Babad
 
  Bagian 3
 
  1. MITHOLOGI DAN SIMBOL HINDU
    1. Mithologi Hindu

      Mithologi merupakan satu bagian dari setiap agama, yang menyatakan pengertian filsafat serta merupakan ilmu yang menyelidiki mythos-mythos atau fabel atau legenda yang dijumpai pada masa lalu, khususnya yang disusun pada awal keberadaan manusia. Sesungguhnya mythos memberikan bayangan kepada umat manusia melalui ajaran atau contoh yang patut dipuji, di mana ajaran yang abstrak dan pemikiran yang halus disusun menarik dan berkesan bagi orang awam melalui ceriteraCeritera, perumpamaan, legenda, lambang-lambang dan iikayat, di mana pikiran dan cita-cita filosophis yang abstrak nan luhur dari Hinduisme diterima langsung dihati orang awam melalui ceritera yang mengagumkan, misalnya dalam Epos Ramayana yang banyak Imengandung filsafat ketuhanan, kepemimpinan dan filsafat antar sesama, sehingga dengan demikian mithologi memegang peran penting dalam agama Hindu.
    2. Mithologi dan Sejarah

      Ajaran tentang Awatara dalam agama Hindu merupakan sebuah mythos, misalnya awatara Sanghyang Wishnu menjadi Rama dan Kreshna, karena semua agama memiliki mythos namun secara ringan sering dicampuradukkan dengan sejarah, sehingga sangat sukar untuk membuat perbedaan yang jelas antara sejarah dan mythologi, di mana mythologi tidak memiliki referensi terhadap segala sesuatu yang "tidak nyata" tetapi menghadirkan kebenaran sebagai selimut yang perlu dibedah oleh alam pikiran manusia.
    3. Simbol Hindu

      Agama Hindu kaya akan simbol-simbol, baik berupa banten, patung/ pratima, barong dan rangda. Simbol simbol yang mengarah keluar diperlukan dan sangat bermanfaat bila dipandang dari sudut pandang yang benar, karena dapat memainkan suatu bagian yang penting dalam kehidupan material, demikian juga dalam kehidupan spiritual, walaupun kelihatannya sangat sederhana dan remeh, tetapi sarana tersebut sangat efektif menuju/ memuja kebesaran Ida Sanghyang Widhi Wasa. Misalnya upakara pulagembal yang dibuat pada upacara tertentu merupakan simbol bumi dengan segala isinya, demikian pula patung/ pratima, barong dan rangda juga merupakan simbol / sarana petitis (memusatkan pikiran) dalam kita memuja Tuhan, tanpa melalui simbol-simbol itu pada saat kita melakukan persembahyangan rasanya sulit untuk memfokuskan pikiran sehingga dengan demikian pemujaan Tuhan dengan media patung/ pratima, barong dan rangda hanya merupakan titian pikiran, berarti kita selaku umat Hindu bukan memuja simbol-simbol itu, melainkan tetap memuja Tuhan / Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya.
  1. PURANA
    1. Pengertian Purana

      Setiap Pura yang dibangun di jaman dahulu sudah semestinya mempunyai Purana, namun data menunjukkan tidak semua orang yang mengemong Pura tertentu mengetahui tentang Purana Pura yang disungsungnya, hal ini mungkin disebabkan karena
      terjadi perubahan atau perpindahan penduduk ke desa yang lain atau karena bencana alam, dll.

      Pengertian dari Purana adalah suatu cerita kuno yang terkumpul dari kalangan rakyat yang mengisahkan kehidupan para dewa tentang penciptaan alam semesta. Pada dasarnya Purana itu ada 18 buah yang dirangkum menjadi 5 bagian yang disebut dengan Panca Laksana, yang kelimanya itu memiliki corak khusus antara lain:
      1. Sorga adalah mengisahkan tentang penciptaan alam semesta
      2. Pratisarga adalah penciptaan kembali dunia ini, jika sebelumnya mengalami pralaya
      3. Wamca adalah mengisahkan asal-usul para Dewa Rsi (pendeta tertinggi)
      4. Manwamtarani adalah pembagian waktu satu hari Brahman dalan 14 masha
      5. Wamca Nucarita adalah sejarah raja-raja yang memerintah di atas dunia (sejarah kebudayaan, S Soekomo)

      Untuk menghindari kerancuan di masyarakat, berikut ini kami mencoba menguraikan perbedaan antara Purana, Prasasti, Babad, Pabancangah, Prakempa. Kesemuanya itu mempunyai pengertian yang berbeda dan ciri yang berbeda pula, hal mana kami maksudkan untuk menghindari salah penapsiran, berikut definisi dari kelimanya itu adalah:

      1. Purana adalah ceritera yang mengisahkan jaman kadewatan yang berstana pada parhyangan tertentu.
      2. Prasasti adalah suatu maklumat raja/ keputusan dari raja yang berkuasa tatkala prasasti itu dikeluarkan, misalnya prasasti Batur Abang Al, th Caka 933.
      3. Babad adalah ceritera suatu golongan termasuk perkembangan keturunannya, misalnya Babad Arya Sentong.
      4. Pabancangah adalah kumpulan dari berbagai ceritera/ kajian yang isinya tentang rangkuman-rangkuman dari ceritera itu.
      5. Prakempa adalah mengisahkan tokoh pada suatu wilayah yang tanpa menguraikan kedatangannya dari daerah lain dari tokoh bersangkutan.

      Dari pengklasifikasian tersebut di atas, maka Purana yang paling tua umurnya dan sangat wajib pada setiap Pura terdapat adanya Purana, karena dalam Purana akan tersirat dengan jelas tentang manifestasi Tuhan yang berstana di Pura bersangkutan.

    2. Purana Pura Luhur Pucak Gegelang - Nungnung

      Sebagai awal kisah Purana Pura Luhur Pucak Gegelang, tersebutlah didalam Purana yaitu pada awal terjadinya kehidupan di Pulau Bali, yang dalam Purana tersebutkan awal Pulau Bali ini yaitu pada candi Purusada di Desa Kapal yang diciptakan oleh Bhatara Guru, setelah peristiwa tersebut keadaan pulau Bali masih sangat labil, maka dari itu Bhatara Guru yang berstana di Candi Purusada bersabda kepada para Dewata, hai engkau para dewata sekalian, karena pulau yang baru ini belum stabil, agar engkau siap bekerja lagi
      agar pulau Bali menjadi stabil sampai kelak dikemudian hari
      , demikian sabdha beliau Tuhan Yang Maha Esa yang bergelar Bhatara Guru. Mendengar sabdha Tuhan yang demikian itu, lalu para Dewata mulai melakukan tapa yogha samadi dan dari yogha para Dewata muncullah panas di bhumi ini, dalam pada itu Bhatara Guru lagi bersabdha kepada sekalian para Dewata, yang intinya agar para Dewata menciptakan gunung-gunung di Pulau Bali baik yang besar maupun kecil, titah itu pun dilaksanakan oleh para Dewata terutama kaum Dewa sembilan.

      Tersebutlah Bhatara Çiwa mengawasi pulau ini, dan beliau pun juga berkeinginan menciptakan gunung, maka dalam perjalanan beliau itu sejenak terdiam di angkasa, dan akhirnya beliau berkeinginan untuk turun di pulau Bali, namun tiba-tiba Bhatara Guru mengurungkan niatnya untuk turun, di mana pada tempat beliau membatalkan niatnya keluarlah kutukan dari Bhatara Çiwa, di mana tempat itu diberi nama "NUNGNUNG" yang secara harfiah artinya batal (Wojowarsito, Bhs. Jawa Kuno), dan semoga dikemudian hari menjadi sebuah Desa (Thani = Desa, Kamus Jawa Kuno, L. Mardiwarsito, 581), demikian pula agar pada tempat ini didirikan sebuah parhyangan (Pura) sebagai tempat memuja kebesaran Tuhan Yang Maha Esa dalam prabhawanya sebagai Dewa Wishnu dan Dewa Brahma, demikian sabdha beliau Bhatara Çiwa, dan beliau (Bhatara Çiwa) lalu melanjutkan perjalanan ke arah timur laut dan sampailah pada suatu tempat, di situlah Bhatara Çiwa menyatukan pikiran dengan yogha yang sangat khusuk, dari yoghanya itu terciptalah gunung Tapsari (adakalanya masyarakat menyebut dengan nama gunung Antapsai), yang selanjutnya Bhatara Çiwa berkahyangan di gunung itu, jadi dengan demikian pada gunung Tapsari yang terletak di wilayah Desa Bon Kecamatan Petang Kabupaten Badung tempat memuja kebesaran Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Çiwa. Demikianlah cikalbakal tentang keberadaan Desa Nungnung yang terkait dengan Pura Luhur Pucak Gegelang, seperti telah tersurat dalam pustaka kuno.

      Tersebutlah sekarang tahun berganti tahun, di Bali pada itu berkuasa seorang raja yang bernama Asta Sura Ratna Bhumi Banten dengan Patihnya bernama Ki Pasung Grigis dan Ki Kebo Waruya, keberadaan raja Bali ini sangat tidak sependapat dengan pemerintahan Majapahit, maka Asta Sura Ratna Bhumi Banten bergelar Dhalem Bedahulu (Beda=secara harfiah artinya tidak sama, Hulu=kepala, artinya Asta Sura Ratna Bhumi Banten tidak sependapat/ tidak mau tunduk kepada Majapahit sebagai pemerintahan pusat di Nusantara ini).
      Karena Raja Bali ini tidak mau tunduk dengan Majapahit, menyebabkan Raja Majapahit kurang senang melihat sikap Raja Bali yang demikian itu, maka dari itu raja Majapahit mengadakan pertemuan dengan para petinggi kerajaan, demikian pada saat pertemuan itu diselenggarakan sangat banyak para punggawa/ petinggi kerajaan menghadap raja di balai pertemuan, semuanya saling bertukar pikiran dalam sidang yang dilaksanakan itu. Dalam pada itu akhirnya bersabdhalah penguasa/ raja Majapahit, hai engkau adikku Sang Arya Dhamar dan Maha Patih Gajah Mada, termasuk para Arya sekalian, bagaimana menurut anda sekalian tentang kelakuan raja Bali yaitu Asta Sura Ratna Bhumi Banten, demikian sabdha raja Majapahit. Ya tuanku raja apakah ada yang perlu tuan amanatkan kepada kami dan apakah ada halhal yang mengganjal dalam pikiran paduka?, jika paduka berkenan jelaskanlah kepada kami.

      Hai engkau saudaraku sekalian, dengarlah kata-kataku ini, yang tiada lain yang mengganjal pikiranku adalah raja Bali yang selalu bertentangan dengan kita, maka dari itu aku perintahkan kalian untuk datang ke pulau Bali inemerangi raja tersebut, karena dosanya tidak mau tunduk dan patuh kepadaku, demikan sabdha raja Majapahit.

      Mendengar titah raja yang demikian itu, para patih dan punggawa kerajaan undur dan siap melaksanakan tugas yang diamanatkan, yaitu memerangi raja Bali termasuk laskarnya, tidaklah terlalu sukar bagi hamba sekalian mengalahkan raja Bali, demikian hatur para petinggi kerajaan. selanjutnya raja lagi bersabdha kepada Arya Dhamar dan Patih Gajah Mada serta kepada pararya yang lainnya, hai orang-orangku sekalian ingatlah pesanku ini, janganlah kalian membunuh Ki Pasung Grigis, setelah ia dapat ditaklukan bawalah dia ke Majapahit sebagai tawanan. Ya paduka tuanku, jika demikian hambamu ini tidak akan berani menolak perintah tuan.
      Selanjutnya Arya Dhamar, Patih Gajah Mada dan para Arya yang lainnya seperti : Arya Sentong, Arya Bleteng, Arya Kapakisan, Arya Benculuk, Arya Belog, Arya Wangbang, demikian juga yang lainnya (Sira Wangbang) dan yang terakhir adalah Arya Kuta Waringin berangkat menuju pulau Bali sesuai dengan hari yang telah ditentukan, tidak diceriterakan dalam perjalanan sekarang dikisahkan telah tiba di pulau Bali, akhirnya dimupakati untuk mulai penyerangan, di mana dalam peperangan itu tidak dikisahkan lamanya perang itu, akhirnya Bali dapat ditaklukkan serta penduduk Bali Aga semuanya pada menyerah yaitu pada tahun caka 1265 atau tahun 1343 masehi, selanjutnya agar pulau Bali tetap aman maka para Arya yang turut serta menyerang Bali ditetapkan pada tempat-tempat yang strategis seperti :

      1. Arya Sentong ditempatkan di Desa Pacung
      2. Arya Bleteng ditempatkan di Desa Penatih
      3. Arya Kuta Waringin ditempatkan di Desa Gelgel
      4. Arya Belog ditempatkan di Desa Kaba-Kaba
      5. Arya Kapakisan ditempatkan di Desa Abiansemal
      6. Arya Benculuk ditempatkan di Desa Tangkas
      7. Arya Wang Bang ditempatkan di Desa Sidemen

      Namun engkau adikku Sangarya Sentong, demikian kata Arya Dhamar yang mengatur penempatan para Arya seperti tersebut diatas, karena adinda paling disegani lantaran gagah perkasa dalam tingkah laku, tidak gentar melawan musuh dan berani dihujani segala jenis senjata, serta berbudi pekerti luhur, karena itulah patut diberi imbalan yang layak dan adinda sebagai patih, demikian Sangarya Dhamar, setelah selesai memberi wejangan yang demikian itu lalu Sirarya Dhamar dan Patih Gajah Mada kembali ke tanah Jawa (Majapahit), karena tugasnya mengalahkan pulau Bali telah tercapai dan menyatukan Nusantara ini di bawah kekuasaan Majapahit (Dwipantara = Nusantara). Politik Nusantara Sri Kertanagara yang berhasil gemilang itu secara resmi disebut politik dwipantara. Dwipantara adalah sinonim Nusantara, ini terbukti dari prasasti CAMUNDA '9 bertarikh 1 April 1292, yang bunyinya seperti berikut :

      Swasti cakawarsatita 1 tatkala kapratisthan paduka Bhatari maka tewek huwus cri Maharaja digwijaya ring sakala loka pawayungi sadwipantara (Prof. Dr. Slamet Muljana).
      Artinya :
      Salam bahagia! Tahun caka 1214 pada waktu itu ditegakkan arca paduka Bhatari. Sri Maharaja sudah puas dengan kemenangan-kemenangan yang diperoleh disetiap tempat, menjadi pelindung seluruh Dwipantara.


      Ini jelas yang dimaksud dwipantara tiada lain adalah Bhumi Nusantara.

      Tersebutlah beberapa tahun kemudian karena sudah takdir dari Tuhan Yang Mahe Esa, sira Arya Sentong menanggalkan jabatan patihnya di Gelgel, serta meninggalkan Gelgel menuju Nusa Panida, setibanya di Nusa Panida di sana beliau bertemu dengan penguasa Nusa Panida yang bernama I Gusti Ngurah Wayan Sakti dan setelah beberapa lama Arya Sentong tinggal di Nusa Panida bersama dengan para pengikutnya semua, dalam pada itu beliau bertukar pikiran yang mana dalam wacananya tiada lain adalah isinya beliau ingin datang ke pulau Bali, adapun tujuannya adalah untuk melakukan tapa yogha samadhi.
      Agar tujuan tersebut di atas sesuai dengan harapan beliau, maka sebelum keberangkatannya ke Bali, beliau mohon petunjuk dan wara nugraha kehadapan Tuhan yang berstana di Dhalem Peed. Sekarang dikisahkan beliau berangkat ke Bali, tiada dikisahkan dalam perjalanan, sekarang beliau telah tiba di pulau Bali dengan menginjakkan kakinya pertama kali di pantai Batu Bolong - Canggu, selanjutnya menuju Keramas -Gianyar, pada tempat-tempat tersebut beliau melakukan tapasya dan dari Gianyar Sangarya Sentong bersama dengan para pengiringnya melanjutkan perjalanan ke arah barat dan tidak dikisahkan dalam perjalanan yang akhirnya tibalah beliau di sebuah tempat yaitu disebelah selatan gunung Mangu, tepatnya di sebelah selatan Desa Tinggan, wilayah itu bernama Desa Nungnung, ditempat inilah Sangarya Sentong melakukan yogha samadhi dengan duduk di atas sebuah batu, memusatkan pikiran kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, tiba-tiba dalam yoghanya itu beliau mendengar suara angawangngawang (sabdha) yang isinya : hai engkau Arya Sentong termasuk orang-orang sekalian yang ada di tempat ini, titahku ini agar segera engkau membangun tempat pemujaan, sebagai tempat engkau sekalian memuja kebesaranKu, demikian suara itu terdengar oleh beliau.

      Selanjutnya beliau Sangarya Sentong memberikan pengarahan kepada para pengikutnya, hai engkau orangorangku sekalian, dengarlah kata-kataku ini, tujuanku tiada lain adalah akan membuat pura bersama-sama dengan engkau sekalian. Para pengiring itu umatur, jika demikian hambamu ini tidak akan berani menolaknya. Setelah selesai demikian itu maka pembuatan pura mulai dikerjakan secara bersama-sama, tidak tersebut lamanya pengerjaan pura.

      Sahdan pura itu telah rampung dikerjakan, selanjutnya dilaksanakan upacara Pratistha (pratistha artinya upacara pembersihan) seperti bhuta yadnya dan dewa yadnya sebagaimana lazimya dalam ritual agama Hindu yaitu pada sasih kapat (sekitar bulan Oktober) menuju bulan purnama tahun Isaka 1293 atau tahun 1371 masehi. Setelah upacara tersebut selesai, lagi-lagi mohon petunjuk kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa tentang nama dari Kahyangan ini, dalam mohon petunjuk itu terdengarlah suara dari langit, hai engkau manusia sekalian, begitu terdengar sabdha itu, Aku adalah Sanghyang Çiwa yang berstana di gunung Tapsari, berilah nama Kahyangan (pura) ini Pucak Gegelang, ia Tuhanku kenapa kahyangan ini diberi nama demikian, hai engkau manusia sekalian, nama pura seperti itu tiada lain sebagai tanda asal kedatangan dari tanah Jawa Dwipa, ia Tuhanku siapakah gerangan yang dipuja di pura ini, demikian dialog itu, selanjutnya Tuhan (Sanghyang Çiwa) bersabdha lagi, Pura ini tiada lain sebagai tempat memuja kebesaran sanghyang Wishnu dan sanghyang Brahma dan jika di kemudian hari tanaman pertanian terserang oleh wabah hama penyakit, di pura ini tempatmu mohon Wara nugraha dengan mohon tirtha suci (Wangsuh pada) yang mampu menyelamatkan tanaman termasuk penduduknya, demikian sabdhaKu kepada engkau sekalian.
      Setelah selesai demikian Arya Sentong memberikan wejangan kepada para yang hadir, hai engkau orangorangku sekalian, merupakan kewajibanmu termasuk anak cucumu sampai dikemudian hari bertanggung jawab secara penuh terhadap kahyangan (pura) ini, andaikata engkau melanggar aturan ini, maka petaka tak dapat dihindari, percekcokan dalam keluarga dan Desa pakraman, apa sebab demikian, karena Pura Pucak Gegelang merupakan pura yang harus disembah oleh orang kebanyakan (Kahyangan Jagat), dan akupun tak akan berani melupakan kahyangan ini termasuk keturunanku juga, demikian pesan Sangarya Sentong kepada masyarakat sebagai tanda peringatan sampai kelak dikemudian hari.
      Selanjutnya Sangarya Sentong meninggalkan para pengiringnya dan beliau melanjutkan perj alanan menuju kebagian barat dari Nungnung di mana tempat yang dituju tiada lain adalah Gunung Padang Dawa dan Batu Pucak Kembar (dalam persi Babad Nusa, sira Arya Sentong tetap setia diiringi oleh Pasek Bandesa sehingga akhirnya lebih dikenal Pasek Sabeng Puri). Setelah beberapa lama terjadilah perubahan jaman (kali sangara), timbullah kekacauan diwilayah Nungnung dan sekitarnya, tiada lain penyebabnya adalah seekor Macan yang mengamuk bagaikan Kalantaka tiada tertandingi, di mana kejadian itu pada tahun caka 1473 atau tahun 1515 masehi, pada masa itulah masyarakat Nungnung dan desa-desa sekitarnya sebagian ada yang mengungsi ke tempat lain dan ada pula yang masih tetap tinggal di Nungnung dan desa sekitarnya, mereka yang mengungsi/ pindah ada yang menuju Buleleng, Kedaton, Kesiman, Beringkit, Darmasaba dan setelah beberapa lama ia tinggal di tempat yang baru itu adapula yang membangun tempat pangastawan Pura Pucak Gegelang Nungnung (berfungsi sebagai pasimpangan), namun orang-orang/ penduduk yang mengalami perpindahan itu, tidak boleh lupa akan Wit/ asalnya lebih-lebih Pura Luhur Pucak Gegelang, jika Pura Luhur Pucak Gegelang-Nungnung terlupakan/ diabaikan oleh masyarakat tersebut, sudah pasti mendapat kutukan dari Ida Bhatara yang berstana di Pura Luhur Pucak Gegelang, demikian Purana Pura Luhur Pucak Gegelang yang berlokasi di desa Nungnung, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.