Bermula dari Nuur Tirta
TIDAK mudah untuk dapat mewujudkan tegaknya pura di Desa
Senduro, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Di lambung sebelah timur Gunung Semeru itu, nyaris 20 tahun
penganut Hindu memendam kerinduan untuk dapat mendirikan
bangunan suci berupa pura. Impian itu seperti begitu sulit
diwujudkan. Izin pendirian tak mudah didapat dan dana pun
tidak otomatis mudah digalang. Begitu lama warga penganut
Hindu ini berpuas diri hanya dengan mabakti (sembahyang)
di Sanggar Pamujon yang ada hampir di setiap desa di Kecamatan
Senduro, Lumajang.
Keinginan pemeluk Hindu di Lumajang dan sekitarnya untuk
membuat pura sesungguhnya telah muncul sejak tahun 1969.
Keinginan ini tampak bersambut dengan keinginan sejumlah
tokoh Hindu di Bali, terutama sejak diadakan nuur tirta
(memohon air suci) dari Bali langsung ke Patirtaaan Watu
Kelosot, di kaki Gunung Semeru, berkaitan dengan diaturkan
upacara agung Karya Ekadasa Rudra di Pura Agung Besakih,
di lambung Gunung Agung, Bali, Maret 1963. Kegiatan nuur
tirta ke Watu Kelosot itu kembali dilakukan pada tahun 1979
berkaitan dengan digelarnya lagi upacara Ekadasa Rudra di
Pura Agung Besakih. Pada akhir rangkaian Ekadasa Rudra tahun
1979 ini bahkan juga dilakukan upacara majauman ke Patirtaan
Watu Kelosot.
Sejak itu dimulailah tradisi rutin nuur tirta saban kali
di Besakih dan pura kahyangan jagat lain di Bali diaturkan
upacara berskala besar. Kawasan Gunung Sumeru dengan mata
air suci Watu Kelosot pun makin dikenal kalangan umat Hindu
di Bali maupun di luar Bali. Sebelumnya manakala diaturkan
upacara-upacara besar di tempat-tempat suci atau pura kahyangan
jagat di Bali, para pandita atau sulinggih (pendeta) biasanya
cukup hanya ngaskara ke Gunung Semeru, memohon ke hadapan
Hyang Siwa Pasupati yang diyakini berstana di puncak Gunung
Semeru. Seiring dengan kesadaran dan penghayatan umat Hindu
terhadap ajaran agama, ditopang pula oleh kemajuan teknologi
transportasi, nuur atau mendak tirta ke Gunung Semeru pun
dilakukan langsung.
Toh, kendala teknis praktis kian dirasakan timbul dalam
perjalanan waktu kemudian. Jarak tempuh Bali-Watu Kelosot
yang bisa menghabiskan waktu 9-11 jam sekali tempuh, kerap
mengharuskan umat Hindu bermalam di kawasan Lumajang. Andaikan
sekadar menginap tentu tidak masalah, karena bisa bermalam
di hotel mana saja. Rasa hati kurang sreg, kurang mantap,
muncul manakala menginap sambil ngiring tirta yang baru
saja dimohon penuh rasa bakti di petirtaan Watu Kelosot.
Terasa kurang etis, tidak anut, bila menginapkan air suci
di hotel. Dari sini kian kuat kukuhlah dorongan keinginan
mendirikan tempat suci di sekitar Gunung Semeru.
Tidak hanya masalah teknis praktis dan etis dijadikan pertimbangan.
Pendirian pura di kawasan dataran tinggi ini juga didasari
konsep yang ditopang sumber-sumber rujukan kuat susastra-agama
maupun sumber-sumber sejarah kuno. Dalam pandangan Hindu,
dataran tanah atau gunung tertinggi merupakan kawasan tersuci
secara spiritual. Ini tentu sangat tepat dengan posisi Gunung
Semeru sebagai gunung tertinggi di tanah Jawa, bahkan di
Kepulauan Nusantara. Kawasan ini secara historis juga disebut-sebut
sebagai kawasan suci semasa Jawa Kuno, sebagaimana dapat
disusuri dari sumber susastra Nagarakertagama berbahasa
Jawa Kuno.
Izin lokasi pendirian pura diajukan, tetapi ditolak Bupati
Lumajang dengan alasan tempat sempit dan dekat pemukiman
non-Hindu. Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) setempat
sempat menawarkan lokasi di Desa Kertasari, namun ditolak
umat, karena merupakan daerah aliran lahar Gunung Semeru.
Sampai akhirnya lokasi berdirinya pura sekarang ini dipilih,
dengan luas awal cuma 25 x 60 meter, belakangan ditambah
lagi menjadi 25 x 65 meter, seharga Rp 4,5 juta. Izin diajukan
kembali, tiga tahun kemudian baru turun dari aparat berwenang.
Panitia Senduro-Bali
Pura dibangun bertahap. Setelah batu bata terbeli, padmasana
mulai dibangun, menghadap ke timur. Tetapi tidak bisa dituntaskan.
Dipindah agak ke utara (masih menghadap ke timur), tidak
bisa diselesaikan juga. Ada pawisik (petunjuk gaib) agar
dihadapkan ke selatan. Sejak itu pembangunan lancar dan
punia (sumbangan) mengalir dari umat di Bali maupun di luar
Bali.
Pendirian pura bertambah lancar setelah rombongan dari
Bali, antara lain Jero Gede Alitan Batur, Tjok Gede Agung
Suyasa, Mangku Sueca dari Besakih, tahun 1989 saat nuur
tirta (memohon air suci) ke Semeru bertemu umat Hindu asli
kawasan Semeru. Rombongan dari Bali ini pun bergabung dengan
tim pembangunan pura setempat. Panitia gabungan Sendoro-Bali
dibentuk terpadu. Rencana pun kian mengembang seiring dengan
mengalirnya punia dari para bakta, umat penderma. Guna menjaga
ketertiban dan pertanggungjawaban pengorganisasian, Parisada
Kabupaten Lumajang lantas menunjuk sejumlah bakta (umat
yang bersedia tulus berkorban) sebagai Panitia Penggalian
Dana dan Pembangunan Pura Semeru, lewat Surat Penunjukan
nomor 94/PHDI-LMJ/IV/1991.
Ketika awal diserahi tugas membangunan fisik pura, panitia
cuma disodori dana Rp 40 juta. Dari penggalian dana sukarela
kemudian terkumpul Rp 90 juta. Hingga kini total sudah dihabiskan
dana sekitar Rp 1,8 milyar untuk pembangunan fisik pura
dan sekitarnya. Arealnya pun meluas hingga kini hampir 2
hektar.
Kini bangunan fisik Pura Mandara Giri Semeru Agung sudah
dilengkapi dengan candi bentar (apit surang) di jaba sisi,
dan candi kurung (gelungkuri) di jaba tengah. Di areal ini
dibangun bale patok, bale gong, gedong simpen, dan bale
kulkul. Ada juga pendopo, suci sebagai dapur khusus dan
bale patandingan. Di jeroan, areal utama, ada pangapit lawang,
bale ongkara, bale pasanekan, bale gajah, bale agung, bale
paselang, anglurah, tajuk, dan padmanabha sebagai bangunan
suci utama dan sentral.
Di lokasi agak menurun, di sisi timur, dibangun pasraman
sulinggih, bale simpen peralatan dan dua bale pagibungan
selain dapur. Sedangkan di sisi selatan berdiri wantilan
megah dan luas. Panitia juga menyiapkan pembangunan kantor
Sekretariat Parisada, perpustakaan dan gerbang utama waringin
lawang.
Hari Minggu Umanis, Wuku Menail, tanggal 8 Maret 1992,
dipimpin delapan pendeta, digelarlah untuk pertama kalinya
upacara Pamlaspas Alit dan Mapulang Dasar Sarwa Sekar. Dengan
begitu status dan fungsi bangunan pun berubah menjadi tempat
suci, pura. Selanjutnya pada bulan Juni - Juli 1992 diaturkan
upacara besar berupa Pamungkah Agung, Ngenteg Linggih, dan
Pujawali.
Lewat Surat Keputusan Nomor: 07/Kep/V/PHDI/1992, dengan
memperhatikan hasil pertemuan pihak-pihak instansi, badan
dan majelis yang terkait, di Wantilan Mandapa Kesari Warmadewa,
Besakih, tanggal 11 Mei 1992, Parisada Hindu Dharma Indonesia
(PHDI) Pusat lantas menetapkan nama, status dan pengelola
pura. Ditetapkan antara lain: nama pura adalah Pura Mandara
Giri Semeru Agung dengan status Pura Kahyangan Jagat, tempat
memuja Hyang Widhi Wasa. Sebagai panyungsung adalah seluruh
umat Hindu di Indonesia.
Kini kehadiran pura malah dirasakan memberi rezeki bagi
penduduk setempat. Warung-warung makanan hingga kios penjual
kaos berlogo Semeru Agung dan beragam cenderamata lain pun
berkembang. Begitu juga penduduk di sekitar pura mulai menyediakan
kamar-kamar untuk menginap bagi umat Hindu yang datang bersembahyang
ke pura. Bahkan, penginapan juga dibangun di sana oleh penduduk
setempat. Saban hari memang ada saja umat yang bersembahyang
ke Semeru Agung. Lebih-lebih lagi bila hari-hari suci seperti
Purnama, Tilem, Galungan, Kuningan dan sejenisnya.
Kehadiran pura ini, nyatanya tidak sebatas hanya mengangkat
nama Senduro, Lumajang dan sekitarnya menjadi tambah tenar
di kalangan penganut Hindu di seluruh Indonesia. Lebih dari
sekadar tenar, kehadiran Pura Mandara Giri Semeru Agung
begitu nyata juga mampu memutar roda perekonomian masyarakat
di sekitarnya. Di sini vibrasi atau getaran kesucian religius
dan spiritualitas betapa nyata membuahkan peluang ekonomi
bagi masyarakat sekitarnya, sekaligus menciptakan kerukunan
antarsesama manusia.
Memuja Hyang Siwa Pasupati
PEMILIHAN lokasi pura di lambung Gunung Sumeru tidaklah
sembarangan. Ada konsep kuat melatarinya, dan ini sangat
terkait dengan sumber-sumber susastra-agama yang ada. Antara
lain disuratkan, ketika tanah Jawa masih menggang-menggung,
belum stabil, Batara Guru menitahkan para Dewa memenggal
puncak Gunung Mahameru dari tanah Bharatawarsa (India) ke
Jawa. Titah itu dilakonkan para Dewa. Puncak Gunung Mahameru
dipenggal, diterbangkan ke tanah Jawa. Jatuh di sisi barat,
tanah Jawa berguncang. Bagian timur berjungkat, sedangkan
bagian barat justru tenggelam.
Potongan puncak Gunung Mahameru itu pun digotong lagi ke
rah timur. Sepanjang perjalanan dari barat ke bagian timur
tanah Jawa, bagian-bagian puncak Gunung Mahameru itu ada
yang rempak. Bagian-bagian yang rempak itu kelak tumbuh
menjadi enam gunung kecil masing-masing Gunung Katong (Gunung
Lawu, 3.265 m di atas permukaan laut), Gunung Wilis (2.169
m), Gunung Kampud (Gunung Kelud, 1.713 m), Gunung Kawi (2.631
m), Gunung Arjuna (3.339 m), Gunung Kemukus (3.156 m).
Adapun puncak Mahameru itu kemudian menjadi Gunung Sumeru
(3.876 m). Inilah puncak tertinggi Pegunungan Tengger sekarang
-- bahkan menjadi gunung tertinggi seantero Indonesia --
yang membentuk poros dengan Gunung Bromo atau Gunung Brahma.
Sejak itu tanah Jawa menjadi stabil, tak lagi goyang, menggang-menggung.
Di lambung Gunung Semeru itulah sejak tahun 1992 resmi berdiri
megah Pura Mandara Giri Semeru Agung.
Tentu saja panteon pemindahan Gunung Mahameru di tanah
Hindu menjadi Gunung Semeru -- begitu nama otentik yang
tersuratkan, namun orang-orang kini terbiasa menyebut Semeru
-- di tanah Jawa (Nusantara) itu disuratkan jauh sebelum
Pura Mandara Giri Semeru Agung dibangun. Kisah tua itu tersurat
benderang dalam kitab Tantupanggelaran berbahasa Jawa Tengahan,
digubah dalam bentuk prosa. Apa yang menarik dari kisah
pemindahan gunung itu?
Panteon itu jelas menunjukkan persebaran Hindu paham Siwaistis
dari tanah India ke negeri Nusantara yang berpusat di tanah
Jawa. Dalam pandangan Hindu Siwaistis yang berpengaruh besar
di Nusantara, termasuk Bali hingga kini, Dewa tertinggi
adalah Siwa. Dewa Siwa bersemayam di gunung tertinggi. Itu
berarti di puncak Gunung Mahameru (Himalaya) dalam alam
India, atau puncak Gunung Sumeru dalam alam Nusantara. Teks-teks
Purana India yang tergolong kitab Upaweda (penjelasan lebih
lanjut atas Weda) memang menyuratkan Tuhan Yang Mahatunggal
bersemayam di puncak Mahameru -- dikenal pula dengan nama
Gunung Kailasa atau Gunung Himawan, yang bersalju abadi.
Di puncak gunung yang dikenal juga sebagai pusat padma
raya itu Siwa, yang juga dikenal sebagai Parwataraja Dewa,
menurunkan ajaran-ajaran-Nya kepada sakti-Nya, Dewi Parwati,
Dewi Gunung. Ajaran-ajaran itu biasanya disuratkan dalam
bentuk tanya jawab antara Hyang Siwa dengan Dewi Parwati,
kemudian dicatat dalam berbagai Yamala, Damara, Siwasutra,
maupun kitab Tantra. Lebih lanjut, kitab-kitab yang menguraikan
perihal ajaran yoga memberikan tuntunan sangat benderang
bahwa bagi seorang sadhaka, dia yang teguh kukuh dan penuh
disiplin menjadikan dirinya sebagai sarana dasar pelaksanaan
yoga, puncak gunung itu ada di sahasrara padma, yakni di
puncak ubun-ubun kepala manusia. Dengan begitu, puncak gunung
tiada ubahnya dengan kepala manusia, tempat yang sangat
penting sekaligus sangat patut dijaga kesuciannya.
Menghormati Gunung
Paham Siwaistis memang memberi posisi serta penghormatan
penting dan tinggi terhadap gunung. Di mana daratan tertinggi
dalam suatu kawasan atau wilayah, di sanalah dipandang sebagai
pusat buana (madyanikang bhuwana) sekaligus hulu bagi kawasan
atau wilayah sekitar. Di sana pula Tuhan sebagai Siwa Yang
Mahasuci distanakan, lalu dipuja. Tak heran bila tempat-tempat
suci untuk lingkup luas, umum (kahyangan jagat), lantas
didirikan di gunung, entah di puncak, di lambung atau di
kaki gunung, karena di sanalah dinilai secara spiritual
sebagai kawasan tersuci.
Bila bukan di gunung maka pura akan diorientasikan ke arah
gunung. Bentuk pemujaan (palinggih) pun mengerucut ke atas,
menyerupai gunung, entah berupa candi seperti di Jawa, entah
berwujud padmasana, atau pun meru layaknya di Bali. Atau
bahkan berupa lingga, batu berdiri. Dari pemahaman inilah
lantas gunung disebut pula sebagai lingga acala, lingga
yang tidak bergerak sekaligus juga berarti lingga yang tidak
diciptakan manusia. Dalam bahasa Jawa Kuna, acala memang
juga diartikan gunung, karang. Hindu memang mengajarkan
manusia untuk senantiasa berorientasi atau menjadikan yang
Abadi, tidak bergerak, itu sebagai tujuan. Karena itu, selain
pada gunung, Hindu juga mengagungkan matahari sebagai mahasumber
energi hidup yang abadi.
Dengan dasar pandangan berwawasan kemestaan demikian maka
sangat tepatlah bila di Gunung Semeru dibangun pura, sebagai
tempat umat Hindu se-Indonesia memuja Hyang Siwa Pasupati.
Puncak Gunung Semeru lantas menjadi Gunung Agung (yang sama
artinya dengan Mahameru, kini berketinggian 3,142 m) tempat
berstana Hyang Putranjaya atau Mahadewa, bagiannya yang
tercecer menjadi Gunung Batur (1.717 m) stana Dewi Danuh
(Wisnu), dan Gunung Lempuyang sebagai stana Hyang Gnijaya
(Iswara). Sejak itu jagat Bali disuratkan stabil kembali,
dan ketiga gunung ini pun mendapat kedudukan penting, selain
Gunung Watukaru (2,276 m), Pucak Mangu, Penulisan (1.475
m), Andakasa, bukit karang Uluwatu, dan Goa Lawah. Dari
semuanya ini, Gunung Agung-lah dinilai sebagai pusat di
Bali, karena tertinggi di Pulau Dewata. Karena itu pula,
maka hingga kini bila di Pura Agung Besakih -- begitu juga
pura-pura Sad Kahyangan lain di Bali -- ada upacara besar
(karya agung) tetap mesti nuur tirta ke Semeru. Sebaliknya
kini bila di Pura Semeru ada upacara, maka terlebih dahulu
juga disertai dengan matur piuning ke Pura Sad Kahyangan
di Bali, termasuk ke Gunung Rinjani (Lombok, 3.726 m).
Dari gunung yang lebat ditumbuhi pepohonanlah air mengalir
menyuburkan tanah, bumi. Sebelumnya, air pegunungan ditampung
danau, lalu mengalir lewat sungai-sungai. Setelah dimanfaatkan
untuk berbagai kepentingan memenuhi hidup manusia, air lantas
dialirkan lagi ke laut. Panas matahari menguapkan air laut,
menjadi mendung, dan mendung turun, menjadi hujan, kembali
diserap gunung dengan pepohonannya, ditampung danau, melesak
ke tanah, menyembul menjadi mata air, mengalir dan terus
mengalir. Begitu seterusnya, berputar dan berputar, tiada
henti.
Itu alasan gunung dalam kosmologi Hindu diposisikan sebagai
hulu, danau di tengah, dan laut di hilir. Ketiganya membentuk
alur siklus kesemestaan. Dari gunung sebagai hulu itulah
kerahayuan mengalir bagi segenap makhluk. Manakala di tempat
suci di gunung, seperti di Pura Besakih, di lambung Gunung
Agung, maupun di Pura Mandara Giri Semeru Agung, di lambung
Gunung Semeru, digelar upacara tawur, misalnya, maka itu
akan dialirkan ke dataran di hilir atau di bagian bawah
dataran tinggi itu lewat sungai-sungai, masuk sawah, tegalan,
parit-parit, dan seterusnya. Dengan begitu pemilihan gunung
tertinggi sebagai pusat buana memang didasarkan wawasan
yang luas, mendalam, tidak saja secara spiritual, tetapi
juga secara kosmologis, geografis, sosiologis, dengan kesadaran
ekologis yang kuat.
|