|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Diceritakan
Pedanda Sakti Abah lama berada di Pertapaan
Pedanda Sakti Bajangan, di sana di Bukit Bangli,
Pada suatu ketika, akhirnya menginjak dewasa
ketiga adiknya, sudah wajar diupacarai, diberi
penyucian (padiksan), oleh Pedanda Sakti Abah,
sekarang berganti nama yang sulung Pedanda Wayan
Tianyar, Pedanda Nyoman Tianyar, Pedanda Ketut
Tianyar.
Adapun Pedanda Wayan Tianyar,
kawin dengan seorang putri dari Kekeran, Pedanda
Nyoman Tianyar beristrikan dari Intaran Badung,
Pedanda Ketut Tianyar dari Blaluwan isterinya.
Adapun Pedanda Sakti Abah, beliau pindah pertapaan
ke Banjar Ambengan, selanjutnya bergelar Pedanda
Lering Gunung. Selesai diceriterakan.
Kembali lagi diceritakan Si
Ngurah Batu Lepang, setelah beberapa lamanya,
menghancurkan pertapaan itu, lalu terbukti kutuk
brahmana itu mengena, kegusaran, gundah gulana
bercampur ( menyebabkan ) kesusahan hati, akhirnya
menentang terhadap Sri raja, marahlah baginda
raja, diperintahkan untuk mengangkat senjata,
Sri raja hendak menghancurkan Si Ngurah Batu
Lepang, karena kemarahan sang raja, maka berembug
dengan keluarganya semua, perintah Si Ngurah
Batu Lepang, "Terlebih dahulu gempur raja
pada malam hari, agar meninggal" maka didukung
oleh keluarganya semua, perintah Si Batu Lepang
pula, menyuruh untuk membunuh semua keluarga
dan isterinya, agar tak ada lagi yang diingat-ingat
di rumah, sampai di sana diceritakan.
Diceritakan sang raja, para
punggawa diperintahkan, untuk menghancurkan
Si Ngurah Batu Lepang, semua keluarga sampai
anak isterinya. Semua prajurit itu ribut mengangkat
senjata, banyak tak terhitung, penuh menyebar
ke mana-mana tak putus-putusnya dan para menteri
sang raja, siap untuk menyerbu rumah Si Ngurah
Batu Lepang, diserang bersama. Bingung Si Ngurah
Batu Lepang, kehilangan akal, hingar bingar
prajurit itu, saling berbenturan mendesak bergulat
mengincar keadaan perang itu, meraba-raba tidak
tahu dengan temannya, karena diliputi oleh gelap,
itu sebabnya sama-sama menyalakan obor.
Sekarang kembali mengejar ke
arah timur Si Ngurah Batu Lepang, mundur rakyatnya
Si Ngurah Batu Lepang, karena banyak yang mati
dan menderita, kemudian mengamuk Si Ngurah Batu
Lepang, tidak dapat menahan hati, memarang,
tombak-menombak menusuk kiri kanan, oleh karena
gelap gulita.
Kemudian Si Ngurah Batu Lepang
terhalang tidak melihat jalan, tidak tahu apa
yang harus diperbuatnya, karena banyak rakyatnya
yang gugur, sisa dari yang gugur semua lari
menuju rumah masing-masing. Bingung hati Si
Ngurah Batu Lepang, masuklah ia ke rumah tempat
mesiu, di sana dikejar diburu Si Ngurah Batu
Lepang, dikelilingi oleh banyak prajurit, adapun
belas kasihan perlakuan prajurit dan menteri
semuanya, tak diijinkan membunuhnya dengan mengikat
dan menyiksa. Sadar Si Ngurah Batu Lepang, bahwa
dirinya akan dibunuh dengan siksaan oleh musuh,
kemudian didekatilah bungkusan mesiu itu, kemudian
dibakar, segera menyala menjulang tinggi sampai
ke angkasa, Si Ngurah Batu Lepang pun segera
meninggal, hangus beserta prajuritnya, demikian
akibat kutuk brahmana, karena (dulu ) membunuh
brahmana tidak berdosa, saat kematiannya lama
menemukan hina sengsara.
Sekarang kembali diceritakan
putra Batara Sakti Manuaba bagaimana keutamaannya
yang bernama Bajangan, mempunyai tiga orang
putra laki-laki, yang sulung bernama Pedanda
Bajangan, Pedanda Taman, dan Pedanda Abyan.
Pedanda Bajangan mendirikan pertapaan di Bukit
Bangli, beliau berputra seorang bernama Pedanda
Tajung. Adapun Pedanda Taman, mendirikan pertapaan
di Sidhawa, putra beliau bernama Pedanda Manggis.
Juga Pedanda Abyan, mencari pertapaan di Tagatawang,
mempunyai dua orang putra laki-laki, disebut
Pedanda Buringkit, Pedanda Made Tubuh. Adapun
istri Batara Abah, berputra seorang laki-laki,
disebut Pedanda Abah, beliau bertempat di Bajing,
pemberian dari Sri Raja penguasa. Berputra empat
orang laki-laki, yang sulung bernama Pedanda
Kelingan, Pedanda Gunung, Pedanda Tamu, Pedanda
Abah.
Adapun istri Batara yang bernama
I Gusti Ayu Tianyar, keturunannya tiga orang
laki-laki, yang tertua bernama Pedanda Wayan
Tianyar, Pedanda Nyoman Tianyar, Pedanda Ketut
Tianyar. Beliau merupakan Bagawanta Arya Dawuh,
di Desa Singharsa (Sidemen). Adapun Pedanda
Wayan Tianyar, memiliki dua orang istri, keturunan
Arya Kekeran seorang, berasal dari Jasi seorang,
ada putra lahir dari Kekeran, seorang laki-laki
bernama Pedanda Kekeran, mempunyai seorang adik
perempuan, bernama Laksmi Sisingharsa, lagi
pula putra beliau yang lahir dari keturunan
Jasi, bernama Pedanda Tianyar, seperti nama
ayahnya, adiknya perempuan bernama Pasuruhan.
Beliau Pedanda Wayan Tianyar,
yang memiliki dua orang istri, seorang dari
Intaran, dari Blaluwan seorang, keturunan yang
lahir dari ibu Intaran, Pedanda Wayan Intaran,
Pedanda Made Intaran. Keturunan dari Blaluwan,
seorang perempuan disunting oleh Pedanda Wayan
Kekeran. Pedanda Ketut Tianyar, beristrikan
Ngurah Sukahet, berputra tiga orang laki-laki,
yang sulung bernama Pedanda Sukahet, Pedanda
Made Wangseyan, dan Pedanda Ketut Wanasari.
Adapun istri Batara yang bernama
Kutuh, mempunyai seorang putra laki-laki, bernama
Pedanda Kutuh, kawin dengan perempuan dari Karangasern,
memiliki empat orang putra laki-laki, Pedanda
Wayan Karang, Pedanda Made Karang, Pedanda Nyoman
Karang, dan Pedanda Ketut Karang.
Adapun Istri Batara yang berasal
dari Sambawa, berputra seorang laki-laki, bernama
Ida Raden, kemudian beliau berputra bernama
Ida Panji, beliau sudah tercatat.
Diceritakan kembali, I Gusti
Nyoman Tianyar, yang berada di Pamuhugan, melahirkan
keturunan lima orang anak laki-laki, tertua
I Gusti Ngurah Sangging, adiknya I Gusti Made
Sukangeneb, I Gusti Nyoman Tianyar, I Gusti
Ngurah Diratha, yang bungsu I Gusti Ngurah Intaran.
Pada akhirnya seperti mendapat
petunjuk dari leluhur, habis semua isi rumah
beliau, hutan ( ladang ) sawah, ada yang digadaikan,
ada yang dijual, ke desa lain, oleh karena menuruti
hawa nafsu, I Gusti Nyoman Tianyar menjadi tidak
henti-hentinya bingung pikirannya, menjadi kasihan
setiap ia melihat anak-anaknya yang masih kecil.
Kemudian di dengar oleh Batara
Wayan Tianyar kasihan terhadap kesusahan I Gusti
Nyoman Tianyar, maka beliau pergi menuju Desa
Pamuhugan. Maka disuruhnya I Gusti Nyoman Tianyar,
mengambil warisannya dahulu berupa sebidang
tanah, yang berada di Sukangeneb.
Berkata I Gusti Nyoman Tianyar,
Ucapnya. "Jika demikian saya tidak mau
kembali ke Sukangeneb Toya Anyar". Berpikir-pikir
Batara Wayan Tianyar, tentang kehancurannya
di sana, terketuk hatinya sangat kasihan melihat
keluarga beliau I Gusti Nyoman Tianyar"
Wahai keluargaku semua, jangan anda di sini,
mari bersama-samaku di Singarsa, saya memberi
anda tempat, sebab kami tak bisa berpisah dengan
anda".
Diceritakan sekarang I Gusti
Nyoman Tianyar semua mengikuti Batara Wayan
Tianyar, berbondong-bondong bersama anak isterinya,
tidak diceritakan dalam perjalanan tiba di Singharsa,
I Gusti Nyoman Tianyar disuruh membangun rumah
di Abyan Sekeha, wilayah Dusun Ulah yang disebut
Malayu, dijadikan pengawal pendamping dari asrama
Batara di kota Singharsa.
Adapun putra beliau Batara
Wayan Tianyar, yang bernama Batara Wayan Kekeran,
pindah asrama ke Pidada, kawin dengan putra
Batara Nyoman Tianyar, menjadi istri beliau,
mempunyai dua orang putra, yang tua bernama
Pedanda Nyoman Pidada, adiknya bernama Pedanda
Ketut Pidada, sama-sama mencapai keutamaan.
Pedanda Nyoman Pidada, pindah asrama menuju
ke Pangajaran, Pedanda Ketut Pidada pindah pertapaan
ke Sinduwati, sama-sama mempunyai keturunan.
Kembali diceritakan Pedanda Wayahan Kekeran,
yang berada di Pidada, memiliki seorang putra
laki-laki lahir dari golongan bawah yang bernama
Ni Jro Dangin, putra itu bernama Ida Wayan Dangin.
Sekarang diceritakan kembali
Pedanda Wayan Intaran, berada di Gelgel, memiliki
murid dari golongan Sulinggih empat orang. Adapun
Pedanda Made Intaran, beliau berada di Toya
Mumbul, beliau pindah dari Toya Mumbul, pindah
menuju desa Duda, beliau menetap di sana, kawin
dengan putra Pedanda Wayan Kekeran, berputra
dua orang laki-laki bernama Pedanda Wayan Intaran,
di Pendem. Pedanda Made Intaran. Adapun Pedanda
Wayan Intaran memiliki anak dua orang, yang
sulung bernama Pedanda Nyoman Intaran, Pedanda
Ketut Intaran, mengembangkan keturunan di Pendem
dan di Kediri Sasak. Adapun Pedanda Made Intaran,
berputra dua orang laki-laki, yang sulung bernama
Pedanda Nyoman Paguyangan, berasrama di Sindhu,
Pedanda Ketut Tianyar di Pidada, ada keturunan
beliau di Pasangkan berhasil dalam mengobati
segala penyakit.
|
|
Diceritakan Pedanda
Sukahet, memiliki dua orang istri, seorang putri
dari Pedanda Wayan Kekeran, dari Banjar Kebon
seorang, istri dari golongan Brahmana tersebut
memiliki putra, namanya Pedanda Wayan Sukahet,
(dan) Pedanda Made Sukahet, bertempat tinggal
di Banjar Wangseyan, kemudian beliau pindah
ke Wanasari, kemudian pindah lagi ke Pasedehan.
Adapun putra beliau yang lahir dari istri yang
berasal dari Banjar Kebon, bernama Ida Nyoman
Banjar, keturunannya berada di Abyan Tubuh daerah
Sasak. Adapun Pedanda Made Sukahet, memiliki
putra laki-laki bernama Pedanda Sukahet, sedangkan
Pedanda Wanasari, putranya bernama Pendeta Wayan
Wanasari, beliau yang melahirkan keturunan yang
berada di Sindhu daerah Sasak.
Cerita Kembali lagi, diceritakan
putra beliau I Gusti Nyoman Tianyar, setelah
waktu berselang lama, beliau yang memiliki lima
orang anak kini telah tumbuh dewasa. Adapun
I Gusti Ngurah Diratha, pindah rumah tinggal
di Kubu Juntal, memiliki keturunan, di antaranya
I Gusti Ngurah Bratha, kemudian berganti nama
menjadi I Gusti Ngurah Bhujangga Ratha. Adiknya
bernama I Gusti Ngurah Tianyar. pindah menuju
Katawarah. menetap di sana. I Gusti Ngurah Cakrapatha,
di Bhawana. Yang bungsu I Gusti Ngurah Gajah
Para, di Kubu, mengembangkan keturunan yang
berada di Tongtongan, Bubunan, Bondalem, Bakbakan,
Antiga, Gamongan.
Adapun I Gusti Ngurah Intaran,
mendirikan tempat tinggal di Banjar Getas Tianyar.
Keturunannya ada tiga orang, I Gusti Ngurah
Cadha, I Gusti Ngurah Cadha Sukangeneb, I Gusti
Ngurah Bhojasem yang memiliki keturunan berada
di Tista, semuanya memiliki keturunan. Adapun
I Gusti Nyoman Tianyar, menjadi pengiring Pedanda
Made Intaran, di Toya Mumbul, di sana menetap
dan memiliki keturunan.
Adapun I Gusti Made Sukangeneb,
berada di Singaraja, memiliki empat orang putra,
yang sulung I Gusti Wayan Tianyar, pindah ke
Badung. Adiknya bernama I Gusti Made Danti,
pindah menuju Panghi. I Gusti Nyoman Tianyar
pindah menuju Mataram di daerah Sasak, yang
bungsu I Gusti Ketut Tianyar, menetap di Antiga.
Adapun I Gusti Ngurah Sangging,
beliau masih menetap di Abyan Sekeha ikut dengan
ayahnya. Kemudian beliau melakukan diksa, berganti
nama menjadi I Gusti Wayan Tianyar.
Adapun I Gusti Ngurah Sangging,
memiliki tiga orang anak. Putra tertua I Gusti
Ngurah Subratha, adiknya I Gusti Ngurah Jathakumba
pindah menuju Pangi, yang bungsu bernama I Gusti
Ngurah Ketut Tianyar, pindah menuju Bajing,
memiliki keturunan dua belas orang.
Adapun beliau I Gusti Ngurah
Subratha, mulanya tinggal di Jumpungan, setelah
didiksa kemudian pindah asrama ke Abyan Sekeha.
Berganti nama menjadi I Gusti Wayan Tianyar
Taman. Pindah asrama ke Sindu, menjadi pengikut
Pedanda Ketut Pidada, pada waktu mendirikan
asrama di Sindhu.
Adapula kolam peninggalan beliau
di Patal, berupa tempat penyucian waktu di pertapaan,
sangat kemilau dan menyenangkan di Patal, dihiasi
dengan berbagai bunga, di tepi kolam tersebut,
merupakan tempat bercengkrama Pedanda Ketut
Pidada. Beliau juga mendirikan tempat pemujaan,
tiga buah, sebuah untuk pemujaan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, ada (pula) titah beliau Pedanda
Ketut Pidada terhadap I Gusti Wayan Tianyar
Taman, Duhai anaku Wayan Tianyar, ini bangunan
untuk memuja dewa, tiga buah. Ananda nantinya
yang menjadi pemangku, kemudian saya juga berada
di sana, dipersatukan dengan beliau Sang Hyang
Siwa, jangan tidak disucikan, sampai nanti seterusnya,
anda yang menjadi pemangku untuk keluarga saya,
bagian yang sebelah utara diupacarai. Untuk
semua keturunanmu, itu yang di sebelah selatan.
Karena itu, jangan melupakan keturunan saya
juga keturunanmu yang seterusnya dapat menemukan
Surga (kebahagiaan). I Gusti Wayan Tianyar Taman
mengiyakan, sampai ke lubuk hati, cerita disudahi.
Adapun I Gusti Wayan Tianyar
Taman, beliau memulai menetap di Sinduwati,
mengambil wanita menjadi isterinya dan keturunan
Pulasari, memiliki putra seorang bernama I Gusti
Gede Tianyar, kemudian beliau juga didiksa.
Adapun I Gusti Gede Tianyar, berputra seorang
laki-laki, tidak berbeda tingkah laku dengan
leluhurnya, beliau juga didiksa, bernama I Gusti
Gede Tianyar Sekar. Adapun I Gusti Gede Tianyar
Sekar, memiliki tiga orang keturunan, I Gusti
Gede Tianyar, I Gusti Made Tianyar Blahbatuh,
adiknya I Gusti Made Tianyar Tkurenan, beliau
pada akhirnya menjadi Rohaniwan.
Demikian perkembangan keturunan
yang berada di Sinduwati, daerah Singharsa,
lengkap dengan tempat pemujaan Dewa, bernama,
Pura Puri Anyar Sukangeneb, diteruskan dari
sejak dulu, masa kini dan masa yang akan datang.
Cerita disudahi.
Ya Tuhan semoga selalu berhasil.
Ini petunjuk/tingkah laku keturunan Manu, pesan
beliau Batara Manu, agar ditaati oleh para keluarga
dan keturunan, tentang lahirnya dari keturunan
Manu. Jika petunjuk/kewajiban/ajaran ini sudah
dikuasai, dapat menyebabkan kesembuhan/menghilangkan
sengsara dalam diri, jika badan dapat dijaga
dengan baik, atas perintah pikiran yang tak
ternoda. Tidak tercoreng oleh noda-noda yang
menyakitkan telinga, begitu pula nafsu dan tamak/loba,
itu tujuannya untuk mendapatkan kesenangan yang
besar, lebih-lebih keutamaan batin, kenali perbuatanmu
masing-masing.
Singkatnya, ajaran/tuntunan
perbuatan itu sungguh dipahami, dan dilaksanakan,
jangan gegabah dengan segala perilaku, itu dapat
menjagamu (agar) tidak menyimpang dari sifat-sifat
manusia, oleh karena tahu akan penjelmaan. Tidak
bercampur-baur dengan kaum Ekajati hendaklah
dipilih yang pantas dijadikan sahabat, apa sebab
demikian, karena engkau sungguh manusia yang
baik, keturunan dari golongan Manu, hendaknya
ingat dengan tugas masing-masing, lebih-lebih
dalam melaksanakan aturan brata, utamakanlah
kesetiaan dan kebaikan yang dapat mengontrol
perbuatanmu, tidak diselingi perbuatan salah,
perbuatan durjana, ini ajaranmu yang pantas
diikuti dan dilarang mendatangkan mala petaka
kutuk, ditujukan kepada siapa saja, ditujukan
kepada semua keturunan dan warga Manu.
|
|
Pada jaman dahulu
kala, di India, beliau Batara penguasa tertinggi,
dapat dikalahkan, oleh musuh, ditangkap dipukul
dan disiksa, tidak dapat membela diri, akhirnya
lari dengan tidak menentu, ingin masuk ke tengah
hutan, masuklah ia di bawah biji tumbuhan Jawa,
dinaungi oleh tumbuhan hea beras, ada burung
perkutut dan bayan, lagi pula (ada) sapi hitam
mulus. Di sana burung tersebut memakan biji-bijian,
menampakkan keadaan yang wajar, burung itu bersuara,
sapi itu jinak tidak liar. Oleh karena demikian,
dikira oleh musuh beliau Batara, tidak ada orang
di sana, segera ditinggalkan, pada akhirnya
selamatlah beliau. Pergilah beliau menuju Jawa,
dinobatkan menjadi pemimpin negeri, beliau berwasiat,
seketurunan Wisnuwangsa tidak memakan daging
perkutut, dan Bayan, apalagi daging sapi yang
bulunya berwarna hitam mulus, wija maya (Jawa),
eha beras, sama-sama tidak boleh yang melanggar,
oleh semua keluarga seketurunan golongan Wisnuwangsa.
Demikian wasiat beliau Batara
Manu. Apabila tercela dalam kehidupan, lebih-lebih
untuk mengabdi, terhadap keluarganya, akibat
kesulitan penghidupan, oleh karena itu menjadi
melanggar pedoman hidup, itu tidak merupakan
dosa, berhak bila merendah terhadap saudara,
sebab satu keturunan, seperti perputaran roda
pedati, dapat di bawah dan dapat pula di atas.
Jika engkau memohon bantuan/perlindungan terhadap
orang bawah, ya dapat pula merendahkan derajat,
berakibat menyimpang dari etika, menyebabkan
terperosok ke dalam sumur mati, menjadi manusia
biasa ( ekajati), tidak memiliki nama baik,
senang makan minum kepunyaan orang lain, itu
namanya hina, tidak dapat disucikan, ( hendaknya
) dijadikan pedoman bagi empat golongan manusia,
janganlah engkau meniru perbuatan tersebut,
semoga selamat, panjang umur, sempurna, sampai
sanak saudara dan keturunannya, selamanya disenangi
di bumi, ya Tuhan semoga senantiasa berhasil.
Ini adalah jenis busana (alat)
yang dapat/bisa digunakan dalam upacara kematian,
ijin dari beliau Sri Raja Batur Renggong, engkau
bisa menggunakan busana manusia utama, sesuai
dengan tata cara kerajaan (Dalem), menggunakan
peti usungan, upacara penyucian, upacara Ngaben
dengan membakar jenazah, bade ( tempat usungan
) bertumpang sembilan, taman agung, candra sari,
cakraantita trawangan, tempelan kapas lima warna,
sembilan tumpang warna warni, kain panjang,
cemeti dari bulu merak yang panjang dan burung
cendrawasih berkuncir, balai-balai dari bambu
gading, gender yang digotong menyertai bade
(tempat usungan), binatang singa bersayap, yang
lain sapi/lembu jantan yang hitam, magumi undag
sapta, balai silunglung, lengkap dengan kajang
(kain penutup may at) dengan perlengkapannya,
walantaga, pakelem yang dibuat dari emas, lengkap
dengan kawat emas, parbha padma lenkara, bukan
diikatkan pada galar. Harus diberi tirta (air
suci) untuk ukuran yang utama dengan uang (harga)
16.000, menengah 8.000, sederhana harga 4.000,.
Kelanjutan dari (upacara) kematian, boleh melakukan
upacara Atma wedhana, upacara baligya sradha,
menengah panileman, mangrorasin.
Demikian rangkaian upacara
pengabenan tingkatan utama, boleh menggunakan
kawat emas, itu perwujudan dari delapan penjuru
arah yang di tengah-tengahnya terdapat bulatan
yang bertuliskan Dasa Aksara. Berapa besar bahaya
keutamaannya? Kamu tidak tabu, hanya keinginan
untuk mempercayai orang lain, mengikat galar,
tidak tahu dengan maknanya, jika engkau ingin
mengetahuinya inilah sebenarnya, Hurat mawrat,
tar porat, jika memakai perlengkapan yang berat
( berlimpah ), menengah namanya. Jika tidak
memakai perlengkapan yang berbobot, bernama
nista (sederhana). Jika menggunakan/berbobot
perlengkapannya, bernama besar (utama). Rupa/fungsi
kawat emas, bagaimana bentuk kawat mas? Kain
putih, lebarnya seukuran destar, itu sebagai
alas, simbul tikar, di tempel bentuk Ongkara
kawat mas, tidak boleh digambari (dirajah) oleh
orang kaum rendah (Sudra), yang berhak juga
brahmana.
Setelah siap/sedia , dipasang
di atas bagian hulu pawalungan, itu melambangkan
padmanglayang, setelah jenazah diperciki dengan
tirta pangentas, ditutupi dengan kawat emas,
agar sama-sama terbakar dengan jenazah, itu
bermakna utama.
Apa keutamaannya ? Ini kenyataannya,
dahulu di Surga, pada waktu semua roh berkumpul,
dijemur di teriknya panas, ada satu roh, terbebas
oleh panas, tertutup oleh awan, kemudian ditanyai
oleh Sang Suratma, diperiksa tulisan di kepalanya,
menjawab roh itu, mengaku memakai kawatamas,
berbentuk padma reka, itu sebabnya terbebas
dari kekeringan. Itu kemudian ditiru oleh yang
mengetahui keadaan tersebut, karena kawat emas
itu sangat utama, demikian diberitakan, jangan
ceroboh.
Ini petunjuk perilaku Arya
Gajah Para yang menjadi rohaniawan. Bagi yang
melaksanakan/menjadi Resi, diwajibkan melakukan
diksa brata boleh mengenakan jujumpung dan rambut
di sanggul , seperti pakaian seorang pendeta
Siwasidhanta (sekta Siwa), juga boleh bercukur
pendek seperti pendeta golongan Budha. Berpakaian
serba putih, harus memakai tongkat yang berukuran
panjang setinggi badan, pada ujungnya bhajra
yantu, tidak boleh lepas tongkat itu, dibawa
pada saat bepergian, sebagai tanda itu, untuk
tidak salah tafsir. Jika sudah diberi tanda,
menggunakan tongkat bhajra yantu, yang menjadi
ujungnya, itu sesungguhnya adalah Bhujangga
Resi, tidak keliru (bila) akan bertanya, karena
masih ada yang menandakan. Jika dia Resi, Bhujangga,
berjalan tanpa tongkat, itu dapat membuatnya
terserang noda/kotor, bagaimana ia itu, ketiga
aliran sulinggih, berjumpa di jalan, Semuanya
menyapa, disertai tercakupnya kedua telapak
tangan, serta membungkukkan badan, sang Resi
segera berkata, mengaku dirinya bukan pendeta,
mereka sang tri wangsa menjadi malu, dalam benaknya
salah sangka, marah dalam hatinya, segera terdengar
suara cemoohan, menimpa diri Sang Resi, itulah
sebabnya berjalan dengan tongkat, baru kelihatan
keadaan yang nyata (kejatiannya), wajah Resi
Bhujangga, pendeta bertabiat tenang dan murid
sang pendeta.
Demikian perilaku Resi Bhujangga,
jangan tidak berhati-hati, menjaga tingkah laku
itu, jelas sang Adi Guru, semoga tidak bercampur
dengan pikiran kotor, bagaikan kristal permata,
pikiran itu serta bersih berkilap tidak berawan,
tidak menentang perintah, sang Adi Guru, sekalipun
tertimpa hujan dan panas, berat ringan, lebih-lebih
turun ke sungai jurang yang dalam dan tidak
dirisaukan oleh orang yang menjunjung dharma,
bising hening menahan lapar, dahaga menginginkan
agar berhasil perintah sang Adi Guru, bersama
orang yang wajib dihormati, sampai dengan keluarga
sang Adi Guru, putri guru, kakak guru, adik
guru, paman guru, kakek guru, keluarga guru,
cicit guru seluruh anggota keluarga, kawan,
keluarga sang Adi Guru, hendaknya semua dapat
dihormati. Karena semua pengajar (guru) dianggap
berasal dari perbuatan utama ( baik ).
Lagi pula seorang Resi tidak
berhak mencarikan jalan bagi orang yang satu
keturunan (sidikara) bila meninggal, jika mencarikan
jalan keluarga, itu akan menjadi rendah (nista),
bukan orang yang telah suci, apa sebabnya demikian,
karena seorang Resi itu adalah dari keturunan,
maka hilanglah keharumannya, tidak dapat disucikan/diupacarakan
oleh sang pendeta Brahmana. Kemudian ada salah
seorang berkeinginan untuk menyucikan diri menjadi
pendeta, berlaku seperti Resi Bhujangga, itu
tidak dapat didiksa, puasa, oleh beliau Mpu
Dhang Guru Brahmana, karena murid Resi, bukan
keturunan wiku, brahmana, seorang petani tulen
menjadi utama, demikian celakanya bila dicarikan
jalan oleh Resi.
Lagi jika upacara hayu (bukan
duka ), upacara penyucian diri, upacara tentang
kehidupan, itu dapat dipimpin oleh Resi, tetapi
sebelumnya menyampaikan perkenan kepada Dhang
Guru agar tidak berbuat sekehendak hati, lancar,
bebas/terlepas dari kekurangan lebih-lebih membuat
bingung, tidak berhasil, sebagai akibat kurang
nasihat dari sang Adi Guru, ikut terbawa-bawa
sang guru, oleh karena pelaksanaan keliru muridnya,
itu juga sama-sama menyebabkan ditaati, memohon
restu kepada sang Adi Guru, pada waktu melaksanakan
upacara, lagi pula pada saat sang Guru dalam
wujud Ardhanareswari menyatu ke alam sunyatmaka
(Surga), Sang Resi harus mempersembahkan air
suci pada kaki, menghaturkan penyucian kaki
beliau. Juga pada waktu hari raya Galungan tiba,
Kuningan, pada saat itu sang Resi (juga) mempersembahkan
daging untuk pelaksanaan Galungan, sebagai persembahan
layaknya hormat kepada Gumi. Lagi pula ingatlah
tata krama itu, menghadap sang Adi Guru, jangan
sembunyi-sembunyi, pergi (juga ) sembunyi-sembunyi,
tidak mengabaikan bimbingan, tidak memalingkan
muka, tidak salah dengar, tetap menatap muka,
setiap berucap dan berkata dengan hormat, jangan
menutupi pembicaraan yang tidak benar, tidak
mencampuri pembicaraan Adi Guru, tidak menyangkal
perintah, mempercepat dapat dimengerti, jangan
tetap membenarkan terhadap apa yang belum benar,
tidak mengeruhkan permandian sang Adi Guru,
tidak menolak perintah, tidak menginjak bayangan
sang Adi Guru, tidak menduduki tempat duduk
sang Guru, tidak turun naik dalam perasaan,
tidak memotong-potong pembicaraan sang Adi Guru,
jangan sering lemah dan memudar, dan juga awasi
dari kejauhan, jika belum nyata/ pasti tentang
keadaan sang Adi Guru, jangan segera mencampuri,
jangan berbicara dan menjawab dengan membalikkan
punggung.
Demikian tata cara seorang
putra guru, putri guru, kakak guru, adik guru,
ada penghormatan yang tulus dari dalam hati,
dengan suara yang lembut, bahasanya/nadanya
datar, ucapannya mempesona, dengan perkataan
Ida Bagus, Ratu Ida Ayu, lagi pula saat menghadap
sang Adi Guru, jika terlihat putra sang Guru,
putri guru, kakak dan adik guru, ajak (tawari)
duduk bersama, jangan engkau menghalangi duduk,
juga jangan membelakangi, jangan menyuguhkan
makanan yang telah diambil dengan tidak teratur.
Jika telah tiba saatnya meninggal, engkau dapat
meminta untuk menggunakan Padmasana, apa sebabnya
bisa, karena engkau merupakan perlindungan manusia,
menjadi sahabat sang pendeta menceriterakan
jalan/mengupacarakan orang yang telah meninggal,
sekalipun engkau gadis yang kecantikannya telah
menyusut, gadis (istri ) Resi panggilanmu, sama-sama
bisa/dapat menjadi pelindung manusia, memakai
gelung kesa gagato seperti pakaian istri pendeta.
Demikian tata cara sang Resi,
taat terhadap sang brahmana, jangan mabuk menganggap
diri tabu, engkau merupakan wadah berbunyi,
sang pendeta yang mengisinya, menghidupkan,
dan memberikan kekuatan jagat, beliau dianggap
air kehidupan, sekalipun wadah itu bocor, tetapi
memiliki kewenangan untuk menyalurkan kehidupan,
berbeda dengan kulit seekor kambing, dipakai
oleh Baladewa, menimba air dari sumur, sekalipun
pekerjaan suci, waspadai baunya yang busuk,
karena dicemari oleh tempat. Demikian perbuatan
yang alpa, itu sebabnya di waspadai oleh yang
menjunjung dharma ( kebenaran ), berusaha melaksanakan
tiga perbuatan baik, agama, kebaikan, tingkah
laku yang baik.
Ini purana (silsilah /cerita
kuno ) tentang area perwujudan di Pura Puri
Anyar Sukangeneb, yang berada di Sinduwati,
Singharsa, dipuja oleh para keturunan beliau
semua. Ahli waris yang memelihara, para keturunan
Jro Gede Wiryya, keturunan dari I Gusti Gede
Tianyar, beliau memang bersaudara, tiga, anak
dari I Gusti Gede Tianyar Sekar. |
|
|
|
|
|
|
|
|