|
|
|
|
|
|
|
Bagian 2 |
|
|
|
-
-
Tempat Suci Megalitik
Sumber yang memberikan keterangan tentang
berdirinya Pura Luhur Pucak Gegelang
diketemukan pada lontar, namun demikian
pada uraian ini kami mencoba mengungkapkan
data yang terkumpul dari sumber tertulis.
Pura Luhur Pucak Gegelang yang dibangun
pada alam pedesaan nan indah, serta
disekitar Pura nampak perumahaan penduduk
kecuali dibagian timurnya masih membentang
alam persawahan sehingga sepoi-sepoi
angin menambah kesejukan alam sekitar
Pura, dengan demikian keberadaan Pura
masih mendukung alam sekitarnya yang
secara langsung nantinya menambah kesucian/
keasrian dan keagungan Pura Luhur Pucak
Gegelang — Nungnung sebagai Kahyangan
Jagat.
Pura Luhur Pucak Gegelang yang berada
pada situs alam pegunungan, mengingatkan
kita pada kepercayaan Nenek moyang kita
di Nusantara, bahwa gunung merupakan
persemayaman para Dewa yang dikenal
pada jaman prasejarah pada tradisi megalitik,
karena pada jaman megalitik gunung dianggap
sebagai tempat suci yang merupakan salah
satu ciri pemujaan masyarakat pada jaman
dahulu hingga sampai sekarang, demikian
juga Dolmen (Reti), menhir (Penji),
Punden yang berundak-undak dan batu
yang merupakan reflika dari tiruan bentuk
gunung (Dikbud, 1992 :16).
Media pemujaan pada masa megalitik pada
konsep spiritual yang merupakan penghormatan
kepada Tuhan, di mana peninggalan megalitik
memberi indikasi betapa besarnya penghormatan
terhadap roh leluhur yang merupakan
bagian dari Tuhan Yang Maha Esa bagi
masyarakat Bali. Pandangan Hindu terhadap
tempat suci (Pura), semakin tinggi (Utama
mandala), keberadaannya dipandang semakin
suci, di mana konsep ini berlaku pada
sebagian Pura yang ada di Bali, dengan
halaman tersuci selalu lebih tinggi
(Utama mandala) dari jaba tengah (Madya
Mandala) maupun Nista Mandala (jaba
sisi), hal ini nampak dengan jelas pada
Pura Luhur Pucak Gegelang.
Perlu diingat bahwa tinggalan arkeologi
mempunyai beberapa keterbatasan yaitu
tak dapat diperbaharui (NON RENEWABLE),
mudah rapuh (FRAGILE), terbatas jumlahnya
dan terbatas dalam kemampuannya bertahan
terhadap waktu, sehingga berdampak pada
pemanfaatannya (Haryono, 1995: 3), oleh
karena itu pemanfaatan tinggalan arkeologi
sebagai sumberdaya budaya tetap harus
berwawasan pelestarian dan perlindungan,
di mana benda cagar budaya harus dapat
digunakan sebagai kepentingan Agama,
sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu
pengetahuan, pemanfaatan tersebut tidak
dapat dilakukan bila bertentangan dengan
upaya pertimbangan benda cagar budaya,
lebih-lebih untuk menggapai keuntungan
golongan atau pribadi.
Dari hal tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa tempat suci secara megalitik mendasari
pembangunan Pura di Bali seperti meru
merupakan replika (tiruan) bentuk gunung.
-
Masa Peradaban Hindu
Pada jaman masa peradaban Hindu, telah
muncul pengaruh baru yang melahirkan
adanya perubahan, namun demikian budaya
asli masih menunjukkan pengaruhnya.
Akibat dari perpaduan unsur peradaban
leluhur, yang menganggap gunung sebagai
tempat bersemayamnya para Dewa, sehingga
terjadi pemujaan Dewa Gunung (Linus,
1980 : 5).
Gunung memegang peranan yang sangat
penting sebagai tempat bersemayamnya
para Dewa dan gunung sangat diyakini
sebagai sumber kehidupan bagi semua
makhluk hidup, di mana peradaban Hindu
mengalami perkembangan, di sana gunung
memegang peran yang sangat penting.
Seperti adanya gunung-gunung di Jawa
menurut Poerbacaraka, tt : 52, yang
dikutip dari kitab Tantu Pagelaran,
disebutkan Bhatara Çiwa menitahkan
kepada para Dewa untuk mengusung puncak
gunung Mahameru di tanah India dibawa
ke tanah Jawa, sehingga menjadi gunung
Kemukus, gunung Arjuna, gunung Kelud,
gunung Wilis dll, demikian Pula dalam
kitab Purana Dewa Bangsul disebutkan
juga Bhatara Çiwa menitahkan
para Dewa untuk mengambil bongkahan
gunung Mahameru untuk dibawa ke Bali,
yang akhirnya menjadi gunung Mangu,
gunung Pucak Kembar, gunung Silanjana,
gunung Antapsai, gunung Batukaru serta
bongkahan yang paling besar menjadi
gunung Agung, sehingga keadaan pulau
Bali menjadi stabil.
Menurut Goris, dalam perkembangan kehidupan
di Bali, ada 9 sekta yang berkembang
yaitu setelah abad ke-10 Masehi, ke
sembilan sekta itu adalah :
1. Sekta Pasupata
2. Sekta Bhairawa
3. Sekta Waisnawa
4. Sekta Boddha
5. Sekta Brahma
6. Sekta Rsi
7. Sekta Sora
8. Sekta Ganapatya
9. Sekta Çiwa Sidantha
Kesembilan sekta itu pernah berkembang
di Bali, namun yang masih menunjukkan
pengaruhnya yang kuat sampai sekarang
adalah sekta Çiwa Sidantha, karena
Hinduisme yang dianut oleh sebagian
besar masyarakat Bali adalah Çiwaisme
yang cenderung bercorak Sidantha, namun
terjalin hubungan yang erat dengan unsur
Brahma, Tantris, Sora dan Boddha (Ardana,
1981 : 22 dan 23). Sekta Çiwa
Sidantha merupakan Hinduisme yang menganggap
Dewa Çiwa sebagai Dewa tertinggi
dan memiliki aspek Dewata Nawa Sangga
(bukan Nawa Sanga). Demikian juga di
Pura Luhur Pucak Gegelang merupakan
aspek pemujaan salah satu dari Dewata
Nawa Sangga (diuraikan lebih jelas dalam
Purana pada buku ini)
Pura-Pura yang tergolong Kahyangan Jagat
tersebar letaknya di pulau Bali, terutama
pada daerah pegunungan dan tepi pantai
yang letaknya sedemikian rupa sesuai
dengan arah mata angin, ke sembilan
Kahyangan itu di rebut Nawadhikpalataka
yang artinya sembilan penjuru dunia
(Ardana,1981:30), jika kita simak uraian
tersebut di atas, maka gunung memiliki
nilai sakral sebagai tempat memuja kebesaran
Tuhan dalam segala manifestasinya, sehingga
sangat tepat sekali bila kita kaitkan
dengan pendirian suatu pura kebanyakan
pada alam pegunungan, sehingga dengan
demikian gunung merupakan konsep dasar
pendirian suatu pura.
|
|
-
-
Peninggalan Yupa
dan Saila Prasasti
Dalam karya sastra Pujangga besar Rsi
Walmiki yang nama aslinya adalah Ratnakara
sebelum berubah statusnya menjadi Rsi,
beliau menulis kitab Ramayana sebagai
karya sastra yang agung dan diakui keberadaannya
oleh dunia serta usianya sangat tua,
dalam kisah itu tersebutlah Sri Rama
memerintahkan Sugriwa (Raja Kera), untuk
mencari Dewi Sita yang di culik oleh
Rahwana Prabu Alengka, yang akhirnya
Sugriwa dengan segera memerintahkan
laskar wanaranya (prajurit kera) untuk
memulai pencarian itu sampai ke Jawa
Dwipa (pulau Jawa), Swarna Dwipa (pulau
Sumatera), yang pada gilirannya setelah
melewati kedua pulau itu ditemukan sebuah
gunung yang tingggi
dan bersalju, gunung itu bernama gunung
Sisira yang merupakan tempat para Dewa
dan Danawa berada, jika kita menyimak
arti Sisira artinya salju, yang tiada
lain gunung Sisira itu kalau kita bandingkan
dengan geografi adalah gunung Jayawijaya
yang ada di Irian Barat, karena gunung
itu merupakan gunung tertinggi di Indonesia.
Cuplikan kisah tersebut di atas di tulis
beberapa tahun sebelum masehi, tentunya
hal itu tidak dapat digunakan sebagai
patokan datangnya agama Hindu di Indonesia.
Suatu estimasi dapat diambil bahwa permulaan
abad masehi, sekitar tahun 400 masehi
dengan didapati prasasti Batu Yupa di
tepi sungai Mahakam Kalimantan Timur
dengan kerajaannya bernama Kutai. Yupa
digunakan sebagai tempat upacara dalam
rangka upacara keagamaan, di Kutai terdapat
7 buah Yupa, yang salah satu diantaranya
menyebutkan Raja Kunduga dengan puteranya
Aswawarman dan Aswawarman berputera
Mulawarman. Mulawarman merupakan Raja
yang bijaksana dan twat melakukan upacara
yadnya. Salah satu korban sucinya adalah
korban sapi yang diikatkan pada Yupa
yang ditempatkan pada tempat suci Waprakeswara.
Waprakeswara artinya tempat suci untuk
memuja Dewa Çiwa, demikian juga pada
daerah lain seperti di Jawa terutama
pada jaman kerajaan Purnawarman.
Sekilas uraian di atas, awal kedatangan
agama Hindu ke Indonesia jelas menimbulkan
perubahan besar dan mendasar bagi perkembangan
kebudayaan di Indonesia, terutama memasuki
jaman sejarah yaitu mulai dipakainya
huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta di
Indonesia dan pengaruh Hindu juga dikenal
adanya sistem pemerintahan kerajaan,
demikian juga dalam bidang kepercayaan
dari relegi purba menjadi bentuk keagamaan
yang berkeyakinan serta memuja Brahman
sebagai Tuhan Yang Maha Esa, dengan
Kitab Suci Weda sebagai sumber ajarannya.
Jadi dengan demikian masuknya agama
Hindu ke Indonesia diperkirakan pada
permulaan abad Masehi.
-
Pemujaan Tri Murti
Pemujaan kepada Sanghyang Tri Murti
yang merupakan prabhawa Ida Sanghyang
Widhi, khususnya umat Hindu di Bali
sudah sangat membudaya, terbukti di
setiap desa pakraman didirikan Pura
Kahyangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh,
dan Pura Dalem) sebagai tempat memuja
kebesaran Tuhan Yang Maha Esa (Brahma,
Wisnu, Iswara), yang mana ide ini dicetuskan
oleh Sira Empu Kuturan. Jika kita menyimak
arti dari kata Tri Murti, dimana Tri
berarti tiga, Murti berarti bersatu,
sehingga Tri Murti artinya yang tiga
bersatu, maksudnya tiga kekuatan seperti
Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai
pemelihara dan Iswara sebagai pelebur,
sesungguhnya adalah satu yaitu Brahman,
sehingga ke tiga Dewa itu tidak ada
yang lebih tinggi atau lebih rendah.
Prabhawa Hyang Widhi Wasa merupakan
salah satu hakekat yang terdapat dalam
Agama Hindu seperti dalam Chandogya
Upanisad dengan sloka "EKAM EVA
ADVITYAM BRAHMAN" artinya hanya
ada satu Tuhan (Brahman), tidak ada
duanya. Dan kita lebih jauh meneliti
sloka dalam Reg Weda yang memperjelas
filsafat ketuhanan yang dimiliki oleh
agama Hindu memiliki makna yang sangat
jelas seperti di bawah ini:
INDRAM AMITRAM
VARUNAM AGNIR AHUR ATHO DICYAH
SA SUPARNO GARUTMAN EKAM SAD VIPRA
BAHUDA VADANTYAGNIM YAMAN MATARISWANAM
AHUH |
artinya : |
"Mereka menyebut Indra,
Mitra, Varuna, Agni dan Dia yang
bercahaya yaitu Garutman, yang
elok, Tuhan (sat) itu satu, orang
bijaksana menyebut dengan banyak
nama seperti (juga) Agni, Yaman,
Matarisnam". |
Dari rangkaian kata-kata di atas, anggapan
yang mengatakan agama Hindu memiliki
banyak Tuhan, tentu merupakan anggapan
yang sangat keliru. Tuhan dalam agama
Hindu adalah Esa/ satu, disebut dengan
berbagai macam nama, disesuaikan dengan
kedudukan dan fungsinya, seperti disaat
dunia ini diciptakan Tuhan bergelar
Brahma, pada saat dunia ini kiamat (masa
peleburan) Tuhan dalam fungsinya itu
bergelar Çiwa.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
PURANA
PURA LUHUR PUCAK GEGELANG
DESA ADAT NUNGNUNG KECAMATAN PETANG KABUPATEN
BADUNG |
|
|
|
|
|
|