Pura Dalem Swargan
 
  Pendahuluan
 

Sejak astadasamasa sampai akhir Abad XX dan awal Abad XXI ini, pangupahayu pura-pura yang menjadi emponan, amongan, sungsungan dan panyiwian masyarakat umat Hindu di Bali semakin marak. Bertambah maraknya pangupahayu itu tidak hanya secara fisik saja, tetapi juga tampak dalam pelaksanaan tata upacaranya, sehingga kalau disimak dan dikaji, tampak telah tercapai keselarasan dan keharmonisan pangupahayu secara fisik dan tata upacaranya, selaras dengan tuntunan sastra-sastra agama.
Tetapi di balik itu, banyak juga opini yang sempat mencuat kepermukaan, bahwa pelaksanaan persembahan dan pemujaan dengan sadhana bhakti dalam wujud upakara yang begitu besar, hanya memboroskan dana, waktu dan energi yang sia-sia saja. Bahkan sampai di antara sementara intelektual Hindu ada yang sampai mengkaji dan menganalisis term-term upacara yang tampak rancu, sampai memasalahkan tingkat caru dan tawur yang dilaksanakan, mulai dari tingkat-tingkat Sanggah, Pamerajan, Paibon, Padadhyan, Panataran, pura-pura Kahyangan Tiga di Desa Pakraman atau Desa Adat, Pura-pura Dang Kahyangan dan pura-pura Kahyangan Jagat. Dan yang lebih ekstrim lagi, sampai ada kalangan yang memasalahkan bahwa saat melaksanakan persembahan dan pemujaan upacara tingkat tertentu, kenapa mesti memotong berbagai korban wawalungan, yang bertentangan dengan ajaran Himsakarma.
Tetapi kalau kita simak dan kaji, tentu semua itu memiliki kebenaran masing-masing menurut adagium konsep ajaran caturtah, yakni swatah, paroktah, gurutah dan sastratah. Apakah kebenaran itu menurut swatah, yang merupakan kebenaran menurut pendapat atau opini perseorangan atau kelompok tertentu yang kebenarannya belum tentu benar, bahkan cenderung salah menurut sumber sastra-sastra agama yang telah Baku, dan tradisi yang telah ajeg dan terbukti menyebabkan gumi rahayu. Demikian Pula kebenaran paroktah, kebenaran umum, kebenaran briyuk siyu, yang tanpa didukung oleh kajian dan analisis yang didukung oleh sumber-sumber ajaran dan tuntunan para gurutah, sang sastra paraga, atau juga para wipra. Sesuai dengan kecaping ling aji, kebenaran sastratah inilah yang paling benar. Bahwa kebenaran sastratah itu dikemukakan oleh Bhagawan Wararuci dalam karya tulisnya, yakni Sarasamuccaya, yang kalau dikemukakan dalam ungkapan domestik, " kapatutan sang hyang sastra punika tansandang kasumendeyaan malih," (Kebenaran sastra-sastra agama itu tak usah diragukan lagi).
Tradisi tuntunan pelaksanaan persembahan dan pemujaan upacara-upacara tingkat tertentu oleh masyarakat umat Hindu di Bali, sudah sangat memasyarakat sejak dahulu sampai pada era sekarang. Tradisi tuntunan yang masih hidup dan cenderung tampak semakin berkembang sampai pada saat ini saat melakukan pancayajna, (Dewayajna, Bhutayajna, Pitrayajna, Manusayajna dan Rsiyajna) secara sosio religius, adalah apa yang disebut behavior customary (perilaku adat - istiadat ) masyarakat umat Hindu di Bali, saat berinteraksi sosio religius, tidak bisa luncas dari tatakrama yang bersumber kepada ajaran tata susila agama Hindu. Termasuk pula dari sosio religius, atau religious behavior (perilaku keagamaan ) ini, akan menumbuh kembangkan pula normative behavior (perilaku normatif), behavior patterning (pemolaan perilaku), normative behavior, (perilaku normatif) dan cultural behavior (perilaku kebudayaan), saat berinteraksi, melakukan yajna di lingkungan Desa Pakrama atau Desa Adat masing-masing.
Pengejawantahan semua perilaku yang telah dikemukakan saat melakukan yajna, akan jelas tampak bahwa setiap melakukan yajna tingkat tertentu, peranan tiga fungsionaris yang terlibat langsung dalam aktivitas yajna yang dipersembahkan itu, selalu ada, dan merupakan tiga unsur komponen yang utuh. Rinciannya masing-masing Sang Yajamana, mulai dari individu, Keluarga Padadhyan, Krama Banjar, Krama Desa Adat sampai yang lebih luas lagi sekupnya (unsur masyarakat umat Hindu dan Guru Wisesa (Pemerintah) saat melaksanakan persembahan dan pemujaan karya tingkat tertentu di pura - pura Sad Kahyangan dan Kahyangan Jagat di Bali, adalah unsur komponen yang memiliki swadharma agama, yang bertanggung jawab sepenuhnya secara fisik material terhadap seluruh keperluan pelaksanaan persembahan dan pemujaan yajna itu. Karena pada dasarnya, sebagai pengejawantahan ajaran sikap dan perilaku swadharma agama itu, untuk meningkatkan sradha dan bhakti, sang yajamana inilah sebagai unsur, komponen pokok dan pemilik yajna itu, walaupun goals yang hendak dicapai adalah untuk umum dan bersifat global. Tidak hanya untuk kelompok yajamana itu sendiri.

Rincian yang kedua, adalah Sang Adiguruloka, Dang Acarya, Wiku Pamuput, Sulinggih yang di-tuwur, untuk memohon tuntunan petunjuk dan tuntunan berdasarkan sastra-sastra agama, dan sekaligus yang muput dan memimpin upacara, dalam persembahan dan pemujaan yajna yang diselenggarakan oleh sang Yajamana.
Rincian yang ketiga, adalah Wiku Tapini, yang bertanggungjawab terhadap seluruh upakara sebagai sadhana bhakti dalam persembahan dan pemujaan yajna yang diselenggarakan sebagai swadharma agama oleh sang Yajamana. Wiku Tapini sebagai penanggung jawab terhadap penyelenggaraan seluruh unsur, struktur upakara (banten) sesuai dengan paica indik oleh Wiku Adiguruloka dan Wiku Pamuput, dibantu oleh Serati Upakara, (Tukang Banten). Termasuk dibantu pula oleh Mancaghra.

Yang tergolong lima fungsionaris Mancaghra ini adalah:(1) Undagi Maranggi, (Undagi Bangunan, Undagi Ebat), Sangging Maranggi (Sangging Ukir, Sangging Tatah, Sangging Pulas). Termasuk pula dalam kelompok fungsionaris ini adalah mereka yang akhli majajaitan, akhli makarya sangan samuh (cacalan) yang elaborate itu, dan mereka yang akhli metanding dan nyorohang banten. Yang tergolong rincian fungsionaris Mancaghra itu lagi adalah Pragina, juru Gambel, termasuk pula disini adalah Sang Amangku Dalang, atau Dane Jro Dalang pada umumnya. Unsur fungsionaris yang terakhir adalah mereka yang memiliki keakhlian dalam bidang susastra, yakni Kidung, Kakawin, Palawakya atau olah seni vokal pada umumnya.
Kelima unsur fungsionaris Mancaghra inilah yang mempersembahkan lima unsur seni budaya agama yang adhiluhung dan adhiluhur, yang disebut Panca Pagendha. Rinciannya,

  1. Seni Sastra, yang bersumber pada Weda dan Upaweda (Wiracarita, Itihasa, Purana, yang terdiri dari Mahapurana dan Upapurana).
  2. Seni Vokal, adalah persembahan unsur-unsur seni yang bersumber dari suara beberapa fungsionaris, seperti Kidung, Kekawin, Palawakya, menurut chanda salah satu unsur Sadangga Weda (Enam Batang Tubuh Weda) itu. Termasuk disini Chanda (lagu) rapalan puja, mantra, stawa, stotra para Wiku Pamuput dan Pemimpin Upacara. Termasuk pula disini chanda saan para Dane Jro Mangku, pada waktu maatur-atur dan ngenteb upakara.
  3. Seni Instrumen, berbagai jenis gambelan, antara lain; salonding, gambang, saron, angklung, gong luang, gender wayang, gong Bede dan gong pada umumnya.
  4. Seni Gerak, berbagai bentuk dan jenis tari (sasolahan), seperti Tari wali, Tari Babali dan Tari Balih-balihan. Tari Wali yang merupakan bagian dari upacara yang dipersembahkan dan Tari Babali yang merupakan panunjang upacara yang dipersembahkan adalah tergolong Tani Sakral, yang tidak benar dipergelarkan di luar dari kontekstual persembahan dan pemujaan upacara. Sedangkan Tari Balih-balihan, yang semata-mata bersifat hiburan adalah tergolong Tari Profan, yang dapat dipergelarkan kapan saja, di mana saja, tetapi sepatutnya tidak boleh lincas dari aspek-aspek etik pergelaran Tari Bali pada umumnya.
  5. Seni Rupa, adalah wujud persembahan berupa arcanam, dewawigraha, apakah berwujud bangunan, arca atau sesuratan dan rerajahan.
Kalau kita simak, kaji dan analisis kembali kelima unsur persembahan Panca Pagendha itu, pada dasarnya sadhana bhakti yang dipersembahkan dalam yajna oleh umat Hindu adalah lima unsur seni budaya yang adhiluhung dan adhiluhur, sehingga persembahan dan pemujaan umat Hindu selalu menarik siapa saja. Dalam beberapa sumber tentang Kritik Seni Rupa, seni itu, dikemukakan berasal dari san atau seni, (Bahasa Sanskerta). yang berarti: persembahan. Kalau sumber itu benar, yajna - yajna, yang dilaksanakan oleh Umat Hindu di Bali pada khususnya dan Umat Hindu pada umumnya yang berupa Panca Pagendha, lima unsur seni sebagai sadhana bhakti persembahan adalah benar. Karena pada dasarnya kelima unsur seni yang berarti persembahan itu, pada dasarnya adalah Weda dan Upaweda, yang diwujudnyatakan, dalam berbagai seni budaya agama yang adhiluhung dan adhiluhur itu. Atau dengan kata lain pelaksanaan persembahan dan pemujaan yajna di Bali, tidak luncas dari konsep dan tuntunan ajaran Weda.
Kenyataan yang tampak semakin tumbuh dan berkembang sejak astadasamasa sampai pada waktu ini, saat masyarakat umat Hindu di Bali melaksanakan persembahan dan pemujaan yajna, adalah semakin mentradisinya Sang Yajamana atau Sang Adruwe Karya, mengundang Guru Wisesa, sebagai Guru Wisesa Saksi, saat dilaksanakan persembahan dan pemujaan karya dalam tingkat tertentu di suatu pura. Menumbuh kembangkan tradisi keagamaan seperti itu adalah merupakan iklim kehidupan keagamaan yang baik, karena tetap selaras dengan ajaran tata susila agama, atitikrama dan atitiyajna. Karena dulu, pada Era Astanagara Bali, atau zaman Kerajaan - kerajaan di Bali, mengundang Guru Wisesa, adalah merupakan tradisi yang lazim dilaksanakan oleh sang yajamana, yang biasanya seperti telah dikemukakan semakin tumbuh dan berkembang pada waktu sekarang. Latar belakang tradisi yang baik itu, dalam kebersamaan persembahan dan pemujaan yajna adalah karena pada era astanagara Bali, raja, (baca: Guru Wisesa, Pemerintah). Di samping sebagai kepala pemerintahan adalah sekaligus sebagai kepala agama dan Adat. Demikian aspek-aspek religious behavior, normative behavior , patterning behavior , cultural behavior , yang secara sadar atau tidak sadar telah dilakukan sebagai pengejawantahan sumber ajaran tiga kerangka agama Hindu oleh masyarakat umat Hindu di Bali, pada saat melaksanakan persembahan dan pemujaan yajna, terutama dipura-pura tertentu di Bali.
 
Biasan pola prilaku yang telah dikemukakan, kalau kita simak dan kaji, telah dilaksanakan secara utuh pula oleh Krama Desa Adat Kedewatan, saat pangaladesa dilaksanakan persembahan dan pemujaan Karya Agung Mamungkah, Ngenteg Linggih, Tawur Agung, Mapedanan mwang Panyegjeg Jagat, di Pura Dalem Swargan. Akhir-akhir ini ungkapan label persembahan dan pemujaan karya yang panjang seperti itu, yang sering pula ditulis pada sepanduk, oleh sementara intelektual sering dipertanyakan. Yang mana di antara karya itu, yang merupakan inti, yang mana pula yang merupakan tambahan.
Pertanyaan seperti itu, sah-sah saja bagi yang bersangkutan. Tetapi kita jangan lupa bias berbagai aspek prilaku masyarakat umat Hindu pada umumnya, seperti yang telah dikemukakan. Masyarakat umat Hindu pada umumnya dilingkungan Desa Adat masing - masing, dalam sistem hidup dan kehidupan beragamanya adalah polos. Melihat, mengungkap, menghayati apa adanya, secara logik. Contoh sikap dan prilaku budaya masyarakat lainnya seperti itu, seperti misalnya di suatu desa adat, pura desanya salah satu unsur Pura Kahyangan Tiga desa adat yang bersangkutan. Tetapi dekat mandala pura desa itu lalu ada tumbuh pohon Pule yang besar, dan menaungi sebagian pelinggih pura desa yang bersangkutan. Oleh masyarakat krama desa adat yang bersangkutan, Pura Desa itu, tidak lagi disebut pura desa, tetapi akan berubah dan lebih populer menjadi Pura Batan Pole, di kalangan krama desa adat yang bersangkutan.
Inilah satu contoh tindak dan prilaku budaya masyarakat Bali yang logik dan apa adanya. Sehingga karena terpengaruh oleh sistem berpikir dan berbudaya seperti itu, wajar saja kalau dilaksanakan persembahan dan pemujaan Karya Agung Mamungkah, Ngenteg Linggih, Tawur Agung, Mapedanan mwang Panyegjeg Jagat, seperti itu pula diungkapkan. Atau pun kalau ditulis pada spanduk. Karena di samping berlatar belakang berbagai aspek-aspek sikap dan perilaku budaya yang telah dikemukakan, karena term atau nama persembahan dan pemujaan karya itu, memang seperti itu pula yang di berikan oleh Wiku Manggaleng Karya, sehingga berpijak dari berbagai aspek latar belakang yang telah dikemukakan, rasanya tidak perlu lagi term atau nama yang panjang seperti itu, lebih - lebih lagi kalau dikaitkan dengan penghayatan ajaran agama yang immanent yang dilaksanakan pada umumnya oleh masyarakat umat Hindu di Bali, di lingkungan Desa Adat masing-masing. Karena pada dasarnya, tidak luncas dari tuntunan konsep ajaran Sang Tri Mangaleng Yajna, dan termasuk pula tidak luncas dari tuntunan ajaran adagium Trigama (Igama, Agama dan Ugama).
Igama, (Indik, tuntunan pelaksanaan upacara, hari subhadiwasa karya, tingkat karya yang dipersembahkan, adalah merupakan paica tuntunan dan petunjuk dari Wiku Manggaleng Karya) yang dituwur, yang tentu bersumber dari berbagai sumber Indik, berbagai lontar dan sastra - sastra agama lainnya. Termasuk wawagahan -wawagahan bhakti (upakara), sebagai sedahana bhakti dalam persembahan dan pemujaan karya itu, adalah juga paican Wiku Tapini, yang bersumber dari lontar-lontar Mpu Lutuk dan Prembon Babantenan, pada dasarnya juga berdasarkan indik. Agama, Dharmasastra dan sasana-sasana lainnya adalah pada dasarnya merupakan tuntunan etik Sang Madruwe Karya, (Yajamana), saat masolah maprawerti ritatkala nyanggra pakibeh aed pamargin karya. Kalau tempo dulu, pada era Astanagara, Rajalah (baca;Pemerintah), di samping sebagai Kepala Pemerintahan, juga sekaligus sebagai Kepala Agama dan Adat yang memegang dan memberi tuntunan salah atau benar, karya dan yajna itu dilaksanakan, menurut tuntunan agama ( hukum, dharmasastra dan sasana-sasana lainnya). Jika pelaksanaan Igama, Agama sudah selaras dan memiliki temu, pelaksanaan ugama, ulah prawerti Sang Adruwe Karya (Yajamana), akan menjadi selaras dan memiliki titik temu, sehingga pelaksanaan rangkaian karya secara sakala akan menjadi lancar, dan secara niskala, keselarasan dan titik temu antara igama, agama dan ugama itulah yang akan mewujudkan dan tercapainya, keingkupan Trikaya Parisudha Sang Trini Manggaleng Yajna, yang merupakan tuntunan etik dan sasana, agar persembahan karya atau yajna. Prasida sidaning don, sekala mwang niskala.