|
|
|
|
|
|
|
Bagian 1 |
|
|
|
Ya Tuhan semoga
tidak mendapat halangan.
Ong pranamyam sira sang siwyam,
bhukti mukti hitarratam,
prawaksye tatwa wijnevah, wisnwangsa patayo
swaram.
Sira ghranestyam patyam, rajasityam mahabalam,
sawangsanira mangjawam, bhuphalakarn patyam
loke.
Ong nama dewa ya.
Sembah hamba ke hadapan Batara
junjungan, daulat paduka leluhur yang telah
menjadi batara, Engkau yang menganugerahi kehidupan
(makanan) dan kebahagiaan, keberhasilan dalam
segala kehendak, senantiasa bersemayam dalam
perasaan dan pikiran, dipuja agar merestui,
para bijak di lingkungan keluarga memohon untuk
menyebarkan cerita ( sejarah ) ini, yang berkenaan
dengan kewajiban seorang raja, menerangi dan
menjadi contoh di dunia, akan diuraikan tentang
silsilah keturunan oleh beliau junjungan utama
yang telah sempurna. Pada awalnya dimulai. Selamat
dan panjang usia, terhindar dari kutuk celaan
fitnah bagaikan terkena racun, semoga terus
dijunjung di dunia. Ya Tuhan semoga menemukan
keberhasilan.
Selamat pada tahun Saka 530
yang telah lewat, bulan Cetra (sekitar Maret),
hari ke-12 terang bulan, hari dalam sepekan
Julung Pujut, pada saat itu titah paduka batara
Maharaja Manu, tiba di pulau Jawa di Medangkamulan,
di sana dipuja sebagai dewa, dan menjadi pelindung
pertama di negeri itu.
Gurunam sobitah siyotah.
Sebabnya beliau turun, karena
atas titah ayah beliau , Batara Guru, menitahkan
untuk menegakkan dharma ( kebenaran ) di Medangkemulan,
kemudian selesainya melaksanakan dharma beliau,
beliau juga melakukan semadi, menghadap/ memuja
Surya pada waktu mulai terbit. Hasil dari tapanya,
beliau bagaikan dewa dalam alam nyata, oleh
karena itu tidak ada yang menyamai di dunia,
demikian selesai.
Taman loke turanjitah, stroteyam satya dharmmanam,
Sakyam wakbhitah krtti loke, bhuta bhawanam
wancanam.
Karenanya tenteramlah negeri
itu selama beliau dijunjung bagi beliau tidak
ada yang melebihi selain darma, itulah sebabnya
berhasil segala yang diucapkannya, Hyang Maharaja
Manu juga memahami tentang kebatinan.
Jawanam mandawe swijah, dasantih
bhujanggam tayah,
tasiyamnco ywanam prajah, haiwam santanam Wijnanah.
Entah berapa lama hyang Batara
Maharaja Manu, bertahta menjadi pemimpin di
sana, bagaikan dewa dalam kenyataan, beliau
tetap mempertahankan kemuliaan, sampai ke seluruh
negeri, disegani oleh rakyat maupun bangsawan,
orang pertama dalam keturunan Manu, di kerajaan,
Medangkamulan.
Awiji ekam sastito.
Awalnya beliau Maharaja Manu,
menurunkan keturunan utama seorang laki-laki,
bergelar Sri Jaya Langit. Adapun Sri Jaya langit,
menurunkan Sri Wrttikandayun. Adapun Sri Wrttikandayun,
menurunkan Sri Kameswara Paradewasikan. Adapun
Sri Kameswara Paradewasikan, menurunkan Sri
Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tungga Dewa,
beliau sebagai pemimpin utama, perencana unggul,
raja di antara para yogi dan penguasa tertinggi,
menjabarkan tujuh formasi ilmu Sanskrit dalam
tata bahasa, oleh dilampaui orang. Hasil karya
Bagawan Byasa, digubah dalam palawakya, memahami
seluk beluk cerita prosa dari Astadasa Parwa.
Beliau bagaikan Raja yang unggul di dunia, pikiran
beliau mengutamakan kebenaran, tidak diperdaya
sebagai raja, menjaga daerah kekuasaan, mengutamakan
kejujuran dan kesetiaan, sungguh beliau menjadi
pelindung dunia.
Prawaktayan sri gotrabih. Beliau
raja penguasa pertama, pada waktu beliau memerintah
negeri itu makmur, para pernuka tidak ada yang
berani menentang beliau. Demikian keistimewaan
beliau Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama
Tunggadewa.
Beberapa lama beliau dijunjung
menjadi penguasa negeri, berhasil mempunyai
keturunan, beliau berputra laki-laki yang utama,
bernama Sri Kameswara, seperti nama buyut beliau.
Adapun Sri Kameswara, memiliki keturunan tiga
laki-laki, dan seorang perempuan, Semuanya ada
empat, rinciannya adalah, yang tertua bernama
Sri Krtta Dharma, beliau yang wafat di Jirah.
Adapun adik beliau, Sri Tunggul Ametung, beliau
wafat di Tumapel, saudara yang perempuan, bernama
Dewi Ghori Puspatha, disunting oleh Mpu Widha,
saudara dari Medhawati, telah menyatu ke alam
baka, berkedudukan di kuburan. Adapun yang keempat,
adalah Sri Airlangga, yang diangkat dari Sri
Udayana Warmadewa, raja Bali, beserta Sri Guna
Priya Dharmapatni, keturunan dari Mpu Sendok.
Adapun Sri Airlangga menjadi
raja penguasa berkedudukan di negara Daha. Memiliki
keturunan dua laki-laki utama, yang ketiga putri
di luar istana. Putra tertua itu bernama Sri
Jayabhaya, dan Sri Jayashaba, lahir dari ibu
permaisuri. Semuanya keturunan Wisnuwangsa Kediri.
Adapun yang di luar istana (puspa capa), bergelar
Sri Arya Buru, sama-sama keturunan orang dusun,
cikal bakal lurah Tutwan, Si Gunaraksa yang
datang ke Bali.
Silsilah raja Sri Jayabhaya
yang diuraikan terlebih dahulu, raja Sri Jayabhaya,
berputra tiga orang laki-laki, yang tertua bernama
raja Sri Dandang Gendis, Sri Siwa Wandhira,
Sri Jaya Kusuma, demikian keturunan beliau Sri
Jayabhaya. Adapun raja Sri Dandang Gendis, memiliki
keturunan Sri Jaya Katong, dia wafat dalam peperangan,
Sri Jaya Katong, berputra Sri Jaya Katha, adapun
Sri Siwa Wandhira berputra Sri Jaya Waringin,
Sri Jaya Waringin berputra Sri Kuta Wandhira
berputra bernama Arya Kutawaringin, dia pergi
ke Bali, diutus oleh beliau Patih Mada, berkembang
keturunannya menjadi keluarga Kubon Tubuh, Kuta
Waringin, sampai di sana diceritakan.
Adapun Sri Jaya Kusuma, memiliki
keturunan Sri Wira Kusuma, tidak mengikuti aturan
kata krama keluarga, melahirkan keturunan berada
di Pulau Jawa, tidak diceritakan lagi kelanjutannya.
Kembali Sri Jayasabha yang
diceritakan, memiliki keturunan seorang laki-laki,
bernama Sirarya Kediri, memiliki keturunan bernama
Arya Kapakisan, beliau dikirim oleh keturunan
dua orang semua laki-laki, beliau Pangeran Nyuhaya,
dan Pangeran Asak, sama-sama mengembangkan keturunan
di Bali, cerita disudahi.
Kembali diceritakan yang terdahulu,
Jaya Waringin dan Jaya Katha, keturunan beliau
Sri Siwa Wandhira dan Jaya Katong beliau berdua
yang gugur dalam pertempuran, beliau berdua
yaitu Jaya Waringin dan Jaya Katha, yang menyerah
ke Tumapel, waktu ayah beliau hancur dalam peperangan
negara Daha menjadi kacau, akhirnya berlanjut
sampai cucu terkena kehancuran, kutuk beliau
pendeta Çiwa maupun golongan Budha.
|
|
Apa yang menyebabkan
terjadinya perang itu? Menyebabkan Keraton menjadi
hancur ?
Dengarkan tambahan cerita ini,
pada tahun Çaka yang lalu 1144 ( 1222
M ), bulan Palguna (sekitar Pebruari), hari
ketiga belas setelah bulan Purnama, hari sepekan
Watu Gunung, pada saat itu perintah beliau raja
Ken Angrok, beliau yang bertahta di Tumapel,
menyerang kerajaan Galuh, atas desakan beliau
para pendeta Çiwa maupun golongan Budha.
Bahwasanya raja Sri Dangdang Gendis, durhaka
pada para pendeta, menghina kewajiban sang Brahmana,
ibaratnya seperti maharaja Nahusa, yang berkeinginan
menguasai Surga. Demikian perbuatan raja Sri
Dangdang Gendis, menyebabkan semua pendeta menjadi
bingung mengungsi ke Tumapel, sekarang kerajaan
Daha, ibaratnya seperti segunung rumput kering,
hancur lebur terbakar oleh api, siap dibakar?,
itulah kemarahan sang pertapa, berkobar dalam
pikirannya, ditiup angin tak henti-hentinya
Raja Sri Ken Angrok menghembus, semakin menyala
tak ada tandingnya.
Pada akhirnya menyerah Sri
Aji Dangdang Gendis, sadar akan ajalnya tiba,
karena raja Sri Ken Angrok sungguh seorang keturunan
Brahmana dari Waisnawa, beliau juga dijuluki
Hyang Guru, nah itu sebabnya Sri Raja Dangdang
Gendis, memusatkan pikiran, menggelar rahasia
batin, segera moksa tanpa jasad turut pula kandang
kuda beserta pembawa puan, payung, terlihat
samar bayangan beliau, melambai di angkasa,
menuju Wisnuloka. Demikian jelas Sri raja telah
menyatu di alam sana.
Ada lagi yang diceritakan yaitu
para prajurit dan menteri lebih-lebih para keluarga
utama ( dekat ), rakyat yang masih hidup, semua
cerai-berai, mencari tempat berlindung, mencari
tempat persembunyian, agar selamat, sebab pemimpin
perang adalah Siwa Wandhira, beserta Misawalungan,
Semuanya telah gugur, dengan penuh keberanian.
Masih ada dua orang keluarga
keturunan utama, Jaya Katha, dan Jaya Waringin
yang terkenal, keturunan Jaya Katong, beserta
Siwa Wandhira, yang gugur dalam medan perang.
Mereka berdua dendam, atas
tewas ayahnya dalam pertempuran, maju menyerang
seperti harimau galak, lalu ditangkap bersama-sama
oleh empat orang gagah berani yang masing-masing
bernama , Arya Wang Bang, Misa Rangdi, Bango
Samparan, Cucupu Rantya, di sana Jaya Katha
dan Jaya Waringin, keduanya ditangkap. Tidak
mampu melawan ikut pula istri Jaya Katha dibawa
berlari beliau sedang hamil, sedang mengidam.
Adapun Jaya Waringin, masih perjaka, belum mempunyai
istri. Keempat menteri tersebut semua belas
kasihan terhadap beliau Jaya Katha, dan pula
terhadap Siwa Wandhira, itulah sebabnya lepas
tidak terkena senjata.
Adapun setibanya beliau di
Tumapel, disayang oleh yang mendirikan memerintah
Tumapel, diasuh oleh orang Japara, masih merupakan
keturunan istri Mpu Sendok, dan Kebo ljo, di
sana dipelihara, tidak mendapat kekuasaan. Beberapa
lama mereka berada di Tumapel, setelah tiba
masanya, akhirnya Jaya Katha berputra tiga orang
laki-laki, yang sulung bernama Arya Wayahan
Dalem Manyeneng, ketika ibunya dibawa lari janin
itu berada dengan selamat di rahim ibunya, itulah
sebabnya diberi nama Dalem Manyeneng.
Adapun adiknya bernama Arya
Katanggaran, itu yang menurunkan Kebo Anabrang,
orang tua dari Arya Kanuruhan, yang dikirim
ke Bali, mengembangkan keturunan, yaitu Arya
Brangsinga, Tangkas, Pagatepan, sampai di sana
diceritakan.
Putra yang bungsu bernama Arya
Nuddhata, seorang Arya yang menetap berdiam
di Tumapel mengembangkan keturunan di kerajaan
di Jawa, tidak diceritakan lebih lanjut.
Adapun beliau Arya Wayahan
Dalem Manyeneng, berputra dua orang laki-laki,
yang sulung bernama Arya Gajah Para, adik beliau
bernama Arya Getas, Mereka berdua itu diutus
oleh Gajah Mada ke Bali, demikian uraiannya
pada zaman dahulu.
Ya Tuhan yang bersemayam dalam
kalbu dan pikiran, yang diwujudkan dengan Ongkara
dalam kesucian Batara junjungan hamba, para
leluhur yang telah suci, hamba menghaturkan
sembah suci agar berhasil, oleh karena semua
para anggota keluarga, keturunan, karena beliau
yang pertama mengembangkan keluarga hamba sendiri,
tiada lain beliau itu yang menetap di Tumapel.
Beliau itu adalah Arya Wayahan Dalem Manyeneng,
gelar beliau yang terkenal. Beliau yang pertama
menurunkan keluarga hamba, maafkan agar tidak
kena kutukan, para keluarga hamba mohon ijin
untuk menguraikan cerita ini, semoga selamat
dan panjang umur, menemui kesempurnaan, sampai
anggota keluarga dan keturunan, berhasil dalam
segala tujuan, tidak kekurangan pangan, kekayaan,
semoga tetap disegani di bumi. Ya Tuhan semoga
sukses, berhasil selalu.
Permulaan cerita disusun dalam
silsilah, berkat jasa beliau seorang brahmana
pendeta sakti, beliau bergelar Wayahan Tianyar,
yang berasrama di Griya Punia, atas dorongan
Kyayi I Gusti Ngurah Tianyar, pemimpin di utara
gunung, keturunan beliau Jaya Katong dari Kediri,
itulah sebabnya sang pendeta sakti, menulis
tentang silsilah , telah dimuat dalam tulisan
sesuai dengan bahasa dalam babad Jawa.
Adapula diceritakan, bernama
Kriyan Patih Gajah Mada, memanggil Arya Damar,
atas titah dari maha raja Pulau Jawa, melaksanakan
empat daya upaya, menyerang kerajaan Bali, setelah
siap perbekalan dan kendaraan, segeralah beliau
berangkat ikut pula para Arya semua, para perwira
dan menteri berkelompok-kelompok menaiki perahu,
disertai pula prajurit beliau, tepi laut Bali
dikelilingi oleh musuh, para Arya itu dibagi-bagi
oleh Kriyan Patih Mada, utara, timur, barat
selatan semuanya penuh, penuh sesak di pantai
laut, yang masing-masing menempati posisinya,
ditambatkan perahunya.
Adapun beliau Arya Gajah Para,
beserta saudara beliau Arya Getas, disertai
oleh Arya Kutawaringin yang cekatan, diikuti
oleh Jahaweddhya, para gusti dari Majapahit,
seperti tiga patih bersaudara, yang bernama
Tan Kawur, Tan Mundur, dan Tan Kober. Beliau
tiga bersaudara menambatkan perahu layarnya
di pelabuhan Tejakula, yang menyerang dari barat
Toya Anyar.
Desa-desa menjadi kacau balau,
semuanya yang ada di kerajaan Bali, sangat ramai
pergulatan perang itu, memarang diparang, kacau
balau, banyak rakyat yang tewas, dan menderita,
karena keperkasaannya serangan dan Pulau Jawa.
Dengan sekejap kalah pasukan Maharaja Sri Bhedamuka
(Bedahulu), amat panjang tidak diceritakan dalam
buku ini.
Sementara setelah gugurnya
maharaja Bhedamuka, para Arya itu semua kembali,
menuju Majapahit, keadaan Pulau Bali menjadi
sunyi senyap, karena belum ada yang memimpin
Bali, demikian. Setelah sekian lama datanglah
Sri Kresna Kepakisan, dinobatkan menjadi raja
di Pulau Bali. Diikuti oleh semua Arya, Arya
Kepakisan, Arya Wang Bang, Arya Kenceng, Arya
Dalancang, Arya Belog, Arya Kanuruhan, lagi
beliau Arya Wang Bang, Tan Kober, Tan Kawur,
Tan Mundur, yang terakhir Arya Kutawaringin
semua mengiringi sebagai para perwira menteri,
Beliau Arya Kutawaringin, menjadi kepala penasehat
pasukan tinggi tersebut.
Sesampainya Sri Maharaja Kapakisan,
dinobatkan menjadi raja Pulau Bali, orang- orang
dusun ada yang tidak mau menghormati ( tunduk
), yang di sebelah utara gunung Agung, oleh
karena tidak ada pemimpin yang disegani yang
datang di sana. Demikian cerita berakhir.
|
|
Kemudian kembali
diceritakan, beliau Arya Gajahpara, bersama
saudara beliau Arya Getas didesak oleh raja,
sebagai mahapatih raja yang ada di Bali. Beliau
menurut ( menyerah ), karena ingat dengan kewajiban
sebagai seorang anak, tidak pantas melawan perintah
orang tua, demikian motto kepemimpinan beliau,
dengan tetap pula melaksanakan keperwiraan utama
dan keadilan, kedua Arya tersebut diberikan
istri, juga merupakan putra Arya. Tetapi di
sana para Arya itu segera diajar tentang kewajiban
dan tingkah laku seorang kesatria, oleh ayah
beliau, untuk tetap melaksanakan cita-cita kewajiban
seorang pahlawan (pemberani).
Setelah demikian, kedua Arya
itu menyembah dan mohon pamit, berdiri dan segera
berangkat. Sekejap telah sampai di pantai laut,
segera beliau naik ke perahu, perahu berlayar
hilir mudik, setelah melewati pertengahan laut,
selanjutnya, berlabuhlah beliau di daerah Pulaki,
barat daya Pulau Bali, beliau menumpang di rumah
I Gusti Bendesa Pulaki, yang merupakan keluarga
keturunan Bendesa Mas. Sangat senang hati I
Gusti Bendesa, tulus hatinya dan sangat ramahtamah
sambutannya, hormat terhadap kedua Arya itu,
seperti berbunga-bunga hati sang tuan rumah,
lengkap dengan jamuan penyambutan I Gusti Bendesa
Pulaki. Di sana beliau menginap dua malam.
Pagi-pagi pergilah kedua Arya
tersebut, diantar oleh I Gusti Bendesa, tujuannya
untuk menghadap Sri Maharaja, yang beristana
di Samprangan. Tidak habis jika diceritakan
perjalanan kedua Arya tersebut, diantar oleh
beliau I Gusti Bendesa. Segera tiba di penghadapan,
beliau langsung mendekat dan menghadap pada
baginda raja. Tak lama antaranya kedua Arya
tersebut dipandang oleh sang raja, dengan sopan
dan tulus sembah kedua Arya tersebut, demikian
pula I Gusti Bendesa, menimbulkan kekaguman
setiap yang melihat, orang yang berada di tempat
penghadapan, oleh tingkah laku yang baik kedua
Arya itu.
Ada petunjuk dari sang raja,
terhadap kedua Arya, dinobatkan menjadi patih
oleh beliau raja penguasa, bertempat di sana
di sebelah utara Tohlangkir, bermukim di Sukangeneb
penyerangan beliau Mada untuk membunuh raja
Bedha Murdhi ( Bedahulu ), kalahnya Pulau Bali
oleh Majapahit. Menjadi patuhlah Arya itu, dengan
segera ditutuplah penghadapan raja. Setelah
itu mohon pamitlah beliau pada Sri Maharaja,
dan permohonannya dikabulkan, kedua Arya itu
berjalan menuju ke utara, diiringkan oleh rakyat
sebanyak lima puluh orang, menuju Sukangeneb
Toya Anyar. Setibanya di sana, segera beliau
membangun rumah, tenanglah penduduk sebelah
utara gunung Agung itu, batas sebelah timurnya
adalah Basang Alas, sebelah baratnya sampai
di Tejakula, sebelah utaranya sampai di desa
Got, demikian batas wilayah kerja beliau, wilayah
pemerintahan Arya Gajah Para, berdua beserta
saudara beliau.
Beberapa lama kemudian beliau
Arya Gajahpara berdua bersama saudara beliau,
hidup di Sukangeneb Toya Anyar, beliau berdua
sama-sama memiliki putra. Adapun putra beliau
Gajah Para tiga orang laki-laki dan perempuan,
laki-laki yang sulung I Gusti Ngurah Toya Anyar,
adiknya ( bernama ) I Gusti Ngurah Sukangeneb,
yang perempuan Ni Gusti Luh Raras, diambil dijadikan
istri oleh beliau Sri Raja Wawu Rawuh, untuk
sementara tidak diceritakan.
Beliau Arya Getas yang diceritakan
sekarang, berputra dua orang laki-laki, yang
tertua bernama I Gusti Ngurah Getas, adiknya
diberi nama I Gusti Kekeran Getas. Adapun beliau
Arya Getas, setelah berputra dua orang diadu
oleh Sri Maharaja, disuruh menyerang daerah
Selaparang, karena beliau menguasai empat daya
upaya yang licin, diikuti oleh seribu enam ratus
orang bawahannya, setelah semua lengkap dengan
perbekalan dan kendaraan, menjadi penuhlah desa-desa
pesisir di sepanjang pantai, beliau bersama
semua rakyatnya hilir mudik menaiki perahu.
Setelah itu berhasillah beliau
berlabuh di tepi pantai Selaparang, turun dari
perahu, berjalan beliau Arya Getas. Rakyat Selaparang
menjadi terdiam, oleh karena beliau ( Arya Getas
) berhasil memasang empat daya upaya yang licin,
beliau langsung menerobos memasuki semua desa,
orang-orang yang berada di Praya semua diam,
semua memberi hormat kepada Arya Getas, itu
sebabnya ( beliau ) tinggal di Praya sampai
sekarang dan mengembangkan keturunan.
Diceritakan kedua putra beliau
yang tinggal di Sukangeneb Toya Anyar, sama-sama
mengembangkan keturunan, telah tercatat. Kembali
diceritakan, tersebut I Gusti Ngurah Sukangeneb,
pindah ke arah barat, diikuti oleh rakyat dengan
tiba-tiba, terlunta-lunta perjalanan beliau,
sampai tiba di desa Pegametan, bergegas penduduk
di sana, disambut oleh I Gusti Bendesa Pegametan,
keturunan dari Bendesa Mas, senang hati I Gusti
Bendesa sama-sama memohon maaf dengan tulus
dan sopan, tidak beberapa lama masuklah di sana
I Gusti Ngurah Sukangeneb, bergandeng tangan
dengan I Gusti Bendesa, yang menjadi penguasa
di Pegametan, masuk ke dalam Puri, duduk di
beranda rumah, beliau sama-sama senang saling
bertukar pikiran dan berunding, tidak diceritakan
jamuan beliau I Gusti Bendesa. Karena saling
mengasihi dari dulu.
Waktu telah berlalu, sekarang
I Gusti Ngurah Sukangeneb, beliau berdiam di
Pegametan, menyebabkan I Gusti Bendesa menjadi
akrab, dengan I Gusti Sukangeneb. Oleh karena
itu dijadikan menantu laki oleh I Gusti Bendesa.
I Gusti Ngurah Sukangeneb. Permintaan I Gusti
Bendesa agar I Gusti Ngurah Sukangeneb dikawinkan
dengan I Gusti ……………………………..Kekeran,
I Gusti Getas, dinikahkan pada hari, Senin Umanis,
Wuku Tolu, tanggal empat belas hari terang bulan,
sasih kelima ( sekitar Nopember ) pada tahun
Saka 1560 ( 1638 M). Tidak diceritakan perkawinan
beliau, pada akhirnya beliau mempunyai dua orang
putra, laki-laki, yang sulung I Gusti Gede Pulaki,
adiknya I Gusti Ngurah Pegametan. Cerita selesai
sampai di sini.
Selanjutnya kembali diceritakan,
tersebutlah I Gusti Ngurah Toya Anyar, ada saudara
beliau, laki-laki dua orang dan perempuan seorang.
Adapun yang tertua I Gusti Ngurah Tianyar, beliau
yang dinobatkan menggantikan ayah beliau Arya
Gajah Para, yang ketiga mengambil istri I Gusti
Ayu Diah Wwesukia, adiknya I Gusti Ngurah Kaler,
kawin dengan I Gusti Diah Lor. Adiknya yang
bernama I Gusti Luh Tianyar, dijadikan istri
oleh Pendeta Sakti Manuaba. Adapun I Gusti Ngurah
Getas, dan I Gusti Ngurah Kekeran Getas, beliau
tinggal di Sukangeneb, Toya Anyar, beliau sama-sama
mengembangkan keturunan.
Kemudian kembali dikisahkan,
diceritakan I Gusti Ngurah Tianyar, beliau yang
dinobatkan menjadi tetua di Toya Anyar, generasi
ketiga, putra beliau yang seibu yaitu I Gusti
Ayu Diah Wwesukia. Putra tertua ( bernama )
I Gusti Gede Tianyar, yang selanjutnya berdiam
dan memiliki keturunan di Kebon Culik, putra
kedua ( juga ) laki-laki bernama I Gusti Made
Tianyar, yang kemudian tinggal dan berkembang
di Sukangeneb Toya Anyar. Putra yang bungsu
I Gusti Nyoman Tianyar, beliau ( yang ) lahir
di Desa Pamuhugan, tidak berbeda seperti leluhur
beliau dahulu, janin itu selamat dalam rahim
ibunya yang sangat setia kepada suaminya, berkat
anugerah beliau sang raja penguasa di Gelgel,
ketiganya itu diijinkan kembali ke Toya Anyar. |
|
|
|
|
|
|
|
|