Berikut ini kutipan dari buku: Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, Cudamani, Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta 1990.: Intisari Upanisad: Sorga dan Neraka bukan suatu tempat dan bukan pula suatu bentuk yang pasti melainkan suatu "state of mind" yaitu keadaan pikiran bahagia atau menderita. Kalau pikiran dalam keadaan senang dan bahagia maka itulah sorga sebaliknya bila pikiran sedih dan menderita itulah neraka. Ukuran senang dan menderita adalah relatip, misalnya ketika hidup pikiran ingin berbuat amoral kemudian tercapai maka manusia puas dan senang; apakah ini juga dinamakan sorga? Mungkin dari sini ada istilah pelesetan "sorga duniawi". Sebaliknya ada orang yang ingin menegakkan dharma kemudian ia mendapat tantangan bahkan cemohan sehingga ia sedih, apakah ini juga dikatakan neraka?. Pikiran ada semasa manusia hidup maupun sesudah mati. Roh manusia semasa hidup dibungkus oleh pikiran (sukma sarira) dan tubuh (stula sarira). Pikiran membuat tubuh beraktivitas dan hasil aktivitas itu mempengaruhi roh. Pada manusia yang mati stula sarira hancur (karena ditanam maupun di bakar) namun sukma sarira tidak. Roh yang dibungkus pikiran lepas bagaikan udara yang dibungkus kembungan. Begitulah keadaannya, misalnya bila semasa hidup pikiran senang berbuat amoral dapat dengan mudah menggerakkan tubuh berbuat amoral sehingga memuaskan pikiran, maka ketika sudah mati pikiran inipun ingin tetap berbuat amoral tetapi tidak ada tubuh yang bisa diperintah beraktivitas maka dalam keadaan demikian pikiran menderita; itulah yang disebut neraka. Roh yang tiada lain adalah atman selalu berusaha menyatu dengan Brahman (Hyang Widhi) yang suci. Penyatuan ini bisa terjadi bila roh terlepas dari ikatan pikiran keduniawian. Bila hal itu terjadi (ibarat udara dalam kembungan yang menyatu dengan udara bebas) yang disebut sebagai "amoring acintya" atau MOKSA, tercapailah sorga. Dialam sorga tiada lagi kesusahan, sehingga disebut "sukha tanpawali duhkha" Sebaliknya bila roh masih dibungkus kuat oleh pikiran keduniawian atau disebut sebagai masih terikat (belum bebas) maka penyatuan atman dengan brahman tidak terjadi. Dalam keadaan ini atman akan menjelma kembali (reinkarnasi) berulang-ulang.
Selanjutnya pengertian Moksa menurut Radhakrishnan: Moksa literally means release, from bondage to the sensuous and the individual, the narrow and the finite. It is the result of selfenlargement and freedom. Jadi moksa adalah kelepasan dari ikatan panca indra, pikiran, dan kepicikan. Moksa merupakan pahala dari kebesaran jiwa dan kebebasan. Tentang moksa atau manunggalnya atman dengan Brahman menurut kitab-kitab Upanisad dapat dicapai dalam kehidupan ataupun setelah meninggal dunia. Moksa yang dicapai semasa hidup dinamakan Jivam Mukta sedangkan moksa yang dicapai setelah meninggal disebut Videha Mukta. Manusia yang sudah mencapai Jivam Mukta bila meninggal dunia pasti mencapai Videha Mukta. Hal ini lebih tegas disebutkan dalam Mundaka Upanisad III.2.6: Vedanta vignanasu niscitarthah, samnyasa yogad yatayah sudha sattvah, te Brahmalokesu paranta kale, paramrtah parimucyanti sarve. Artinya: para siswa yang telah menyucikan sifat/pribadinya dengan penuh disiplin melaksa nakan yoga dan yang telah menemukan tempat berlindung dalam Tuhan (Hyang Widhi), yang telah sepenuhnya mempelajari kitab-kitab Vedanta yang melenyapkan kegelapan, mencapai Brahman karena telah melepas seluruh ikatan; dan pada mereka tidak ada kelahiran kembali.
KESIMPULAN: Moksa adalah kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati adalah sorga yang sebenarnya. Moksa dapat dicapai dengan upaya yang tekun melaksanakan catur marga, Saya ingin melanjutkan dharma wacana kemarin, namun bila ada rekan yang sudah mengetahui apa yang akan saya uraikan ini, anggaplah sebagai "nasikin segarane". Bagi rekan-rekan asal Jawa, artinya: menggarami air laut, jadi tidak perlu digarami, air laut itu memang sudah asin. Saya mulai saja .
Sebelum saya menguraikan lebih jauh, ingin saya mengajukan pertanyaan sederhana kepada anda semua. Apakah anda percaya akan adanya Hyang Widhi? Jawabannya pasti: PERCAYA. Kemudian pertanyaan berikutnya timbul sebagai akibat manusia yang terdidik menginginkan jawaban yang rasional. Kenapa anda percaya? Baiklah saya membantu anda dengan membuka-buka berbagai kitab suci antara lain: Manawa Dharmasastra, Sarasamuscaya, Bhuwana Kosa dan Wrhaspati Tattwa. Kita percaya dan yakin akan adanya Hyang Widhi melalui: 1) Agama Pramana: pengetahuan yang diperoleh sebagai hasil mempelajari Weda. 2) Pratiyaksa Pramana: pengetahuan yang diperoleh dari perasaan dan pengalaman langsung dengan jelas dan nyata sebagai hasil melaksanakan meditasi/yoga yang sempurna dan berkelanjutan. 3) Anumana Pramana: pengetahuan yang diperoleh dari menarik kesimpulan berdasarkan logika dari unsur-unsur gerakan, sebab-akibat, keharusan, kesempurnaan dan keteraturan. Misalnya kesimpulan yang didapat dari pengamatan: gerakan bumi mengelilingi matahari (unsur gerak), angin menyebabkan gelombang laut (unsur sebab-akibat), manusia perlu makan dan alam menyediakan makanan (unsur keharusan), manusia mampu bergerak, berbicara, dan berpikir (unsur kesempurnaan), setiap mahluk ada waktunya lahir, hidup dan mati (unsur keteraturan). Anumana Pramana menimbulkan pertanyaan: Apakah yang menyebabkan semua itu? Jawabannya: ada sesuatu kekuatan yang Maha Kuasa. 4) Upamana Pramana: pengetahuan yang diperoleh secara analogi yaitu kesimpulan berdasarkan perbandingan dari unsur-unsur: Metafora (penciptaan: misalnya pertumbuhan biji mangga menjadi pohon), Struktural (bahan penciptaan: misalnya kelahiran bayi dengan struktur yang sempurna phisik dan roh), dan Kausal (akibat dari suatu sebab misalnya karena perputaran bumi mengelilingi matahari terjadilah siang dan malam). Upamana Pramana juga menimbulkan pertanyaan: Apakah yang menyebabkan semua itu? Jawabannya sama: ada sesuatu kekuatan yang Maha Kuasa.
Apabila kita sudah yakin dan percaya adanya kekuatan Yang Maha Kuasa (Hyang Widhi) pertanyaan berikutnya: Maukah kita menuju kepada-Nya?
Kemarin kita bertanya: Apakah kita ingin bertemu atau lebih jelas lagi: merindukan Hyang Widhi? atau ingin selalu dekat kepada-Nya? atau mencintai-Nya? Jawaban yang pasti: YA SAYA MENCINTAI HYANG WIDHI, SAYA INGIN SELALU DIDEKATNYA, BAHKAN KEMUDIAN HARI BILA SAMPAI WAKTUNYA SAYA INGIN BERTEMU DAN MENYATU DENGAN-NYA. Itulah jawaban hati nurani manusia. Bahkan sejahat-jahatnya manusia, sebanyak-banyaknya ia berbuat adharma hati nuraninya ingin dekat kepada Hyang Widhi. Manusia yang rasa cintanya kepada Hyang Widhi dipupuk terus menerus sehingga menggetarkan sukma disebut seorang BHAKTA. Namun bila ditanya lebih jauh: KENAPA MANUSIA MENCINTAI HYANG WIDHI? Saya akan mencoba menjawab pertanyaan ini dengan dasar-dasar penciptaan semesta, kutipan Wrhaspati Tattwa: "Kenyataan tertinggi itu ada dua yaitu CETANA dan ACETANA" Cetana adalah unsur kesadaran dan Acetana adalah unsur ketidak sadaran. Kedua unsur ini bersifat halus dan menjadi sumber segala yang ada. Cetana itu ada tiga jenis yaitu: Paramasiwa (kesadaran tertinggi), Sadasiwa (kesadaran menengah) dan Siwa (kesadaran terendah). Tinggi rendahnya tingkat kesadaran dipengaruhi oleh MAYA. Paramasiwa sebagai kesadaran (cetana) tertinggi sama sekali tidak terpengaruh maya karena itu disebut sebagai Nirguna Brahman. Ia adalah perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi, tanpa aktivitas. Cetana yang mulai tersentuh maya terpengaruh oleh sakti, guna dan swabawa atau hukum ke Maha Kuasaan Hyang Widhi yang memiliki kekuatan untuk memenuhi segala kehendak-Nya. Oleh karena itu Ia aktif dengan segala ciptaan-ciptaannya, Dalam keadaan begini Ia disebut Sadasiwa atau Saguna Brahman. Selanjutnya cetana yang sangat banyak tersentuh maya menjadi Siwa atau Mayasira. Mayasira kemudian terpecah-pecah tak berbilang jumlahnya, berwujud mahluk-mahluk. Mayasira yang ada dalam mahluk dinamakan ATMA. Adanya pengaruh maya dalam atma menyebabkan atma berada dalam lingkaran SORGA - NERAKA - SAMSARA (reinkarnasi) secara berulang-ulang. Atma yang ada di tubuh manusia sangat ingin lepas dari lingkaran samsara, ingin kembali bersatu dengan Paramasiwa. Itulah yang mendorong keinginan manusia dekat/menyatu dengan Hyang Widhi. Bagaimana caranya atau jalan mana yang harus ditempuh menuju Hyang Widhi?
Kemarin ada yang mengusulkan agar dharma wacana saya tentang SORGA, NERAKA dan MOKSA dilanjutkan. Inilah lanjutannya, dengan judul: SATYAM, SIWAM, SUNDARAM. Nanti pada akhir dharma wacana tentang Satyam, Siwam, Sundaram barulah akan tergambar dengan jelas tentang Sorga, Neraka dan Moksa. Selamat mengikuti.
Satyam, Siwam, Sundaram, lanjutan 2: Ada 4 (empat) jalan (Marga) menuju kepada Tuhan (Hyang Widhi) yaitu: Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga dan Yoga (Raja) Marga. BHAKTI MARGA. Bhakti artinya cinta kasih. Kata bhakti digunakan untuk menunjukkan cinta kasih kepada subyek yang lebih tinggi statusnya, atau lebih luas lingkupnya misalnya: orang tua, negara, bangsa, Tuhan (Hyang Widhi). Kata cinta kasih digunakan untuk sesama misalnya tunangan, istri/suami, umat sedharma, umat manusia. Orang yang ber-bhakti kepada Hyang Widhi disebut Bhakta. Dari caranya mewujudkan, bhakti dibagi dua yaitu PARA BHAKTI dan APARA BHAKTI. Para artinya utama; jadi para bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang utama, sedangkan apara bhakti artinya tidak utama; jadi apara bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang tidak utama. Apara bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran rohaninya kurang atau sedang-sedang saja. Para bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran rohaninya tinggi. Ciri-ciri bhakta yang melaksanakan apara bhakti antara lain banyak terlibat dalam ritual (upacara Panca Yadnya) serta menggunakan berbagai simbol (niyasa). Ciri-ciri bhakta yang melaksanakan para bhakti antara lain sedikit terlibat dalam ritual tetapi banyak mempelajari Tattwa Agama dan kuat/berdisiplin dalam melaksanakan ajaran-ajaran Agama sehingga dapat mewujudkan Trikaya Parisudha dengan baik dimana Kayika (perbuatan), Wacika (ucapan) dan Manacika (pikiran) selalu terkendali dan berada pada jalur dharma. Bhakta yang seperti ini banyak melakukan Drwya Yadnya (ber-dana punia), Jnana Yadnya (belajar-mengajar), dan Tapa Yadnya (pengendalian diri). Pilihan menggunakan para atau apara bhakti tergantung dari tingkat inteligensi dan kesadaran rohani masing-masing. Yang ditemukan di masyarakat Hindu Indonesia dewasa ini adalah mix para dan apara bhakti, namun bobotnya berbeda. Umat Hindu di Bali banyak menggunakan apara bhakti, sedangkan umat Hindu diluar Bali banyak menggunakan para bhakti. Kenapa demikian? Apakah itu berarti umat Hindu di Bali inteligensi dan kesadaran rohaninya kurang? Tidak selalu demikian. Ada umat Hindu di Bali yang inteligensi dan kesadaran rohaninya tinggi tetapi dibelenggu oleh tradisi beragama yang monoton dan feodalistis, sehingga menampakkan diri sebagai apara bhakti. Sebaliknya umat Hindu diluar Bali lebih moderat, demokrat, rasional dan reformis, sehingga memudahkan mereka mencapai para bhakti. Mengupayakan umat Hindu di Bali menjadi sebagian besar para bhakta tidaklah semudah membalikkan telapak tangan karena bottle-neck yang menghadang ya itu tadi: tradisi beragama dan feodalisme. Itulah sedikit ulasan kasus tentang para dan apara bhakti. Sekarang kita teruskan tentang BHAKTI MARGA: Bhakti marga sering disebut sebagai jalan menuju Hyang Widhi yang paling mudah karena dapat dilaksanakan oleh setiap orang. Mungkin pendapat ini benar jika yang dimaksud adalah apara bhakti. Jika yang dimaksud adalah para bhakti, justru bhakti marga yang paling sulit dilaksanakan karena para bhakta harus benar-benar mempunyai kesadaran rohani yang tinggi. Untuk mencapai kesadaran rohani yang tinggi setidak-tidaknya sudah menempuh Karma-Jnana dan Yoga Marga dengan baik. Seorang bhakta mempunyai keinginan-keinginan yang kuat yaitu: 1) Ingin dan rindu selalu dekat bahkan bertemu dengan Hyang Widhi sehingga ia rajin bersembahyang, bermeditasi, beryoga. 2) Ingin berkorban yang didasari oleh rasa ikhlas, tulus dan welas asih dengan melepaskan ikatan dan keinginan akan pahalanya. Maka mereka yang para bhakti sering ber-dana punia, menolong sesama tanpa menghitung untung-rugi, sedangkan mereka yang apara bhakti banyak melaksanakan upacara panca yadnya. Bhakti kepada Hyang Widhi melenyapkan rasa takut, marah, benci, dan iri hati.
Bhagawadgita XII.17: Yo na hrishyati na dveshti, Na sochati na kankshati, Bhaktiman ya same priyah. Artinya: Dia yang tiada bersenang dan membenci, tiada berduka dan bernafsu apa, membebaskan diri dari kebathilan dan rasa berbuat kebaikan, penuh dengan kebaktian, dialah yang Ku-kasihi. Maksud dari sloka itu adalah: jika benar-benar kita bhakti kepada Hyang Widhi, janganlah terpengaruh oleh kesenangan karena ketakutan itu timbul bilamana kesenangan terancam. Juga jangan membenci karena kebencian menimbulkan amarah dan irihati atau sebaliknya, amarah, iri hati dan nafsu yang tidak tercapai bisa menimbulkan kebencian. Itulah hal-hal yang menjauhkan rasa kasih sayang kepada semua mahluk ciptaan-Nya. Bila kita cinta dan kasih kepada Hyang Widhi berarti juga kita harus cinta dan kasih kepada semua ciptaan-Nya. Seorang bhakta juga tidak boleh berduka dan kecewa jika ia yakin bahwa apapun yang kita alami di dunia ini semata-mata adalah atas kehendak-Nya. Bebaskanlah dari kebathilan, karena itu bertentangan dengan hakekat bhakti, dan bebaskanlah dari rasa berbuat kebaikan karena itu sudah kewajiban seorang bhakta. Pengampunan akan diberikan oleh Hyang Widhi kepada para Bhakta. Bhagawadgita XII.6,7: Ye tu sarvanni karmani, mayi samnyasya matparah, anayenai va yogena, mam dhyayanta upasale. Tesham aham samuddharta, mrtyu samsara sagarat, bhavani nachirat partha, mayi avesita chetasam. Artinya: Tetapi sesunguhnya mereka yang menumpahkan segala kegiatan hidup mereka kepada-Ku, memikirkan bermeditasi hanya kepada-Ku dengan kebaktian yang terpusatkan, yang pikiran mereka tertuju kepada-Ku, dengan segera dan langsung Aku bebaskan mereka ini dari lautan sengsara hidup lahir dan mati (artinya mencapai MOKSA)
Setelah membahas Bhakti Marga, sekarang kita lanjutkan ke Karma Marga. Karma adalah bekerja, jadi karma marga adalah jalan menuju Hyang Widhi melalui bekerja. BEKERJA ADALAH KEWAJIBAN: Hidup manusia di bumi terbelenggu oleh hukum kerja seperti yang disebutkan dalam Bhagawadgita III.5: Nahi kascity ksanam api jatu tisthaty akarmakrit, karyate hy awasah karma sarwah prakritijair gunaih. Artinya: Walau sesaat jua tidak seorangpun untuk tidak berbuat karena manusia dibuat tidak berdaya oleh hukum alam yang memaksanya bertindak. III.8: Niyatam kuru karma twam karma jyayo hy akarmanah, sarirayatra pi ca te na prasidhyed akarmanah. Artinya: Bekerjalah seperti apa yang telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik dari pada tidak berbuat, dan bahkan tubuhpun tidak akan berhasil dipelihara tanpa bekerja. Tidak ada manusia yang bisa menghindar dari hukum kerja itu bahkan ketika tidurpun tanpa disadari jantung tetap berdetak, darah tetap mengalir, dan nafas terus berhembus. Hyang Widhi - pun setiap detik bekerja tiada henti seperti menggerakkan benda-benda angkasa, menumbuhkan-memelihara-memusnahkan kehidupan mahluk-mahluk, menghembuskan angin, meriakkan gelombang laut dll. Bhagawadgita III.223.24: Yadi hy aham na warteyam, jatu karmany atandritah, mama wartna nuwartante, mansyah partha sawarsah. Utsideyur ime loka, na kuryam karma ced aham, samskarasya ce karta syam upahanyam imah prajah. Artinya: Sebab kalau Aku tidak selalu bekerja tanpa henti-henti, manusia tidak akan mengikuti jalan-Ku itu, dalam segala bidang apapun juga. Dunia ini akan hancur bila Aku tidak bekerja; Aku menjadi pencipta kekacauan, memusnahkan semua manusia. Dengan demikian bila seseorang tidak bekerja dia akan dilindas oleh arus perputaran dunia dan menderita akibatnya. Penderitaan itulah yang menghancurkan hidupnya. Manusia sebagai Bhuwana alit dan Hyang Widhi sebagai Bhuwana agung dapat diumpamakan sebagai setitik air dalam sungai. Titik air itu mengikuti dan menyatu dengan sungai, sehingga manusiapun mengikuti dan menyatu dengan Hyang Widhi, khususnya dalam bekerja. Untuk itu Hyang Widhi menciptakan hukum Karma bagi manusia dan hukum Rta bagi alam semesta. Contoh hukum Karma: seseorang bekerja sebagai karyawan, maka setiap bulan ia menerima gaji. Contoh hukum Rta: karena bumi beredar mengelilingi matahari maka terjadilah hari siang dan malam di bumi.
BEKERJA KARENA PIKIRAN. Pikiran adalah sumber motivasi bekerja, maka ia menentukan hasil suka dan duka dalam karma. Kerja yang dilandasi oleh pikiran mulia akan membuahkan karma yang mulia, sedangkan kerja yang dilandasi pikiran hina akan membuahkan karma yang hina pula. Karma yang mulia menuntun manusia pada kehidupan yang moksartham jagadhita sedangkan karma yang hina membawa manusia ke neraka.
BEKERJA UNTUK KEPENTINGAN MASYARAKAT DAN DIRI SENDIRI. Pola pikiran manusia dizaman purba mula-mula bekerja untuk kepentingan diri sendiri. Lama kelamaan manusia sadar bahwa ia tidak dapat hidup tanpa bantuan atau jasa manusia lain sehingga mendorongnya bermasyarakat. Kini manusia bekerja untuk masyarakat kemudian dirinya menikmati hasil kerjanya itu berupa karma. Dalam keseharian kita mengenal perkatan: saya, yang berasal dari perkataan sahaya, artinya "pengabdi". Di Bali orang menyebut dirinya "titiang" berasal dari "titah Hyang (Widhi)" artinya perintah Tuhan. Di Jawa orang menyebut dirinya "Kulo" asal kata "kaula" (pengabdi). Di Jawa Barat orang menyebut dirinya "abdi" (juga pengabdi). Pengertian lebih luas adalah pernyataan bahwa saya adalah hamba yang melaksanakan perintah Hyang Widhi untuk mengabdi pada kepentingan Bhuwana Agung termasuk manusia.
MENCINTAI PEKERJAAN. Manusia yang bekerja disayang Hyang Widhi. Makin rajin dan jujur ia bekerja maka Hyang Widhi semakin kasih sayang kepadanya, sehingga pahala dari karmanyapun berlimpah. Manusia dapat rajin bekerja dan berhasil baik jika ia mencintai pekerjaannya. Mencintai pekerjaan adalah sama dengan mencintai Hyang Widhi. Mereka yang yakin bahwa bekerja baik adalah perintah Hyang Widhi, maka ia akan sedih dan malu bilamana hasil pekerjaannya tidak baik atau bahkan merugikan masyarakat secara langsung atau tidak langsung.
TRIGUNA DALAM BEKERJA. Triguna: Satwam, Rajas, Tamas adalah tiga serangkai yang tidak dapat dipisahkan dalam melakukan pekerjaan agar berhasil baik. Pikiran-pikiran satwam adalah pikiran yang sesuai dengan ajaran agama Hindu menjadi dasar utama motivasi bekerja. Kemudian semangat yang tinggi mengerahkan daya pikir dan physik menunaikan pekerjaan sebaik-baiknya disebut sebagai Rajas. Namun demikian manusia membutuhkan istirahat pikiran dan physik misalnya bersantai dan tidur yang disebut Tamas. Perimbangan antara satwam, rajas, dan tamas hendaknya diatur berdasarkan kebijaksanaan masing-masing orang. Kepandaian mengatur keseimbangan inilah yang menentukan keberhasilan seseorang dalam bekerja. Dengan kata lain Triguna adalah alat untuk mencapai hasil kerja.
KARMA PHALA. Karma adalah perbuatan dan phala adalah hasil; jadi karma phala artinya hasil dari perbuatan. Ini adalah hukum Hyang Widhi, termasuk dalam Pancasrada dan Trikaya Parisuda. Hukum ini bersifat universal berlaku bagi setiap umat manusia di dunia. Hasil pekerjaan berdampak secara nyata (skala) dan tidak nyata (niskala). Wujud nyata banyak berkaitan dengan keduniawian sedangkan wujud tidak nyata berupa ketentraman bathin. Ditinjau dari waktu saat berbuat dengan waktu menerima hasil perbuatan karma phala dibedakan menjadi tiga yaitu: 1) Prarabda karma phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup dan pahalanya diterima pula semasa hidup ini. 2) Kryamana karma phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup dan pahalanya diterima di nirwana. 3) Sancita karma phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup dan pahalanya diterima pada reinkarnasi berikutnya. Oleh karena itu bekerjalah sebaik-baiknya agar memperoleh karma phala yang baik. Kehidupan di dunia ini singkat, maka jangan sia-siakan waktu dengan tidak bekerja atau bekerja dengan hasil yang tidak baik.
CATUR PURUSA ARTHA. Bekerja dengan baik adalah bekerja sesuai dengan norma-norma Agama, Susila dan Hukum. Ketiganya terangkum dalam ajaran Catur Purusa Artha yaitu: 1) Dharma: bekerja mengutamakan kepentingan masyarakat sesuai dengan ajaran agama. 2) Artha: pahala dari karma berupa benda-benda keduniawian. 3) Kama: pemenuhan kebutuhan hidup: sandang, pangan, perumahan dan kebutuhan physik lainnya seperti hiburan yang sehat. 4) Moksa: kebahagiaan hidup lahir dan bathin yang menjadi tujuan kehidupan utama. Catur purusa artha ini urut-urutannya tidak boleh ditukar, misalnya lebih dahulu mengejar artha barulah menuju dharma. Bila demikian halnya maka dapat saja manusia bekerja tanpa pedoman moral yang bersumber dari ajaran Agama, hal mana akan menyeret manusia kelembah penderitaan.
Kemarin saya telah mengulas tentang Karma Marga. Sekarang saya lanjutkan dengan marga yang ke-3 yaitu Jnana Marga. Kata "Jnana" dalam kamus Kawi-Indonesia ditulis artinya: ilmu, pengetahuan, pikiran, dan kesadaran. Dengan merangkum arti kata itu disimpulkan bahwa Jnana Marga adalah jalan menuju Hyang Widhi dengan langkah pertama meningkatkan pengetahuan, baik pengetahuan secara umum maupun pengetahuan tentang ke-Tuhanan kemudian selanjutnya mengamalkan pengetahuan itu bagi kesejahteraan umat manusia dan kelestarian alam semesta. Pengetahuan umum dan pengetahuan tentang ke-Tuhanan diperoleh dari pendidikan baik formal maupun non formal. Dalam ajaran Catur Asrama jelas disebutkan bahwa langkah kehidupan pertama adalah Brahmacari Asrama, seterusnya: Gryahasta, Wanaprasta, dan Biksuka. Disini dikandung maksud bahwa tidaklah mungkin seseorang bisa mencapai Gryahasta, Wanaprasta dan Biksuka dengan baik bila ia tidak melalui tahapan belajar untuk memperoleh pengetahuan yang cukup. Orang yang berpengetahuan cukup disebut sebagai "dyatmika" seterusnya ia akan menjadi "widya" artinya bijaksana. Pandita sering disebut sebagai "Wiku" asalnya dari kata "wikan" artinya pandai. Jadi, Pandita (Wiku) semestinya pandai (wikan) oleh karenanya beliau diharapkan mempunyai kebijaksanan yang tinggi (wiweka). Hakekat kebijaksanaan adalah mengetahui apa yang "dharma" dan apa yang "adharma" kemudian mengaplikasikan pengetahuannya itu dalam Trikaya Parisuda (perbuatan-ucapan-dan pikiran yang sesuai dengan ajaran agama). Pengetahuan umum atau iptek tidak akan saya bahas karena akan mencakup bidang yang sangat luas. Pengetahuan tentang ke-Tuhanan dilandasi oleh keyakinan yang kuat akan adanya Tuhan/Hyang Widhi seperti apa yang telah saya uraikan pada awal tulisan ini, yaitu melalui Agama Pramana, Pratyaksa Pramana, Upamana Pramana dan Anumana Pramana.
Jnana Marga berpangkal tolak dari Agama Pramana, kemudian disempurnakan melalui Pratyaksa, Upamana dan Anumana. Agama Pramana sering disebut sebagai Tattwa atau filsafat ke-Tuhanan yang bersumber dari Weda. Pengertian tentang Weda dikembangkan dalam Kitab-kitab Upanisad (untuk selanjutnya disingkat: Upanisad), sehingga Weda mempunyai arti atau pengertian yang bersifat formal. Upanisad membahas tentang: 1) BRAHMAN, 2) ATMAN, 3) MAYA DAN PENCIPTAAN SEMESTA, 4) KARMA DAN PENJELMAAN, 5) MOKSA.
BRAHMAN adalah Tuhan Yang Maha Esa (Hyang Widhi) yang Maha-ada, Maha-mengetahui, Maha-kuasa yang meresapi seluruh alam semesta, azas alam semesta, dan yang menggerakkan alam semesta sesuai dengan hukum dan kuasanya. Intisari Rgveda, dan Svetasvatara Upanisad, menyimpulkan bahwa bentuk ke-maha-kuasaan Hyang Widhi atau Aiswarya ada delapan yaitu: Anima (sangat halus), Laghima (sangat ringan), Mahima (sangat besar), Prapti (menjangkau semua tempat), Isitwa (melebihi segalanya), Prakamya (berkehendak mutlak), Wasitwa (sangat berkuasa), dan Kamawasayitwa (kodrati, tak dapat dirubah). Brahman adalah kebenaran, pengetahuan, dan tidak terbatas dinyatakan dalam Sarvopanisatsara 21: Satyam jnanam anantam anandambrahma. Artinya: Brahman adalah satyam (kebenaran), jnanam (sumber pengetahuan), anantam (tidak terbatas) dan ananda (kebahagiaan sejati)
ATMAN. Menurut kitab-kitab Upanisad, Atman adalah percikan dari Brahman. Atman juga dalam bahasa sehari-hari disebut: Roh, Jiwa. Pada hakekatnya Atman mempunyai sifat dan keadaan yang sama dengan Brahman, maka Upanisad menyatakan: Atmabrahma aikyam, artinya Atman dan Brahman adalah satu. Atman adalah azas hidup mahluk yang berasal dari Brahman atau dapat juga dikatakan bahwa Atman adalah Brahman yang Vyapi-vyapaka berada dimana-mana, dalam hal ini menghidupkan setiap mahluk. Kesadaran bahwa Atman manunggal dengan Brahman, sedangkan Brahman itu Esa (satu), bahwa Atman itu bersemayan pada setiap mahluk, menimbulkan ajaran yang dikenal dengan Tattvamasi yang artinya: Dia adalah engkau, engkau adalah mereka juga. Aku, engkau dan mereka adalah sama, yakni sama-sama berasal dari Yang Esa yaitu Brahman dimana nanti bila sampai waktunya akan sama-sama pula kembali kepada Brahman. Ajaran ini merupakan landasan filsafat Vedanta kemudian berkembang menjadi pedoman utama susila Agama Hindu. Ajaran ini dapat memupuk cinta kasih kepada sesama umat manusia dan segenap ciptaan Hyang Widhi. Kaitan Atman dengan badan manusia (stula sarira) menurut Chandogya Upanisad adalah: 1) Sebagai yang menghidupi stula sarira, ketika manusia hidup. 2) Sebagai jiwa individu yang bebas dari ikatan stula sarira, ketika manusia wafat, 3) Sebagai jiwa yang tertinggi yang identik dengan Brahman. Menurut Taittiriya Upanisad, atman manusia tidak bebas seperti Brahman karena terbungkus oleh lima lapisan (Panca Kosa), mulai dari bungkusan paling luar berturut-turut kearah dalam sebagai berikut: 1) Annamaya, yaitu bungkusan berupa tubuh (stula sarira) yang terbuat dari sari-sari makanan berasal dari bumi. 2) Pranamaya, yaitu bungkusan berupa prana atau energi. 3) Manomaya, yaitu bungkusan berupa pikiran, 4) Vijnanamaya, yaitu bungkusan berupa kesadaran, 5) Anandamaya,yaitu bungkusan berupa kebahagiaan dan kesenangan hidup duniawi. Tiga lapis bungkusan yang terakhir yaitu: Manomaya, Vijnanamaya dan Anandamaya menyebabkan reinkarnasinya Atman berulang-ulang setelah stula sarira tidak berfungsi (wafat). Dalam keadaan begini Atman mencari stula sarira baru sesuai dengan karmawasananya. Bilamana Atman bisa terlepas dari ketiga bungkusan terakhir itu maka Atman akan manunggal dengan Brahman. Inilah yang disebut MOKSA. Dalam bahasa sehari-hari juga disebut amoring acintya, dimana tidak terjadi reinkarnasi (Samsara)
Kemarin ada yang minta penjelasan lebih rinci tentang Pancakosa, terutama tentang Anandamaya. Penjelasan saya sbb.: Pancakosa adalah lima selubung atau lapisan yang membelenggu atman, artinya menghambat atman bersatu dengan brahman (Moksa). Lapisan belenggu/pembungkus yang paling didalam dan yang paling sulit dibuang adalah yang bernama Anandamaya, sehingga atman yang masih terbungkus oleh Anandamaya disebut sebagai Anandamaya atma. Anandamaya adalah kebahagian atau kesenangan hidup yang dialami ketika atman masih mempunyai stula sarira (tubuh) yakni ketika masih hidup di dunia. Jadi kebahagian dan kesenangan itu sifatnya keduniawian yang dinikmati dari Panca Indria yaitu: pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa lidah, dan rasa kulit (termasuk sex). Para Bhakta dan Yogin yang mempunyai kesucian bathin sangat tinggi dapat menghilangkan Pancakosa sehingga atmannya mudah bersatu dengan brahman. Dalam sejarah Bali, para Maha Rsi antara lain: Rsi Markandeya, Hyang Gni Jaya, Mpu Gni Jaya, Mpu Kuturan, Mpu Bharadah, Mpu Gana, Mpu Semeru, dan Danghyang Nirartha telah berhasil moksah. Ketika beliau-beliau meninggal dunia, tanpa meninggalkan jasad (jenazah/layon) karena Pancakosa-nya musnah seketika dan dilihat oleh penduduk sebagai sinar kebiruan yang melesat ke angkasa. Tempat beliau-beliau moksah kini dibangun Pura-Pura: Bukit Bujangga, Lempuyang, Silayukti, Dasar Bhuwana, dan Uluwatu.
Mari kita lanjutkan dharma wacana tentang Satyam, Siwam, Sundaram. Sekarang akan saya sampaikan tentang MAYA dan PENCIPTAAN. Seperti yang telah disampaikan terdahulu, kitab-kitab Upanisad disamping membahas tentang Brahman dan Atman, juga membahas tentang maya, penciptaan alam semesta, karma dan penjelmaan, serta moksa sebagai tujuan tertinggi. Kata MAYA mengandung pengertian "sakti" tetapi bukan dalam pengertian sempit seperti "kekuatan", tetapi lebih berarti sebagai "muzizat" sehingga merupakan keajaiban yang tidak terpikirkan oleh otak manusia. Contohnya: penciptaan alam semesta, peredaran bumi mengelilingi matahari secara teratur, detak jantung dalam tubuh manusia hidup yang tiada henti dan teratur, dll. Kita kemudian menjadi yakin itulah kehendak Hyang Widhi. Jadi maya adalah ke-maha kuasaan atau kekuatan luar biasa dari Hyang Widhi. Maya adalah melekat dengan Hyang Widhi. Kita tidak dapat melihat atau membayangkan Hyang Widhi tetapi kekuatannya yang berupa maya dapat kita lihat, pikirkan dan rasakan. Kalau boleh saya andaikan, untuk memudahkan pengertian anda, seperti listrik. Kita tidak dapat melihat listrik, tetapi kekuatannya yang menyebabkan bola lampu berpijar, alat-alat elektronik bergerak, dll. dapat dengan mudah kita pikirkan, saksikan, dengarkan dan rasakan. Kesimpulan: Maya adalah kekuatan dan kemahakuasaan Hyang Widhi.
PENCIPTAAN. Hyang Widhi adalah maha pencipta, dan melakukannya bersinambungan terus menerus tiada henti dalam rotasi Uttpti, Sthiti, Pralina (lahir-hidup-musnah) sebagaimana dinyatakan dalam Rgveda X.19.3: Suryacandram asau dhata, yatha purvam akalpayat, divam ca prthivimca ntariksam atho svah. Artinya: Hyang Widhi telah menciptakan matahari, bulan, bumi, angkasa, sebagai Ia telah menciptakannya beberapa kali. Juga dalam Taittiriya Upanisad III.1.1 disebutkan: Yato va imani bhutani jayte, yana jatani jivanti, yat prayanty abhisam visanti, tad vijijnasasva, tad brahmeti. Artinya: Dari manakah yang ada semuanya ini bermula, berkelanjutan dan musnah (kembali ke asal)? Ketahuilah bahwa itulah ke mahakuasaan Hyang Widhi.
Penciptaan semesta oleh Hyang Widhi melalui proses yang diumpamakan sebagai laba-laba yang mengeluarkan zat dari badannya untuk membuat sarang, kemudian sewaktu-waktu menarik kembali sarang itu kedalam badannya (Mundaka Upanisad I.1.7). Kegiatan itu tidak mem-beratkan sama sekali bagi-Nya karena seperti "kridalila" (permainan yang menyenangkan). Mahluk-mahluk hidup diciptakan Hyang Widhi melalui empat macam kelahiran (Aitareya Upanisad III.1.3): 1) Jarayujah, melalui kandungan. 2) Andajah, melalui telur. 3) Swedajah, melalui lendir, akar, batang, daun, bungkil. 4) Udbhijjah, melalui biji-bijian (buah).
KARMA DAN PENJELMAAN KEMBALI (SAMSARA). Karma berasal dari kata Sanskrit "Kr" yang artinya pekerjaan, perbuatan. Filosofi karma bersumber pada Veda yaitu pengembangan dari filosofi "Rta" yang artinya sebagai hukum Hyang Widhi atau dalam bahasa sehari-hari disebut kodrat. Kitab-kitab Upanisad menyimpulkan bahwa karma adalah perbuatan yang dilakukan yang akan mendapatkan hasil atau akibat (pahala/phala) sesuai dengan hukum kemaha kuasan Hyang Widhi. Dalam filosofi Rwa bhineda pahala atas karma manusia ada dua yaitu: pahala yang baik, dan pahala yang buruk. Pahala/phala yang baik diterima sebagai akibat karma yang baik, dan pahala yang buruk diterima sebagai akibat karma yang buruk seperti apa yang disebutkan dalam Brhadaranyaka Upanisad III.2.13: Punye vai punyena karmana bhawati papah papeneti. Artinya: Yang dipuji adalah karma. Sesungguhnya yang menjadikan orang itu berkeadaan baik adalah perbuatannya yang baik, dan yang menjadikan orang itu berkeadaan buruk adalah perbuatannya yang buruk. Ditinjau dari masa atau waktu antara karma dengan pahala yang diterima, Karma-pahala/phala ada tiga jenis yaitu: 1) Prarabda karma phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup dan pahalanya diterima pula semasa hidup atau seketika. 2) Kryamana karma phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup dan pahalanya diterima di nirwana. 3) Sancita karma phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup dan pahalanya diterima pada reinkarnasi/kehidupan berikutnya. Pengertian nomor 1 dan 3 sudah jelas, artinya phala manusia itu belum sempurna sehingga atman harus ber-reinkarnasi lagi. Untuk yang nomor 2 yaitu Kryamana karma phala, Svetasvatara Upanisad, VI.4 menyatakan: Arabhya karmani gunavitani, bavan ca sarva vinoyojayed yah, tesam abhave krta-karma-nasah karmaksaye yati ya tattvato nyah. Artinya: Manusia yang melaksanakan karma sesuai dengan sifat dan kehendak Hyang Widhi (Brahman) dan menyerahkan pahalanya kepada Brahman (bukan untuk dirinya sendiri) maka Hyang Widhi akan menghentikan kewajiban karmanya dan atman orang itu disatukan dengan-Nya. Inilah hakekat MOKSA, maka atman orang itu tidak menjelma kembali, karena segala pahalanya sudah diwujudkan oleh Hyang Widhi di nirwana (SORGA).
PENJELMAAN BERULANG KALI. Penjelmaan berulang kali dalam bahasa Sanskerta disebut sebagai: Samsara, atau Punarbhava, atau Punarjanma. Samsara terjadi sebagai pahala atas karma yang belum sempurna semasa manusia hidup. Ketidak sempurnaan karma bersumber pada MAYA yang mengikat atman. Bentuk maya antara lain kenikmatan-kenikmatan duniawi, pikiran, kemauan, dan keinginan. Dalam hal ini Svetasvatara Upanisad menyatakan: Samkalpana-sparsana-drsti-mohair, grasambhu-vrstyvivrddhi-janma, karmanugany anukramena dehi sthanesu, rupany abhi samprapadyate. Stulani suksmani bahuni caiva, rupani dehi svagunair vrnoti, kry-gunair atmagunais ca tesam, samyoga hetur aparo pidrstah. Artinya: Dengan menggunakan kemauan, pikiran, panca indria dan dengan menggelar hawa nafsu, atman menjelma kembali menjadi mahluk secara berulang-ulang sesuai dengan karmanya dan tubuhnya dewasa melalui makanan dan minuman. Atman yang menjelma sesuai sifat dan karmanya memilih tubuh sebagai wujudnya sehingga ia (atman) menjadi nampak dan keadaannya berbeda pada setiap penjelmaan.
MOKSA. Menurut kitab-kitab Upanisad, moksa adalah keadaan atma yang bebas dari segala bentuk ikatan dan bebas dari samsara. Yang dimaksud dengan atma adalah roh, jiwa. Ikatan adalah: 1) pengaruh panca indria, 2) pikiran yang sempit, 3) ke-akuan, 4) ketidak sadaran pada hakekat Brahman-Atman, 5) cinta kasih selain kepada Hyang Widhi, 6) rasa benci, 7) keinginan, 8) kegembiraan, 9) kesedihan, 10) kekhawatiran/ketakutan, dan 11) khayalan. Samsara adalah reinkarnasi, kelahiran berulang-ulang.
Moksa dapat dicapai oleh seseorang baik selama ia masih hidup (disebut: Jivam Mukta), maupun setelah meninggal dunia (disebut: Videha Mukta). Jika selama masih hidup seseorang itu mencapai moksa maka ia telah mencapai tingkat moral yang tertinggi, kehidupannya sempurna (krtakrtya), penuh dengan kesenangan (atmarati) karena terbebas dari 11 jenis ikatan yang disebutkan diatas, memandang dirinya ada pada semua mahluk (eka-atma-darsana), memandang dirinya ada pada alam semesta (sarva-atma-bhava-darsana). Kesenangan juga tercapai karena pengetahuan dan kesadaran bahwa brahman-lah atman yang ada didirinya (brahmanbhavana). Jika moksa dicapai setelah meninggal dunia maka terjadilah proses menyatunya atman dengan brahman sehingga atman tidak lahir kembali sebagai mahluk apapun atau bebas dari samsara, disebut juga sebagai kedamaian abadi (sasvatisanti).
Moksa adalah tujuan hidup manusia yang tertinggi yang dapat dicapai oleh setiap manusia bila ia: 1) Mampu membebaskan atman dari ikatan. 2) Mempunyai pengetahuan utama (paravidya) tentang brahman. 3) Melaksanakan disiplin kehidupan yang suci. Oleh karena itu moksa juga dikatakan sebagai pahala yang tertinggi dari Hyang Widhi atas karma manusia utama, suatu anugerah yang maha mulia.
Ada kutipan Svetasvatara Upanisad I.6 yang sangat indah: Sarvajive sarvasamsthe brhante asmis, hamso bhramyate brahmacakre, prthag atmanam pretitaram ca justas, tatas tenamrtatwam eti. Artinya: Dalam roda Brahman yang maha besar dan maha luas, didalamnya segala sesuatu hidup dan beristirahat, sang Angsa mengepak-epakkan sayapnya dalam melakukan perjalanan sucinya. Sejauh dia berpikir bahwa dirinya berbeda dengan Sang Maha Penggerak maka ia dalam keadaan tidak abadi. Apabila dia diberkahi oleh Hyang Widhi maka ia mencapai kebahagiaan sejati dan abadi. Makna upanisad itu adalah: Sekalipun anda telah melaksanakan disiplin kehidupan suci dan membebaskan atman dari ikatan-ikatan, namun bila anda tidak menyadarkan atman bahwa Brahmanlah atman, maka anda belum mencapai moksa.
Setelah membahas Bhakti marga, Karma marga dan Jnana Marga maka selanjutnya saya akan membahas tentang marga yang keempat yaitu Raja marga atau lebih populer sebagai YOGA MARGA.
Maharsi Patanjali adalah pelopor ajaran Yoga yang merupakan bagian dari filsafat Hindu yaitu Sad Darsana. Buku beliau yang bernama Yogasutra terdiri dari empat bagian yaitu: 1) Samadhi-pada, tentang sifat, tujuan dan bentuk ajaran yoga yang menjelaskan adanya perubahan-perubahan pikiran dalam melakukan yoga. 2) Sadhana-pada, tentang tahapan-tahapan pelaksanan yoga, cara mencapai samadhi dan pahala yang akan didapat oleh mereka yang telah mencapai samadhi. 3) Wibhuti-pada, tentang hal-hal yang bersifat bathiniah, kekuatan bathin yang didapat oleh mereka yang melaksanakan yoga. 4) Kaiwalya-pada, tentang alam kelepasan dan keadaan jiwa yang telah dapat mengatasi keterikatan pada keduniawian.
Tujuan yang ingin dicapai dalam melaksanakan yoga adalah pencapaian moksa melalui kesadaran yang disebut sebagai "wiwekajnana" yaitu pengetahuan tentang apa yang salah dan apa yang benar menurut ajaran Hindu. Sebagaimana telah diuraikan dalam Jnana Marga, maka dapatlah dikatakan bahwa Jnana Marga adalah dasar fundamental bagi Yoga Marga, karena untuk mencapai kesadaran Wiwekajnana para siswa haruslah mempelajari Weda, Upanisad, Smrti, Itihasa dan Purana. Hal ini ditegaskan oleh Maharsi Patanjali bahwa kelepasan dari ikatan duniawi dapat dicapai melalui pengetahuan langsung terhadap perbedan atman/jiwa dengan hal-hal yang bersifat jasmani seperti badan, pikiran dan sifat ke-akuan kemudian mewujudkannya melalui pengendalian fungsi indria, pengendalian pikiran, dan pengendalian "aku"
Yoga dilaksanakan melalui delapan tahapan dikenal dengan nama "Astangga-yoga" yaitu: Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Prtyahara, Dharana, Dhyana, dan Samadhi.
YAMA. Adalah pengendalian diri tahap pertama yang terdiri dari lima perintah: 1) Ahimsa, artinya tidak menyakiti, tidak membunuh, tidak melakukan kekerasan, tidak melukai mahluk hidup apapun dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. 2) Satya, artinya kebenaran dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. 3) Asteya, artinya pantangan menginginkan sesuatu yang bukan miliknya sendiri, apalagi mencuri. 4) Brahmacarya, artinya mengendalikan nafsu sex atau lebih bagus lagi tidak menikmati, memikirkan dan membicarakan sex. 5) Aparigraha artinya tidak menerima pemberian materi dari orang lain.
NIYAMA. Adalah pengendalian diri tahap kedua yang terdiri dari lima perintah: 1) Sauca, artinya suci lahir bathin menuju keadaan Sattwasudhi (kesucian pikiran), Saumanasya (hati yang selalu gembira), Ekagrata (pemusatan budhi), Atmadarsana (realisasi diri yang sejati), 2) Santosa, artinya puas dengan apa adanya yang membawa kepada rasa bahagia, 3) Tapa, artinya tahan uji terhadap godaan-godaan adharma dan keduniawian, 4) Swadhyaya, artinya rajin mempelajari ajaran-ajaran Agama serta meresapkan kedalam pikiran, 5) Iswarapranidhana, artinya bhakti yang mutlak kepada Hyang Widhi.
ASANA. Asana adalah sikap duduk pada waktu melaksanakan yoga. Buku Yogasutra tidak mengharuskan sikap duduk tertentu, tetapi menyerahkan sepenuhnya kepada siswa sikap duduk yang paling disenangi dan relax, asalkan dapat menguatkan konsentrasi dan pikiran dan tidak terganggu karena badan merasakan sakit akibat sikap duduk yang dipaksakan. Selain itu sikap duduk yang dipilih agar dapat berlangsung lama, serta mampu mengendalikan sistim saraf sehingga terhindar dari goncangan-goncangan pikiran. Sikap duduk yang relax antara lain: silasana (bersila) bagi laki-laki dan bajrasana (metimpuh-bhs. Bali, menduduki tumit) bagi wanita, dengan punggung yang lurus dan tangan berada diatas kedua paha, telapak tangan menghadap keatas.
PRANAYAMA. Pranayama adalah pengaturan nafas keluar masuk paru-paru melalui lobang hidung dengan tujuan menyebarkan prana (energi) keseluruh tubuh. Pranayama terdiri dari: Puraka yaitu memasukkan nafas, Kumbhaka yaitu menahan nafas, dan Recaka yaitu mengeluarkan nafas. Puraka, kumbhaka dan recaka dilaksanakan pelan-pelan bertahap masing-masing dalam tujuh detik. Hitungan tujuh detik ini dimaksudkan untuk menguatkan kedudukan ketujuh cakra yang ada dalam tubuh manusia yaitu: muladhara yang terletak di pangkal tulang punggung diantara dubur dan kemaluan, svadishthana yang terletak diatas kemaluan, manipura yang terletak di pusar, anahata yang terletak di jantung, vishuddha yang terletak di leher, ajna yang terletak ditengah-tengah kedua mata, dan sahasrara yang terletak diubun-ubun. Bagi siswa yang ingin memperdalam atau mengkhususkan diri dalam Yoga Kundalini, selanjutnya dapat membaca petunjuk-petunjuk yang diuraikan dalam buku Sri Swami Sivanandaji Maharaj.
PRATYAHARA. Pratyahara adalah penguasaan panca indria oleh pikiran sehingga apapun yang diterima panca indria melalui syaraf ke otak tidak mempengaruhi pikiran. Panca indria adalah: pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa lidah dan rasa kulit. Pada umumnya indria menimbulkan nafsu kenikmatan setelah mempengaruhi pikiran. Yoga bertujuan memutuskan mata rantai olah pikiran dari rangsangan syaraf ke keinginan (nafsu), sehingga citta menjadi murni dan bebas dari goncangan-goncangan. Jadi yoga tidak bertujuan mematikan kemampuan indria. Untuk jelasnya mari kita kutip pernyatan dari Maharsi Patanjali sebagai berikut: Sva viyasa asamprayoga, cittayasa svarupa anukara, iva indriyanam pratyaharah, tatah parana vasyata indriyanam. Artinya:
Pratyahara terdiri dari pelepasan alat-alat indria dan nafsunya masing-masing, serta menyesuaikan alat-alat indria dengan bentuk citta (budi) yang murni. Makna yang lebih luas sebagai berikut: Pratyahara hendaknya dimohonkan kepada Hyang Widhi dengan konsentrasi yang penuh agar mata rantai olah pikiran ke nafsu terputus
DHARANA. Dharana artinya mengendalikan pikiran agar terpusat pada suatu objek konsentrasi. Objek itu dapat berada dalam tubuh kita sendiri, misalnya "selaning lelata" (sela-sela alis) yang dalam keyakinan Sivaism disebut sebagai "Trinetra" atau mata ketiga Siwa. Dapat pula pada "tungtunging panon" atau ujung (puncak) hidung sebagai objek pandang terdekat dari mata. Para Sulinggih (Pendeta) di Bali banyak yang menggunakan ubun-ubun (sahasrara) sebagai objek karena disaat "ngili atma" di ubun-ubun dibayangkan adanya padma berdaun seribu dengan mahkotanya berupa atman yang bersinar "spatika" yaitu berkilau bagaikan mutiara. Objek lain diluar tubuh manusia misalnya bintang, bulan, matahari, dan gunung. Penggunaan bintang sebagai objek akan membantu para yogin menguatkan pendirian dan keyakinan pada ajaran Dharma, jika bulan yang digunakan membawa kearah kedamaian bathin, matahari untuk kekuatan phisik, dan gunung untuk kesejahteraan. Objek diluar badan yang lain misalnya patung dan gambar dari Dewa-Dewi, Guru Spiritual, dll. yang bermanfaat bagi terserapnya vibrasi kesucian dari objek yang ditokohkan itu. Kemampuan melaksanakan Dharana dengan baik akan memudahkan mencapai Dhyana dan Samadhi.
DHYANA. Dhyana adalah suatu keadaan dimana arus pikiran tertuju tanpa putus-putus pada objek yang disebutkan dalam Dharana itu, tanpa tergoyahkan oleh objek atau gangguan/godaan lain baik yang nyata maupun yang tidak nyata. Gangguan/godaan yang nyata dirasakan oleh Panca Indria baik melalui pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa lidah maupun rasa kulit. Ganguan/godan yang tidak nyata adalah dari pikiran sendiri yang menyimpang dari sasaran objek Dharana. Tujuan Dhyana adalah aliran pikiran yang terus menerus kepada Hyang Widhi melalui objek Dharana, lebih jelasnya Yogasutra Maharsi Patanjali menyatakan: "Tatra pradyaya ekatana dhyanam" Artinya: Arus buddhi (pikiran) yang tiada putus-putusnya menuju tujuan (Hyang Widhi). Kaitan antara Pranayama, Pratyahara dan Dhyana sangat kuat, dinyatakan oleh Maharsi Yajanawalkya sebagai berikut: "Pranayamair dahed dosan, dharanbhisca kilbisan, pratyaharasca sansargan, dhyanena asvan gunan: Artinya: Dengan pranayama terbuanglah kotoran badan dan kotoran buddhi, dengan pratyahara terbuanglah kotoran ikatan (pada objek keduniawian), dan dengan dhyana dihilangkanlah segala apa (hambatan) yang berada diantara manusia dan Hyang Widhi.
SAMADHI. Samadhi adalah tingkatan tertinggi dari Astangga-yoga, yang dibagi dalam dua keadaan yaitu: 1) Samprajnatta-samadhi atau Sabija-samadhi, adalah keadaan dimana yogin masih mempunyai kesadaran, dan 2) Asamprajnata-samadhi atau Nirbija-samadhi, adalah keadaan dimana yogin sudah tidak sadar akan diri dan lingkungannya, karena bathinnya penuh diresapi oleh kebahagiaan tiada tara, diresapi oleh cinta kasih Hyang Widhi. Baik dalam keadaan Sabija-samadhi maupun Nirbija-samadhi, seorang yogin merasa sangat berbahagia, sangat puas, tidak cemas, tidak merasa memiliki apapun, tidak mempunyai keinginan, pikiran yang tidak tercela, bebas dari "catur kalpana" (yaitu: TAHU, DIKETAHUI, MENGETAHUI, PENGETAHUAN), tidak lalai, tidak ada ke-"aku"-an, tenang, tentram dan damai. Samadhi adalah pintu gerbang menuju Moksa, karena unsur-unsur Moksa sudah dirasakan oleh seorang yogin. Samadhi yang dapat dipertahankan terus-menerus keberadaannya, akan sangat memudahkan pencapaian Moksa. Katha Upanisad II.3.1.: Yada pancavatisthante, jnanani manasa saha, buddhis ca na vicestati, tam ahuh paramam gatim, Artinya: Bilamana Panca Indria dan pikiran berhenti dari kegiatannya dan buddhi sendiri kokoh dalam kesucian, inilah keadaan manusia yang tertinggi.
Setelah membahas keempat jalan menuju Hyang Widhi yaitu Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga dan Yoga Marga, maka kini dilanjutkan dengan etika kehidupan sehari-hari yang harus dilaksanakan oleh seorang Bhakta. Etika ini merupakan rambu-rambu Dharma yang mencegah kita kedalam kesesatan adharma. Yang pertama adalah:
CATUR PURUSHAARTA. Catur purushaarta adalah empat kekuatan atau dasar kehidupan menuju kebahagiaan, yaitu: Dharma, Arta, Kama, dan Moksa. Urut-urutan ini merupakan tahapan-tahapan yang tidak boleh ditukar-balik karena mengandung keyakinan bahwa tiada arta yang diperoleh tanpa melalui dharma; tiada kama diperoleh tanpa melalui arta, dan tiada moksa yang bisa dicapai tanpa melalui dharma, arta, dan kama. Dharma sebagai dasar utama mempunyai pengertian yang sangat luas. Dharma dapat diartikan sebagai mematuhi semua ajaran-ajaran Agama terlihat dari pikiran, perkataan dan perbuatan sehari-hari. Dharma juga dapat diartikan sebagai memenuhi kewajiban sesuai dengan profesi atau pekerjaan dan tanggung jawab masing-masing. Misalnya dalam Manawa Dharmasastra Buku III (Tritiyo dhyayah) diatur tentang kewajiban seorang suami dan kewajiban seorang istri dalam membina rumah tangga, dimana antara lain dinyatakan bahwa seorang suami berkewajiban mencari nafkah bagi kehidupan keluarganya, sedangkan seorang istri berkewajiban mengatur rumah tangga seperti merawat anak, suami, menyiapkan upacara, dll. Dalam kaitan implementasi profesi dan tanggung jawab (responsibility), sering digunakan istilah "swadharma", sehingga swadharma setiap manusia berbeda-beda menurut tugas pokoknya. Misalnya swadharma seorang dokter adalah merawat pasien sebaik-baiknya agar sembuh, swadharma seorang cleaning service adalah menjaga kebersihan dan kerapian ruangan, dll. Jadi melaksanakan dharma itulah yang utama. Setelah melaksanakan dharma dengan baik maka Hyang Widhi akan melimpahkan berkatnya berupa Arta. Arta adalah sesuatu yang bernilai materiil yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara phisik. Arta dapat diperoleh secara langsung maupun tidak langsung. Arta yang diperoleh secara langsung misalnya seseorang yang swadharmanya sebagai petani pemelihara lembu maka ia akan menikmati susu lembu itu. Arta yang diperoleh secara tidak langsung misalnya seorang Ayah yang tekun mendidik anaknya sejak kecil dengan baik sehingga dikemudian hari anaknya menjadi tokoh yang kaya dan terhormat, maka anaknya dapat merawat khidupan ayahnya dimasa tua dengan baik dan berkecukupan. Arta yang cukup dapat digunakan untuk memenuhi Kama. Kama artinya kebutuhan hidup berupa pangan, sandang, perumahan, sosial, spiritual, kesehatan, dan pendidikan. Makin banyak arta yang diperoleh maka manusia makin leluasa memenuhi kama. Apabila dharma, arta dan kama sudah dicukupi dengan baik maka tercapailah kehidupan yang bahagia lahir dan bathin yang lazim disebut sebagai "Moksartham Jagadhitaya caiti dharmah" Pakar psycholog barat seperti Sperman dan Reven (1939) menamakan kehidupan seperti itu "Living Healthy" dimana unsur-unsur: Spiritual, Emotional, Intelectual, Phisical dan Social, dipelihara dan terpenuhi dengan baik. Bagaimanakah jika urut-urutan Catur Purushaarta itu ditukar balik, misalnya mendahulukan arta dari dharma? Dalam keadaan ini manusia akan menempuh segala cara untuk memperoleh arta, artinya tidak lagi berdasarkan ajaran Agama. Misalnya memperoleh arta dengan cara mencuri, menipu, merampok, korupsi, dll. Arta yang diperoleh dengan cara ini (adharma) tidak akan kekal dan akan menyengsarakan hidup dikemudian hari. Kesengsaraan itu bermacam-macam berbentuk "skala" dan "niskala" Yang berbentuk skala misalnya seorang perampok yang tertangkap akhirnya masuk penjara. Kesengsaraan niskala, misalnya seorang koruptor karena kepandaiannya berkomplot dan berkuasa, mungkin saja ia terhindar dari hukuman duniawi, tetapi kelak roh-nya akan mengalami penderitaan karena menerima hukuman Tuhan (Hyang Widhi), atau paling tidak bathinnya tidak tenang, karena merasa berdosa
CATUR ASHRAMA. Catur ashrama adalah empat tingkatan kehidupan yang wajib/ideal dijalani manusia Hindu selama hidupnya, yaitu: Brahmacari, Grhastha, Vanaprastha, dan Bhiksuka. Karena menjadi kewajiban, maka bila ada manusia Hindu yang tidak melaksanakan catur ashrama dengan baik, akan sia-sialah hidupnya di dunia ini.
Brahmacari adalah masa belajar, masa menuntut ilmu/pendidikan. Brahmacari dalam arti sempit adalah masa belajar secara formal misalnya belajar sejak TK sampai perguruan tinggi. Brahmacari dalam arti yang lebih luas, adalah upaya meningkatkan pengetahuan dengan berbagai cara (formal dan informal) yang berlangsung sepanjang masa kehidupan karena sebenarnya proses belajar-mengajar berlangsung tiada henti. Brahmacari dalam arti khusus ada dua yaitu: 1) Brahmacari dalam kaitan masa aguron-guron (belajar agama/spiritual) seorang sisya (siswa) kepada Nabe (guruspiritual) dimana Nabe tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik dan melatih, dan 2) Brahmacari dalam arti menjauhkan diri dari keinginan sex atau tidak kawin/nikah selama hidup. Yang terakhir ini disebut sebagai sukhla brahmacari. Pentingnya Brahmacari Ashrama, disebutkan dalam Atharvaveda sebagai berikut: Brahmacaryena tapasa, raja rastram vi raksati, acaryo brahmacaryena, brahmacarinam icchate (XI.5.17). Sa dadhara prthivim divam ca (XI.5.1). Tasmin devah sammanaso bha vanti (XI.5.1) Artinya: Seorang pemimpin dengan mengutamakan brahmacari dapat melindungi rakyatnya, dan seorang guru yang melaksanakan brahmacari menjadikan siswanya orang yang sempurna; Seseorang yang melaksankan brahmacari akan menjadi penopang kekuatan dunia; Tuhan (Hyang Widhi) bersemayam pada diri seorang brahmacari. Dari kutipan Veda itu jelaslah kiranya bahwa kewajiban manusia yang utama dan yang pertama dilakukan adalah menuntut ilmu atau belajar dan berpendidikan, karena dari pendidikan/pengajaranlah pikiran dikembangkan untuk menuju kepada Catur purushaarta seperti yang telah dikemukakan dalam uraian tentang catur purushaarta terdahulu. Pelajaran dan pendidikan juga akan membangun kemampuan berpikir untuk memilah antara dharma (perbuatan baik) dan adharma (perbuatan tidak baik) sehingga manusia dapat mencapai kesempurnaan hidup. Kitab suci Sarasamusccaya 2: Manusah sarvabhutesu varttate vai subhasubhe, asubhesu samavi stam subhesvevavakarayet. Artinya: Diantara semua mahluk hidup, hanya yang dilahirkan sebagai manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah kedalam perbuatan baik segala yang buruk itu; demikianlah pahalanya menjadi manusia. Dalam Upanisad disebutkan pula bahwa arti kata Manusah adalah: Manu = kebijaksanaan, sah = mempunyai. Jadi manusia adalah mahluk yang mempunyai kebijaksanan. Kebijaksanaan diperoleh dari tiga kemampuan kodrati manusia yaitu Sabda (kemampuan berbicara), Bayu (kemampuan bergerak) dan Idep (kemampuan berpikir). "Idep" yang dituntun oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan akan menjadikan manusia itu lebih bijaksana sehingga disebut sebagai manusia yang sempurna. Mahluk lain seperti binatang hanya mempunyai dua kemampuan saja yaitu kemampuan bergerak (bayu) dan kemampuan bersuara (sabda). Binatang tidak mempunyai kemampuan berpikir (idep) oleh karena itu binatang beraktivitas berdasarkan naluri, tidak berdasarkan pikiran. Tumbuh-tumbuhan hanya mempunyai kemampuan tumbuh (bayu) saja, tidak mempunyai sabda dan idep.
Selanjutnya Sarasamusccaya menyatakan bahwa kita wajib bersyukur karena atman telah menjelma menjadi manusia, mahluk yang utama, karena itu gunakanlah kesempatan hidup yang sempit ini dengan sebaik-baiknya, kesempatan mana sungguh sangat sulit diperoleh; lakukanlah segala sesuatu yang baik (melalui brahmacari) yang mencegah kejatuhan harkat kemanusiaan, gunakanlah kesempatan ini untuk mencapai moksa/sorga. "Paramarthanya, pengpengen ta pwa katemwaniking si dadi wwang, durlabha wi ya ta, saksat handaning mara ring swarga ika, sanimittaning tan tiba muwah ta pwa damelakena" (SS.6)
Grhastha adalah masa berumah tangga, masa menikah dan mengembangkan keturunan. Dalam menempuh ashrama yang kedua ini diupayakan terwujudnya rumah tangga/keluarga yang bahagia. Kebahagiaan ditunjang oleh unsur-unsur material dan non material. Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan/perumahan, semuanya disebut artha. Unsur non material adalah rasa kedekatan dengan Hyang Widhi yang disebut dharma, dan unsur non material lainnya: pendidikan, sex, kasih sayang antara suami - istri - anak, mempunyai keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat yang semuanya disebut kama. Berkeluarga mempunyai arti dan kedudukan khusus dalam kehidupan manusia karena melalui pernikahan lahirlah anak-anak yang disebut putra. Kata putra terdiri dari dua pokok kata yaitu "PUT" artinya neraka, dan "RA" artinya menyelamatkan. Jadi putra adalah anak yang menyelamatkan orang tuanya dari neraka.Disebut demikian karena anaklah yang merawat orang tuanya ketika mereka secara phisik dan mental sudah tua dan kurang mampu mengurus diri sendiri. Disamping itu sesuai dengan tradisi beragama Hindu di Bali, anak mempunyai kewajiban melaksanakan upacara pitra yadnya bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia, dengan tujuan agar roh/atma-nya terbebas dari ikatan Panca Mahabutha dan Panca Tanmatra. Cinta kasih dalam hubungan anak orang tua berlangsung timbal balik; sejak anak masih dalam kandungan ibu sampai dewasa dan mandiri, orang tualah yang berkewajiban mengurus dan setelah anak memasuki grhastha ashrama, anaklah yang wajib mengurus orang tuanya.
Hidup berkeluarga diawali dengan "pawiwahan" maka oleh karena itu pawiwahan dalam Manawa Dharmasastra disebut sebagai "Dharmasampati" artinya pelaksanaan dharma. Kebalikannya dan yang tergolong adharma adalah perceraian. Agar terwujud keluarga yang bahagia, Manawa Dharmasastra Buku ke-3 (Tritiyo dhyayah) mengatur sejak cara melaksanakan pawiwahan sampai cara membina keluarga bahagia. Beberapa sloka yang penting antara lain: 21: Brahmo daivastathaivarsah, prayapatyastathasurah, gandharva raksasascaiva, paisacasca astamo dharmah (delapan cara pawiwahan adalah: brahma, daiwa, rsi, prajapati, asura, gandharwa, raksasa dan pisaca). Dari delapan cara pawiwahan itu ada tiga cara yang dewasa ini sudah tidak sesuai karena melanggar hukum yaitu: asura, raksasa dan paisaca. Sedangkan diantara lima cara sisanya, yang paling populer adalah prajapatya yaitu pawiwahan atas dasar cinta sama cinta dan direstui kedua pihak orang tua. Selanjutnya cara gandharva di Bali sering terjadi, dimana pawiwahan didasari oleh sama-sama cinta tetapi tidak diketahui (mungkin tidak direstui) oleh salah satu pihak orang tua. Cara yang lain misalnya brahma, daiva, dan rsi kini kurang populer di masyarakat karena ada unsur campur tangan yang lebih kuat pada pihak orang tua sehingga terkesan sebagai diarahkan atau dipaksaan.
Beberapa sloka yang perlu diketahui dalam melakukan hubungan sex antara suami - istri antara lain: 45: Rtu kalabhigamisyat, swadaraniratah sada, parwawarjam wrajeccainam, tad wrato rati kamyaya (hendaknya suami menggauli istrinya dalam waktu-waktu tertentu dan selalu merasa puas dengan istrinya seorang; ia juga boleh dengan maksud menyenangkan hati istrinya mendekatinya untuk mengadakan hubungan sex pada hari apa saja kecuali hari parwani = purnama/tilem). 48: Yugmasu putra jayante, striyo yugmasu ratrisu, tasmadyugmasu putrarthi, samvice dartave striyam (kalau menggauli istri pada hari-hari yang genap maka anak laki-lakilah yang lahir, sedangkan pada hari-hari yang ganjil anak perempuanlah yang lahir; karena suami yang menginginkan anak laki-laki hendaknya menggauli istrinya hanya dimasa yang baik pada hari-hari genap). Yang dimaksud hari-hari genap adalah bilangan genap pada panglong dan penanggal. Panglong adalah hari-hari dari purnama ke tilem, sedangkan penanggal adalah hari-hari dari tilem ke purnama. Sehari setelah purnama, disebut "panglong ping pisan (1)" ini disebut hari ganjil sedangkan besoknya "panglong ping kalih (2)" disebut hari genap demikian seterusnya panglong ganjil dan genap silih berganti sampai panglong ping 14; panglong ping 15 adalah tilem, disarankan tidak mengadakanhubungan sex. Sehari setelah tilem (bulan gelap) disebut "penanggal ping pisan (1)" sebagai hari ganjil dan keesokan harinya disebut "penanggal ping kalih (2) sebagai hari genap, demikian seterusnya penanggal ganjil dan genap silih berganti sampai penanggal ping 14. Penanggal ping 15 adalah purnama, disarankan untuk tidak mengadakanhubungan sex. Dalam Kamasutra dijelaskan lebih rinci tentang cara-cara mengadakan hubungan sex. Hal penting yang dilarang adalah mengadakan hubungan sex dengan meniru cara-cara binatang, dan hubungan sex disaat istri sedang menstruasi. Hubungan sex juga dilarang disaat salah satu atau keduanya sedang mabuk, tidak sadarkan diri, takut, sedih, dan marah.
Peranan istri dalam keluarga sangat penting seperti yang dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra III.56: Yatra naryastu pujyante, ramante tatra devatah, yatraitastu na pujyante, sarwastatraphalah kriyah (dimana wanita dihormati disanalah pada dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala). 57: Socanti jamayo yatra, vinasyatyacu tatkulam, na socanti tu yatraita, wardhate taddhi sarvada (dimana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur, tetapi dimana wanita itu tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia). 60: Samtusto bharyaya bharta, bhartra tathaiva ca, yaminneva kule nityam, kalyanam tatra vai dhruvam (pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti akan kekal).
Pelaksanaan dharma dalam hidup berkeluarga ditegaskan dalam MD.III. 63, 66, 75, 94, 106, 117 dan 118. Pada intinya mengatur agar suatu keluarga senantiasa melaksanakan pemujaan kepada Hyang Widhi, mempelajari, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Weda, menghormati orang - orang suci, menghormati tamu yang datang kerumah, dan berdana punia
VANAPRASTHA. Setelah berhasil melaksanakan grhastha ashrama (kehidupan berumah tangga) dengan baik maka tahapan berikutnya adalah vanaprastha. Ukuran yang digunakan menilai keberhasilan melaksanakan grhastha antara lain sudah tua, dan sudah mempunyai keturunan atau penyambung generasi yang mapan. Pengertian lebih luas pada ketuaan adalah selain usia lanjut, juga mempunyai banyak pengalaman hidup, mampu mengatasi gelombang pahit getirnya kehidupan, serta mempunyai kebijaksanan yang dilandasi oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan. Keturunan atau generasi lanjutan yang mapan adalah anak kandung atau anak angkat yang sudah mandiri, mampu berdiri sendiri dalam menjalani kehidupan, dan tidak bergantung lagi pada orang tua baik dibidang ekonomi maupun yang lainnya. Jika dikaitkan dengan tahapan pekerjaan atau tugas, keadaan yang sesuai untuk vanaprastha adalah bila telah memasuki masa pensiun, jadi usia ketika itu sekitar 56 atau 60 tahun. Disaat itu biasanya kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya sudah selesai secara skala dan niskala. Selesai secara skala artinya seperti uraian diatas, yaitu anak-anaknya sudah mandiri; selesai secara niskala artinya upacara manusia yadnya bagi anak-anaknya sudah selesai diselenggarakan. Sesuai dengan tradisi beragama Hindu di Bali yang mengacu pada Lontar Dharma Kauripan, Yadnya Prakerthi, dan Yama Purana Tattwa, upacara manusia yadnya yang menjadi kewajiban orang tua kepada anak dimulai sejak bayi dalam kandungan sampai pawiwahan dengan urut-urutan sebagai berikut: magedong-gedongan, mapag rare, kepus puser, tutug kekambuhan, nigang sasihin, otonan, ngeraja sewala, dan mepandes.
Vanaprastha tidaklah diartikan sebagai meninggalkan rumah lalu pergi menyepi kehutan untuk bertapa, tetapi vanaprastha dimaknai sebagai hidup yang hening dan suci, sedikit demi sedikit melepaskan diri dari ikatan keduniawian, dan menguatkan pengendalian diri berdasarkan ajaran Agama Hindu. Ajaran agama yang diperoleh pada masa brahmacari kini dilaksanakan pada kehidupan sehari-hari secara lebih mantap, lebih memusatkan perhatian pada bidang spiritual. Orang yang melaksanakan vanaprastha disebut vanaprasthin, hendaknya selalu menjaga kesucian dan kesehatan jasmani/rohani, banyak melakukan pekerjaan mulia, bijaksana, bersahabat, berbicara manis dan menyenangkan, melakukan sadhana, melaksanakan latihan-latihan kerohanian (yoga), melakukan berbagai "vrata" atau pengekangan diri, suka belajar dan bergaul pada orang-orang suci (Sulinggih), sering me-dharma yatra, dll. Pekerjaan mulia dalam arti seluas-luasnya adalah implementasi trihitakarana sebagai wujud bhakti kepada Hyang Widhi. Trihitakarana mencakup unsur-unsur "parhyangan" adalah keselarasan hubungan manusia dengan Hyang Widhi, "pawongan" adalah keharmonisan hubungan sesama manusia, dan "palemahan" menjaga kelestarian alam semesta. Sadhana menurut kitab suci Wrehaspati-tattwa adalah: mengerti pada ajaran Weda, tidak terikat pada pengaruh indria, dan tidak berharap menikmati hasil karya swadharma. Vrata adalah pengekangan diri terhadap materi dan cara berbicara (mona), makanan dan minuman (upawasa), dan menjauhkan sifat-sifat malas atau suka tidur (jagra).
Dalam masa vanaprastha, diupayakan untuk melengkapi kekurangan-kekurangan bidang spiritual di masa sebelumnya yaitu masa brahmacari dan grhastha. Masa ini juga dapat dikatakan sebagai masa konsolidasi untuk menjadi manusia yang sempurna.
Manusia yang sempurna menurut Upanisad adalah manusia yang mengetahui tentang "diri-nya" sebagaimana dinyatakan dalam Katha Upanisad 1.3.3 dan 4: Atmanam rathinam vidhi, sariram ratham eva itu, buddhim tu sarathim viddhi, manah pragraham eva ca. Indriani hayan ahur visayam tesu gicaran, atmendriye mano yuktam bhoktety ahur manisinah. Artinya: Ketahuilah bahwa atman adalah tuannya sebuah kereta, dan kereta itu adalah badan jasmani; ketahuilah pula bahwa budhi itu adalah kusirnya kereta, pikiran adalah tali kekangnya, indria disebut sebagai kudanya, dan sasaran indria adalah jalanan. Atman yang dihubungkan dengan badan jasmani, budhi, pikiran dan indria yang terkendali dengan baik itulah kenikmatan sejati yang dikatakan oleh orang-orang yang bijaksana karena membawanya kejalan dharma. Makna dari Upanisad ini menegaskan persyaratan seorang manusia yang sempurna adalah mempunyai badan yang sehat (diibaratkan sebagai badan kereta yang kuat), budhi yang baik (diibaratkan sebagai kusir yang pandai), pikiran yang sehat (diibaratkan sebagai tali kekang yang kuat), indria yang sehat (diibaratkan sebagai kuda yang sehat/kuat), dan arah kehidupan yang berke-Tuhan-nan (diibaratkan sebagai jalan yang jelas). Dalam Manawa Dharmasastra Buku V. 109 disebutkan sebagai berikut: Adbhirgatrani cuddhyanti manah satyena cuddhyati, widyatapobhyam bhutatma, buddhir jnanena cuddhyati. Atinya: Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa disucikan dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dengan pengetahuan yang benar. Tubuh dibersihkan dengan air, artinya lebih luas tidak hanya mandi, tetapi termasuk memelihara badan/jasmani dengan memakan sesuatu yang baik (satvika ahara).
Permohonan memperoleh kesempurnaan hidup disebutkan dalam Yayurveda XXXVI. 24: Om tac caksur devahitam purastacchukram uccarat, pasyema saradah satam, jivema saradah satam, srnuyama saradah satam, pra bravama saradah satam, adinah syama saradah satam, bhuyasca saradah satat. Artinya: Ya Hyang Widhi, semoga kami selama seratus tahun dapat menyaksikan mata-Mu yang bersinar itu diatas kehendak-Mu, muncul dihadapan kami, semoga kami hidup selama seratus tahun, semoga kami mendengar selama seratus tahun, semoga kami berkata yang baik selama seratus tahun, semoga kami dapat menegakkan kepala selama seratus tahun, ya bahkan lebih dari seratus tahun. Makna dari mantram Yayurveda itu adalah permohonan agar mendapatkan sinar terang dalam artian pendekatan spiritual kepada Hyang Widhi sebagai Yang Maha Kuasa serta diberikan waktu yang cukup untuk menyempurnakan kehidupan di dunia sebelum sampai tiba saatnya Atman bersatu dengan Brahman (moksa)
BHIKSUKA. Setelah membahas tiga dari catur ashrama yaitu Brahmacari, Grhastha, dan Vanaprastha, maka bahasan selanjutnya adalah catur ashrama yang terakhir yaitu Bhiksuka. Bhiksuka juga dikatakan Sanyasin. Namun pendapat saya, kehidupan Sanyasin yang benar-benar sesuai dengan Upanisad sangat sulit dilaksanakan. Sanyasin lebih tinggi dari Bhiksuka karena seorang Sanyasin sudah sama sekali terlepas dari ikatan-ikatan keduniawian, bahkan sudah tidak merasa mempunyai anak, cucu, dan keluarga lain, tidak memperhatikan dirinya dan meninggalkan rumah, berkelana menjalankan kesucian dan hidupnya dari meminta-minta atau dana punia masyarakat. Kematiannya yang ideal adalah secara moksa, atau jika belum mampu meninggal dunia tanpa meninggalkan jasad (layon) maka Sanyasin memilih meninggal dunia di gunung, hutan, atau dipinggir sumber/mata air/sungai yang bersih dan laut. Dalam sejarah perkembangan agama Hindu di Bali, para Sanyasin itu antara lain: Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Mpu Bharadah, Danghyang Nirartha, dll. Yang umum dan realistis dapat dilaksanakan dewasa ini adalah Bhiksuka. Secara sempit bhiksuka dikatakan menjadi Pandita (Pendeta, Romo Pandito, Sulinggih). Arti lebih luas dari bhiksuka adalah menjalani kehidupan "sebagai" Pandita. Jadi walaupun tidak formal menjadi Pandita (artinya tetap sebagai Walaka, tidak melalui upacara dwijati), tetapi jika cara menempuh kehidupannya sudah mengikuti kriteria Pandita maka dia dapat disebut Sang Bhiksuka.
Bhagawadgita IV.19: Yasya sarve samarambhah, kamasamkalpavarjitah, jnanagnidagdhakarmanah, tam ahuh panditam budhah. Artinya: Ia yang segala perbuatannya tidak terikat oleh angan-angan akan hasilnya, dan kepercayaannya dinyalakan oleh api pengetahuan, kepada ia dinamakan Pandita oleh orang-orang yang bijaksana. Berbuat tanpa pamrih dalam Upanisad disebut sebagai Niskama Karma dimana keyakinan tentang ajaran Karma Phala sudah mendalam, bahwa Hyang WIdhi akan memberikan kebaikan kepada orang yang berbuat baik dan memberikan keburukan kepada orang yang berbuat buruk. Karena demikianlah hukumnya maka orang yang sudah mendalami ajaran karma phala tidak akan memikirkan hasil karmanya dan menyerahkan sepenuhnya kepada Hyang Widhi. Orang yang demikian ini sudah tidak lagi hanya "menyatakan" bhakti pada Hyang Widhi, tetapi sudah menjadi "kenyataan" bahwa ia seorang Bhakta yang sejati. Ia adalah orang yang sudah tidak berambisi pada kehormatan, kekayaan, dan kenikmatan duniawi lainnya. Ia berbuat dharma semata-mata karena bhakti kepada Hyang Widhi (lihat uraian tentang Bhakti-marga). Selanjutnya tentang Jnana Agni yang disebut dalam Bhagawadgita IV.9 adalah kepercayaan pada Hyang Widhi berdasarkan pengetahuan sejati. Orang yang menjalani kehidupan diterangi oleh Jnana Agni, mempunyai pengetahuan tentang ke-Tuhanan melalui pengalaman rohani yang mendalam. Kebijaksanaannya dicerahkan oleh pengetahuan sucinya, bagaikan sinar matahari menerangi kegelapan jagat raya.
Orang yang menjalani kehidupan bhiksuka, juga sudah terbebas dari rasa suka dan duka. Mereka disebut sebagai orang yang "Majnyana". Kitab suci Sarasamusccaya sloka 500, 501, 502, 503, 504, 505, 506, 507, dan 508 menguraikan dengan jelas tentang majnyana, antara lain disebutkan bahwa: Sang majnyana adalah mereka yang tingkat kearifan budhinya tinggi karena pikirannya penuh dengan pengetahuan suci (jnanabala), sehingga mampu melenyapkan kesukaan hati dan kedukaan hati. Kedukaan hati akan menimbulkan kesakitan jasmani, dan kesukaan hati akan memabukkan. Orang yang berbudhi luhur adalah orang yang tidak bersedih hati jika mengalami kesusahan, tidak bergirang hati jika mendapat kesenangan, tidak kerasukan nafsu marah dan rasa takut serta kemurungan hati, melainkan selalu tetap tenang, jernih, suci dan dalam kesadaran tinggi pada hakekat brahma widya dan atma widya yaitu pengetahuan tentang atman dan brahman (lihat uraian tentang Jnana marga)
Bila pada masa Bhiksuka seseorang ingin secara formal menjadi Pandita, maka ia harus melalui proses me-Diksa. Diksa dalam bahasa Sanskerta artinya upacara penerimaan menjadi murid dalam kesucian. Istilah lain yang digunakan di Bali untuk me-Diksa adalah: ma-Suci (disucikan), ma-Linggih (kedudukan mulia), ma-Bersih (disucikan), ma-Podgala (menggunakan atribut kepanditaan), ma-Dwijati (lahir yang kedua kali). Dalam Buku Himpunan Keputusan Seminar tentang Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke 14 tahun 1986/1987 yang disyahkan PHDI disebutkan bahwa UMAT HINDU DARI SEGALA WARGA dapat me-Diksa asal memenuhi syarat-syarat: 1) Laki-laki yang sudah menikah/kawin dan yang "Nyukla Brahmacari" (tidak menikah/kawin seumur hidup). 2) Wanita yang sudah menikah/kawin dan yang "Kaniya" (tidak menikah/kawin seumur hidup). 3) Pasangan suami/istri. 4) Usia minimal 40 Tahun. 5) Paham bahasa Kawi, Sanskreta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum, pendalaman intisari ajaran-ajaran Agama Hindu. 6) Sehat lahir bathin dan berbudhi luhur sesuai dengan sesana. 7) Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana. 8) Mendapat tanda kesediaan dari Pandita calon Nabe yang akan menyucikannya. 9) Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri ataupun swasta kecuali bertugas untuk hal keagamaan. Selanjutnya dalam Seminar yang sama ditetapkan pula persyaratan seorang Nabe (guru spiritual): 1) Seseorang yang selalu bersih dan sehat baik lahir maupun bathin. 2) Mampu melepaskan diri dari ikatan keduniawian. 3) Tenang dan bijaksana. 4) Selalu berpedoman pada kitab suci Weda. 5) Paham dan mengerti tentang Catur Weda. 6) Mampu membaca Sruti dan Smerti. 7) Teguh melaksanakan dharma-sadhana, dan sering berbuat amal kebajikan. 8) Teguh melaksanakan tapa brata.
Seseorang yang ingin me-Diksa tidak hanya harus memenuhi persyaratan formal seperti tersebut diatas, tetapi ia juga perlu mempunyai kesiapan mental untuk menjadi Pandita mencakup beberapa hal yaitu: bathin, pikiran, perkataan dan perbuatan. Bathin, pikiran, perkataan dan perbuatan yang suci dapat terbentuk bila dalam menjalani kehidupan dalam jenjang Catur Ashrama, ajaran Catur Marga dapat dilaksanakan dengan baik (lihat uraian terdahulu).
Setelah lahir (dwijati) sebagai Brahmana warna maka Pandita sudah: 1) Amati Raga (Seda Raga) artinya mampu menguasai indria. 2) Amari Sesana artinya berganti kebiasaan hidup dari walaka (orang biasa) menjadi kebiasaan/sesana Pandita. 3) Amari Aran artinya berganti nama, dimana nama yang lama ketika walaka dianggap sudah mati dan selanjutnya menggunakan nama (bhiseka) baru anugrah dari Nabe. Bhiseka Pandita di Bali sesuai dengan tradisi kelompok warga masing-masing, misalnya: Rsi, Mpu, Pedanda, Bhagawan, Dukuh, dll. 4) Amari Wesa artinya berganti atribut, pakaian, dll. misalnya tidak lagi menggunakan gelar-gelar ketika walaka, dan berbusana dan hiasan yang patut sebagaimana ketentuan bagi Pandita.
Seorang Pandita adalah orang yang Sista (suci), Sadhana (merealisir seluruh kehidupannya berdasarkan ajaran Weda), dan Acharya Dewa Bhawa (mengaplikasikan ajaran Weda di masyarakat). Agar dapat melaksanakan swadharma ke-Panditaan dengan baik maka ia haruslah mampu berperan sebagai: 1) Sang Satya Wadi artinya orang yang selalu berbicara tentang kebenaran (menurut Weda) dan kejujuran (hati nurani yang bersih). 2) Sang Apta artinya orang yang bisa dipercaya karena selalu berkata jujur apa adanya. 3) Sang Patirthaan artinya orang yang dapat diminta mensucikan masyarakat dengan doa dan nasihat spiritual agar masyarakat terhindar dari godaan-godaan adharma. 4) Sang Panadahan Upadesa artinya orang yang mampu mendidik masyarakat dalam pembinan moral yang luhur.
Pandita juga teguh melaksanakan Satya, yang didalam Lontar Silakrama disebut sebagai Satyabrata yaitu ketaatan melakukan pengendalian diri tentang makanan, minuman, pasraman, bhusana, dan wacana. Selanjutnya dalam Sarasamusccaya sloka 57 disebutkan: Dharmasca satyam ca tapo damasca vimatsaritvam hristitiksanasuya, yajnacca danam ca dhrtih ksama ca mahavratani dvadasa vai brahmanasya. Artinya: Ini adalah brata Sang Pandita (Brahmana warna) dua belas banyaknya yaitu: Dharma (melaksanakan ajaran Agama), Satya (taat/disiplin), Tapa (mengendalikan diri), Dama (bijaksana), Wimatsaritwa (tidak egois), Hrih (rendah hati), Titiksa (sabar), Anasuya (cinta kasih dan bhakti), Yajna (suka berkorban), Dana (suka berdana punia), Dhrti (pikiran yang tenang dan suci), dan Ksama (suka mengampuni)
Uraian tentang Catur Purushaarta dan Catur Ashrama barulah sebagian dari rambu-rambu Agama yang patut dilaksanakan dalam menggunakan Catur Marga menuju kepada Hyang Widhi. Rambu-rambu selanjutnya adalah:
SISTACARA. Sistacara dalam Upanisad disebutkan sebagai aktivitas kehidupan sehari-hari yang suci sehingga terbentuklah susila pada karakter seseorang. Pengertian "suci" dalam arti luas adalah pola pikir, ucapan dan perilaku yang tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Agama Hindu. Oleh karena ucapan dan perilaku bersumber dari pikiran maka pikiranlah yang terlebih dahulu disucikan. Susila terdiri dari dua kata yaitu "Su" artinya sangat baik atau utama dan "Sila" artinya perilaku. Jadi arti luas Susila adalah kebiasaan tingkah laku yang suci yang sudah menjadi kepribadian seseorang. Jadi sistacara bukanlah bersifat temporer, tetapi terus menerus berlangsung dalam keseharian.
SADACARA. Sadacara adalah sifat yang selalu ingin mentaati peraturan, tata tertib, dan norma-norma lain yang berlaku. Peraturan dan tata tertib ini bisa bersumber dari Pemerintah, Adat, dan Agama. Peraturan, tata tertib dan norma adalah nilai-nilai yang disepakati bersama oleh kelompok masyarakat dan karenanya mengikat bagi anggautanya, bersifat memaksa dan karena itu pelanggaran pada peraturan, tata tertib dan norma membawa sangsi atau hukuman. Peraturan, tata tertib dan norma bisa tertulis dan bisa tidak tertulis. Sangsinyapun dapat berbentuk "skala" atau nyata dan "niskala" atau tidak nyata. Sangsi niskala berkaitan dengan keyakinan Agama yang menimbulkan rasa berdosa, takut, menyesal, malu dll. Seseorang yang melaksanakan sadacara dengan baik bukanlah dimotivasi oleh ketakutan pada sangsi, tetapi lebih pada kesadaran untuk mentaati peraturan, tata tertib dan norma yang dipupuk oleh disiplin kehidupan yang dididik sejak kecil.
ATMANASTUSTI. Atmanastusti terdiri dari dua kata yaitu: Atma dan tusti. Atma artinya hati nurani dan tusti artinya suci. Jadi Atmanastusti adalah upaya untuk selalu menjaga agar hati nurani suci. Hati nurani yang suci akan selalu diganggu oleh godaan-godaan berupa keinginan yang timbul dari rangsangan panca indria. Kemampuan Panca indria tidak dikurangi atau dimatikan, tetapi rangsangannya yang memungkinkan nurani menyimpang dari ajaran dharmalah yang patut dikendalikan.
SAD TATAYI. Sad tatayi adalah bahasa Jawakuno (Kawi), terdiri dari dua kata yaitu: "sad" artinya enam, dan "tatayi" artinya kejahatan. Jadi sad tatayi artinya enam kejahatan yang dilarang Agama Hindu yaitu: 1) Agnida: membakar rumah atau milik orang lain, meledakkan bom, termasuk membakar dalam arti kias yaitu memarahi orang sehingga orang itu merasa malu dan terhina. 2) Wisada: meracuni orang atau mahluk lain. 3) Atharwa: menggunakan ilmu hitam (black magic) untuk menyengsarakan orang lain. 4) Sastraghna: mengamuk atau membunuh tanpa tujuan tertentu karena marah. 5) Dratikrama: memperkosa, pelecehan sex. 6) Rajapisuna: memfitnah.
SAD RIPU. Sad artinya enam dan ripu artinya musuh. Maksudnya bahwa disetiap manusia ada enam sifat yang perlu diwaspadai karena sangat berbahaya, jika tidak dikendalikan bisa menjadi musuh yang menghancurkan diri sendiri dan membahayakan orang lain. Semua manusia tanpa kecuali apakah ia berkedudukan tinggi, apakah ia orang biasa, walaka, sulinggih, dll. mempunyai sifat-sifat: 1) Kama: nafsu. 2) Loba: serakah, 3) Kroda: marah. 4) Mada: mabuk. 5) Moha: sombong. 6) Matsarya: cemburu, dengki, irihati. Sad ripu yang merupakan kodrat manusia mempunyai dua sisi (seperti uang logam) yaitu dharma dan adharma. Sad ripu yang adharma dapat merusak kehidupan manusia, tetapi sad ripu yang dikendalikan dan diarahkan ke ajaran dharma akan menjadi motivator untuk kehidupan yang baik. Dalam keadaan ini sadripu yang adharma sudah menjadi sadguna yang dharma artinya enam musuh yang sudah ditaklukkan berubah menjadi enam kekuatan yang berguna bagi kehidupan manusia.
Kama adalah musuh yang nomor satu, karena dari kama-lah datangnya semua penderitaan. Kama adalah nafsu, termasuk keinginan-keinginan sex, berkuasa, kaya, terpandang, dll. Bila manusia mampu mengendalikan kama kearah yang positif ia akan menjadi baik. Misalnya nafsu sex itu perlu agar manusia ingin menikah dan berhasil mengembangkan keturunan; tetapi jika nafsu sex berlebih-lebihan manusia akan terdorong untuk mencari kepuasan sex yang mengarah kepada perzinahan. Nafsu berkuasa akan berdampak buruk bila kekuasaan digunakan untuk kepentingan diri sendiri, kelompok atau golongan; nafsu berkuasa berdampak positif bila kekuasaan digunakan untuk mensejahterakan manusia dan alam. Nafsu menumpuk kekayaan berakibat negatif bila kekayaan diperoleh melalui jalan adharma dan digunakan hanya untuk memenuhi keinginan sendiri; sebaliknya nafsu menumpuk kekayaan akan baik jika cara memperolehnya sesuai dengan ajaran agama dan penggunannya untuk dana punia menurut porsi tertentu. Nafsu ingin terpandang atau terhormat akan baik bila kedudukan terhormatnya digunakan untuk mengabdi kepada kepentingan masyarakat; sebaliknya akan buruk bila menjadi "gila hormat" demikian beberapa contoh yang dapat dikemukakan, tentunya masih banyak contoh lain dalam perjalanan hidup ini.
Lobha atau rakus, adalah keinginan untuk memperoleh atau mempunyai sesuatu secara berlebihan. Ini berhubungan dengan ukuran rasa kepuasan manusia yang relatip dan tidak terbatas. Pribadi-pribadi manusia mestinya membatasi tingkat kecukupan yang disesuaikan dengan kemampuan. Lobha yang negatif misalnya keinginan yang tinggi tetapi tidak mempunyai kemampuan lalu cenderung mengambil hak atau milik orang lain. Lobha yang positif misalnya keinginan yang tinggi disertai usaha yang serius di jalan dharma untuk mencapai keinginan itu.
Sadripu berikutnya adalah Kroda, yaitu keadaan marah. Marah yang terus menerus merusak kesehatan disamping itu menimbulkan kebencian bagi mereka yang dimarahi. Jika sering marah-marah timbul antipati bahkan pemusuhan sehingga merugikan diri sendiri. Marah yang dihindari adalah marah yang didasari oleh perasan dengki, cemburu dan irihati. Namun ada sejenis marah yang baik, misalnya dalam upaya mendidik anak atau bawahan agar mereka disilin. "Marah" sejenis ini hanyalah menunjukkan bahwa kita tidak suka pada prilakunya yang menyimpang dan berusaha meluruskan dengan dasar kasih sayang.
Mada artinya mabuk; dalam hal ini mabuk lebih bersifat keadaan tidak sadar pada hakekat jati diri sebagai bhakta, dimabukkan oleh kenikmatan dari hal-hal keduniawian misalnya kekayaan, kecantikan, kegagahan, status sosial, kekuasaan, dll. Mabuk yang terkendali baik menjadi bagian sad guna misalnya kecintaan suami-istri.
Moha artinya sombong, perasaan bangga yang berlebihan pada kemampuan dan keberadaan diri sehingga cenderung menganggap rendah orang lain. Moha yang terkendali digunakan untuk mendorong meningkatkan prestasi karena bangga pada prestasi tahap demi tahap yang sudah dicapai, tanpa perasaan meremehkan orang lain.
Matsarya adalah perasaan dengki, cemburu dan irihati melihat keberhasilan orang lain. Seharusnya keberhasilan orang lain menjadi pemikiran bagaimana upaya untuk lebih meningkatkan kemampuan diri agar tercapai hasil yang lebih baik. Cemburu diantara suami-istri yang didasari cinta kasih, bila berlebihan juga akan berdampak negatif.
TRIKAYA PARISUDHA. Trikaya parisudha terdiri dari tiga kata Bahasa Kawi yaitu: Tri = tiga, kaya = aktivitas, parisudha = baik/suci. Jadi Trikaya parisudha artinya tiga aktivitas yang baik meliputi perbuatan (kayika), perkataan (wacika) dan pikiran (manacika). Perbuatan yang baik adalah: 1) Ahimsa: tidak membunuh. Pengertian membunuh dalam arti luas adalah menyakiti atau membunuh mahluk hidup tanpa suatu tujuan yang diperkenankan Agama. 2) Tan mamandung: tidak mencuri, mengambil milik orang lain tanpa ijin, memiliki sesuatu dengan curang, korupsi, dll. 3) Tan paradara: tidak memperkosa, berzina. Perkataan yang baik adalah: 1) Tan ujar apregas: tidak berkata-kata keras, membentak, mengeluarkan kata-kata emosional. 2) Tan ujar ahala: tidak berkata-kata kotor, memaki, menyeloteh. 3) Tan ujar pisuna: tidak memfitnah atau menjelek-jelekkan orang lain. 4) Satya wacana: berkata jujur dan menepati janji. Pikiran yang baik adalah: 1) Tan adengkya ri drwyaning len: tidak menginginkan sesuatu kepunyaan orang lain. 2) Mamituhwa ri hananing karma phala: percaya dengan adanya hukum karma phala. 3) Masih ring sarwa satwa: sayang kepada semua mahluk.
Permohonan kepada Hyang Widhi agar kita senantiasa dibimbing kearah pencapaian Trikaya parisudha dilaksanakan dengan dua cara yaitu: 1) Melakukan Puja Trisandhya minimal tiga kali sehari. 2) Nunas tirtha wangsuh pada. Puja Trisandhya adalah puja atau doa yang diucapkan disaat sembahyang, disyahkan berlaku di Indonesia berdasarkan Keputusan Mahasabha VI PHDI Nomor: 1/TAP/M.SABHA/1991 tanggal 13 September 1991 di Jakarta. Pada bait ke enam berbunyi: OM KSANTAVYAH KAYIKO DOSAH, KSANTAVYO VACIKO MAMA, KSANTAVYO MANASO DOSAH, TAT PRAMADAT KSAMASVA MAM. Artinya: Ya Hyang Widhi ampunilah dosa perbuatan hamba, ampunilah dosa perkataan hamba, ampunilah dosa dari pikiran hamba, ampunilah dosa atas kelalaian (menyimpang dari dharma) hamba. Nunas tirtha wangsuhpada berturut-turut dengan memercikkan tirtha di ubun-ubun tiga kali, maksudnya mohon agar manacika baik; meminum dengan tangan tiga kali maksudnya mohon agar wacika baik; meraup (cuci muka dari bawah keatas) tiga kali maksudnya agar kayika baik. Semua dilakukan tiga kali maksudnya sebagai simbol kemaha kuasaan Hyang Widhi sebagai pencipta (Brahma), pemelihara (Wisnu) dan pemrelina (Siwa) atau dengan aksara suci disebutkan sebagai Ang (A), Ung (U), Mang (M) kemudian menjadi AUM, dan seterusnya menjadi OM. Dimanapun kita (selama masih hidup) nunas tirtha wangsuhpada,tujuannya sama yaitu memohon Trikaya parisudha. Jika kita nunas tirtha di Pura Dalem, maka kita memohon Trikaya parisudha kepada Dewi Durgha; jika di Pura Desa, memohon Trikaya parisudha kepada Dewa Brahma, jika di Pura Puseh atau Segara, memohon Trikaya parisudha kepada Dewa Wisnu; jika di Jagatnatha, memohon Trikaya parisudha kepada Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Jika di Sanggah pamerajan, memohon Trikaya parisudha kepada Bethara-Bethari yang distanakan misalnya Kawitan atau leluhur. Jadi jika menyimak makna nunas tirtha wangsuh pada, tidak ada fanatisme memohon tirtha, dimana saja boleh karena yang dimohon adalah Trikaya parisudha kepada Hyang Widhi, manifestasi-Nya, atau arwah yang sudah disucikan, yang jelas lebih tinggi statusnya dari manusia yang masih hidup. Jika nunas tirtha wangsuhpada bagi orang yang meninggal dunia atau ketika upacara pitra yadnya, maka tujuannya bukanlah untuk memohon Trikaya parisudha karena orang mati sudah tidak mempunyai kayika, wacika dan manacika. Jadi tujuannya adalah sebagai permohonan panugrahan atau ijin/pemberitahuan akan melaksanakan upacara. Oleh karena itu memercikkan tirtha kepada layon atau simbolis layon, tidak perlu di ubun-ubun, diminumkan (karena toh tidak bisa minum) atau meraup. Cukup dipercikkan tiga kali saja kearah hulu layon atau kepala.
ASADHA BRATA. Bahasa Kawi, Asadha = 12, Brata = disiplin kehidupan. Jadi Asada brata adalah dua belas jenis disiplin dalam kehidupan yaitu: 1) Dharma: taat pada hakekat kebenaran. 2) Satya: setia pada nusa-bangsa-negara. 3) Tapa: mengendalikan diri. 4) Dama: tenang dan sabar. 5) Wimatsarira: tidak dengki, iri, serakah. 6) Hrih: punya rasa malu. 7) Titiksa: tidak gusar. 8) Anasuya (tidak bertabiat jahat). 9) Yadnya: rela berkorban. 10) Dana: bersedekah. 11) Dhrti: menyucikan diri. 12) Ksama: suka memaafkan
SADGUNA. Sadguna berarti enam faedah. Artinya yang lebih luas tidak hanya berupa hasil atau manfaat yang diperoleh seseorang dari upaya mengendalikan sadripu yang negatif menjadi positif, tetapi sad guna juga berarti faedah yang diterima orang-orang pribadi karena telah melaksanakan ajaran agama Hindu dengan baik. Ciri-ciri orang yang demikian adalah: 1) Sandhi: mudah keluar dari kesulitan hidup. 2) Wigrha: berpengaruh di masyarakat. 3) Jana: perkataannya dituruti orang lain. 4) Sana: selalu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. 5) Wisesa: bijaksana, berwibawa dan mudah menaklukkan adharma. 6) Srya: mendapat simpati dan disenangi.
Pribadi-pribadi yang dalam keadaan sadguna akan membiaskan fibrasi dharma pada kelompok masyarakat sekitarnya sehingga terwujudlah masyarakat yang bercirikan: SATYAM (taat beragama), SIWAM (kasih sayang), SUNDARAM (sejahtera). Masyarakat yang seperti inilah yang ideal menurut dharma/agama sebagaimana yang dimaksud pada inti ajaran Weda, dimana moksartham jagadhita terwujud nyata yaitu kehidupan yang damai, aman, dan sejahtera. Prinsip-prinsip Trihita Karana: tiga hal yang menyebabkan kebaikan terlaksana: bhakti kepada Hyang Widhi (parhyangan), kasih sayang kepada sesama umat manusia (pawongan) dan pemeliharaan kelestarian alam semesta (palemahan)
Om Santi, Santi, Santi, Om...
|