|
|
|
|
|
|
|
Goals yang Tercapai dan Terungkap di
Balik Rangkaian Karya |
|
|
|
Kalau kita simak dan kaji, term persembahan
dan pemujaan karya di Pura Dalem Swargan cukup
panjang. Sehingga kenyataan seperti ini, sering
menjadi pertanyaan sementara intelektuan di
masyarakat. Upacara yang mana yang merupakan
point pokok goals persembahan dan pemujaan
yang dilaksanakan? Seperti halnya persembahan
dan pemujaan Karya Mamungkah, Ngenteg Linggih,
Tawur Agung, Mapedanan, mwang Panyegjeg Jagat
itu?
Seperti telah dikemukakan dalam pendahuluan
Buku kecil ini secara sepintas, pertanyaan
seperti itu tak mesti dan tak perlu dikemukakan.
Apa sebab? karena kalau disimak dan dikaji
sesuai aspek-aspek tuntunan ajaran filsafat
(tattwa), tata susila, upacara dan upakara,
yang merupakan tiga kerangka agama Hindu,
termasuk aspek fungsi dan goals nyasa-nya,
sebenarnya adalah merupakan satu paket, untuk
mencapai goals yang utuh, sakala dan niskala.
Salah satu aspek kegiatan ngupahayu Pura Dalem
Swargan, seperti telah dikemukakan, jajar
kemiri unsur dan struktur•baru selesai
dipugar. Semua bangunan yang baru selesai
di pugar, masih berstatus dan berkedudukan
sebagai tawulan (bangken kayu, bangken tiying,
bangken duk, bangken semen, bangken batu,
dan sebagainya). Sehingga patut dilaksanakan
pamayuh sane pepek, seperti tuntunan Lontar
Tingkahing Mamungkah Parhyangan, agar semua
unsur dan struktur palinggih Pura Dalem Swargan
kembali berfungsi dan berkedudukan seutuhnya
sebagai bahwa maurip, sebagai bangunan suci,
tempat memuja dan memuliakan Hyang Widhi dalam
berbagai prabhawa dan istadewata. Petikan
Lontar Tingkahing mamungkah parhyangan, kepatutan
untuk melaksanakan pamayuh dane pepek, adalah
sebagai berikut:
nihan
tingkahing mamungkah parhyangan sane
anut sami ring rajapurana sane kagawa
sira mpu kuturan, sami kapepekang pamayuhe
sami maring bali, ika bau. Samangkana
elingakno tuturanya sane tuturanya sane
munggah ring rajapurana mwah usana bali,
sami pepekang palinggihe bhatara - bhatari. |
terjemahannya berart |
Inilah tuntunan
membangun, (Penulis termasuk memugar)
Parhyangan (Pura, tempat suci palinggih
widhi, dalam berbagai wujud istadewatanya),
yang semuanya patut selaras dengan Rajapurana
yang dibawa (ditulis) oleh Mpu Kuturan,
semuanya harus dilengkapi upacaranya
di Bali ini. Demikian patut selalu diingat
berdasarkan tuntunan yang ditulis dalam
rajapurana dan usana bali, semuanya
dilengkapi palinggih (Shtana) bhetara-bhatari. |
Kalau kita kaji dan analisis tuntunan Lontar
Tingkahing Mamungkah parhyangan yang telah
dikemukakan dalam petikannya, bahwa setelah
selesai membangun, (memugar) semua palinggih
bhatara - bhatari, harus dilaksanakan upacara
Mamungkah dengan upacara yang lengkap. Term
mamungkah itu memiliki arti leksikal dan konotasi,
yang berarti bahwa persembahan dan pemujaan
karya dilaksanakan adalah merupakan awal atau
baru pertama kalinya sejak Pura itu di bangun.
Demikian pula kalau pura itu baru selesai
di pugar, pelaksanaan upacara mamungkah adalah
yang pertama kalinya sejak bangunan pelinggih
pura itu selesai di pugar. Demikian di duga
asal-usul term karya mamungkah itu, yang rupanya
diambil dari term Lontar Indik, Tingkahing
Mamungkah Parhyangan, yang dibawa (ditulis)
oleh ; Shri Empu Kuturan.
Sebenarnya, ada rangkaian upacara Mamungkah
itu lagi, yakni upacara Bhutayajna, berwujud
persembahan dan pemujaan tawur, yang memiliki
goals untuk mamarisudha atau menyucikan unsur-unsur
Panca Maha Bhuta (Apah, Prthwi, Bayu, Teja,
Akasa), kawasan Tri Mandala, (Utama Mandala,
Madya Mandala dan Nista Mandala). Palebahan
pura yang baru selesai dibangun ataupun dipugar.
Sedangkan untuk mamarisudha dan menyucikan,
sampai memberikan mana (kekuatan) semua jajar
kamiri palinggih yang baru selesai dibangun
atau selesai dipugar adalah upacara Pamelaspas,
dengan pangurip-uripnya, termasuk mapulang
padagingan, sehingga semua bangunan palinggih
setelah rangkaian upacara itu, manggeh makadi
bhawa maurip. Dalam pelaksanaan karya agung
Mamungkah rangkaian upacara Bhuta Yajna, pamelasapas
dengan pangurip-uripnya, mapulang (mamendem)
pedagingan ini adalah yang merupakan pangupahayu,
mensahkan secara sepiritual jajaran bangunan
palinggih suatu Pura telah berkedudukan sebagai
bhawa tidak lagi berupa tawulan, tetapi telah
utuh sebagai palinggih, tempat suci, wajar
sebagai sthana (parhyangan) widhi, dalam berbagai
wujud prabhawa atau isthadewatannya.
Rangkaian upacara selanjutnya, adalah upacara
melelasti, yang goals filosofisnya, adalah
; " nganyudang malaning gumi, angamet
amertha, ring telengin segara ".
Seperti yang dikemukakan dalam Lontar Sundarigama.
Rauh Ida Bhatara dari malelasti, barulah disthanakan
di palinggih yang suci dan sebagai bhawa maurip,
yang telah utuh dan wajar sebagai parhyangan
Ida bhatara - bhatari samodaya. Setelah itu,
rangkaian upacara selanjutnya adalah upacara
Ngeteg Linggih, agar Ida bhatara-bhatari Samodaya,
entek malinggih di semua palinggih yang telah
suci, dan berkedudukan sebagai bhwa maurip,
yang secara sepiritual telah memiliki mana,
kekuatan dan jiwa, setelah dilaksanakan Upacara
Pamelaspas, dengan pangurip-urip dan Mapulang
(Mamendem ) padagingan.
Pada saat dilaksanakan Upacara Ngenteg Linggih,
kemudian dibarengi dengan persembahan upakara
Pujawali (Pawedalan). Karena pada umumnya,
hari subhadiwasa Upacara Mamungkah itu, selalu
digunakan sebagai patok rahina subhadiwasa
tegak pawedalan, (pujawali, patirthan). untuk
selanjutnya. Kalau baru selesai memugar, pun
kemudian, padara waktu akan melaksanakan Upacara
Mamungkah, Pamelasapas, Ngenteg Linggih dan
seterusnya, pada umumnya selalu memilih rahina
subhadiwasa tegak pawedalan, (pujawali, patirthan)
pura-pura yang bersangkutan.
Setelah Ida Bhatara - bhatari Samodaya enteg
malinggih di jajar kamiri palinggih pura
bersangkutan, baru dilaksanakan Upacara Ida
Bhatara Tedun ke Bale Paselang dan Upacara
Mapedanan. Kedua Upacara ini mengandung bobot
filosofis dan ajaran tattwa yang dalam, walau
pun proses pelaksanaan dan termnya cenderung
bersifat logic dan pemikiran anwiksaki. Bobot
filosofis Upacara Ida Bhatara Tedun ke Bale
Paselang, adalah selaras dengan filsafat adisrsti,
(ciptaan mulia), Hyang Widhi pada saat Tedun
ke Bale Paselang, adalah dalam prabhawa atau
istadewata Dewa Smara, dengan shaktinya Ratih
Dewi, Dewa dan Dewi Cinta Kasih. Di samping
upacara Ida Bhatara Tedun ke Bale Paselang
itu, memiliki bobot filsafat adisrsti (ciptaan
mulia), dengan ciptaan alam raya (macrocosmos)
ini dengan segenap isinya, sehingga umat manusia
yang juga ciptaan Hyang Widhi menjadi makmur
dan sejahtera, itulah wujud cinta kasih Hyang
Widhi, yang nyasa - kan oleh Dewa Smara dan
Ratih Dewi, Dewa Cinta Kasih itu. Cinta kasih
Hyang Widhi kepada semua makhluk hidup, terutama
umat manusia, adalah berbagai ciptaan mulia
(adisrsti), yang dapat memakmurkan, mensejahterakan,
dan membahagiakan umat manusia. (Simak pembacaan
teks pajejiwan) saat majejiwan di Bale Paselang.
Dalam teks pajejiwan itu jelas sekali diungkapkan
adisrsti (ciptaan mulia) Hyang Widhi, nresti
alam raya ini dengan komponen - komponennya,
sehingga umat manusia dan makhluk lainnya
manjadi makmur, sejahtera dan bahagia dalam
hidup dan kehidupannya di dunia ini.
Dalam teks pajejiwan itu, di samping Hyang
Widhi menciptakan alam raya ini dengan langit,
matahari, bulan dan bintang, juga diciptakan
gunung, danau, sungai dan segara (laut). Termasuk
menciptakan taru, lata, gulma, sthawara dan
jenggama. Dan berbagai ciptaan mulia (adisrsti)
lainnya. Satu sisi lainnya, Upacara Ida Bhatara
Tedun ke Bale Paselang, adalah nyasa bertemunya
Bhakti kalawan Asih. Artinya bhakti umat manusia
yang mempersembahkan bangunan palinggih (pura-pura)
dengan tata upacaranya kahadapan Hyang Widhi,
lalu Hyang Widhi dengan welas asihnya, menganugerahkan
adisrsti (ciptaan mulia) seperti yang diungkapkan
dalam naskah atau teks pajejiwan, yang dibaca
di Bale Paselang sebagai rangkaian Upacara
Ida Bhatara Tedun ke Bale Paselang. Welas
asih, cinta kasih Hyang Widhi, di nyasa-kan
dengan arcanam atau dewawigraha dalam wujud
Dewa Smara dengan shaktinya Ratih Dewi, Dewa
dan Dewi Cinta Kasih itu.
|
|
Lebih konkrit lagi, konsep nyasa anugrah
Hyang Widhi kepada umat manusia, adalah Upacara
Mapedanan itu. Sarana anugrah Hyang Widhi
dalam eteh-eteh upakara paselang itu, adalah
berbagai sarana kebutuhan hidup dalam keseharian,
Ada alat-alat dapur, alat -alat pertanian,
alat-alat Undagi dan Sangging, dan lain -
lainnya yang mengandung unsur-unsur Tribhoga,
(bhoga, upabhoga, dan tribhoga). Yang kalau
pemujaan oleh Wiku Pamuput telah usai, semua
umat manusia berebutan untuk mendapatkan anugrah
Hyang Widhi, yang merupakan eteh-eteh perlengkapan
di Bale Pedanan itu. Memang demikian kenyataanya,
diakui atau tidak, umat manusia dalam hidup
dan kehidupan umat manusia, selalu memperebutkan
unsur-unsur Tribhoga yang telah dikemukakan,
guna dapat menikmati kemakmuran, kesejahteraan
dan kebahagiaan, lahir dan bathin, skala dan
niskala. Hanya perlu diingat dalam usaha untuk
mendapatkan unsur-unsur Tribhoga itu, harus
selalu di usahakan agar tetap berlandaskan
sanatana dharma, sehingga sanata jagathita,
kemakmuran, kesejahteraan dan kedamaian betul-betul
dapat dinikmati secara sakala dan niskala
dalam hidup dan kehidupan.
Demikian untuk mencapai tujuan hidup dan kehidupan
yang telah dikemukakan, umat manusia terus
memohon anugrah kehadapan Hyang Widhi, apa
yang dianugrahkan berdasarkan nilai filosofis,
nyasa agar tetap konsisten, (jejer, jegjeg),
sehingga umat manusia pun tetap jejer, jegjeg
menuaikan tugas-tugas hidup dan kehidupannya,
sesuai dengan yoni dan gunakarma masing-masing,
sehingga keharmonisan sakala dan niskala tetap
konsisten atau jejer, jegjeg pula. Untuk mendapatkan
anugerah konsisten , jejer, jegjeg inilah
secara gampangan saja agar masyarakat umat
lebih mudah berpikir dan menjadi mengerti
secara anwiksaki, dirangkaikan pula Upacara
Penyegjeg Bhumi agar bhumi atau bhawana konsisten
dan jegjeg. Baik Bhwana Agung (Macrocsmos)
atau Alam Raya ini, maupun Bhwana Alit (Microcosmos),
yang tiada lain adalah umat manusia sendiri,
baik selaku individu maupun secara kelompok
(mulai dari Keluarga Batih, Keluarga Besar,
Kelompok tertentu mulai dari Krama banjar,
Krama Desa Adat), agar selalu konsisten, jegjeg
makta pakayun, ngamedalang bawos miwah ritatkala
masolah mapraweti, sehingga terwujud dan tercipta
serta tercapai hidup dan kehidupan santa jagathita,
sakala dan niskala.
Rangkaian selanjutnya, adalah Ida Bhatara
Nyejer, selama Ida Bhatara Nyejer ini, patut
ada persembahan bhakti panganyar, dan Aci
panyabaran. Rangkaian (aed ) persembahan dan
pemujaan Karya Agung Mamungkah, Ngenteg Linggih,
Tawur, Mapedanan mwang Panyegjeg Bhumi, seperti
yang dipersembahkan di Pura Dalem Swargan,
setelah persembahan dan pemujaan adining karya
(puncak karya), rangkaian selanjutnya akan
dilaksanakan rangkaian aed) karya seperti
Ngremakin, Mabangun Ayu, Ngebekin, Ngingkup,
Nyenuk, Nyineb dan terakhir Nyegara-Gunung,
sebagai perwujudan rasa angayubagya kehadapan
Dewa Siwa dan Parwati Dewi, sebagai sakti
Dewa Siwa . Karena dalam konsep siwaistis,
terutama Siwa Sidhanta, Siwa sebagai Widhi,
di nyasa - oleh gunung, sebagai Lingga Acala,
(lingga yang tak bergerak) . Sedangkan yoninya
adalah Sagara (Lautan).
Kembali kepada konsep filsafat adisrsti (ciptaan
mulia), berkat anugerah hasil-hasil Gunung
dan Laut, dalam artian luas, sebagai nyasa
Lingga - Yoni, perwujudan Siwa - Parwati itu,
pelaksanaan persembahan dan pemujaan Karya
Agung yang elaborate itu, dapat berjalan lancar,
tak kurang suatu apapun, sehingga secara sakala
dapat mencapai sidaning don (berhasil).
Perlu dikemukakan, keberhasilan secara sakala,
adalah merupakan awal perjalanan rangkaian
(aed) persembahan dan pemujaan yajna, untuk
mencapai sidaning don ( keberhasilan) niskala.
Asal tetap dilandasi oleh etik, dan sikap
serta prilaku yang nekengtwas.
Apa yang telah dikemukakan dalam kontektual
rangkaian (aed) persembahan dan pemujaan yajna
di Pura Dalem Swargan, dengan menggunakan
sekilas konsep ajaran filosofis dan maknawi
nyasanya, walaupun sering digunakan term yang
panjang, sehingga menjadi bahan pertanyaan
oleh sementara intelektual, pada dasarnya
term yang panjang itu, kenyataanya adalah
merupakan satu paket upacara. Permasalahan
term yang panjang itu adalah merupakan bias
dari behavior customary, normative behavior
, cultural behavior , behaviour patterning
religious dan, polos Bali, yang diungkapkan
dalam penghayatan dan pelaksanaan hidup keagamaan
secara immanet tetapi selaras dan memiliki
titik temu dengan pengerasa agama, masing-masing
. Sehingga merupakan kenyataan bagi masyarakat
umat Hindu pada umumnya, di Lingkungan Desa
Adat masing-masing pada saat melakukan yajna,
sebagai pengejawantahan ajaran sradha dan
bhakti, lebih didominir oleh pengrasa agama,
untuk memperdalam keyakinan mereka, pada saat
melakukan yajna itu Toh menurut pemikiran
mereka yang mapaica indik adalah para Wiku,
sebagai Adiguru Loka dan Wiku pamuput. Sehingga
dari kajian dan analisis pemikiran ini, kita
ketahui, bahwa dalam kontekstual ke arah peningkatan
sradha dan bhakti, dasar keyakinan yang dimulai
dari pangrasa agama itu akan merupakan jalan
awal untuk keberhasilan menunaikan swadharma
agama selanjutnya. (bandingkan dengan Ekalawya,
Raja Nisada, yang berguru dan belajar memanah,
dalam Mahabaratha ).
Sehingga dengan demikian, rasanya tidak perlu
di permasalahkan lagi term yajna yang dianggap
panjang-panjang, yang mana diantara term yang
panjang itu, merupakan upacara inti, untuk
mencapai goals apa?
Biarkanlah perkembangan diproses oleh rta
(rtta), hukum alam yang mesti terjadi, dan
tidak kekuatan apa pun di dunia ini yang mampu
membatalkan rta itu siapa pula yang akan dapat
membalik jalanya matahari dari Barat ke Timur?.
Siapa saja tidak. Selaras dengan rta (hukum
alam yang abadi itu), tetap saja matahari
terbit di ufuk timur, bejalan ke barat, dan
terbenam di ufuk Barat.
Apa yang penulis kemukakan, tidak dikandung
maksud untuk menjadi pasrah saja, membiarkan
masyarakat umat hanya menuai ajaran agama
Hindu, berdasarkan pengerasa agama saja? Sekali-kali
tidak. Tetapi harus dilaksanakan perubahan,
yang mengarah kepada usaha peningkatan sradha,
bhakti, punya, asih. Tetapi melalui proses.
Kalau tidak demikian, akan menimbulkan berbagai
bentuk dan jenis permasalahan . Jangan lupa
kepada normative behavior , customary behavior
, cultural behavior dan behavior patterning,
saat melaksanakan yajna. Contoh yang kongkrit
saja adalah dalam behavior patterning, dalam
pelaksanaan persembahan dan pemujaan yajna
tertentu berlaku pola Pelaku Yajna, yang disebut
Sang Tipini Manggaleng Yajna. Termasuk pula
dengan adanya pola fungsionaris tertentu yang
boleh atau tidak untuk melakukan suatu aktivitas
dalam persembahan dan pemujaan yajna tingkat
tertentu . Inilah yang kita maksudkan kalau
dipaksakan akan menimbulkan permasalahan dalam
pembinaan agama. Bahkan bukti dari adanya
opini-opini keagamaan yang kurang selaras.
dengan behavior normative, behavior cutomary
dan behavior pattering serta behavior cultural
masyarakat Bali di lingkungan desa Adat masing-masing,
di kalangan masyarakat yang setengah intelek,
dan ucapan seperti ini: Ah , ketahuilah agama
yang diomongkan di Seminar, Loka Karya, Workshop,
Panel Diskusi, dan sejenisnya, akan berbeda
dengan kenyataan, dalam praktek persembahan
dan pemujaan, dalam usaha mengejawantahkan
ajaran sradha dan bhakti, dilingkungan Desa-desa
Adat di Bali.
Memang ada ungkapan nyata yang terbukti dari
beberapa intelektual, bahwa bagi masyarakat
umat Hindu di Bali, belajar dan bicara agama
adalah sulit. Tetapi mempraktekan ajaran agama
sebagai pengejawantahan sradha dan bhakti
adalah mudah. Dalam kegiatan ngayah di pura-pura
di Bali, penulis sering memperhatikan, wanita
Bali yang buta huruf pun sudah dapat nanding
Pabangkit dan pulagembal. Nyorohang unsur
dan struktur jajan pabangkit dan pulagembal
menurut dan strukturnya, wanita Bali yang
buta huruf ini, tidak ragu-ragu, pas dan cekatan
mereka mengerjakan . Pertanda dia telah tahu
benar menata jajan pambangkit dan pulagembal
itu . Sehingga tampak tatandingan pabangkit
dan pulagembal yang pas, elaborate dan menarik.
Tetapi jangan coba-coba bertanya kepada wanita
itu, bagaimana filsafat dan nyasa pabangkit
dan pulagembal itu. Kalau ditanya, dia akan
menjawab tidak tahu . Memang benarbenar tidak
tahu. Walaupun kalau nama, nanding dan nyorohang
tatandingan pabangkit dan pulagembal itu,
dia tahu benar. Seperti itulah fakta kalau
ngomong tentang pembangkit dan pulagembal
sulit bagi kebanyakan wanita Bali, tetapi
kalau nanding dan nyorohang pabangkit dan
pulagembal banyak wanita Bali yang tahu mengerjakannya.
Padahal seperti telah dikemukakan, pambangkit,
yang merupakan nyasa Dewi Durgha dan pulagembal
yang merupakan nyasa Dewa Ganesya, memiliki
konsep filsafat yang tinggi, yang bersumber
dari siwa purana (pura puranic), dan termasuk
dari kakawin smaradahana, yang mengemukakan
konsep Dewa Ganesya, sebagai Dewa awighneswara,
sebagai Dewa penghalang segala rintangan.
Termasuk kalau kita meniti sumber Lontar Siwagama,
akan terungkap konsep ajaran filsafat (tattwa
), dan ajaran nyasa yang tinggi, tentang penyucian
Sang Hyang Panca Korsika, mamineh empehan
lembu, dan kapatutan menggunakan madu parka,
sebagai unsur eteh-eteh upakara, dalam pelaksanaan
persembahan dan pemujaan karya atau yajna
yang tingkatanya lebih besar dan utama.
Seyogyanya para intelektual konsep-konsep
ajaran filsafat, nyasa, etika, arcanam dan
dewawigaraha yang berwujud upakara atau babantenan
inilah yang seyogyanya dipakai objek study
dan penelitian, dengan sistem dan methoda
ilmiah yang lazim digunakan dalam study dan
penelitian ilmu-ilmu sosial, sehingga didapatkan
intisari konsep ajaran filsafat, etika, nyasa,
arcanam dan dewawigraha, dalam berbagai wujud
dan bentuk upakara (banten), sebagai sadhana
bhakti dalam persembahan dan pemujaan karya
dan yajna, dilingkungan Desa-desa Adat di
Bali . Jangan buru-buru memvonis bahwa pelaksanaan
yajna di Bali kurang pas dengan Weda . Atau
dengan kata lain seyogyanya para intelektual
yang membidanginya menggunakan pisau pembedah
ilmiahnya untuk membedah aspek-aspek konsep
filsafat, etika, nyasa, arcanam dan dewawigraha
dalam berbagai wujud dan bentuk upakara (
banten) itu. Sehingga dapat dirumuskan berupa
buah pikiran yang basic dan memiliki titik
temu dari berbagai konsep pelaksanaan tata
upacara dengan berbagai bentuk dan jenis upakara
sebagai sadhana bhaktinya, dengan ajaran Weda.
|
|
Kalau sistem dan methoda pendekatan tidak
diupayakan seperti itu, akan dapat menimbulkan
permasalahanpermasalahan yang berupa konflik
di masyarakat. Contohnya kalau kita menyimak
dan melakukan pengamatan berbagai jenis Upacara-upacara
Ngusabha di Kabupaten Karangasem, seperti
Ngusabha daa Walung, Ngusabha Dangsil, Ngusabha
Mamedi, Ngusabha Taluh, Ngusabha Guling, Ngusabha
Perahu, Ngusabha Buyung, Ngusabha Emping,
Ngusabha Goreng, Ngusabha Dodol, dan banyak
lagi yang lainya. Dan khusus di Pura Agung
Besakih, banyak sekali jenis upacara Ngusabha,
dalam kurun waktu setahun, yang rahina subhadiwasanya
bedasarkan hari Purnama - Tilem, yang diakhiri
dengan Karya Bhatara Turun Kabeh, yang populer
disebutkan Ngusabha Kadasa di Pura Panataran
Agung.
Rangkaian upacara Ngusabha di beberapa palebahan
kompleks Pura Agung Besakih, berdasarkan hari
Purnama - Tilem dalam kurun waktu setahun,
adalah sebagai berikut:
-
Ngusabha Kapat, yang
dilaksanakan pada waktu sasih kapat, (Usabha
Karttika ), di Pura penataran Agung.
-
Ngusabha Siram, dilaksanakan
pada waktu Sasih kalima, (Usabha Margasirsa
) di Pura Batumadeg.
-
Ngusabha Paneman, dilaksanakan
pada waktu Sasih Kaenem, (Usabha Posya),
di Pura Bangun Shakti.
-
Ngusabha Gede, dilaksanakan
pada waktu Sasih Kapitu, (Usabha Magha),
di Pura Dalem Puri.
-
Ngusabha Nyungsung, dilaksanakan
pada Sasih Kapitu, (Usabha Magah), (dilaksanakan
tiga hari kemudian, setelah persembahan
dan pemujaan Ngusabha Gede, di Pura Dalem
Puri), di Pura Kiduling Kreteg.
-
Ngusabha Buluh, dilaksanakan
pada waktu Sasih Kapitu, atau hampir mendekati
sasih kawulu, tiga hari kemudian setelah
pelaksanaan persembahan dan pemujaan Ngusabha
Nyungsung, di Pura Kidulung Kreteg. Sehingga
Ngusabha Buluh ini yang persembahan dan
pemujaannya di laksanakan di Pura banua,
juga tergolong diantara Ushaba Magha dan
Usabha Phalguna.
-
Ngusabha Ngaed, dilaksanakan
pada waktu Hari Purnamaning Kapitu di Pura
Banua lagi. Sehingga juga sasih tergolong
persembahan dan pemujaan Usabha Magha.
Ngusabha Kadasa, yang dilaksanakan
bertepatan dengan Hari Purnamaning Kadasa, (Usabha
Wesaka), di Pura Penataran Agung. Usabha Kadasa
atau Karya Bhatara Turun Kabeh di Pura Penataran
Agung Besakih inilah yang merupakan ending pelaksanaan
persembahan dan pemujaan pengusabhan di seluruh
kompleks Pura Agung Besakih .
Kalau kita kaji dan analisis, dari term persembahan
pangusabhan pada umumnya, berasal dari kata
; utsava (sansekerta ), yang berarti: pesta.
Kalau kita meniti kembali arti kata utsava atau
usabha itu dalam kontekstual pelaksanaan pangusabhan,
tampaknya memiliki titik temu. Seperti halnya
Ngusabha Kadasa di pura penataran Agung Besakih,
pada akhirnya (ending) pelaksanaan persembahan
dan pemujaan seluruh pangusabhan di kompleks
pura - pura Besakih, pada dasarnya adalah merupakan
pesta juga, karena seluruh Dewa dan Dewi yang
berparhyangan di kompleks pura - pura di pura
Agung Besakih, pada saat dipersembahkan Karya
Ngusabha Kadasa, disthanakan di Bale pasamuhan
pura penataran Agung Besakih, untuk amukti bhakti
pangusabhan. Karena kenyataan seperti inilah
sehingga upacara usabha kadasa di pura penataran
Agung Besakih, Dewa dan Dewi Samodaya yang berparhyangan
di seluruh kompleks pura Agung Besakih, semua
di isthanakan di bale pasamuhan pura penataran
Agung untuk amukti bhakti pangusabhan, cenderung
diartikan dalam ungkapan bahasa domestik Ida
Bhatara - Bhatari di Besakih pesta. Dan penghayatan
ajaran agama imanent, dengan mengungkapan bahasa
domestik itu, kebetulan pas dan memiliki titik
temu dengan arti kata ; utsava, atau usabha
itu ada pula para cendekiawan yang mengartikan
kata utsava atau usaba itu ; pesta sejenis.
Kenyataan di lapangan pun, kalau di simak dan
dikaji memiliki titik temu pula. Seperti halnya
Usabha Guling di Desa Adat Timbrah, natar pura
itu penuh dengan persembahan babi guling. Demikian
juga pada saat persembahan Usabha Taluh, hampir
seluruh pelinggih dipenuhi oleh persembahan
Taluh (Telur), sama halnya kalau Usabha Dodol,
banten lebih didominir oleh persembahan Dodol.
Juga demikian pada waktu Usabha Emping, Usabha
Goreng.
Tetapi usabha apa pun bentuk dan jenisnya yang
dipersembah kan di pura Agung Besakih, termasuk
Ngusabha Desa, Ngusabha nini, di Desa-desa Adat
yang memiliki tradisi pangusabhan, seluruh juga
memiliki rangkaian pelaksanaan persembahan dan
pemujaan Bhutayajna, (dari tingkat Caru sampai
Tawur). Kalau ditanyakan, yang mana temanya
lebih ditonjolkan, pangusabhan atau Bhutaya
Yadnya, yang dari tingkat caru sampai tawur
itu? jawabannya, tentu tidak bisa dijawab secara
matematis. Karena persembahan dan pemujaan yajna
itu merupakan satu rangkain (aed). mungkin kalau
gunakan dalam bahasa kekinian, adalah merupakan
satu paket.
Sama halnya seperti pelaksanaan Karya Mamungkah,
Ngenteg Linggih, Tawur Agung, Mapedanan mwang
panyegjeg Bhumi, yang dipersembahkan oleh Krama
Desa Adat Kedewatan bersama para pangelingsir,
Sesepuh dan perangkat prajuru Adat di pura Dalem
Swargan setelah pura itu selesai dipugar, term
yang pajang itu kalau ditanyakan, yang mana
lebih ditonjolkan? Pamelaspas dan Ngenteg Linggihnya?
Tawur Agung dan Mapedanannya, atau Panyegjeg
Bhuminya? Jawabannya tidak bisa dijawab secara
matematis.
Di samping itu kita harus arif meniti sumber-
sumber sosio religius lainnya dalam pelaksanaan
tata upacara masyrakat umat Hindu di Bali, yang
merupakan hasil kaluluhan antara sosial religius
Bali Aga dengan Bali Apanage. Termasuk pula
hasil kakuluhan dengan sosio religius Era Tradisi
Kecil (prasejarah) sehingga banyak cendikiawan
dan peneliti yang mengemukakan bahwa tentang
eksistensi kebudayaan pada umumnya dan budaya
agama Hindu yang adhiluhung dan adhiluhur, tidak
mengenal teori The Missing Link. (seperti mata
rantai yang putus), tetapi tetap nyambung sejak
Era Tradisi Kecil (prasejarah), sampai zaman
sejarah, pada masa Bali Age dan Bali Apanaga,
bahkan semakin berkembang pada masa sekarang.
Termasuk kita patut arif juga, bahwa sanatana
Dharma, yang disebut agama Hindu itu dalam dunia
ilmu pengetahuan, ibarat sebuah bola, saat menggelinding
ke seluruh dunia, akan dilekati oleh debu-debu
budaya lokal, sehingga menyebabkan agama Hindu
memiliki budaya agama yang kaya dan elaborate,
seperti halnya budaya agama Hindu di Bali, yang
karena keelastisan ajaran agama Hindu itu, budaya
agama sejak Era Tradisi Kecil, sampai era sejarah
(Bali age dan Bali Apanaga ), banyak yang tetap
terpelihara, sehingga lebih mengayakan lagi
produk budaya agama selanjutnya, sampai era
sekarang.
Dan kajian dan analisis yang telah dikemukakan,
dalam bagian III tulisan buku kecil ini, dapat
kita simpulkan, bahwa kita tidak perlu berpikir
matematis dalam menanggapi,
mengkaji, menganalisis term-term agama lokal
secara matematis pula, agar tidak menimbulkan
permasalahanpermasalahan yang tidak kita harapkan.
Biarkan saja pelaksanaan upacara dan yajna di
Desa -desa Adat di Bali, berdasarkan adagium
desa, kala, agama, atau Nagara Mawa tata dan
Desa Mawa Cara. Asal tidak bertentangan dengan
konsep ajaran sanatana dharma, yang menurut
para Wipra, konon luhuran ring Sang hyang Akasa,
mwang daleman ring Sang Hyang Samudra. Luhuran
ring Sapta Akasa lagi, dan daleman ring Sapta
Samudra pula. Biarkan perubahan -perubahan yang
langgeng itu melalui proses, berdasarkan r t
a (rita), yang abadi, kebalikan dari perubahan
yang langgeng itu. Pengala desalah yang akan
menentukan. Seperti telah dikemukakan dalam
usaha meningkat sradha dan bhakti, tradisi dan
pengrasa agama, dengan sikap dan prilaku nekeng
twas, selaku jalan awal untuk mencapai sidaning
don, dalam usaha meningkatkan aspek- aspek sradha
dan bhakti.
|
|
|
|
|
|
|
|
|