|
|
|
|
|
|
|
Pura Dalem Swargan, Kahyangan Para Dewa |
|
|
|
Menarik untuk diungkapkan, bahwa di Desa Adat Kedewatan, salah satu parhyangannya
sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi,
dalam berbagai prabhawa dan istadewataNya,
disebut Pura Dalem Swargan. Sehingga kalau
dipikirkan secara anwiksaki, Pura Dalem Swargan
ini, adalah berlokasi di Sorga, tempat para
Dewa, sering pula disebut Kedewatan. Sehingga
wajar saja dan logic pula kalau di Desa Adat
Kedewatan, berlokasi Pura Dalem Swargan, Kahyangan
para Dewa itu.
Selaras dengan pemikiran mitologis dan legendaris
seperti itu eksistensi Desa Adat Kedewatan
dengan Pura Dalem Swargan-nya, adalah tidak
akan dapat dipisahkan dari perjalanan dharmayatra
dan tirtayatra Maharsi Markandhya, dari Desa
Damalung di kaki Gunung Adihyang, (pegunungan
Dieng), yang berlokasi dekat Wonosobo, (propinsi
Jawa Tengah), Kemudian dari Desa Aga yang
berlokasi di kaki Pegunungan Adihyang itu,
Maharsi Markandhya, melanjutkan perjalanan
dharmayatra dan tirtayatranya ke Gunung Raung,
(propinsi Jawa Timur), terus melakukan Tapa
Semadhi, dan mendapatkan pawisik, agar melanjutkan
perjalanan dharmayatra dan tirtayatra ke arah
Timur, menuju gunung Agung, yang berlokasi
di Balidwipa. Kemudian, Maharsi Markandhya,
berangkat menuju gunung Agung di Balidwipa,
dengan menyeberangi Sagara Rupek, bersama
pengiring Wong Aga-nya, yang berasal dari
Desa Aga, yang berlokasi di kaki Gunung Raung,
tempat Maharsi Markandhya, nangun tapa semadhi,
setelah pindah dari Desa Damalung, di kaki
pegunungan Dieng, di Jawa Tengah.
Sebelum mengemukakan perjalanan dharmayatra
dan tirtayatra di Balidwipa, sampai terjadinya
asal-usul Desa -desa Adat di sekitar Munduk
Gunung Lebah dan Campuhan Tukad Yeh Wos Kiwa
- Tengen, atau lanang wadon, seperti Desa
Adat Ubud, Desa Adat Kedewatan, Desa Adat
Payogan, Desa Adat Lungsiakan. Desa Adat Payangan
termasuk Desa Adat Taro, Desa Adat Puakan
dan 11 Banjar lainnya, lebih dahulu akan dikemukakan
asal-usul Maharsi Markandhya.
Menurut sumber riptaprasasti, seperti yang
dikemukakan dalam Lontar Bhwanatatwa Maharsi
Markandhya, pada Waktu dahulu kala, Maharsi
Meru, mengambil seorang istri, yang cantik
dan sempurna (listu ayu paripurna) Entah berapa
tahun sudah kedua dampati itu melaksanakan
swadharmanin alaki rabi. Lalu berputra dua
orang. Yang sulung abhiseka Sang Ayati. Adiknya
abhiseka Sang Niata. Kedua orang putra Sang
Maharsi Meru, bagus-bagus, bijak dan sastraparaga,
(padapada apekik listu paripurna, wicaksaneng
aji, wibuhing sastra utama). Kemudian
setelah sebagai grahastin, Sang Ayati berputra,
yang abhiseka Sang Prana. Dan demikian pula
adiknya, Sang Niata, setelah sebagai grehastin,
lalu berputra Sang Mrakanda. Kemudian Sang
Mrakanda beristrikan Dewi Manaswini, lalu
berputra Maharsi Markandhya.
Kemudian Maharsi Markandhya, beristrikan Dewi
Dumara. Dari perkawinan Maharsi Markandhya
ini, lalu menurunkan Maharsi Dewa Sirah, yang
kemudian beristrikan Dewi Wipari, yang menurunkan
banyak putera. Demikian dikemukakan asal-usul
Maharsi Markandhya, menurut sumber riptaprasasti,
yakni Lontar Bhwanatattwa Maharsi Markandhya.
Masih meniti sumber riptaprasasti ini, dikemukakan
bahwa Sang Ila putra Maharsi Trenawindhu,
sisia Maharsi Agastya, yang bertapa di Jawadwipa
Mandala. Demikian pula Sang Aridewa dan Anaka,
melakukan tapa samadhi di Adi Hyang, yang
sekarang disebut Dieng, seperti halnya Maharsi
Markandhya juga bertapa di pegunungan Adi
Hyang (Dieng), di Wukir Damalung, di Jawadwipa
Mandala. Apa yang dikemukakan dalam riptaprasasti,
Lontar Bhwanatattwa Maharsi Markandya itu,
kalau kita bandingkan dengan sumber tamraprasasti,
yang memiliki nilai sejarah yang autentik
seperti yang dikemukakan dalam prasasti Dinaya
yang berangka tahun 682 Saka, (760 Masehi),
dikemukakan bahwa Maharsi Agastya yang mengembangkan
ajaran Trimurthipaksa di Bhumi Nusantara ini,
yang merupakan penyatuan ajaran tiga paksa,
yakni Salwapaksa, Brahmanapaksa, dan Waisnawapaksa,
yang juga berkembang di Balidwipa Mandala.
Sehingga dalam tamraprasasti, prasasti Dinaya
ini, Maharsi Agastya, juga abhiseka Sri Bhatara
Guru.
Demikian titik temu antara sumber riptaprasasti
dengan tamraprasasti, dalam kontekstual asal-usul
Maharsi Markandya yang pada mulanya anangun
tapa samadhi di Adi Hyang (Dieng), yang juga
menjadi tempat anangun tapa samadhi Sang Ha,
putra Maharsi Trenawindhu, sisia Maharsi Agastya,
yang menyebarkan ajaran Trimurthipaksa di
Bhumi Nusantara, terutama di Jawadwipa Mandala
dan Balidwipa Mandala.
Selanjutnya kembali dikisahkan perjalanan
Maharsi Markandya, dari Gunung Raung, yang
menurut Lontar Markandhya Purana, juga disebut
Gunung Dewata, menuju Gunung Agung di Balidwipa
Mandala.
Pada waktu masih melakukan yoga, tapa samadhi
di Gunung Raung atau Bukit Dewata (Jawa Timur),
Maharsi Markandhya mendapatkan pawisik Sang
Hyang Prajadhipa atau Sang Hyang Jagatnatha,
agar membina dan melakukan yasakirti terhadap
kawasan desa-desa di kaki Gunung Agung, Kahyangan
Sang Hyang Pasupati, yang berasal dari salah
satu agraning (puncak) Gunung Semeru, di Jawa
Timur.
Setelah mendapatkan pawisik seperti itu.
Kemudian Maharsi Markandhya lalu mengumpulkan
8000 orang Wong Aga, (Wang Gunung), yang akan
mengiring Maharsi Markandhya ke Gunung Agung,
di Balidwipa Mandala. Tidak diceritakan perjalanan
pengiring Wong Aga di bawah pimpinan Maharsi
Markandhya dari Gunung Raung menuju Gunung
Agung, yang perjalanan dilakukan siang - dalu,
tidak terhitung lwah, jurang, rejeng, pangkung
yang dilalui oleh rombongan itu. Termasuk
Pula hutan belantara yang masih perawan yang
penuh dengan marabahaya, berupa berbagai jenis
makhluk halus dan binatang buas. Tetapi berkat
kewibawaan hasil yoga samadhi dan ketetapan
hati Sang Maharsi, untuk melaksanakan dawuh
wacana pawisik Sang Hyang
Prajadhipa, akhirnya rombongan Maharsi Markandhya
dengan 8000 orang pengiring Wong Aga-nya,
akhirnya tiba dengan selamat di Gunung Agung.
Kemudian di kawasan hutan belantara di kaki
Gunung Agung yang dipilih pada waktu itu Maharsi
Markandya, lalu memberi petunjuk, agar pengiringnya
membuat pondok untuk masayuban. Setelah semua
pengiringnya membuat pondok, Sang Maharsi
lalu memerintahkan agar semua pengikutnya
mulai merabas hutan di kawasan kaki Gunung
Agung yang tenget dan madurgama itu. Setelah
para pengikut Sang Maharsi merabas hutan beberapa
hari, tiba - tiba langit menjadi mendung,
dan hujan lebat pun turun, seperti air dicurahkan
dari langit saja laiknya. Hujan yang lebat
itu, disertai oleh kilat tatit yang menggelegar
sambung - menyambung, sehingga kawasan hutan
itu seperti diguncang saja laiknya. Hujan
itu tak pernah reda selama tujuh bulan, sehingga
langit di kawasan kaki Gunung Agung itu menjadi
gelap gulita. Palung-palung di kaki Gunung
Agung itu kebanjiran. Semua lembah, penuh
dengan genangan air. Seolah-olah dunia ini
akan pralaya di akhir yuga.
Kondisi alam yang seperti itu, berakibat banyak
di antara pengiring Sang Maharsi menjadi sakit
mendadak, yang kemudian meninggal. Selama
kurun waktu tujuh bulan itu, dengan hujan
deras yang tak henti-hentinya makin banyak
pengiring Sang Maharsi yang sakit dan meninggal.
Pagi sakit, waktu siang harinya lalu meninggal.
Pengiring yang masih hidup, yang menggotong
pengiring yang telah meninggal itu untuk menguburkan,
sore hari itu sudah jatuh sakit, lalu keesokan
diwaktu pagi harinya telah meninggal. Demikianlah
keadaan Wong Aga, pengiring Maharsi Markandya
pada waktu itu. Itulah yang disebut Grubug
Agung Bah Bedeg. Di samping para pengiring
Maharsi Markandya banyak yang meninggal karena
ditimpa sakit mendadak, banyak pula yang meninggal
dan hilang karena di mangsa binatang buas,
yang tak terbilang banyaknya di kawasan hutan
di kaki Gunung Agung itu. Menjelang akhir
bulan ketujuh, hujan mulai mereda, dan akhirnya
reda sama sekali. Akhirnya Wong Aga pengiring
Sang Maharsi yang berjumlah 8000 orang itu,
hanya masih hidup 200 orang saja.
Menanggapi situasi dan kondisi seperti itu,
Maharsi Markandhya yang waskita, menjadi maklum,
bahwa pada saat Sang Maharsi mulai merabas
hutan di sana, belum melakukan Upacara Ngatur
Piuning kehadapan Ida Bhatara To (Toh) Langkir.
Yang berparhyangan di agraning (puncak) Gunung
Agung.
Untuk keberhasilan melaksanakan dawuh pawisik
Sang Hyang Prajadhipa atau Sang Hyang Pasupati,
untuk membina Desa-desa di kawasan kaki Gunung
Agung itu, tidak mungkin akan dapat dilaksanakan
hanya dengan 200 orang pengiring. Akhirnya
Maharsi Markandhya kembali lagi mencari wadwa
kawula Wong Aga ke Desa Aga dan sekitarnya,
di kaki Gunung Raung, di Jawa Timur. Wadua
kawula yang berhasil dikumpulkan berjumlah
4000 orang. Pengiring yang berjumlah 4000
orang ini semuanya membawa sekta atau paksa
agama masing-masing, yang dianut oleh mereka
sejak dari tanah Hindu, (Bhatarawarsa - India).
Jenisnya ada enam sekta (paksa), seperti yang
dikemukakan dalam Lontar Sadagama di Bali.
Masing-masing rinciannya adalah : (1) Sambhupaksa,
(2) Brahmapaksa, (3) Indrapaksa, (4) Kalapaksa,
(5) Bayupaksa dan (6) Wisnupaksa. Sebenarnya
dalam penjelasan seperti yang dikemukakan
dalam Lontar Markandhya Purana itu, hanya
ada perbedaan pelaksanaan tata upacara saja,
tetapi basic ajaran filsafatnya sama saja.
Setelah beberapa hari tiba kembali di kawasan
hutan kaki Gunung Agung, kemudian pada hari
subhadiwasa yang pas Maharsi Markandhya bersama
para pengiringnya melaksanakan Upacara Matur
Piuning kehadapan Ida Bhatara Tolangkir, yang
berparhyangan di rangkaian dengan persembahan
dan pemujaan caru atau tawur, dan kemudian
dilanjutkan dengan mamendem pancadatu, (emas,
perak, besi, tembaga, suasa dan permata mulia)
di lokasi yang disebut Basukihan, yang menjadi
lokasi Pura Basukihan (sekarang). Kata Basuki
itu sendiri (Jawa Kuna), berarti selamat.
Memang sejak Maharsi Markandhya mamendem pancadatu
di Basukihan, Sang Maharsi dengan 4000 orang
pengiring Wong Aga-nya, menjadi selamat dan
rahayu di Balidwipa Mandala. Selanjutnya setelah
melakukan Upacara Ngatur Piuning, persembahan
dan pemujaan caru atau tawur, yang dilanjutkan
dengan mamendem pancadatu di Basukihan, juga
dilakukan Upacara Mamarisudha, parta Atma
yang meninggal pada waktu di timpa sakit mendadak
waktu dulu, saat diguyur hujan selama tujuh
bulan, sehingga para pengiringnya yang meninggal
pada waktu itu, jasadnya tidak menjadi Bhuta
Cuwil yang ngarugada umat manusia di lingkungannya.
Sedangkan Atma mereka dapat kembali ke Sangkan
Paran, atau Luluh menyatu dengan paratman
(Brahman).
|
|
Betul saja, setelah melakukan serangkaian
upacara Maharsi Markandhya bersama 4000 orang
pengiring Wong Aga-nya menjadi rahayu. Di
bawah pimpinan Maharsi Markandhya sendiri,
para pengiring ini lagi membangun desa, untuk
mencari lokasi hutan yang lain, yang akan
dirabas, untuk berjalan ke arah neriti (Barat
Daya), dari Basukihan (Besakih sekarang),
yang berlokasi di arah neriti (Barat Daya)
kaki Gunung Agung.
Setelah rombongan itu menempuh perjalanan
beberapa hari akhirnya rombongan Maharsi Markandhya,
tiba disuatu kawasan yang ada sosok bukitnya
melintang dari arah Selatan ke Utara. Di sebelah
Barat dan Timur sosok bukit yang melintang
itu, atau di sebelah kiri dan kanan sosok
bukit itu mengalir dua batang sungai yang
airnya jernih sekali. Sehingga situasi visual
bukit yang melintang seperti itu, seolah-olah
bukit itu dibelit dan dijaga oleh dua Naga
Ananta bhoga dan Naga Vasuki (Basuki) saja
laiknya. Sosok bukit yang melintang itu bernama
Gunung Lebah. Sedangkan kedua sungai yang
mengitari bukit itu, yang di sebelah Baratnya
bernama Tukad Yeh Wos Kiwa. Sedangkan sungai
yang di sebelah Timur Gunung Lebah itu, disebut
Tukad Yeh Wos Tengen. Kedua batang sungai
itu, bertemu atau menyatu di bagian Selatan
Gunung Lebah, dan kawasan itu kemudian disebut
Campuhan (Pecampuhan). Dalam filsafat adisrsti
(ciptaan mulia), Tukad Yeh Wos Kiwa, itu juga
disebut sebagai nyasa pradhana, atau dalam
ungkapan bahasa domestik, disebut Tukad Yeh
Wos Luh. Sedangkan Tukad Yeh Wos Tengen, itu
juga disebut sebagai nyasa purusha, atau dalam
ungkapan bahasa domestik, disebut Tukad Yeh
Wos Muani. Pecampuhan atau pertemuan dan bersatunya
antara purusha dan pradhana itu akan melahirkan
adisrsti (ciptaan mulia), atau akan melahirkan
kewibawaan dan kekuatan sakala dan niskala,
seperti kekuatan yoga semadhi Maharsi Markandhya.
Atau dalam versi lain, kekuatan ciptaan mulia
patemoning purusha - pradhana itu, tidak ada
bedanya dengan patemoning Bapa Akasa kalawan
Ibu Prthiwi, yang melahirkan berbagai ciptaan
mulia, yang menyebabkan umat manusia menjadi
makmur, sejahtera, rahayu sakala mwang niskala.
Atau ada juga para sastra paraga, yang mengemukakan
bahwa pertemuan (pecampuhan) antara Tukad
Yeh Wos Luh dengan Tukad Yeh Wos Muani, adalah
juga sebagai nyasa payogan Dewa Brahma, dengan
shaktiNya Saraswati Dewi, yang melahirkan
berbagai ciptaan mulia mulai dari cosmos (bhwana)
ini dengan segenap isinya, termasuk berbagai
cabang ilmu pengetahuan (vidya), yang mencerdaskan
umat manusia, yang pada akhirnya akan dapat
menumbuh kembangkan berbagai ciptaan umat
manusia, sesuai dengan perkembangannya, untuk
mencapai kesejahteraan hidup dan kehidupannya.
Rasanya kurang lengkap, kalau sedikit tidak
dikemukakan keadaan sosok Gunung Lebah, menurut
sumber Lontar Markandhya Purana itu. Bahwa
pengiring Maharsi Markandhya, yang merabas
hutan di kawasan Gunung Lebah itu, sedikit
sekali menemukan pohon-pohon kayu yang besar.
Lebih banyak sosok Gunung Lebah itu, ditumbuhi
oleh alangalang, sampai ke perbatasan sosok
Gunung Lebah di bagian sebelah Utaranya. Agak
ke Utara sedikit dari batas bagian Selatan
Gunung Lebah itu, tumbuh pohon beringin yang
ngerempayak, yang akar angin (bangsing-nya),
sampai ke bagian bawah, terjalin begitu alami,
sehingga mampu menumbuh kembangkan rasa spiritual
yang dalam, lebih-lebih lagi dibelit oleh
tumbuh-tumbuhan sulur-suluran yang menghijau,
sehingga tercipta suasana yang sakral, bagi
mereka yang memiliki kemampuan untuk menikmatinya.
Juga ada di sana tumbuh pohon Nagapushapa,
(Nagasari), seperti murdhaning taru, lata,
gulma, janggama, sthawara yang tumbuh dan
hidup di sana.
Oleh Maharsi Markandhya bersama para pengiring
Wong Aga-nya, di tempat itu lalu dibangun
sepelabahan parhyangan yang disebut Pura Gunung
Lebah, tempat suci untuk ngadegang dan ngarcana
Hyang Bhatari Danun ring Gunung Batur, yang
menurut beberapa riptaprasasti, juga berasal
dari salah satu puncak Gunung Semeru, Parhyangan
Dewa Pasupati, puncak tertinggi Pegunungan
Tengger di Jawa Timur. Di punggung Gunung
Lebah itu, di bagian Utara dan Selatannya
tumbuh pohon Bodi, dan dari bawahnya ada mengalir
air yang kecil yang air jernih dan menyegarkan
sekali. Tempat keluarnya mata air itu, disebut
Taman Beji, yang merupakan pasiraman dan pasucian
Dewa dan Dewi yang berparhyangan di sekitar
kawasan itu. Air ini terus mengalir ke sungai
di kaki Gunung Lebah di bagian Barat, sampai
ke tepi kedua jurang disana. Tidak jauh dari
Pura Gunung Lebah dan sumber air di taman
Beji itu, ada sepelebahan Pura Alit, warnanya
putih, sehingga air yang mengalir dari sana
disebut tirtha banyu tabah, yang memberikan
hidup dan kehidupan, Selain dari air yang
mengalir dari jurang - jurang yang tidak begitu
dalam seperti yang telali dikemukakan, tidak
jauh dari Taman Beji itu, ada lagi keluar
air yang menghadap ke Timur, yang disebut
Tirta Sudhamala, yang melebur sarwa mala,
papa klesa ring sajeroning kauripan. Atau
dengan kata lain akan mamarisudha kekotoran
fisik dan batin, umat manusia dalam hidup
dan kehidupan. Semua air dari patirtha - Patirthan
yang telah dikemukakan, akhirnva mengalir
ke Campuhan sehingga kekuatan kesucian pacampuhan
Tukad Yeh Wos Luh dan Tukad Yeh Wos Muani,
menjadi bertambah lagi, yang memberi kesejahteraan
hidup dan kehayon semakin ajeg.
Selanjutnya adalah patirthan yang berlokasi
di bagian ersanya (Timur Laut) Pura Gunung
Lebah. Di salah satu tempat ada mata air yang
keluar dari Selatan menghadap ke Utara. Tirtha
ini disebut Tirtha Salukat, adalah berfungsi
untuk malukat regeding stulasarira janane
sami. Tirtha Salukat ini pun akhirnya
mengalir juga ke Campuhan Tukad Yeh Kiwa dan
Tukad Yeh Wos Tengen. Di bagian Tukad Yeh
Wos Tengen (Timur) ada lagi tirtha yang keluar
dari tengah gua menghadap ke selatan, yang
disebut Tirtha Ring Gua, tidak ada yang mengetahui
fungsinya. Tirtha Ring Gua ini, mengalir ke
selatan dan akhirnya juga mengalir ke Campuhan,
sehingga kewibawaan dan kesucian Pecampuhan
Tukad Yeh Wos Kiwa dan Tengen semakin betambah
lagi.
Lagi pula disekitar tebing-tebing Gunung Lebah
dan Pura Gunung Lebah itu, ada banyak sekali
mata air yang keluar, dan banyak di antaranya
yang tidak bernama, ada pula di antaranya
yang bernama. (Untuk kenyataan ini, bagi mereka
yang berminat, di masa-masa yang akan datang
perlu diadakan study dan penelitian secara
fisik, sehingga ada keharmonisan antara study
dan penelitian literatur atau sumber-sumber
tertulis pada umumnya), sehingga kelestarian
dan keutuhan eksistensi Gunung Lebah dan Pura
Gunung Lebah, serta Pura di sekitarnya akurasinya
dapat lebih dipertanggungjawabkan bobot ilmiah,
ilmu pengetahuannya.
Juga masih meniti sumber riptaprasasti, Lontar
Markandhya Purana yang telah dikemukakan,
eksistensi sosok Gunung Lebah yang dikitari
oleh Tukad Yeh Wos Kiwa dan Tengen, dan juga
di tebing-tebingnya banyak keluar mata air
(tirtha suci), diumpamakan sebagai Gunung
Mahameru di Bharatawarsa, dengan Sapta Gangganya,
seperti puja paganggan yang dirapalkan oleh
para Wiku setiap pagi, pada waktu Nyurya Sewana,
untuk memohon kehayon jagat dengan segenap
isinya ke hadapan Hyang Widhi. Dalam Weda,
atau Puja Pangganggan yang dirapalkan setiap
pagi, pada waktu Nyurya Sewana oleh para Wiku
di Bali, Saptagangga itu, adalah:
-
Sungai Gangga
-
Sungai Sindhu
-
Sungai Saraswati
-
Sungai Wipasa
-
Sungai Kausika
-
Sungai Yamuna, dan
-
Sungai Serayu.
(Penulis; dalam sumber lain, ada versi dan
visi rincian Saptagangga yang lain). Seperti
itulah perumpamaan para wipra, terhadap
eksistensi kawasan Gunung Lebah dengan pecampuhan
Tukad Yeh Wos Kiwa dan Tengen, dengan banyaknya
ada tirtha yang keluar di tebing kiri dan
kanan kedua batang sungai itu, yang semuanya
mengalir ke campuhan Tukad Yeh Wos Kiwa
- Tengen, Luh - Muani itu, sehingga air
pecampuhan kedua sungai itu betul-betul
dianggap suci, bermakna, dan memiliki kekuatan
serta kewibawaan, yang mampu menumbuh kembangkan
berbagai kekuatan dan kesejahteraan dalam
hidup dan kehidupan umat manusia, selaras
dengan konsep ajaran filsafat adisrsti yang
telah dikemukakan.
|
|
Setelah beberapa
waktu lamanya Maharsi Markandhya bersama pengiring
Wong Aga - nya melakukan perabasan hutan di
kawasan Gunung Lebah, sampai membangun Pura
Munduk Gunung Lebah dengan rangkaian Upacaranya,
kemudian Maharsi Markandhya terus melakukan
tapa, brata dan yoga samadhi di sana. Sehingga
berkat yoga samadhi-nya itu keadaan rombongan
Maharsi Markandhya dapat terus menikmati kerahayon.
Selanjutnya, setelah melakukan peninjauan lingkungan
di sekitar kawasan Gunung Lebah itu, kemudian
rombongan Sang Maharsi, melanjutkan perjalanan
ke arah Utara, dari Gunung Lebah itu. Sudah
agak jauh ke hulu dari kedua Tukad Yeh Wos Kiwa
- Tengen itu, tibalah rombongan itu dikawasan
Janggala Jimbar, yang juga merupakan kawasan
hutan yang teduh. Sang Maharsi memerintahkan
untuk mengaso. Setelah sekedar dapat melepaskan
lelah, Maharsi Markandhya lalu melakukan yoga
samadhi disana. Kawula dan para pengiringnya
itu pun juga melakukan perabasan hutan di sana.
Kemudian di lokasi Janggala Jimbar itu Maharsi
Markandhya nagun sepelebahan parhyangan, yang
disebut Pura Pucak Payogan. Kawasan itu, juga
disebut Janggala Payogan, atau Desa Adat Payogan;
sekarang. Karena keberhasilan merabas hutan
di kawasan itu, berlatar belakang dari keberhasilan
Sang Maharsi melakukan yoga di tempat Payogan
itu.
Yang berparhyangan di Pura Pucak Payogan itu
adalah Sang Dewa Rsi atau Bhatara Luhuring Akasa,
seperti yang dikemukakan dalam sumber riptaprasasti,
Lontar Widhisastra dan Lontar Rogha Sangharabhumi.
(Catatan penulis; perjalanan dharmayatra dan
tirtayatra Maharsi Markandhya ke arah Utara
lagi dari Pura Pucak Payogan, sampai di Taro
Bhumi Sarwada dan sekitarnya, tidak dikemukakan
dalam tulisan kecil ini, karena yang difokuskan
adalah eksisintensi Desa - desa Adat Kedewatan
dengan Pura Dalem Swargannya, karena pada awal
tahun 2000 atau awal Millenium III, di Pura
Dalem Swargan dipersembahkan Karya Agung Mamungkah,
Ngenteg Linggih, Tawur Agung, Mapedanan mwang
Panyegjeg jagat, oleh Krama Desa Adat Kedewatan,
bersama Perangkat prajuru Desa Adatnya, Sasepuh
dan para pangelingsir Desa Adatnya. Termasuk
penulisan buku kecil ini, adalah sehubungan
dengan persembahan dan pemujaan Karya Agung
itu. Mudah-mudahan Hyang Widhi dan Ida BhataraBhatari
Samodaya, mengijinkan penulis untuk menulis
lanjutan perjalanan Maharsi Markandhya bersama
pengiring Wong Aga-nya di sekitar Taro Bhumi
Sarwada, asal-usul Desa Adat Puakan, sekarang,
sampai eksistensi 11 Desa (banjar), di sekitar
Desa Adat Taro sekarang.
Selanjutnya adalah pengungkapan asal-usul Desa
Pakraman (Desa Adat) disekitar Gunung Lebah
dan Pacampuhan Tukad Yeh Wos Kiwa dan Tengen,
yang memiliki kontekstual dengan perjalanan
dharmayatra dan tirthayatra Maharsi Markandhya,
yang banyak dikemukakan asal-usulnya secara
kiratabasa. Memang merupakan kenyataan diakui
atau tidak, bahwa dalam tata kehidupan beragama,
adat dan budava Bali, banyak sekali pengungkapannya
berdasarkan kiratabasa.
Contohnya, pada waktu dilaksanakan Upacara Natab
Banten Pakalan-kalan, yang merupakan rangkaian
awal Upacara Pawiwahan (Pasakapan) akhir dari
Upacara Natab Banten Pakalan-pakalan, adalah
nanem kunyit endong di belakang Sanggah atau
Pamerajan Kamimitan, secara kiratabasa adalah
merupakan doa bagi kedua mempelai yang menanam
kunyit endong, agar mara ngajengit suba
ngalendong. Artinya, agar kedua mempelai
begitu suai melaksanakan upacara pasakapan (Pakerabkambe),
pada saat mulai berusaha mengayuh bahtera rumah
tangganya, agar cepat menjadi, berkembang dan
berhasil.
Mengungkap nama-nama Desa Adat di sekitar Gunung
Lebah dan Campuhan Tukad Yeh Wos Kiwa - Tengen
itu pun, banyak secara kiratabasa seperti itu.
Seperti halnya Desa Adat Lungsyakan (sekarang),
dalam Lontar Markandya Purana, dikemukakan berasal
dari kata ; lung, yang berkembang menjadi kata
luung, (luhung), yang memiliki konotasi arti;
rahayu. Syakan, berasal dari kata saka, yang
berarti panah, yang berkembang menjadi dan berarti
manah, sehingga kata lungsyakan itu berarti
; manah rahayu, pikiran yang baik dipedomani
dan dilaksanakan dalam hidup dan kehidupan,
sehingga juga prasida amangguh rahayu.
Satu desa lagi, tidak jauh dari Gunung Lebah
dan Tukad Yeh Wos Kangin, dan Campuhan Tukad
Yeh Wos Kiwa dan Tengen itu, atau Kangin dan
Kauh itu, berlokasi Desa Adat Ubud ; sekarang.
Asal-usul nama Desa Adat Ubud itu berasal dari
; U yang berarti ulah sama artinya ; sila, solah
atau prawerti. Bud, Bu ; artinya bhudi, dha,
dharma, yang kalau dijabarkan berarti ; dapat
membawa diri, mampu masolah maprawerti manut
dudonan tata lungguh, yang sama artinya;
mengetahui dan berani mengemukakan yang benar
dan yang salah, mabenar tan mabenar, iwang
kalawan patut, sehingga prasida amangguh dharma
patut sakala mwang niskala. Sehingga dimasa
mendatang amangguh bud (budhi) satya, sadhu
dharma, semasa hidup digunakan untuk menegakkan
dharma itu sendiri di dunia, yang merupakan
ubad papa
naraka. Sehingga dharma itu, juga merupakan
ubad paleburaning dosa, dasamala narakaloka.
Seperti itu asal-usul Desa Ubud, (sekarang),
menurut sumber riptaprasasti, Lontar Markandhya
Purana.
Kembali menuju arah Barat Gunung Lebah dan Campuhan
Tukad Yeh Wos Kiwa -Tengen, di sana Maharsi
Markandhya bersama para pengiring Wong Aga-nya,
terus menuju ke arah Utara, lalu bertemu dengan
lemah yang banyak ditumbuhi oleh pohon Bunut,
sehingga sampai sekarang lemah atau kawasan
itu disebut Desa Butan, (Desa Adat Bunutan ;
sekarang), Term itu, sama halnya kalau jaja
bali (jaja bagina, abug, sirat dan sebagainya,
banyak ditumbuhi oleh oong, maka semua jaja
bali itu disebut oongan. Demikian dikemukakan
asal-usul Desa Adat Bunutan, sekarang, karena
di lemah atau kawasan itu banyak tumbuh pohon
Bunut, yang diketemukan oleh rombongan dharmayatra
dan tirthayatra Maharsi Markandhya, yang terus
menuju ke arah Utara.
Perjalanan dharmayatra dan tirthayatra Maharsi
Markandhya beserta rombongannya terus menuju
ke arah Utara. Tiba di suatu tempat, lalu melanjutkan
merabas hutan di sana. Lama juga Sang Maharsi
beserta rombongan melakukan tapa, brata, yoga
samadhi di tempat yang Baru dirabas hutannya
itu. Sampai karena tempat itu memiliki getaran
dan kekuatan spiritual, kemudian di sana lalu
dibangun pasraman, yang disebut pasraman Amurwa.
Di pasraman ini juga dibangun parhyangan, yang
lebih kemudian dikenal sebagai Pura Dalam Murwa,
yang berarti ; parhyangan yang telah dibangun
sejak dulu, (duke nguni, duk ri purwwakala).
Di samping itu dibangun juga sepelebahan Pura
lagi, yang kemudian ditetapkan sebagai Pura
Desa dan Bale Agung yang panjang sekali, dari
sana asal-usul tempat itu disebut Desa Tangkup.
Dan juga membangun parhyangan bhatara, yang
kasiwi, kasungsung, kaayom oleh krama desa semua,
sehingga menjadi pahyangan desa, genah hyang
masthana ring palemahan krama desa inucap, sehingga
desa itu menjadi pahyangan desa atau Desa Adat
Payangan, sampai sekarang.
Kemudian datang menghadap serombongan orang
menghadap Sang Maharsi, tatkala berada di Desa
Pahyangan, genah para hyang masthana itu. Rombongan
ini kehadapan Hyang Maharsi memohon lemah untuk
membangun desa dan lahan pertanian. Maharsi
Markandhya kemudian memberikan lemah yang berlokasi
di sebelah Desa Adat Payangan sekarang. Karena
Sang Maharsi dihadap pada saat berada di Desa
Adat Payangan (sekarang) genah para Hyang mashtana,
atau lokasi para Dewa bersthana, maka tanah
yang dianugrahkan oleh Maharsi Markandhya kepada
rombongan pemohon disebut Desa Kedewatan (Desa
Adat Kedewatan; sekarang). Atau Desa Kedewatan
itu, secara logic, adalah Desa para Dewata,
sehingga disebut Kedewatan, atau Desa Sorga.
Sehingga parhyangan yang dibangun di Kedewatan
atau Sorga itu disebut Pura Dalem Swargan, karena
berlokasi di Kedewataan (Kedewatan) atau Sorga.
Perbatasan hutan ke arah Selatan itu semakin
luas, sehingga patok (katik) batas Desa Adat
Kedewatan itu semakin luas ke arah Selatan.
Sehingga lemah itu disebut Katik Lantang, katik
yang lebih dipanjangkan atau diperluas pemancangannya
sehingga Desa Adat itu disebut Desa Adat Katik
Lantang, pada era sekarang ini.
Kembali kepada Desa Adat Kedewatan dan latar
belakang asal-usul makanya disebut Desa Adat
Kedewatan. Seperti telah dikemukakan di sini
Desa Adat Kedewatan ini telah dibangun sejak
dulu Pura Dalem Swargan. Krama Desa Adat Kedewatan
sekarang, walau pun tidak berwujud para Dewa
dan Dewi di Kedewataan (sorga), tetapi tetap
sebagai pengempon, pangemong, sekaligus sebagai
panyiwi dan panyungsung Pura Dalem Swargan,
yang memiliki swadharma agama, yang berkepatutan
untuk ngupahayu Pura Dalem Swargan, baik secara
fisik maupun pangupahayu yang berupa tata upacara,
dengan sadhana bhakti upakara (bebantennya).
Dalam usaha meninggalkan sradha dan bhakti,
setelah melakukan pemugaran jajar kamiri unsur
dan struktur palinggih-palingih Pura Dalem Swargan,
agar kembali utuh semua unsur dan struktur palinggih
Dalem Swargan yang telah selesai dipugar itu,
akan dilaksanakan persembahan dan pemujaan Karya
Agung Mamungkah, Ngenteg Linggih, Tawur Agung
mwang Panyegjeg Jagat, yang rangkaiannya, sesuai
dengan paica rahina subhadiwasa oleh Wiku Manggalaning
Karya yang dituwur, telah dimulai sejak rahina
Wharaspati Paing, Wara Kulantir, tanggal 18
November 1999 yang lalu, dan akan berakhir saat
Ida Bhatara di Dalem Swargan, katuran Bhakti
Panyineb, (Pangeluhuran) pada Rahina Redite
Paing, Wara Pahang, tanggal 6 Februari 2000,
dan Ida Bhatara di Dalem Swargan mur, pada Rahina
Soma Pon, Wara Pahang, tanggal 7 Februari 2000.
Perlu dikemukakan bahwa Rahina Subhadiwasa yang
tergolong adining karya, persembahan dan pemujaan
Tawur Agung mwang Mapedanan, akan dilaksanakan
pada Rahina Soma Wage, Wara Madangsia, tanggal
24 Januari 2000, dan rahina subhadiwasa adining
karya, akan dilaksanakan pada Rahina Budha Umanis,
Wara Medangsia, tanggal 26 Januari 2000 |
|
|
|
|
|
|
|
|