Pura ini terletak di puncak bukit Bisbis, termasuk wilayah
kecamatan Abang, Kabupaten Daerah Tingkat II Karangasem, sebagai
tempat suci untuk memuliakan dan memuja Ida Sanghyang Widhi
Wasa dalam perwujudannya sebagai Icwara. Pura ini berstatus
sebagai salah satu “Sad Kahyangan Jagad” sehingga
dengan demikian jelas bahwa pura ini merupakan penyungsungan
jagat yg terletak pada arah timur pulau Bali. Dengan demikian
dilihat dari segi letak, dapat dijelaskan bahwa fungsi dari
pura ini sebagai perlambang untuk menjaga keseimbangan alam
semesta.
Berdirinya Pura Lempuyang Luhur ini tidak dapat dipisahkan
dengan peristiwa turunnya “Bhatara Tiga” pada
zaman dahulu dari gunung Semeru di Bali dan kejadian-kejadian
sesudah peristiwa tersebut. Dari sekian banyak sumber ,
ada baiknya dikutip tiga buah diantaranya, yaitu
1. Babad Pasek
Di Dalam Babad Pasek ini antara lain diuraikan demikian:
Malawas lawas ayusa ikang rat 70 tahun, dina, Ka, Su,
Tolu, sasih Kalima, tang ping 5, rah panenggek 1, tandwa
hana riris deres, ketug dahat banter, lindu 2 sasih tahun
icaka 113, malih makepelug hyanghing tolankir, mijil Bhatara
Putrajaya tumut arin Ida Bhatari Dewi Danuh, tumurun maring
Besakih, abhiseka Bhatara Mahadewa, arine Bhatari Dewi Danuh,
aparhyangan maring hulun danu, mwah Bhatara Gnijaya aparhyangan
maring giri Lempuyang duking lumampah Bhatara Tiga tinuduh
de Bhatara Pacupati: “Kita Mahadewa mwang Danuh, Gnijaya,
agelah ta kita ku kinon samangke, tumedun wontening Balirajya,
didine tistis kang Balipulina, kita maka panghuluning Bali”,
mangkana andika Bhatara Pacupati, neher matilar Bhatara
Tiga, anging hana atur ira :”Singgih Hyang Bhatara
dening nanak Rahadyan Bhatara kari rare, durung weruh maring
wratmika”, mangkana atur Bhatara Tiga. Sumahar Bhatara
Pacupati, ling ira: ”Aja walat hati hulun lugraha
maka awantha, apan kita anang manira, puja den ira agya
siniwi maring Bali”, ri wus samangkana, raris sinaput
bhatara tiga, olih toktoking nyuh gading de Bhatara Pacupati,
wus sinaputan, winasta olih Bhatara, awtning takya ajnanan,
wus mangkana lumaku Bhatara Tiga, raris dteng arnawan awan
ira, mangkana pawijilan bhatara nguni…..dan seterusnya
Artinya kurang lebih seperti berikut: Lama kelamaan berumur
dunia ini 70 tahun, pada hari Sukra Keliwon, wara Tolu,
sasih Kalima (sekitar bulan November) tanggal ping 5, rah
panenggek 1, lalu turun hujan lebat, halilintar sambung
menyambung, gempa bumi, selama 2 bulan, tahun icaka 113
(tahun 191 M), lagi meletus gunung Agung tersebut. Keluar
Bhatara Putrajaya, ikut adik beliau Bhatari Dewi Danuh,
tiba di Besakih, dengan bergelar Bhatara Mahadewa, adiknya
Bhatari Dewi Danuh, berparhyangan di Hulun Danu sedang Bhatara
Gnijaya berparhyangan d gunung Lempuyang. Tatkala berangkat
Bhatara Tiga di perintahkan oleh Bhatara Pacupati: “Kamu
Mahadewa dan Danuh, Gnijaya segera kamu kuperintahkan sekarang
juga, datang di pulau Bali, supaya menjadi stabil pulau
Bali, kamu sebagai pimpinan bali:, demikian bersabda Bhatara
Pacupati, lalu berangkat Bhatara Tiga, akan tetapi ada atur
beliau : “Ya Hyang Bhatara oleh karena putera Rahadyan
Bhatara masih anak-anak, belum mengetahui pada jalan”,
demikian atur Bhatara Tiga. Dijawab oleh Bhatara Pacupati,
sabda beliau: ”Jangan susah hati akan kuberikan petunjuk
jalan, sebab kamu anakku, junjunglah (terimalah) olehmu
untuk dimuliakan di Bali:, sesudah demikian lalu dibungkus
Bhatara Tiga, dengan kepala gading oleh Bhatara Pacupati,
setelah dibungkus, digaibkan oleh Bhatara, dengan kekuatan
bathin, dan sesudah apa berangkat Bhatara Tiga, lalu sampai
perjalanan beliau, dengan demikian tibanya Bhatara dahulu……dan
seterusnya.
2. Lontar Kutarakanda Dewapurana Bangsul
Didalam lontar Kutarakanda Dewapurana Bangsulada disinggung
mengenai Lempuyang, yang antara lain disebutkan sebagai
berikut : Na wuwus Sanghyang Paramecwara ri tanayan
ira para watek Dewata samudaya, muka mukya sira Sanghyang
Gnijayacakti, ling ira :”Aum ranak mami ri kita makabehan,
adon sira turuna mareng banwa ing Bangsul, kumemit kang
Bangsuri, maneher kita Dewata luminggeng haan rumaksa kang
rat, wenang pinilih ikang gunung maka stanata sowing-sowang,
ginawe Kahyangan, wuwus hana gunung-gunung saider ing banwa
Bangsul, piniyoghaken mami ing dangu, mwang ginawan mami
sangke Jambhudwipa nguni, mami nenah aken maring Bangsul,
Sanghyang Mahameru pangaranya dak mami pukah madyanya atut
pucaknya, dak sun waweng Bangsul, sapraptan irang Bangsul
maha kweh pukahnya, arimbag abungkul agung alit manuli tiba
ring bhumi, saha ungguhanya matemahan geger-geger, mwang
pagunungan, werdhi maring Bangsul, an mangkana anakku Dewata
kita kabeh, hana katemu denta gunung Agung, tinengeran giri
raja, maring Airsanya, ya ta gunung mas mapucak manik, adasar
ratna kopala winten, akrikilmirah, apasir podhi, ya tika
agran ira Hyang Mahameru gnuni, ingsun, ingsun, ginawa mareng
bangsul, sun parah tiganen, kang sabagi dadi gunung Batur,
maka dadi daour candi Hyang Agni siring pratiwi tala, ikang
sabagi isornya, sundadya akna gunung Rinjani, ikang pucuk
dadi ira dadi Hyang Tolangkir, ngaran gunung sasor nikang
gunung Agung ika lwirnya, saka purwa amilangi, kawruh akna
pangaranya, gunung Tasahi, kulonya gunung Pangelengan, kulonya
gunung Mangu, kulonya gunung Cilanjana, kulonya gunung Beratan,
kulonya gunung Watukaru, kulonya mwah pagunungan Nagaloka,
kulonya mwah, nga, gunung Pulaki, mangidul Wetan sakeng
rika hana gunung Pucaksangkur, Bukit Rangda, tratebang,
Mangetanya mwah hana Padangdawa, mwah ikang pasisi Kidul,
hana gunung Andakasa mwang Huluwatu, terus mangetana maring
ghneya desan ira hana gunung Byaha, mwang Byasmuntig, ikang
maring Purwa hana gunung Lempuyang, mangalora saka rika
hana gunung Sraya, samangkana pasama dayaning acala sumimpa
maring bangsul, ndan makweh kari geger kang maring madya,
tan ucapa akna. Ika ta kabeh wenang maka ungguhaning dharma
kahyangan para Dewata kita makabehan.
Artinya kurang lebih demikian: Demikian sabda Sanghyang
Paramecwara kepada puteranya para dewata sekalian, terutama
sekali Sanghyang Gnijaya cakti, sabda beliau “Wahai
anakku kamu sekalian, kamu kusuruh datang di daerah Bali,
menjaga pulau bali, lalu kamu menjadi Dewata selaku penguasa
di sana, boleh memilih gunung sebagai tempat tinggalmu masing-masing,
membuat kahyangan, sudah ada gunung-gunung diseluruh daerah
Bali, yang adanya itu berkat yoghaku dahulu, dan aku bawa
dari India dahulu, aku tempatkan di daerah Bali, Sanghyang
Mahameru namanya yang aku potong pertengahan termasuk puncaknya,
dan aku bawa ke Bali, setibanya di Bali banyak bagian-bagiannya,
menjadi pecahan besar kecil kemudian ditempatkan di daratan,
serta letaknya menjadi gundukan, dan pegunungan, selamat
di Bali, demikianlah anakku engkau dewata sekalian, kamu
akan jumpai gunung Agung, sebagai tanda gunung besar, di
sebelah timur laut, itu lah gunung mas yang berpuncak manik,
berdasar ratna winten, berbatu mirah,berpasir padi, itulah
puncaknya gunung Hyang Mahameru dahulu, aku, aku bawa gunung
Batur, sebagai dapur candi Hyang Agni yang ada di bawahnya,
yang sebagian di bawahnya, aku jadikan gunung Rinjani, sedang
pundaknya menjadi Hyang Tolangkir, bernama gunung Agung,
puncaknya menjadi pegunungan dan gundukan, dibawah gunung
Agung itu seperti, dari Timur menghitunganya, akan diketahui
namanya, yaitu gunung Tasahi, di baratnya gunung Pangelengan,
dibaratnya gunung Mangu, di baratnya gunung Cilanjana, di
baratnya gunung Beratan, di baratnya gunung Batukaru, di
baratnya lagi gunung Pulaki, ke tenggara dari sana terdapat
gunung Puncaksungkur, bukit Rangda, Trate bang, kesebelah
timur lagi ada Padangdawa, sedang di pantai selatan, ada
gunung Andakasa dan Huluwatu, terus ke timur di sebelah
tenggara tempatnya ada gunung Byaha dan Byasmunting, yang
di sebelah timur ada gunung Lempuyang, ke sebelah utara
dari sana ada gunung Sraya, demikianlah semuanya yang mengelilingi
pulau Bali, dan masih banyak gundukan yang di tengah, yang
tidak disebutkan. Itu semua boleh sebagai tempat tinggal
membuat Kahyangan para dewata kamu kalian.
3. Prasasti Desa Sading
Di dalam prasasti desa Sading antara lain disebutkan bahwa
gunung Lempuyang juga disebut “Andri Karang”
yang bermakna gunung Karang, dan disana Raja Jayacakti melakukan
Samadhi yang akhirnya dalam sejarah perjalannya lebih dikenal
dengan sebutan “Karangasem”. Mengenai gunung
Lempuyang ini juga erat kaitannya dengan datangnya Raja
Jayacakti di Bali, yang dikisahkan sebagai berikut: Pada
sekitar tahun icaka 1072 (tahun 1150 M) pada sasih Kasanga,
tanggal ping 12, bertepatan dengan bulan separoh terang,
wara Julungpujut, Cri Maharaja Jayacakti menyelenggarakan
rapat dengan para pimpinan perang utama Rakryan Apatih dan
dibawah Rakryan, pada suatu rapat besar, raja berkehendak
pergi ke pulau Bali bersama degnan permaisurinya, dan beliau
berkeinginan beristana di “Ardri Karang”. Beliau
dating ke bali ikut karena ada perintah dari ayah beliau
yaitu Sanghyang Guru, dengan tujuan untuk membuat dharma
disana di gunung Lempuyang sebagai penyelamat pulau bali,
disertai oleh segenap Pandita Ciwa dan Budha, dan Uga Mantri
Agung ikut. Disanalah Raja Cri Jayacakti dijadikan raja
oleh masyarakat. Tidak senanglah beliau dijadikan raja,
oleh karena beliau bertingkah laku baik dan tidak digoyahkan
oleh pikiran tamak, loba, ataupun pikiran pamerih didalam
masyarakat, segenap abdinya sangant menghormati, sebab beliau
raja yg berhasil dan sempurna dalam disiplin bathinnya.
Adapun selaku abdinya jumlahnya tidak terhitung banyaknya,
dan mantrinya saja yang menghitung, mengatur yaitu berjumlah
400 orang termasuk pasukan dari Jawa. Beliau juga disebut
Maharaja Bima ialah Cri Bayu atau Cri Jaya atau Cri Gnijayacakti.
Selanjutnya disebutkan sebagai berikut.
Dari ketiga buah sumber tersebut dapat diketahui, bahwa
sebagai awal berdirinya Pura Lempuyang Luhur ini erat kaitannya
dengan tibanya Bhatara Tiga di bali, dimana antara lain
disebutkan bahwa Bhatara Tiga tiba di di Bali pada hari
Jumat Kliwon, wara Tolu, bertepatan dengan sasih (bulan)
Kalima pada tahun icaka 113 (sekitar November 191). Sebagaimana
sudah disebutkan terdahulu bahwa diantara Bhatara Tiga itu
Bhatara Gnijaya berparhyangan di gunung Lempuyang (bukit
bisbis). Bhatara Tiga tiba di Bali dari gunung Semeru (Jawa
Timur) atas perintah Bhatara Pacupati, untuk dijadikan junjungan
pulau Bali. Sedang peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian
seperti tibanya Raja Cri Jayacakti yang kemudian bersemedhi
disana adalah merupakan kelanjutan dan kelengkapan semata-mata.
Di Pura Lempuyang Luhur ini terdapat suatu yang menarik
dan merupakan keistimewaan dan bersifat khusus ialah dengan
terdapatnya serumpun bambu “Buluh Gading”. Di
dalam ruas-ruas bambu ini akan didapat “tirta”
(air suci) yang lazim disebut “Tirta Pingit”,
karena tidak setiap orang yang dating sembahyang kesana
akan memperolehnya, melainjkan hanya suatu kelompok keturunan
saja yang mendapatkan tirta tersebut, sedang dari warga
lainnya tidak mungkin.
Pangempon Pura Lempuyang Luhur ialah seluruh kerama desa
Puraayu, adapun susunan, jumlah dan nama palinggih (bangunan
suci) yang terdapat di Pura Lempuyang Luhur adalah sebagai
berikut:
- Sebuah Padmasana yang terletak pada bagian Utara menghadap
ke Selatan sebagai parhyangan Bhatara Luhuring Akasa
- Dua buah palinggih berbentuk seperti padmasana yang
pondasinya menjadi satu terletak pada bagian Timur menghadap
ke Barat. Yang sebelah utara sebagai Parhyangan Hyang
Gnijaya dan yang di sebelah Selatan sebagai Parhyangan
para putera beliau.
- Sebuah Bale Pawedhan atau Phyasan sebagai tempat meletakkan
sajen dan sekaligus sebagai Bale Pawedhan (tempat memuja).
- Sebuah bangunan Gedong Pasimpenan, sebagai tempat menyimpan
alat-alat upacara.
Palinggih yang terdapat di Pura Lempuyang Luhur, lazim
juga disebut Kahyangan “Tri Purusa” yaitu Ciwa,
Sadha Ciwa, dan Parama Ciwa sebagai perwujudan Ida Sanghyang
Widhi Wasa.
Upacara aci atau pujawali di Pura Lempuyang Luhur ada dua
jenis yaitu setiap enam bulan Bali (210 hari) bertepatan
dengan hari Kamis Umanis, wara Dungulan (Umanis Galungan)
dan pada setiap Purnamaning Wesaka (Purnama sasih kadasa).
Pemangku dari Pura Lempuyng Luhur ini selalu dijabat oleh
satu keturunan secara tradisional menurut garis purusa (patrilinial),
sedang mengenai “pengangge” yang dipergunakan
di Pura Lempuyang Luhur ini selalu berwarna putih dan kuning.
Bilamana aka diselenggarakan upacara aci atau piodalan seluruh
bahan-bahan ramuan disediakan oleh para “Truna”
(pemuda), sedangkan yang mengerjakannya adalah para “
“Daha” (krandan) ialah para wanita remaja. Ini
dimaksudkan agar, semuannya bersifat suci, karena rohaniah,
walaupun kadang-kadang hal ini belum dapat sebagai jaminan
mengenai kesucian tersebut. |
Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga
pura besar yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu
Batur, yakni Pura Lempuyang. Pura Lempuyang Luhur terletak
di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, Karangasem.
Pura ini diduga termasuk paling tua di Bali. Bahkan, diperkirakan
sudah ada pada zaman pra-Hindu-Buddha yang semula bangunan
suci yang terbuat dari batu. Pura Lempuyang itu merupakan
stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Bagaimana cikal bakal berdirinya Pura Lempuyang?
Ada sebuah informasi berdasarkan pemotretan dari angkasa
luar, di ujung timur Pulau Bali muncul sinar yang amat terang.
Paling terang dibandingkan bagian lainnya. Namun tak diketahui
pasti dari kawasan mana sinar itu, tetapi diduga dari Gunung
Lempuyang. Soal arti dari Lempuyang, ada berbagai versi.
Dalam buku terbitan Dinas Kebudayaan Bali (1998) berjudul
”Lempuyang Luhur” disebutkan, lempuyang berasal
dari kata ”lampu” artinya sinar dan ”hyang”
untuk menyebut Tuhan, seperti Hyang Widhi. Dari kata itu
lempuyang atau lampuyang diartikan sinar suci Tuhan yang
terang-benderang (mencorong/ menyorot). Pura Lempuyang itu
merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Versi lain menilik ”lempuyang” sebagai sebuah
kata yang berdiri sendiri. Di Jawa lempuyang itu menunjuk
sejenis tanaman untuk bumbu. Hal itu juga dikaitkan ada
banjar di sekitar Lempuyang bernama Bangle dan Gamongan,
keduanya juga tanaman sejenis yang bisa dipakai obat atau
bumbu. Versi lain juga menyebut dari kata ”empu”
atau ”emong” yang diartikan menjaga. Batara
Hyang Pasupati mengutus tiga putra-putrinya turun untuk
mengemong guna menjaga kestabilan Bali dari berbagai gunjangan
bencana alam. Ketiga putra-putri itu yakni Bathara Hyang
Putra Jaya berstana di Tohlangkir (Gunung) Agung dengan
parahyangan di Pura Besakih, Batari Dewi Danuh berstana
di Pura Ulun Danu Batur dan Batara Hyang Gni Jaya di Gunung
Lempuyang.
Namun, apa pun versi dari lempuyang itu, Pura Lempuyang
sendiri memiliki status yang sangat besar, sama seperti
Besakih. Baik dalam konsep padma buwana, catur loka pala
atau pun dewata nawa sanga. Dalam berbagai sumber lontar
atau prasasti kuno, ada tiga pura besar yang sering disebut
selain Besakih dan Ulun Danu Batur yakni Lempuyang.
Pura Lempuyang Luhur yang terletak sangat tinggi di puncak
Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang itu, diduga termasuk
pura paling tua di Bali. Bahkan, diperkirakan sudah ada
pada zaman pra-Hindu-Buddha yang semula bangunan suci yang
terbuat dari batu. Pada sekitar tahun 1950 di tempat didirikannya
Pura Lempuyang Luhur kini, baru ada tumpukan batu dan sanggar
agung yang dibuat dari pohon. Di bagian timur berdiri sebuah
pohon sidhakarya besar yang kini sudah tak ada diduga tumbang
atau mati. Barulah pada 1960 dibangun dua padma kembar,
sebuah padma tunggal bale piyasan. Kini, pemugaran dan pemugaran
pura kian meningkat.
Mengutip sejumlah sumber kuno, Jero Mangku Gede Wangi —
pemangku di pura itu — mengatakan orang Bali apa pun
wangsanya tak boleh melupakan pura ini. Paling tidak sekali
waktu menyempatkan diri tangkil sembahyang ke pura ini.
Sebab, jika tidak pernah atau lupa memuja Tuhan yang manifestasinya
berstana di pura ini, selama hidup bisa tak pernah menemukan
kebahagiaan, kerap cekcok dengan keluarga atau masyarakat
dan bahkan pendek umur.
Kewajiban masyarakat Bali untuk memuja Batara Hyang Gni
Jaya di Lempuyang Luhur disebutkan dalam bhisama Hyang Gni
Jaya yang tertulis dalam lontar Brahmanda Purana sebagai
berikut: ”Wastu kita wong Bali, yan kita lali ring
kahyangan, tan bakti kita ngedasa temuang sapisan, ring
kahyangan ira Hyang Agni Jaya, moga-moga kita tan dadi jadma,
wastu kita ping tiga kena saupa drawa.”
Jero Mangku Gede Wangi mengatakan, untuk memulai belajar
ilmu pengetahuan, apalagi ilmu keagamaan Hindu, sangat baik
jika dimulai dengan mohon restu di Pura Lempuyang Luhur.
Selain itu, banyak pejabat suka bertirtayatra ke pura ini.
Jero Mangku Gede Wangi menyampaikan, di Pura Lempuyang
Luhur terdapat tirta pingit di pohon bambu yang tumbuh di
areal Pura Luhur. Saat umat nunas tirta, pemangku pura usai
ngaturang panguning akan memotong sebuah pohon bambu. Air
suci/tirta dari pohon bambu itu di-pundut untuk muput berbagai
upacara, kecuali manusa yadnya. ”Siapa pun tak boleh
berbuat buruk seperti campah di pura, jika tak ingin kena
marabahaya,” ujar Jero Mangku.
Pengayah
Saat pujawali tak terlalu besar pengayah. Biasanya dari
Desa Pakraman Purwayu saja. Namun, jika pujawali besar seperti
Batara Turun Kabeh dan Batara Masucian ke Segara, pengayah
turun dari enam desa pakraman di sekitarnya, seperti Purwayu,
Segeha, Basangalas, Ngis, Tista dan Gulinten.
Pada pujawali, pengayah ngamedalang Ida Batara dari pasimpenan
di dekat areal parkir pertama. Ida Batara kapundut teruna
(pemuda) dan krandan (remaja putri). Sebelum ngayah, mereka
mesti mabyakawon (mensucikan diri) di areal Pura Pesimpenan.
Ida Batara kairing ke bale piasan Pura Penataran untuk mahias,
lalu masucian ke Pura Telaga Mas, kairing munggah ke Pasar
Agung dan masandekan sebentar. Berikutnya, barulah kairing
ke Luhur dan kalinggihang, kaaturan panyejer tiga hari.
Pujawali tiap enam bulan yakni puncaknya pada Wraspati Umanis
Dunggulan. * gde budana
Langgar Pantangan, Bisa ”Sengkala”
ADA sejumlah pantangan yang jika dilanggar bisa berakibat
buruk. Saat naik ke Lempuyang Luhur, kata Jero Mangku Gede
Wangi, sejak awal pikiran, perkataan dan perbuatan harus
disucikan. Tak boleh berkata kasar saat perjalanan.
Selain itu, orang cuntaka, wanita haid, menyusuai, anak
yang belum tanggal gigi susu sebaiknya jangan dulu masuk
pura atau bersembahyang ke pura setempat. Jero Mangku mengatakan,
pernah ada rombongan orang sembahyang naik Isuzu dari Negara.
Rupanya, sebelum ke Lempuyang rombongan itu melayat orang
meninggal lebih dahulu. Mobil rombongan itu pun jatuh terperosok
karena tak bisa naik di tanjakan sebelah atas rumah Mangku
Pasek. ”Saya dengar salah seorang rombongan sudah
mencegah agar jangan langsung ke Pura Lempuyang, tetapi
saran itu tak gubris,” ujar Jero Mangku.
Selain sejumlah larangan itu, juga umat yang hendak ke
Lempuyang Luhur juga tidak diperkenankan membawa perhiasan
emas. Soalnya, umat yang menggunakan perhiasan emas, perhiasan
itu kerap hilang misterius. ”Membawa atau makan daging
babi saat ke Lempuyang Luhur juga sebaiknya tak dilakukan,
karena daging babi itu terbilang cemer. Pantangan ke Pura
Lempuyang, hampir sama dengan ke Pura Luhur Batukaru,”
kata lulusan APGAH ini.
Jero Mangku mengatakan, masyarakat dan umat yang naik ke
Gunung Lempuyang diharapkan tak berbuat buruk, seperti mengambil
tanaman, melakukan corat-coret di jalan atau di pura. ”Sampah
terutama sampah plastik hendaknya dibawa atau dibuang di
tong sampah yang tersedia. Berbakti kepada Tuhan bukan cuma
lewat sembahyang, tetapi juga dengan jalan karma marga seperti
menjaga kebersihan lingkungan alam atau pura,” katanya.
Jero Mangku mengatakan, belum pernah ada orang yang menghitung
pasti berapa sebenarnya jumlah tangga naik ke Pura Luhur
yang berketinggian lebih dari 1.174 meter. Ada yang mengatakan
1.750 tangga, ada juga yang mengatakan 1.800.
Sementara itu, dosen STKIP Agama Hindu Amlapura Drs. IP
Arnawa, S.Ag. M.Si. mengatakan, cuma bersembahyang –insidental
— ke Pura Lempuyang Luhur disebutkan tak harus melakukan
pelukatan saat masuk pura. Soalnya, selain ke Lempuyang
Luhur umat bisa melukat di pesucian Telaga Mas, saat naik
menuju Pura Luhur yang tinggi berbagai kotoran tubuh juga
berangsur disucikan. Soalnya, ribuan kali menghela napas
seperti saat pranayama, keringat keluar. ”Sembahyang
sampai ke Pura Lempuyang Luhur merupakan pendakian spiritual.
Umat yang benar-benar niatnya kuat dilandasi Tri Kaya Parisudha
yang mampu dengan mudah mampu mencapai Pura Luhur. Jika
ragu-ragu atau tak tulus bisa terjadi halangan, seperti
kepayahan bahkan terjatuh di jalan,” ujar Arnawa.
Empat Jalur
Sesungguhnya ada empat jalur/rute untuk mencapai Pura Lempuyang
Luhur. Berdasarkan buku yang disusun Dinas Kebudayaan Bali
(1998), bisa lewat Desa Purwayu. Dari rute ini bisa melewati
Pura Penyimpenan, Penataran Agung, Telaga Mas, Pasar Agung
barulah ke Lempuyang Luhur.
Dari jalur melewati Banjar Gamongan, melewati Pura Lempuyang
Madya, terus naik ke Pura Telaga Sawang dan Pura Pasar Agung.
Sementara dari Banjar Batu Gunung, Desa Bukit melewati Pura
Angrekasari, melewati lokasi Tirta Suniamerta, Tirta Jagasatru,
Tirta Manik Ambengan, Pura Penataran Silawana Hyangsari,
Tirta Sudamala, Tirta Empul, Pura Windusari, Pura Pasar
Agung (panyawangan) terus ke Lempuyang Luhur. Jalur terakhir
melewati Banjar Jumenang, melewati Pura Penataran Kenusut,
Pura Pasar Agung (penyawangan) dan naik ke Lempuyang Luhur. |