Purana Pura Luhur
Pucak Gegelang - Nungnung
Sebagai awal kisah Purana Pura Luhur
Pucak Gegelang, tersebutlah didalam
Purana yaitu pada awal terjadinya kehidupan
di Pulau Bali, yang dalam Purana tersebutkan
awal Pulau Bali ini yaitu pada candi
Purusada di Desa Kapal yang diciptakan
oleh Bhatara Guru, setelah peristiwa
tersebut keadaan pulau Bali masih sangat
labil, maka dari itu Bhatara Guru yang
berstana di Candi Purusada bersabda
kepada para Dewata,
hai engkau para
dewata sekalian, karena pulau yang baru
ini belum stabil, agar engkau siap bekerja
lagi
agar pulau Bali menjadi stabil sampai
kelak dikemudian hari, demikian
sabdha beliau Tuhan Yang Maha Esa yang
bergelar Bhatara Guru. Mendengar sabdha
Tuhan yang demikian itu, lalu para Dewata
mulai melakukan tapa yogha samadi dan
dari yogha para Dewata muncullah panas
di bhumi ini, dalam pada itu Bhatara
Guru lagi bersabdha kepada sekalian
para Dewata, yang intinya agar para
Dewata menciptakan gunung-gunung di
Pulau Bali baik yang besar maupun kecil,
titah itu pun dilaksanakan oleh para
Dewata terutama kaum Dewa sembilan.
Tersebutlah Bhatara Çiwa mengawasi
pulau ini, dan beliau pun juga berkeinginan
menciptakan gunung, maka dalam perjalanan
beliau itu sejenak terdiam di angkasa,
dan akhirnya beliau berkeinginan untuk
turun di pulau Bali, namun tiba-tiba
Bhatara Guru mengurungkan niatnya untuk
turun, di mana pada tempat beliau membatalkan
niatnya keluarlah kutukan dari Bhatara
Çiwa, di mana tempat itu diberi
nama "NUNGNUNG" yang secara
harfiah artinya batal (Wojowarsito,
Bhs. Jawa Kuno), dan semoga dikemudian
hari menjadi sebuah Desa (Thani = Desa,
Kamus Jawa Kuno, L. Mardiwarsito, 581),
demikian pula agar pada tempat ini didirikan
sebuah parhyangan (Pura) sebagai tempat
memuja kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
dalam prabhawanya sebagai Dewa Wishnu
dan Dewa Brahma, demikian sabdha beliau
Bhatara Çiwa, dan beliau (Bhatara
Çiwa) lalu melanjutkan perjalanan
ke arah timur laut dan sampailah pada
suatu tempat, di situlah Bhatara Çiwa
menyatukan pikiran dengan yogha yang
sangat khusuk, dari yoghanya itu terciptalah
gunung Tapsari (adakalanya masyarakat
menyebut dengan nama gunung Antapsai),
yang selanjutnya Bhatara Çiwa
berkahyangan di gunung itu, jadi dengan
demikian pada gunung Tapsari yang terletak
di wilayah Desa Bon Kecamatan Petang
Kabupaten Badung tempat memuja kebesaran
Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya
sebagai Sanghyang Çiwa. Demikianlah
cikalbakal tentang keberadaan Desa Nungnung
yang terkait dengan Pura Luhur Pucak
Gegelang, seperti telah tersurat dalam
pustaka kuno.
Tersebutlah sekarang tahun berganti
tahun, di Bali pada itu berkuasa seorang
raja yang bernama Asta Sura Ratna Bhumi
Banten dengan Patihnya bernama Ki Pasung
Grigis dan Ki Kebo Waruya, keberadaan
raja Bali ini sangat tidak sependapat
dengan pemerintahan Majapahit, maka
Asta Sura Ratna Bhumi Banten bergelar
Dhalem Bedahulu (Beda=secara harfiah
artinya tidak sama, Hulu=kepala, artinya
Asta Sura Ratna Bhumi Banten tidak sependapat/
tidak mau tunduk kepada Majapahit sebagai
pemerintahan pusat di Nusantara ini).
Karena Raja Bali ini tidak mau tunduk
dengan Majapahit, menyebabkan Raja Majapahit
kurang senang melihat sikap Raja Bali
yang demikian itu, maka dari itu raja
Majapahit mengadakan pertemuan dengan
para petinggi kerajaan, demikian pada
saat pertemuan itu diselenggarakan sangat
banyak para punggawa/ petinggi kerajaan
menghadap raja di balai pertemuan, semuanya
saling bertukar pikiran dalam sidang
yang dilaksanakan itu. Dalam pada itu
akhirnya bersabdhalah penguasa/ raja
Majapahit,
hai engkau adikku Sang
Arya Dhamar dan Maha Patih Gajah Mada,
termasuk para Arya sekalian, bagaimana
menurut anda sekalian tentang kelakuan
raja Bali yaitu Asta Sura Ratna Bhumi
Banten, demikian sabdha raja Majapahit.
Ya tuanku raja apakah ada yang perlu
tuan amanatkan kepada kami dan apakah
ada halhal yang mengganjal dalam pikiran
paduka?, jika paduka berkenan jelaskanlah
kepada kami.
Hai engkau saudaraku sekalian, dengarlah
kata-kataku ini, yang tiada lain yang
mengganjal pikiranku adalah raja Bali
yang selalu bertentangan dengan kita,
maka dari itu aku perintahkan kalian
untuk datang ke pulau Bali inemerangi
raja tersebut, karena dosanya tidak
mau tunduk dan patuh kepadaku, demikan
sabdha raja Majapahit.
Mendengar titah raja yang demikian itu,
para patih dan punggawa kerajaan undur
dan siap melaksanakan tugas yang diamanatkan,
yaitu memerangi raja Bali termasuk laskarnya,
tidaklah terlalu sukar bagi hamba
sekalian mengalahkan raja Bali,
demikian hatur para petinggi kerajaan.
selanjutnya raja lagi bersabdha kepada
Arya Dhamar dan Patih Gajah Mada serta
kepada pararya yang lainnya, hai orang-orangku
sekalian ingatlah pesanku ini, janganlah
kalian membunuh Ki Pasung Grigis, setelah
ia dapat ditaklukan bawalah dia ke Majapahit
sebagai tawanan.
Ya paduka tuanku,
jika demikian hambamu ini tidak akan
berani menolak perintah tuan.
Selanjutnya Arya Dhamar, Patih Gajah
Mada dan para Arya yang lainnya seperti
: Arya Sentong, Arya Bleteng, Arya Kapakisan,
Arya Benculuk, Arya Belog, Arya Wangbang,
demikian juga yang lainnya (Sira Wangbang)
dan yang terakhir adalah Arya Kuta Waringin
berangkat menuju pulau Bali sesuai dengan
hari yang telah ditentukan, tidak diceriterakan
dalam perjalanan sekarang dikisahkan
telah tiba di pulau Bali, akhirnya dimupakati
untuk mulai penyerangan, di mana dalam
peperangan itu tidak dikisahkan lamanya
perang itu, akhirnya Bali dapat ditaklukkan
serta penduduk Bali Aga semuanya pada
menyerah yaitu pada tahun caka 1265
atau tahun 1343 masehi, selanjutnya
agar pulau Bali tetap aman maka para
Arya yang turut serta menyerang Bali
ditetapkan pada tempat-tempat yang strategis
seperti :
1. Arya Sentong ditempatkan di Desa
Pacung
2. Arya Bleteng ditempatkan di Desa
Penatih
3. Arya Kuta Waringin ditempatkan di
Desa Gelgel
4. Arya Belog ditempatkan di Desa Kaba-Kaba
5. Arya Kapakisan ditempatkan di Desa
Abiansemal
6. Arya Benculuk ditempatkan di Desa
Tangkas
7. Arya Wang Bang ditempatkan di Desa
Sidemen
Namun engkau adikku Sangarya Sentong,
demikian kata Arya Dhamar yang
mengatur penempatan para Arya seperti
tersebut diatas, karena adinda paling
disegani lantaran gagah perkasa dalam
tingkah laku, tidak gentar melawan musuh
dan berani dihujani segala jenis senjata,
serta berbudi pekerti luhur, karena
itulah patut diberi imbalan yang layak
dan adinda sebagai patih, demikian Sangarya
Dhamar, setelah selesai memberi wejangan
yang demikian itu lalu Sirarya Dhamar
dan Patih Gajah Mada kembali ke tanah
Jawa (Majapahit), karena tugasnya mengalahkan
pulau Bali telah tercapai dan menyatukan
Nusantara ini di bawah kekuasaan Majapahit
(Dwipantara = Nusantara). Politik Nusantara
Sri Kertanagara yang berhasil gemilang
itu secara resmi disebut politik dwipantara.
Dwipantara adalah sinonim Nusantara,
ini terbukti dari prasasti CAMUNDA '9
bertarikh 1 April 1292, yang bunyinya
seperti berikut :
Swasti
cakawarsatita 1 tatkala kapratisthan
paduka Bhatari maka tewek huwus
cri Maharaja digwijaya ring sakala
loka pawayungi sadwipantara
(Prof. Dr. Slamet Muljana). |
Artinya : |
Salam bahagia! Tahun caka 1214
pada waktu itu ditegakkan arca
paduka Bhatari. Sri Maharaja sudah
puas dengan kemenangan-kemenangan
yang diperoleh disetiap tempat,
menjadi pelindung seluruh Dwipantara.
|
Ini jelas yang dimaksud dwipantara tiada
lain adalah Bhumi Nusantara.
Tersebutlah beberapa tahun kemudian
karena sudah takdir dari Tuhan Yang
Mahe Esa, sira Arya Sentong menanggalkan
jabatan patihnya di Gelgel, serta meninggalkan
Gelgel menuju Nusa Panida, setibanya
di Nusa Panida di sana beliau bertemu
dengan penguasa Nusa Panida yang bernama
I Gusti Ngurah Wayan Sakti dan setelah
beberapa lama Arya Sentong tinggal di
Nusa Panida bersama dengan para pengikutnya
semua, dalam pada itu beliau bertukar
pikiran yang mana dalam wacananya tiada
lain adalah isinya beliau ingin datang
ke pulau Bali, adapun tujuannya adalah
untuk melakukan tapa yogha samadhi.
Agar tujuan tersebut di atas sesuai
dengan harapan beliau, maka sebelum
keberangkatannya ke Bali, beliau mohon
petunjuk dan wara nugraha kehadapan
Tuhan yang berstana di Dhalem Peed.
Sekarang dikisahkan beliau berangkat
ke Bali, tiada dikisahkan dalam perjalanan,
sekarang beliau telah tiba di pulau
Bali dengan menginjakkan kakinya pertama
kali di pantai Batu Bolong - Canggu,
selanjutnya menuju Keramas -Gianyar,
pada tempat-tempat tersebut beliau melakukan
tapasya dan dari Gianyar Sangarya Sentong
bersama dengan para pengiringnya melanjutkan
perjalanan ke arah barat dan tidak dikisahkan
dalam perjalanan yang akhirnya tibalah
beliau di sebuah tempat yaitu disebelah
selatan gunung Mangu, tepatnya di sebelah
selatan Desa Tinggan, wilayah itu bernama
Desa Nungnung, ditempat inilah Sangarya
Sentong melakukan yogha samadhi dengan
duduk di atas sebuah batu, memusatkan
pikiran kehadapan Tuhan Yang Maha Esa,
tiba-tiba dalam yoghanya itu beliau
mendengar suara angawangngawang (sabdha)
yang isinya :
hai engkau Arya Sentong
termasuk orang-orang sekalian yang ada
di tempat ini, titahku ini agar segera
engkau membangun tempat pemujaan, sebagai
tempat engkau sekalian memuja kebesaranKu,
demikian suara itu terdengar oleh beliau.
Selanjutnya beliau Sangarya Sentong
memberikan pengarahan kepada para pengikutnya,
hai engkau orangorangku sekalian, dengarlah
kata-kataku ini, tujuanku tiada lain
adalah akan membuat pura bersama-sama
dengan engkau sekalian. Para pengiring
itu umatur,
jika demikian hambamu
ini tidak akan berani menolaknya.
Setelah selesai demikian itu maka pembuatan
pura mulai dikerjakan secara bersama-sama,
tidak tersebut lamanya pengerjaan pura.
Sahdan pura itu telah rampung dikerjakan,
selanjutnya dilaksanakan upacara Pratistha
(pratistha artinya upacara pembersihan)
seperti bhuta yadnya dan dewa yadnya
sebagaimana lazimya dalam ritual agama
Hindu yaitu pada sasih kapat (sekitar
bulan Oktober) menuju bulan purnama
tahun Isaka 1293 atau tahun 1371 masehi.
Setelah upacara tersebut selesai, lagi-lagi
mohon petunjuk kehadapan Ida Sanghyang
Widhi Wasa tentang nama dari Kahyangan
ini, dalam mohon petunjuk itu terdengarlah
suara dari langit, hai engkau manusia
sekalian, begitu terdengar sabdha itu,
Aku adalah Sanghyang Çiwa yang
berstana di gunung Tapsari, berilah
nama Kahyangan (pura) ini Pucak Gegelang,
ia Tuhanku kenapa kahyangan ini diberi
nama demikian, hai engkau manusia sekalian,
nama pura seperti itu tiada lain sebagai
tanda asal kedatangan dari tanah Jawa
Dwipa, ia Tuhanku siapakah gerangan
yang dipuja di pura ini, demikian dialog
itu, selanjutnya Tuhan (Sanghyang Çiwa)
bersabdha lagi, Pura ini tiada lain
sebagai tempat memuja kebesaran sanghyang
Wishnu dan sanghyang Brahma dan jika
di kemudian hari tanaman pertanian terserang
oleh wabah hama penyakit, di pura ini
tempatmu mohon Wara nugraha dengan mohon
tirtha suci (Wangsuh pada) yang mampu
menyelamatkan tanaman termasuk penduduknya,
demikian sabdhaKu kepada engkau sekalian.
Setelah selesai demikian Arya Sentong
memberikan wejangan kepada para yang
hadir, hai engkau orangorangku sekalian,
merupakan kewajibanmu termasuk anak
cucumu sampai dikemudian hari bertanggung
jawab secara penuh terhadap kahyangan
(pura) ini, andaikata engkau melanggar
aturan ini, maka petaka tak dapat dihindari,
percekcokan dalam keluarga dan Desa
pakraman, apa sebab demikian, karena
Pura Pucak Gegelang merupakan pura yang
harus disembah oleh orang kebanyakan
(Kahyangan Jagat), dan akupun tak akan
berani melupakan kahyangan ini termasuk
keturunanku juga, demikian pesan Sangarya
Sentong kepada masyarakat sebagai tanda
peringatan sampai kelak dikemudian hari.
Selanjutnya Sangarya Sentong meninggalkan
para pengiringnya dan beliau melanjutkan
perj alanan menuju kebagian barat dari
Nungnung di mana tempat yang dituju
tiada lain adalah Gunung Padang Dawa
dan Batu Pucak Kembar (dalam persi Babad
Nusa, sira Arya Sentong tetap setia
diiringi oleh Pasek Bandesa sehingga
akhirnya lebih dikenal Pasek Sabeng
Puri). Setelah beberapa lama terjadilah
perubahan jaman (kali sangara), timbullah
kekacauan diwilayah Nungnung dan sekitarnya,
tiada lain penyebabnya adalah seekor
Macan yang mengamuk bagaikan Kalantaka
tiada tertandingi, di mana kejadian
itu pada tahun caka 1473 atau tahun
1515 masehi, pada masa itulah masyarakat
Nungnung dan desa-desa sekitarnya sebagian
ada yang mengungsi ke tempat lain dan
ada pula yang masih tetap tinggal di
Nungnung dan desa sekitarnya, mereka
yang mengungsi/ pindah ada yang menuju
Buleleng, Kedaton, Kesiman, Beringkit,
Darmasaba dan setelah beberapa lama
ia tinggal di tempat yang baru itu adapula
yang membangun tempat pangastawan Pura
Pucak Gegelang Nungnung (berfungsi sebagai
pasimpangan), namun orang-orang/ penduduk
yang mengalami perpindahan itu, tidak
boleh lupa akan Wit/ asalnya lebih-lebih
Pura Luhur Pucak Gegelang, jika Pura
Luhur Pucak Gegelang-Nungnung terlupakan/
diabaikan oleh masyarakat tersebut,
sudah pasti mendapat kutukan dari Ida
Bhatara yang berstana di Pura Luhur
Pucak Gegelang, demikian Purana Pura
Luhur Pucak Gegelang yang berlokasi
di desa Nungnung, Kecamatan Petang,
Kabupaten Badung.