|
|
|
|
|
|
|
Bagian 2 |
|
|
|
Sekarang kembali
diceritakan I Gusti Ngurah Kaler, mempunyai
empat orang putra dari seorang ibu lahir dari
I Gusti Ayu Diah Lor, putra tertua bernama I
Gusti Gede Kaler, pindah menuju desa Antiga,
berdiam di sana dan mengembangkan keturunan,
putra kedua I Gusti Made Kekeran, pindah menuju
Desa Kubu, berkembang di sana. Putra ketiga
I Gusti Nyoman Jambeng Campara, pindah ke Desa
Sukadana Tigaron, menetap dan mengembangkan
keturunan di sana. Adapun yang bungsu I Gusti
Ketut Kaler Ubuh, lahir di Tanggawisia, beliau
dijuluki Ubuh, karena ayahnya meninggal pada
saat masih dalam kandungan ibunya Sang Diah
yang setia terhadap suami, akhirnya tinggal
dan mengembangkan keturunan di Tanggawisia,
dihentikan penuturannya sebentar. Cerita kembali
lagi, pada I Gusti Gede Pulaki, diambil anaknya
I Gusti Bendesa Pulaki, dikawinkan menjadi istri
bernama I Gusti Luh Mas. Selanjutnya I Gusti
Ngurah Pegametan, beliau tinggal di desa Pegametan.
Adapun saudara beliau I Gusti Gede Pulaki, tinggal
di desa Pulaki, putra beliau laki-laki, terlanjur
sudah, beliau meninggal. Sedih hatinya I Gusti
Gede Pulaki.
Diceritakan sekarang Batara
Nirartha, adik dari Mpu Angsoka, putra dari
Hyang Danghyang Asmaranatha, beliau menemukan
kemurahan batin, datang di Bali, menaiki buah
labu (waluh kele), dan sampan yang bocor, mendarat
di tepi pantai Purancak, mampir di pondok I
Gusti Gede Pulaki, beserta putra beliau semua.
Ada putra Batara Nirartha, laki perempuan lahir
dari golongan Brahmana Keturunan Daha, yang
sulung sangat cantik dan parasnya menawan, tidak
ada yang menyamai di dunia, harum semerbak baunya.
Adiknya bernama Pedanda Kemenuh, lagi pula ada
saudara beliau seorang perempuan, menikah dengan
Mpu Astamala beliau dari Aliran Budha
Ada pula anak beliau yang lahir
dari putri Brahmana dari Pasuruhan, empat orang
laki-laki, tertua Pedanda Kulwan, Pedanda Lor,
Pedanda Ler. Ada lagi putra dari Pedanda Batara
Nirartha, laki perempuan, ibunya dari golongan
Kesatria saudara dari Dalem Keniten Blambangan,
bernama Patni Keniten. Istri Pedanda Rai, pendeta
perempuan tidak bersuami, Pedanda Telaga, Pedanda
Keniten.
Kembali lagi pada cerita, Batara
Nirartha, berada di pondok I Gusti Gede Pulaki,
disambut dan diterima oleh I Gusti Gede Pulaki,
beliau berucap "Aum-aum hamba sangat bahagia
atas kedatangan sang pendeta, apa tujuan tuan
pendeta, katakan yang sebenarnya", Danghyang
Nirartha menjawab, "Aum Ngurah Gede Pulaki,
tujuan saya datang padamu, maksud saya untuk
menyembunyikan putraku sekarang, takut saya
jika ia datang di kerajaan menghadap pada raja,
karena harum semerbak bau tubuhnya, juga sangat
cantik paras mukanya, maksud saya sekarang untuk
menyatukan kembali ke alam sepi (alam gaib),
I Gusti Gede Pulaki menyetujui dan berkenan
mengantar, seraya memohon ikut ke alam gaib
ia bersedih dan berduka karena terputus keturunannya,
tidak ada lagi putranya, diam ( lah ) Batara
Nirartha, memikirkan perasaan hati I Gusti Gede
Pulaki. Maka bersabdalah Batara Nirartha, sabdanya,
"Duhai Ngurah Pulaki, apa sebabnya demikian,
menjadi sangat sedih perasaan hatimu, janganlah
engkau demikian". Bersikeras I Gusti Gede
Pulaki, memohon restu, agar ia mengiringkan
menuju alam gaib. Dengan demikian dikabulkan
semua perkataan I Gusti Gede Pulaki, bersama
putra beliau, beserta semua prajuritnya mengiringkan
putra beliau (Batara Nirartha) tidaklah nampak
lagi di alam nyata oleh semua orang.
Diceritakan sekarang berhubung
dipenuhinya permintaan I Gusti Ngurah Pulaki,
senanglah hati beliau, maka menyiapkan prajurit,
kemudian disuruh membuat upacara selamat, di
Pura Dalem, lengkap dengan sanggar cucuk, masing-masing
pasukannya disuruh untuk memasang di pintu masing-masing,
pada had Kamis Kliwon, lengkap dengan sesajennya.
Dengan sekuat tenaga Batara Nirartha, melakukan
yoga smertti, terhadap Batara Berawa, beserta
penghormatan dan permohonan, kemudian dianugerahi
beliau oleh Batara sarana untuk tidak tampak
di alam ini, oleh semua orang.
Segera setelah itu ada terlihat
tabung bambu kuning bergelayutan, tanpa gantungan,
dari dalam sebuah tempat pemujaan di kahyangan
( pura ), tidak lama kemudian keluar baju loreng,
dari lubang tabung bambu kuning tersebut. Segera
diambil baju itu oleh semua orang. Demikian
pula I Gusti Ngurah Pulaki, sama-sama disuruh
mengenakan pakaian itu, masing-masing sebuah,
di sana orang-orang itu semua dan I Gusti Ngurah
Pulaki, segera berubah wujud, menjadi harimau,
desa tempat tinggal itu, hilang tidak tampak
di alam ini. Adapun putra beliau Batara Nirartha,
secara gaib menyatu di alam tidak tampak, berdiam
di Mlanting, di puja oleh orang yang tidak kelihatan
(samar), sampai sekarang.
Cerita kembali lagi, waktu
I Gusti Ngurah Pulaki, memohon berubah wujud
menyatu dalam alam tidak tampak mengikuti Batara
di Mlanting, I Gusti Ngurah Pegametan, sedang
tidak ada di rumah, beliau pergi mengunjungi
Bendesa Kelab, yang berada di Jembrana. Beberapa
hari berada di sana, kembali pulang dia ke Pulaki,
bersama semua pengiringnya, tidak diceriterakan
dalam perjalanan, segera sampai di perbatasan
desa, kaget perasaannya I Gusti Ngurah Pegametan,
karena tidak seperti sedia kala, bingung perasaan
I Gusti Ngurah Pegametan ………………….
"Wahai saudaraku, apa
sebabnya tidak tampak olehku penduduk desa itu,
tidak seperti sedia kala tempat tinggal desaku
saat ini ".
Kemudian terdengarlah suara-suara
binatang bercampur dengan suara harimau, mengaum
ribut tiada tara. Terkejut perasaan I Gusti
Ngurah Pegametan, tidak kepalang tanggung hati
I Gusti Ngurah Pegametan, ingin mengadu keberaniannya,
beliau marah dan mengumpat-umpat, ujarnya "
Hai engkau harimau semua, tampakkanlah wujudmu,
hadapi keberanianku sekarang.
|
|
Segera I Gusti
Ngurah Pegametan melangkah, tidak kelihatan
yang bersuara gemuruh itu, kemudian beliau berjalan
hendak meninjau Toya Anyar. Berjalan beliau
bersama prajurit, sampai tiba di Rajatama, perjalanannya
diikuti oleh wujud yang maya itu, sekilas tampak
berupa harimau, semua pengikut itu perasaannya
menjadi takut, semakin mendekat harimau itu,
perilakunya seperti orang menghormat, menunduk
pada I Gusti Ngurah Pegametan, kemudian mengumpat
serta menghunus keris. Jadi hilang rupa bayangan
itu, segeralah beliau melanjutkan perjalanan.
Tidak diceritakan desa yang telah dilewati,
orang-orang yang mengiringinya, diceritakan
sekarang telah sampai di desa Wana Wangi, banyak
pengiring itu berlarian teringat para pengiring
yang hilang sebanyak lima puluh orang, karena
jurangnya menyulitkan berbahaya dan terjal diliputi
oleh gelap, tidak terlihat keberadaan di dalam
hutan.
Tidak terpikir oleh I Gusti
Ngurah Pegametan, tidak menghiraukan lembah
terjal perjalanan beliau, segera sampai di Samirenteng.
Menuju ke timur perjalanan beliau, sampailah
beliau di hutan sekitar Sukangeneb Toya Anyar.
Beristirahatlah beliau di sana, dihitung prajuritnya,
dulu diiringi oleh dua ratus prajurit, telah
hilang tersesat lima puluh orang, sekarang pengiringnya
tinggal seratus lima puluh orang, itulah sebabnya
( tempat itu ), bernama Desa Karobelahan sampai
sekarang.
Adapun lima puluh orang pengikut
yang tersesat, dikumpulkan bertempat di Bengkala.
Adapun beliau I Gusti Ngurah Pegametan, beserta
pengikut menuju keluarganya di Sukangeneb Toya
Anyar. Tidak diceritakan sekarang untuk sementara.
Cerita kembali lagi, sekarang
diceritakan beliau Arya Gajah Para, setelah
lama beliau berada di Sukangeneb, Toya Anyar.
Karena masa tuanya, pada saatnya akan dijemput
oleh Kala Mrtyu ( Kematian ), sudah tampak tanda-tanda
kematiannya. Sudah diyakini oleh beliau, tidak
boleh tidak beliau pasti akan meninggal.
Ada pesan beliau terhadap cucunya,
yang bernama I Gusti Ngurah Kaler, katanya "
Wahai cucuku Ngurah Kaler, apabila nanti saya
meninggal buatkan panggung jasadku, di sana
di puncak gunung Mangun, satu bulan tujuh hari
(42 hari), dihias dengan bunga-bunga, dan diiringi
dengan tabuh dan tari-tarian, karena ibuku dulu
bidadari". Demikian pesan beliau Arya Gajah
Para terhadap cucunya I Gusti Ngurah Kaler,
cucu beliau mematuhi, tidak berani menolak pesan
kakeknya.
Tidak diceritakan lagi telah
tiba saatnya maka wafatlah beliau Arya Gajah
Para. Adapun cucu beliau yang bernama I Gusti
Ngurah Tianyar, tidak mengetahui wasiat tersebut,
karena ( pada saat itu ) beliau tidak berada
di rumah, beliau pergi ke Gelgel, menghadap
pada Sri Maharaja, bersama-sama dengan I Gusti
Ngurah Pegametan, sama-sama berada di Gelgel.
Tidak diceritakan lagi, setibanya
kembali I Gusti Ngurah Tianyar, beserta saudaranya,
dijumpai orang-orang di pun, semua menyongsong
I Gusti Ngurah Tianyar, memberitahukan tentang
wafatnya Arya Gajah Para. Kaget dan terhenyak
hati yang baru tiba, berpikir-pikir tentang
wafatnya, segera datang I Gusti Ngurah Kaler,
diberitahukan ada pesan beliau (Arya Gajah Para),
bahwa disuruh untuk membuatkan panggung jasad
beliau di puncak gunung Mangun. Demikian perkataan
beliau I Gusti Ngurah Kaler terhadap kakaknya.
Diam I Gusti Ngurah Tianyar, berpikir-pikir
beliau. Tidak disetujui semua ucapan yang disampaikan
I Gusti Ngurah Kaler, bersikeras pula I Gusti
Ngurah Tianyar, menyuruh semua rakyat, untuk
membantu bersama-sama mengerjakan bade ( tempat
usungan mayat ) bertumpang sembilan, pancaksahe,
taman agung cakranti tatrawangen, beserta segala
upakara ngaben seperti lazimnya orang-orang
berwibawa bernama anyawa wedhana, harapan beliau
agar segera jasad leluhurnya dikremasi. Karena
hari baik sudah dekat, itu sebabnya masyarakat
itu beserta tamu semua segera membantu bekerja
baik laki maupun perempuan, membuat upakara
ngaben (pitra yadnya).
Diceritakan sekarang I Gusti
Ngurah Kaler, kembali ingat dengan wasiat pesan
leluhurnya dahulu, tidak berani menolak setia
pada perintah, semakin khawatir I Gusti Ngurah
Kaler terhadap kakaknya I Gusti Ngurah Tianyar.
Diceritakan I Gusti Ngurah Tianyar, menyuruh
rakyat beliau memulai mengerjakan terhadap upacara
pengabenan, setelah beliau tentukan, saat pelaksanaannya,
tidak diceritakan upacara tersebut. Tersebutlah
sekarang I Gusti Ngurah Kaler, semakin besar
dendam hatinya, banyak alasannya, marah, terhadap
I Gusti Ngurah Tianyar. Itu Sebabnya I Gusti
Ngurah tidak ingat terhadap kakaknya, terikat
oleh kesetiaan beliau, yakin terhadap kebenaran
ucapan wasiat leluhur beliau, perasaan hatinya
yang marah tidak dapat dikendalikan, segera
kakaknya ditantang berperang, marah I Gusti
Ngurah Tianyar, memuncak kemarahannya, sama-sama
tidak mau surut kejantanannya, sebagai seorang
kesatria untuk mendapatkan kemashuran di ujung
senjata utama, lagi pula prajurit sama-sama
prajurit, semua setia membela kehendak tuannya,
sama-sama beringas, saling parang memarang,
terus menerjang berbenturan. Lagi pula peperangan
beliau I Gusti Ngurah Tianyar, dengan I Gusti
Ngurah Kaler, sama-sama gagah berani, sangat
hebat peperangan itu, bagaikan perang kelompok
raksasa, banyak rakyat hancur menjadi korban,
darah bercucuran, dan mayat para prajurit menggunung,
itu sebabnya diberi nama Tukad Luwah sampai
sekarang. Adapun peperangan I Gusti Ngurah Kaler,
dengan I Gusti Ngurah Tianyar, sama-sama tidak
berkurang keberaniannya, sama-sama saling menikam.
I Gusti Ngurah Kaler menikam dengan keris Si
Tan Pasirik, tembus dada I Gusti Ngurah Tianyar,
membalaslah ia menikam dengan keris " I
Baru Pangesan ", sekejap sama-sama meninggal
beliau berdua.
Kemudian datang I Gusti Abyan
Tubuh, bersama I Gusti Pagatepan, yang merupakan
utusan dari Sri Raja penguasa di suruh untuk
melerai pertikaian mereka berdua. Agar tidak
terjadi perkelahian, karena dia bersaudara,
sekarang keduanya ditemukan telah meninggal,
terhenyak I Gusti Abyan Tubuh, demikian pula
I Gusti Pagatepan, memikirkan tentang kematiannya
berdua, juga tentang ketidakberhasilan tugasnya,
diutus oleh Sri Raja penguasa. Beliau segera
kembali untuk menghadap Baginda Raja, tidak
diceritakan perjalanannya I Gusti Abyan Tubuh,
beserta I Gusti Pagatepan, tibalah mereka di
Sweca Negara (Gelgel), segera mereka menghadap
sang raja memberitahukan tentang meninggalnya
mereka berdua karena berkelahi katanya. "
Baiklah paduka Sri Prameswara, tidak membuahkan
hasil yang baik tugas yang hamba emban dari
paduka, hamba temukan keduanya telah meninggal.
Melongo gundah hati sang raja, berpikir-pikir
beliau, bahwa sungguh merupakan takdir Yang
Maha Esa.
Sekarang diceritakan, putra
I Gusti Ngurah Kaler, dan I Gusti Ngurah Tianyar,
keturunannya sama-sama pria. Adapun putra I
Gusti Ngurah Tianyar, yang sulung bernama I
Gusti Gede Tianyar, adiknya bernama I Gusti
Made Tianyar, yang bungsu bernama I Gusti Nyoman
Tianyar, lahir di desa Pamuhugan, semua bijaksana,
paham dengan segala ilmu pengetahuan. Diceritakan
pula putra I Gusti Ngurah Kaler, empat orang
laki-laki, yang tertua I Gusti Gede Kaler seperti
nama ayahnya. Adiknya bernama I Gusti Made Kekeran,
yang muda bernama I Gusti Nyoman Jambeng Campara,
yang bungsu I Gusti Ketut Kaler Ubuh, lahir
di Tanggawisia, karena di antara dua orang yang
meninggal ( ayahnya ) sama-sama meninggalkan
isterinya yang sedang hamil, itu sebabnya tidak
ada yang melakukan satya, "menceburkan
diri dalam api pembakaran mayat " kemudian
setelah sama-sama kandungan mencapai usianya,
pada saatnya lahirlah bayi itu sama-sama pria,
ada di Desa Pamuhugan di Tanggawisia, hentikan
ceritanya sebentar.
Sekarang diceritakan, tentang
beliau Batara Sakti Manuaba, putra dari Batara
Ler, ibunya dari I Gusti Dawuh Baleagung, dengan
gelar Batara Buruwan, berhasil menjadi pendeta
besar, mendapatkan tingkat kemuliaan yang tinggi,
tidak ada yang menyamai tentang kependetaan
beliau, bertempat di Manuaba. Banyak brahmana
ikut tinggal di sana. Beliau mendengar tentang
pertikaian I Gusti Ngurah Tianyar dan I Gusti
Ngurah Kaler, yang sama-sama meninggal, beserta
rakyatnya yang mati tidak terhitung jumlahnya.
Menjadi kasihan beliau Batara Sakti Manuaba.
Tujuan beliau datang untuk mengetahui keadaan
sesungguhnya kedua orang yang bertikai tersebut.
Tidak diceritakan perjalanan beliau sang Resi
sakti. Tidak beberapa lama tiba beliau di Sukangeneb,
Toya Anyar. Dijumpai saudara I Gusti Ngurah
Kaler, perempuan seorang, berpengetahuan dan
rupawan, bernama I Gusti Ayu Tianyar.
Disarankan oleh beliau sang
raja penguasa, agar beliau melamar (meminang
), dikawinkan dijadikan istri sang Resi Wisesa.
Tidak diceritakan beliau.
|
|
Ada anak lahir
dari I Gusti Ayu Tianyar, laki-laki tiga orang,
yang sulung bernama Ida Wayahan Tianyar, adiknya
bernama Ida Nyoman Tianyar, yang bungsu bernama
Ida Ketut Tianyar, bagaikan dewa Brahma, Wisnu,
Çiwa kecerdasannya.
Cerita kembali lagi, diceritakan
istri I Gusti Ngurah Tianyar, dan istri I Gusti
Ngurah Kaler, mereka berdua sangat sedih, hatinya
sangat duka, menyebabkan mereka meninggalkan
puri. Bersama putra beliau yang masih bayi,
diikuti oleh dua ratus orang pengikut, tujuannya
untuk datang menghadap Sri raja, yang berada
di Sweca pura (Gelgel). Adapun I Gusti Diah
Lor, pergi meninggalkan rumahnya, bersama putranya,
diiringkan oleh pengikut sebanyak dua ratus
orang menuju Desa Tanggawisia, tidak diceritakan
perjalanan beliau.
Adapun I Gusti Ayu Wwesukia,
datang menghadap ke Gelgel, menghadap raja mohon
belas kasihan dari beliau Dalem, dengan sopan
dan hormat, terhenyak hati Dalem, melihat penderitaan
I Gusti Diah Wwesukia, kemudian bersabdalah
beliau. "Wahai engkau Wwesukia, aku paham
dengan kesedihan yang menimpamu. Sekarang tabahkan
hati dalam suka duka, karena sudah menjadi nasib,
jangan engkau terlalu bersedih ingatlah akan
kesetiaan sebagai seorang istri, jangan gundah,
menyesali karma, aku berikan engkau tempat tinggal,
beserta rakyat yang banyak yang akan menyertaimu,
di sana di Desa Pamuhugan", demikian sabda
Dalem. Senang hati I Gusti Diah Wwesukia, bagaikan
disiram dengan air kehidupan, hatinya sangat
senang, terdorong kesetiaannya sebagai seorang
istri, lagi pula sabda beliau Dalem bagaikan
sungai Gangga yang membasuh perasaan ternoda.
Diceritakan sekarang I Gusti
Diah Wwesukia, memohon diri pada Dalem, bersama
sama dengan pengikutnya, menuju desa Pamuhugan,
beserta putra beliau yang bernama I Gusti Nyoman
Tianyar, tinggal di Desa Pamuhugan, mereka menyiapkan
dan menyuruh untuk segera bekerja, karena banyaknya
pengikut, puri cepat terwujud, sampai di sana
diceritakan.
Diceritakan sekarang I Gusti
Diah Lor, setibanya di Tanggawisia, bersama
dengan putra beliau yang bernama I Gusti Ketut
Kaler Ubuh, diikuti oleh rakyat sebanyak dua
ratus orang, juga ikut tinggal di sana, mengembangkan
keturunannya, di Desa Tanggawisia wilayah Buleleng,
sampai sekarang. Cerita kembali lagi, diceritakan
sekarang yang berada di Sukangeneb, Toya Anyar,
itu sudah dewasa, putra I Gusti Ngurah berdua,
yang gugur dalam peperangan, Semuanya bernama
I Gusti Gede Tianyar, I Gusti Made Tianyar,
adapun I Gusti Gede Tianyar, menghadap pada
Sri Raja penguasa di Sweca negara (Gelgel),
menyampaikan tentang penderitaannya berada di
Sukangeneb, Toya Anyar, lemah bagaikan diiris
hatinya. Bersabda sang raja, menyuruh untuk
berpindah tempat, tidak menolak perintah, I
Gusti Gede Tianyar, kemudian mohon pamit pada
beliau Dalem, berpindah ke Desa Kebon Dungus,
tinggal beliau di sana, mengembangkan keturunan
sampai sekarang. Adapun I Gusti Made Tianyar,
tinggallah beliau di Sukangeneb, Toya Anyar,
mengembangkan keturunan di sana sampai kemudian.
Selanjutnya diceritakan putra
I Gusti Ngurah Kaler, I Gusti Gede Kaler Putra
yang sulung, I Gusti Ngurah Tianyar Pohajeng
pindah, berjodoh di desa Blungbang Antiga, Adiknya
I Gusti Made Kekeran, berpindah ke Kubu, yang
ketiga I Gusti Nyoman Jambeng Campara, segera
pindah ke Desa Sukadana Tigaron, telah diceritakan
dahulu semuanya mengembangkan keturunan, cerita
selesai.
Diceritakan kembali, Batara
Sakti Manuaba, putranya yang lahir dari I Gusti
Ayu Tianyar yang sulung Ida Wayahan Tianyar,
Ida Nyoman Tianyar, Ida Ketut Tianyar, sekarang
sudah selesai didiksa (ditasbih) menjadi pendeta
Siwa, dilantik oleh Batara Sakti Abah, karena
beliau itu adalah saudara lain ibu, beliau mencapai
puncak kemuliaan. Setelah selesai dilantik oleh
pendeta mahasakti, ( putra ) sulung bergelar
Batara Wayahan Tianyar, adiknya bernama Batara
Nyoman Tianyar, yang bungsu Batara Ketut Tianyar,
sama-sama menemukan puncak kemuliaan, lagi pula
mereka bertiga dianugerahi keterampilan, Batara
Wayan Tianyar, beliau diberi pangrupak ( alat
tulis pada daun lontar ), Batara Nyoman Tianyar
diberi pustaka, Batara Ketut Tianyar dianugerahi
ilmu panah, semua sama-sama dipahami, pemberian
guru pendidiknya, cerita selesai.
Selanjutnya diuraikan, yang
bernama Gusti Ngurah Batu Lepang, di Batwan
desa beliau, angkara murka dan dengki melihat
asrama di Manuaba, sangat indah dan makmur,
keberadaan Asrama Manuaba, semua brahmana yang
berada di asrama itu, tidak urung diobrakabrik,
oleh Si Ngurah Batu Lepang, oleh karena Batara
Sakti Manuaba telah berpulang ke Surga.
Tetapi Batara Sakti Abah yang
ditakuti oleh Si Ngurah Batu Lepang, sedang
tidak berada di asrama, sedang bepergian ke
Banjar Ambengan. Segera Si Ngurah Batu Lepang
menyiapkan pasukan, lengkap dengan senjata,
ingin menggerebeg Asrama Manuaba. Bergemuruh
sorak para prajurit. Adapun Pedanda Teges menjadi
takut, gemetar, memohon ampun pada Si Ngurah
Batu Lepang, adapun para brahmana semua sama-sama
untuk bertahan, sangat pemberani dan melawan,
seperti perang antara dewa melawan raksasa,
mundur berlari pasukan Si Ngurah Batu Lepang,
dihancurkan, lain lagi ada yang mati. Si Ngurah
Batu Lepang menjadi marah, maju dengan rakyat
yang berlimpah, dikurung asrama tersebut. Adapun
kaum brahmana, sama-sama tidak ada yang mundur,
karena jumlahnya sedikit bergantian dipukul
oleh lawan, tidak lama kalah asrama itu, hancur
semuanya, banyak yang meninggal dan yang lainnya
hancur, yang lainnya ada yang menjauh laki perempuan
menuju desa tidak henti-hentinya menangis.
Adapun Ida Wayahan Tianyar,
Ida Nyoman Tianyar, Ida Ketut Tianyar baru tanggal
gigi pada waktu itu, perjalanannya menuju ke
timur tiba di Bukit Bangli, di pertapaan Pedanda
Bajangan. Tersebar berita I Gusti Dawuh Baleagung,
mendengar kabar, di Gelgel, dicari tiga bersaudara
yang berada di Bangli, karena masih ada hubungan
cucu, tidak habis kalau diceritakan, datanglah
beliau di Bukit Bangli, beliau menghadap Pedanda
Bajangan, meminta ketiga cucu beliau, Ida Wayahan
Tianyar, Ida Nyoman Tianyar, Ida Ketut Tianyar,
semua senang. Memohon pamit pada Pedanda Sakti
Bajangan. Tidak diceritakan dalam perjalanan,
telah tiba di Gelgel, didengar oleh raja, bahwa
Ida Wayan Tianyar datang, bersama semua saudaranya,
diutuslah I Dewa Wayahan Tianyar ke istana,
menghadap pada Dalem, disambut dengan lirikan
yang manis, dan ucapan yang simpatik, ujar beliau.
Duhai Ida Wayan Tianyar, masuklah ke teras,
mari duduk mendekat, katakanlah sekarang tentang
kesedihanmu.
Kemudian berkatalah Ida Wayan
Tianyar, sebabnya asrama/pertapaannya hancur
diserbu karena keangkuhan Si Ngurah Batu Lepang,
diserang hancur beserta penghuninya, banyak
meninggal yang ada di pertapaan, bersabdalah
sang raja. Kata beliau, Duhai jika demikian,
Si Ngurah Batu Lepang, " Hai semoga ia
tidak berlanjut menemukan kewibawaan, karena
ia perusak pendeta, menemukan kesengsaraan (
karena ) membunuh brahmana ". Demikian
kutukan beliau sang raja , terhadap si Ngurah
Batu Lepang.
Demikian pula Pedanda Sakti
Abah melepaskan kutukan seperti senjata Bajra
beracun ke luar dari mulut beliau, demikian
umpat kutukannya. ''Sekarang Ida Wayan Tianyar
beserta dua saudaranya, janganlah ragu-ragu
dalam hati, saya memberikanmu tempat, ada keluargamu
di Pamuhugan, Kyai Nyoman Tianyar nama beliau,
juga aku akan memberikan pengiring, dua ratus
orang beserta keris warisan dari ibumu, bernama
Ki Tan Pasirik, dibawa oleh Kyayi Nyoman Tianyar,
ini keris Si Baru Pangesan saya berikan kepadamu",
Ida Wayan Tianyar menurut, demikian pula Ida
Nyoman Tianyar, Ida Ketut Tianyar. Cerita sampai
di sini dulu.
Tidak diceritakan Pedanda Teges
setelah kalah/hancurnya Pertapaan Manuaba, kemudian
dijarah semua isi pertapaan. Adapun Pedanda
Sakti Abah, mendengar tentang kehancuran pertapaan,
dirusak oleh Si Ngurah Batu Lepang, beliau marah
dan mengutuk. "Jah tasmat (semoga hancur)
Si Ngurah Batu Lepang dia sangat tidak berperasaan,
congkak dan garang kepada kami brahmana, biadab
membunuh brahmana pendeta, semoga dia tidak
berlanjut menemukan kewibawaan, lagi pula terbenam
dalam Yamaniloka (sengsara) pada bersumpah untuk
Si Teges, jangan engkau saling mengambil (dalam
perkawinan), dan menjalin kekeluargaan dengan
keturunan Si Teges". Didukung oleh semua
keluarga beliau. |
|
|
|
|
|
|
|
|