tartar dan prajurit Majapahit
yang dipimpin oleh Arya Wiraraja serta putranya
Sira Ranggalawe. Ramai nian perang itu. Tanpa
disangka akhirya kalah Kediri serta Prabu Jayakatwang
berhasil ditawan. Sejak saat itu Raden Wijaya
kemudian menjadi raja dengan gelar Srimaharaja
Kertharajasa Jayawardhana. |
|
Dikisahkan
sekarang Sira Ranggalawe menjabat sebagai Menteri
Amanca Negara, memerintah kawasan Tuban. Arya
Wiraraja tidak diperkenankan untuk berdiam di
Madura, diperintahkan untuk bertempat tinggal
di Majapahit, sebagai Tabeng Wijang Ida Prabu
Kertharajasa. Sejak saat itu Bhupati Arya Wiraraja
berganti gelar, dimaklumkan di seluruh penjuru
negeri sebagai Rakriyan Mantri Arya Adikara.
Diceriterakan Ida sang Prabhu di Majapahit menyelenggarakan
pentemuan besar membahas prihal rencana penunjukan
Patih Amengkubhumi. Kemudian, saat itu Ida Sang
Prabu menunjuk Sira Patih Nambi menjadi Patih
Amengkubhumi. Keputusan itu kemudian didengar
oleh Sira Ranggalawe, kemudian beliau menghadap
ke Kraton Majapahit, berhatur sembah kepada
Ida Sang Natha Kertharajasa, berkenaan dengan
keputusan Ida Sang Prabhu, yang sudah diumumkan
di seluruh negeri yakni Ki Patih Nambi diangkat
menjadi Patih Amengkubhumi, hanyalah satu upaya
yang tidak berguna, jelas negeri ini akan menjadi
tidak baik, sebab Ki Patih Nambi sudah nyata-nyata
pengecut di medan laga. Yang sebenarnya patut
dipertimbangkan soal kesetiannya di medan perang
hanyalah Ki Lembu Sora atau diri beliau sendiri
Sira Ranggalawe, yang patut diangkat menjabat
sebagai Patih Amengkubhumi. Itu sebabnya menjadi
kacau pertemuan itu.
Diceriterakan sekarang, karena tidak dipenuhinya
keinginan Sira Ranggalawe, maka bermohon diri
Sira Ranggalawe pulang menuju Puri Madura, memberitahukan
kepada ayahandanya prihal rencananya akan menyerang
Majapahit, akan menantang Ki Patih Nambi. Disebabkan
karena tidak bisa lagi dihalangi keinginan anaknya
Sira Ranggalawe, maka Arya Wiraraja tiada bisa
berkata lagi. Kemudian menjadi riuhlah perang
yang terjadi, bala tentara Sira Ranggalawe dihadapi
pasukan dari Majapahit. Sira Ranggalawe direbut.
Akhirnya terjadilah perang tanding antara Sira
Ranggalawe melawan Kebo Anabrang , yang akhirnya
keduanya meninggal di medan laga di Sungai Tambak
Beras.
Kemudian adalah utusan yang menghadap ke Purinya
sang ayah Sang Arya Bang Wiraraja. Singkat ceritera,
sang utusan sudah berjalan untuk menghadap Ki
Arya Adikara di Puri Tuban, serta semuanya sudah
dipermaklumkan tentang sabda Raja Majapahit,
serta segala hal yang berkenaan dengan wafatnya
Adipati Ranggalawe, dimana jenazahnya sudah
berada di Puri Majapahit.
Arya Adikara, setelah mendengar atur sang utusan
dari Puri Majapahit, segera memberitahukan rakyat
beliau, sanak saudara sampai kepada cucunya
untuk semuanya bersama-sama menghadap ke Puri
Majapahit untuk menyelesaikan tata upacara Palebon
putra beliau. Setelah selesai upacara palebon
itu, Adipati Arya Adikara memohon diri dari
Puri Majapahit diiringi oleh isteri, menantu
serta cucunya, kembali ke Puri Tuban. |
|
Tidak berapa
lama, Ida Sang Prabhu kemudian memberikan anugerah
berupa sebagian kawasan timur sampai ke pesisir
selatan kepada Sang Arya Bang Wiraraja, disebabkan
ingat dengan perjanjiannya dahulu. Sejak saat
itu Sira Arya Bang Wiraraja menjabat sebagai
penguasa di kawasan yang bernama Lumajang, diiringi
oleh cucunya yang bernama Ida Bagus Pinatih
atau Anglurah Pinatih atau juga disebut Sira
Arya Bang Kuda Anjampyani pada tahun 1295 Masehi.
Lama kemudian, ketika Ida Arya Bang Adhikara
berumur tua, tidak berselang lama beliau menjabat
sebagai penguasa di Puri Ksatriyan Lumajang,
kemudian beliau wafat menuju Sorgaloka. Kemudian
cucu beliau. Sira Bang Kuda Anjampyani dijadikan
pejabat di Majapahit menggantikan kedudukan
kakek beliau bergelar Kyayi Agung Pinatih Mantra.
Inggih, hentikan dahulu keberadaaan Ida Bang
Banyak Wide di kawasan Jawa. |
|
Dikisahkan
juga para raja yang berkuasa di Kerajaan Majapahit.
Sri Maharaja Kertharajasa Jawardhana yang menjadi
raja pada tahun 1294-1309, digantikan oleh putranya
Maharaja Jayanegara atau Kala Gemet dari tahun
Masehi 1309 sampai dengan 1328. Kemudian Bre
Kahuripan /Tribuwana Tunggadewi menjabat raja
pada kurun waktu tahun Masehi 1328-1350. Beliau
kemudian digantikan oleh Sri Hayam Wuruk pada
tahun Masehi 1350-1389. Pada tahun Saka 1258
atau tahun Masehi 1336, Kriyan Gajah Mada diangkat
menjadi Patih Amengkubhumi atau Mahapatih. Kepandaran
dan keperwiraan sang mahapatih demikian terkenal
sampai kelak di kemudian hari. Ada Sumpah Amukti
Palapa yang dikumandangkan oleh Kriyan Mahapatih
Gajah Mada pada tahun Masehi 1336 itu. Adapun
isi Sumpah tersebut : ?Jika telah berhasil menundukkan
Nusantara, saya baru akan beristirahat. Jika
Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo,
Bali, Sunda, Palembang, Tumasik telah tunduk,
saya baru beristirahat.?, demikian ucapan sumpah
beliau ke hadapan sang ratu Rani Tribuwanatunggadewi.
Kemudian ternyata pada tahun Isaka 1265 Bali
diserang.
Demikian keberadaan Ida sang Mahapatih Gajah
Mada. |
|
Sekarang kembali
diceriterakan perihal di Pulau Bali. Dikisahkan
di Bali adalah raja bernama Sri Gajah Waktera
yang dikatakan sebagai seorang pemberani serta
sangat sakti. Disebabkan karena merasa diri
sakti, maka keluarlah sifat angkara murkanya,
tidak sekali-kali merasa takut kepada siapapun,
walau kepada para
dewa sekalipun. Sri Gajah Waktera mempunyai
sejumlah pendamping yang semuanya memiliki kesaktian,
kebal serta juga bijaksana yakni : Mahapatih
Ki Pasung Gerigis, bertempat tinggal di Tengkulak,
Patih Kebo Iwa bertempat di Blahbatuh, keturunan
Kyai Karang Buncing, Demung I Udug Basur, Tumenggung
Ki Kala Gemet, Menteri Girikmana - Ularan berdiam
di Denbukit, Ki Tunjung Tutur di Tianyar, Ki
Tunjung Biru berdiam di Tenganan, Ki Buan di
Batur, Ki Tambiak berdiam di Jimbaran, Ki Kopang
di Seraya, Ki Kalung Singkal bertempat tinggal
di Taro.
Prihal keangkara-murkaan Sri Gajah Waktera itu,
diketahui oleh raja Majapahit Singkat ceritera,
setelah Ki Patuh Kebo Iwa dikalahkan dengan
tipu daya, maka diseranglah Bali oleh Kriyan
Mahapatih Gajah Mada didampingi para perwira
perang seperti Arya Damar sebagai pimpinan diiringi
oleh Arya Kanuruhan, Arya Wang Bang yakni Kyai
Anglurah Pinatih Mantra, Arya Kepakisan, Arya
Kenceng, Arya Delancang, Arya Belog, Arya Mangun,
Arya Pangalasan serta Arya Kutawaringin.
Kemudian diceriterakan pada perang yang terjadi
tahun 1343 Masehi itu, di Tengkulak Peliatan,
Raja Tapolung beserta para patihnya yang bemama
Kebo Warunya dan I Gudug Basur gugur di medan
perang. Namun Ki Pasung Gengis patih utama Dalem
Bedaulu dapat ditawan.
Tiada lama kemudian Ki Pasung Gerigis menyatakan
dirinya menyerahkan diri dan berbhakti kepada
Raja Majapahit, karena itu diperintahkan untuk
mengalahkan Raja Sumbawa yang bernama Dedela
Natha. Akhirnya keduanya wafat di dalam perang
tanding. Sesudah Raja Bedaulu mangkat, maka
Pulau Bali sunyi tidak memiliki penguasa, karena
itu timbul huru hara.
Sebelum itu Ki Patih Gajah Mada sudah memohon
putra Ida Mpu Danghyang Soma Kepakisan - sebagai
pendeta guru utama di Kediri, yang bernama Ida
Sri Kresna Kepakisan, untuk diasuh di Majapahit.
Ida Mpu Soma Kepakisan itu tiada lain saudara
dari Ida Mpu Danghyang Panawasikan, Ida Mpu
Danghyang Siddhimantra dan Ida Mpu Asmaranatha.
Kemudian Ida Kresna Kepakisan mempunyai putra
4 orang, laki tiga, wanita seorang. Pada saat
di Bali serta daerah lain tidak memiliki penguasa,
serta dalam upaya menyelenggarakan Kesejahteraan
di masing-masing wilayah, maka sesuai dengan
perintah Raja Majapahit, Mahapatih Gajah Mada
meminta putra Ida Sri Kresna Kapakisan yang
sudah dewasa untuk dijadikan penguasa atau Dalem.
Pada saat itu putra beliau yang sulung bernama
Ida Nyoman Kepakisan diangkat dijadikan penguasa
di Blambangan, Ida Made Kepakisan menjadi penguasa
di Pasuruan, Ida Nyoman Istri Kepakisan/Dalem
Sukanya di Sumbawa serta yang bungsu Ida Ketut
Kresna Kepakisan, dijadikan penguasa
di Bali. Oleh Mahapatih Gajah Mada, Ida Dalem
Ketut Kresna Kapakisan dianugerahi pusaka Kris
Ki Ganja Dungkul, serta berkedudukan sebagai
Adipati.
Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan - dari Pulau
Jawa, turun di Lebih, kemudian ke arah timur
laut berkedudukan di Samprangan. Di sanalah
beliau membangun Puri pada tahun Masehi 1350.
Sesudah beliau Ida Dalem bertempat tinggal di
puri di Samprangan, mahapatih beliau I Gusti
Nyuhaya bertempat tinggal di Nyuhaya, sementara
para menterinya seperti Arya Kutawangin di Klungkung,
Arya Kenceng di Tabanan, Arya Belog di Kaba-kaba,
Arya Dalancang di Kapal, Arya Belentong di Pacung,
Arya Sentong di Carangsari, Arya Kanuruhan di
Tangkas, Kriyan Punta di Mambal, Arya Jrudeh
di Tamukti, Arya Temenggung di Patemon, Arya
Demung Wangbang Kediri yakni Kyai Anglurah Pinatih
Mantra di Kertalangu, Arya Sura Wang Bang Lasem
di Sukahet, Arya Mataram tidak tetap tempat
tinggalnya, Arya Melel Cengkrong di Jembrana,
Arya Pamacekan di Bondalem, Arya Gajah Para
dan adiknya Arya Getas di Toya Anyar, Selain
dan para Arya tersebut, ada yang
kemudian datang yakni Tiga Wesya bersaudara
: Si Tan Kober, diberikan tempat tinggal di
Pacung, Si Tan Kawur diberi tempat tinggal di
Abiansemal serta Si Tan Mundur berdiam di Cacahan.
Diceriterakan Kyai Angelurah Pinatih Mantra,
diberikan tempat tinggal di Kerthalangu, Badung,
menguasai kawasan Pinatih serta diberikan memegang
bala sejumnlah 35.000 orang, yakni mereka yang
merupakan rakyat dan Senapati Arya Buleteng.
Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan sudah berusia
senja kemudian di
Samprangan beliau wafat berpulang ke Cintyatmaka
pada saat mangrwa wastu simna pramana ning wang
atau tahun Isaka 1302, tahun Masehi 1380. Beliau
diganti oleh putranya Dalem Ketut Ngulesir yang
bergelar Dalem Smara Kepakisan.
Diceriterakan Kyai Anglurah Pinatih Mantra,
memiliki putra laki seorang, bernama Kyai Anglurah
Agung Pinatih Kertha atau I Gusti Anglurah Agung
Pinatih Kejot, Pinatih Tinjik atau I Gusti Agung
Pinatih Perot. Beliaulah yang dikenal menyerang
serta mengalahkan kawasan Bangli Singharsa sewaktu
pemerintahan
Ngakan Pog yang menjadi manca di sana, sesuai
dengan perintah Ida Dalem Ketut Ngulesir atau
Ida Dalem Smara Kepakisan yang menjadi penguasa
tahun Masehi 1380 sampai dengan 1460. Kyayi
Anglurah Pinatih Mantra sudah tua, kemudian
berpulang ke sorgaloka. Kyai Anglurah Pinatih
Kertha Kejot berputra laki dan isteri pingarep
bernama Ki Gusti Anglurah Pinatih Resi, dan
isteri putri I Jurutkemong bernama Ki Gusti
Anglurah Made Bija serta putra laki-laki dari
sor bernama I Gusti Gde Tembuku.
Diceriterakan kemudian, Kyai Anglurah Made Bija
sudah mempunyai putra, namun kakaknya I Gusti
Anglurah Pinatih Rsi belum beristeri. Para putra
Gusti Anglurah Made Bija bernama I Gusti Putu
Pahang, I Gusti Mpulaga utawi Pulagaan, I Gusti
Gde Tembuku, I Gusti Nyoman Jumpahi, I Gusti
Nyoman Bija Pinatih dan I Gusti
Ketut Blongkoran. I Gusti Bija Pulagaan, sesuai
perintah Ida Dalem Ketut Smara Kapakisan kemudian
menjadi Manca di kawasan Singharsa Bangli sejak
tahun Masehi 1453. |
|
|
|
|
|
SIDDHIMANTRA TATTWA
Mahakertawarga Danghyang Bang Manik Angkeran Siddhimantra
Pusat - Propinsi Bali
Sekretariat: Jalan Padma Penatih Kampus Ngurah Rai,
Denpasar, Bali.
Telp: 0361 - 466265 |
|
|
|
|
|
|
|
|