Babad Buleleng
 
  Bagian 2
 
Beliau Pedanda Kemenuh sebagai putra laki-laki tertua, beliau pindah ke Ler Gunung, desa Kayu Putih, beliau memiliki pengetahuan yang tinggi sangat pandai dalam hal ilmu weda, sangat mahir membuat keris, keluhuran ilmu Pasupatinya, beliau sangat terkenal di masyarakat, oleh karenanya ada sebutan keris buatan Kayu Putih, demikianlah keutamaan beliau, lalu dimintalah beliau, oleh Ki Gusti Panji Sakti, beliau diberi kedudukan sebagai bagawanta, dinobatkan menjadi pendeta kerajaan, dan beliau disuruh mengalih ke banjar Ambengan, beliau diberi pengikut/abdi sebatas barat sungai Bok-Bok, lebih kurang, 3000 banyaknya, selanjutnya Pedanda Sakti Ngurah sebutan beliau di masyarakat, oleh karena sangat kasih sayang serta taat hati beliau (Ki Gusti Panji Sakti) kepada pendeta gurunya, dibuatkan rumah di Sukasada, sehingga saling berdekatan tempat tinggalnya, disebut Griya Romarsana, setelah saatnya tiba, akhirnya beliau dipanggil menuju alam baka, berada di pertapaan Kayu Putih, sebab beliau tidak menyadari akan tibanya ajal, ada putra beliau yang menggantikan, seperti kedudukan bapaknya, sebagai bagawanta baginda raja, lalu mengumpulkan rakyat, Pedanda Sakti Ngurah juga namanya oleh baginda raja, beliau tak mengenal lelah meniru keahlian ayahnya untuk menyenangkan baginda raja, selanjutnya mempunyai kegemaran membuat keris, sangat luar biasa keris buatannya, itulah sebabnya ada sebutan keris buatan Banjar, senjata tajam mengandung kesaktian, demikian Pedanda Sakti Ngurah sangat cintanya, sebab beliau ingat akan leluhurnya, tidak ada lain asalnya memang bersaudara, pada saat masih berada di daerah Yawadwipa, itulah sebabnya ada perjanjian beliau berdua ada di desa Romarsana, agar tidak berpisah, saling menjaga, dalam suka duka, sama-sama senasib dan seperjuangan, satu bersenang semuanya bersenang, satu bersedih semuanya bersedih, sehingga bagaikan tingkah laku persaudaraan, lalu ditiru oleh masyarakat, demikianlah perjanjiannya, semua sudah bahagia, itulah sebabnya desa Romarsana disebut Sangket, sebab dipakai sebagai tempat mengikat perjanjian, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dengan beliau yang dihormati Pedanda Sakti Ngurah, lanjut serta anak cucu beliau, agar meniru kebiasaan baik leluhurnya. dari putra yang tertua Sri Bagawan Dwijendra, Pedanda Sakti Wawu Rawuh nama lain beliau, sebab beliau mengawali datang ke Pulau Bangsul / Bali.

Kembali diceritakan, putra Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, lahir dari I Dewa Ayu Juruh, kedudukannya sebagai putra mahkota, yang tertua bernama Ki Gusti Ngurah Panji, seperti nama ayah beliau, dan yang kedua bernama Ki Gusti Ngurah Panji Made, serta yang bungsu bernama Ki Gusti Ngurah Panji Wala, sama-sama tampan tak tercela keadaannya, amat tenteram hati beliau raja, ada terbetik dalam hati, bersiap untuk menyerang menuju daerah Brambangan, daerah Yawadwipa, sebab beliau ingat akan anugerah Ki Panji Landung, pada saat dulu, lalu beliau membuat akal-upaya selengkapnya, seluruh prajurit pemberani dipanggil, yang sudah sering menyerang musuh, semuanya prajurit yang perwira sebagai pimpinan, dua puluh jumlahnya, sama-sama keturunan pemberani, diajak bermain gagak-gagakan, oleh baginda Raja Panji Sakti, dan mereka semua bergilir menjadi burung gagak, ditanya oleh baginda Raja, "Gagak apa yang kamu harapkan?" Si gagak kemudian menjawab, ada yang meminta makanan, minuman, anak gadis, mas permata, busana, serta manikam, bermacam-macam permintaannya masing-masing, semua sudah dipenuhi permintaan goak itu, sama-sama senang hati gagak itu menikmati makanan dan minuman, sandang, pakaian dan pangan, tidak jemu-jemu sama-sama memenuhi keinginan, setelah demikian, selanjutnya beliau Raja menjadi gagak, ditanya oleh para patih semua, "Gagak apa keinginanmu?", Si gagak lalu menjawab, "gagak, goak, gak, keinginanku menundukkan Brambangan", semua prajurit bersorak, sebab penuh sesak para prajurit yang menonton. Setelah selesai, bersiap-siap mengatur para prajurit itu, penuh dengan persiapan, beserta perahu sudah banyak disiapkan, sudah siap ditambatkan tinggal menunggu komando baginda Raja, berayun-ayun dalam samudera sampai ke sungai pelepasan.

Pada saat hari yang baik, yang disarankan oleh Sri Bagawanta, beliau Sri Bupati berangkat, dengan menaiki perahu, diiring oleh rakyatnya banyak, adapun jalur yang dilalui perahu itu, menuju Candi Gading daerah pinggiran pantai Tirta Arum, selanjutnya menyerang ke daerah Banger, disergap oleh Dalem Brambangan, luar biasa ramainya pertempuran itu, jenazah bagaikan gunung, berlautan darah, di medan pertempuran, selanjutnya beliau bertemu dengan Dalem Brambangan, yang berada di tengah medan laga, selanjutnya satu demi satu mengadu kekuatan di medan laga, sama-sama ikhlas berani dan tangkas bertarung, entah berapa lama perang itu berlangsung, lalu terjebak Dalem Brambangan , dadanya ditikam oleh beliau Sri Panji Sakti, dengan keris Ki Semang, lalu beliau Dalem Brambangan terjerembab, selanjutnya menghembuskan nafasnya yang terakhir, akhirnya kekuasaan Brambangan jatuh menjadi tunduk, semuanya tunduk memohon supaya tetap hidup.

Didengarlah oleh Baginda Raja Solo, akan kehebatan Sri Panji Sakti, lalu beliau menjalin persahabatan berdua, selanjutnya beliau Sri Panji Sakti diberi gajah tunggangan, setelah semuanya selesai, Sri Panji Sakti kembali pulang ke Bali, dengan membawa panji-panji hasil rampasan, segala macam yang utama, akan tetapi ada yang disakitkan dalam hati, sebab anaknya yang masih muda, yang bernama Ngurah Panji Nyoman, Danudresta nama lainnya, sudah gugur dalam medan pertempuran di Brambangan, tak lama berduka cita kemudian beliau kembali sukacita, seperti keadaan semula, sebab dihibur oleh Sri Maha Rsi Bagawanta, Pedanda Sakti Ngurah. Demikian kehebatan beliau Sri Panji Sakti terdengar

Diceritakan Sri Panji Sakti, merintis membangun kota (pura), di pategalan daerah Balalak, tempat orang menanam Buleleng, ada dijumpai di sana, ibu leleng, banyak orang-orang yang tinggal di sana, tempat tanah lapang itu, di bagian utara wilayah Sukasada, setelah menjadi besar tempat kota itu, banyak orang berbondong-bondong pergi pindah ke sana, akhirnya penuh dengan rumah tempat tinggal, selanjutnya diberi nama Kota Buleleng, dan istana tempat tinggal baginda raja, diberi nama Singaraja, sebab jelas bagaikan singa keberanian baginda Raja, serta gajah beliau yang bagaikan gajah Nirwana, dibuatkan kandang di bagian utara kota, itulah sebabnya bernama Petak desa itu, dan yang menggembalakan gajah, adalah tiga orang dari Jawa, pemberian raja Solo, dua orang bertempat di daerah bagian utara Petak, itu selanjutnya bernama Kampung Jawa, serta yang seorang lagi, bertempat di Lingga dekat dengan pesisir Toya Mala, sebab asalnya dari Prabulingga Yawadwipa, di antara desa Petak dan desa (Kampung) Jawa, bernama desa Paguyangan, sebab tempat gajah beliau berguling-gulingan digembalakan di sana, demikianlah ceritanya dahulu.

Setelah lama-kelamaan, orang Jawa di Kampung Jawa, mengembangkan keturunan, kemudian dibagi atas perintah baginda Raja, ditempatkan di hutan Pagatepan, selanjutnya juga diberi nama Pagayaman, sebagai penjaga benteng di daerah pegunungan.

Entah berapa lama, kembali Sri Panji Sakti, pergi menyerang Jaranbana, oleh karena kehebatan keris Ki Semang, akhirnya hancur daerah Jaranbana, dapat ditaklukan oleh Sri Panji Sakti.

Tak terhitung berapa lama kemudian, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, mendengar berita, ada seorang putri yang sangat cantik bernama Ki Gusti Ayu Rai, saudara dari Ki Gusti Ngurah Made Agung, yang berkuasa di Mengwi, beliau sekarang ingin melamarnya, akan dipakai sebagai istri, utusan pun sudah berjalan, lalu ditolak mas kawin beliau, akhirnya main beliau Ki Gusti Ngurah Panji, timbullah kemarahannya, ingin untuk menghancurkan wilayah Mengwi, oleh karena kewibawaannya dijadikan kebanggaan, setelah mampu menguasai daerah Banger, selanjutnya beliau mengirim utusan, menantang wilayah Mengwi untuk bertempur. Keinginan beliau untuk mengadu, prajurit andalan beliau yang berupa gagak-gagak itu, bersama prajurit Mengwi, sebab terkenal bernama Teruna Batan Tanjung, beserta Teruna Munggu, disanggupi oleh penguasa Mengwi, sama-sama mendorong prajurit beliau untuk bertempur, ramai pertempuran itu, saling amuk, sama-sama tikam, menikam, sama-sama pemberani, dilihat oleh beliau berdua, lalu disuruhnya untuk mengakhiri perang itu, oleh karena keinginan beliau Ki Gusti Ngurah Made Agung, mencoba keberanian dan kehebatan orang-orang Ler Gunung, sekarang telah beliau ketahui benar-benar keberaniannya dalam pertempuran, ikhlas hatinya memberikan adiknya, pada Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, tidak diceritakan perundingan beliau berdua, setelah sama-sama sepakat, maka sebagai raja yang berwibawa, baginda di atas singasana, selanjutnya Ki Gusti Ngurah Panji Sakti beserta Ki Gusti Ayu Rai dinikahkan, setelah demikian keadaannya, kembali beliau penguasa Den Gunung, diiringi istri beliau Ki Gusti Ayu Rai, sebagai balas jasa cinta kasih beliau kepada raja Mengwi, diserahkan daerah Brambangan, beserta Jaranbana, oleh baginda penguasa Ler Gunung.


Setelah beliau tenteram berada di daerah Buleleng, tidak ada yang berani menentang atau melawan keinginannya, sehingga Ki Ngurah Panji Sakti memikirkan ingin menghadapi dengan alasan untuk bertempur, maka Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, pergi ke gunung Batukaru, daerah kekuasaan Bandana, diiringi banyak prajuritnya, dilengkapi dengan senjata, setiba beliau di sana, segera beliau merusak parahyangan Agung Batukaru, semua bangunan suci dirusaknya, dipindahkan dari tempatnya, tiba-tiba ada lebah berpuluh-puluh jumlahnya, masing-masing segenggam besarnya, tidak diketahui dari mana asal mulanya, bagaikan kehendak dewata, berhamburan menyerang beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, bagaikan bencana dari Dewata pikirnya, tidak tertahan oleh beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, selanjutnya beliau lari beserta dengan prajuritnya, tidak melihat lagi ke belakang, sebab beliau sudah merasa dalam hati, bahwasanya itu kutukan Dewata pada dirinya.

Lama-kelamaan, kembali Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, menantang perang, datang ke wilayah Badeng, beserta dengan prajurit serta perlengkapannya, dengan menunggangi gajah besar, setiba beliau di daerah bagian utara tempat suci (pura Satria) Badeng, dihadang oleh banyak prajurit dari daerah Badeng, perangpun terjadi , tikam-menikam, namun akhirnya berdamai juga dengan penguasa daerah Badeng, daerah tempat pertempuran itu selanjutnya diberi nama Taensiat, sampai sekarang, oleh karena tempat permulaan terjadinya perang antara prajurit Den Bukit, melawan prajurit Badeng. Selanjutnya Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, mengambil istri dari golongan Wesya dari Banjar Ambengan Badung.

Beberapa lama kemudian, ada terdengar berita, oleh Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, bahwa cucunya Ki Gusti Ngurah Jarantik, di daerah Jarantik dikecewakan oleh Dalem Bali, di daerah Gelgel, kesalahannya karena tidak memberikan keris pusakanya, yang diinginkan oleh Dalem, itu yang menyebabkan beliau sedih dalam hati, beliau ingin meninggalkan daerah Jarantik, berusaha menyelamatkan diri, oleh karena terpikir pasti mati, jika tidak pergi dari daerah Jarantik, pergi jauh, terdorong atas kejengkelannya Ki Gusti Ngurah Agung, yang begitu iri hati ke hadapan Ki Gusti Ngurah Jarantik, oleh karena demikian keadaannya, beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti segera, pergi ke daerah Jarantik, didapatkan orang-orang yang berada dalam istana sangat sedih dalam hati, terutama Ki Gusti Ngurah Jarantik, menceriterakan kesusahannya, setelah selesai daya upayanya, akhirnya mereka serempak pergi dari daerah Jarantik, mencari tempat menuju ke desa Tojan daerah Bala Batuh, atas perintah Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, selanjutnya beliau mengantarkan, lalu beristirahat di daerah utara desa Beng Gianyar, ada tanaman-tanaman penduduk di sana berupa kacang tanah, dimakan oleh gajah tunggangan beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, karenanya ada wilayah yang bernama Kacang Bedol, sampai sekarang, oleh karena gajah tunggangan beliau memakan kacang yang ada di sana, tidak diceritakan perjalanan beliau yang mengungsi, lalu tiba di daerah Tojan, dijemput oleh Ki Bendesa Wayan Karang, yang menguasai daerah Tojan, selanjutnya beliau membangun istana, tunggangan beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, digembalakan di daerah bagian barat laut daerah Tojan, itulah sebabnya bernama daerah Angon Liman, Bangun Liman nama lainnya sampai sekarang, dan di bagian timurnya ada semak belukar, tempat beliau Panji Sakti berburu, dinamakan Buruwan sampai sekarang.

Entah berapa lama beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti berada di Tojan, oleh karena sudah handal kedudukan Ki Gusti Ngurah Jarantik, bukan main senangnya beliau berdua dalam hubungan keluarga, sama-sama memperingatkan perjanjian, sehingga tidak luntur rasa cinta kasih dan keteguhan ikatan kekeluargaannya, serta keturunannya, suatu kedudukan untuk cucunya kemudian, sesudah sama-sama menyepakati ikrar itu, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, menunjukkan kebesarannya, lalu menghadiahkan tombak Ki Pangkajatatwa, kepada cucunya Ki Gusti Ngurah Jarantik, sebagai pemberian resmi kepada cucu, tujuannya sebagai tanda sampai di kemudian hari, setelah beliau selesai memberikan wejangan kepada anak cucunya tentang ajaran Kamahayanikan, serta tata cara memimpin wilayah, lalu beliau kembali pulang ke Den Gunung, demikian ceritanya.

Entah berapa lamanya, oleh karena sudah kehendakNya, terjadilah kehancuran di daerah Gelgel, ketika itu Sri Dalem Dewa Agung Jambe masih kecil, oleh karena sifat loba dan durhakanya Kyayi Agung Maruti, mengharap-harapkan akan menggantikan raja Gelgel, serta sudah banyak para menteri dan rakyat yang senang menghamba kepadanya (Kyayi Agung Maruti), oleh karena kelicikan Kyayi Agung, merangkul semua orang, perkataannya sangat manis, dan lembut, akan tetapi banyak juga para Arya kesatria bujangga, tidak menyenangi tingkah laku Kyayi Agung, menyebabkan pikiran orang menjadi berbeda-beda, sama-sama mencari pemimpinnya yang disenangi sendiri-sendiri, sehingga terjadi keributan di wilayah Gelgel, Sri Dalem Cili, dilarikan oleh para menterinya, dibawa bersembunyi ke Singharsa, disangga selengkapnya oleh beliau Ngurah Singarsa, berkat baktinya bertuan.

Tidak lama kemudian, terjadilah persidangan para punggawa agung, yang masih tetap setia kepada Dalem, sebagai pemimpin beliau Ngurah Singharsa, setelah selesai memberikan surat kepada para manca semua, sampai ke Ler Gunung serta ke daerah Badung, semua menyetujui dan satu tujuan dengan Ngurah Singharsa, hendak menghancurkan Kyayi Agung Maruti, setelah mufakat sama-sama berangkat dari daerahnya masing-masing, seperti Ki Gusti Ngurah Panji Sakti sudah berangkat, lengkap dengan segala macam senjata, tak terhingga banyaknya, memenuhi jalan dengan riuhnya, bermarkas di desa Panasan sebelah barat Toya Jinah, oleh karena sangat kesusahan masyarakat di sana, oleh senjata dari Ler Gunung, oleh karenanya disebut Desa Panasan sampai sekarang, kemudian bertemu dengan prajurit Kyayi Agung dari Gelgel, sebagai senapati Ki Dukut Kerta, dihadapi oleh Ki Tamlang, patih beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, luar biasa ramai pertempuran itu, saling sergap, kemudian kalah pertahanan Ki Padang Kerta, dadanya tertikam, kepalanya dipenggal, matilah Ki Padang Kerta, oleh Ki Tamlang, kacau balau prajurit Ki Gusti Agung Maruti menjadi bubar, tak mampu bertahan, sehingga Ki Gusti Agung terpengaruh, ikut lari, melarikan diri dari pertempuran, seraya dikejar oleh prajurit dari Ler Gunung, seperti Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, dengan mengacungkan keris yang terbuat dari baja, bergagang kayu pelet berbentuk babodolan, yang sudah dihunus dari sarungnya, seberapa jauhnya Ki Gusti Agung Maruti lari, terus juga dikejar, lalu dibanjiri kanan kiri oleh prajurit dari Ler Adri, sehingga beliau ibarat anjing terpukul, oleh karena tidak ada jalan, sehingga beliau berbalik bersama prajuritnya, keinginannya untuk sekaligus dengan bertempur habis-habisan, mencari jalan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti yang ditujunya, beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti penguasa dari Ler Adri sangat hati-hati, keinginannya untuk menandingi dalam pertempuran, ketika bersikap akan berbuat, kemudian tangkai keris itu pecah menjadi dua, tangkai keris yang berbentuk babodolan, rusak pukuh kerisnya, sehingga Ki Gusti Ngurah Panji Sakti kaget terhenti, selanjutnya mengganti senjata, mengambil keris pusaka Ki Semang, saat itu Ki Gusti Agung Maruti dapat kesempatan menghindar bersama prajuritnya, haripun menjelang malam, maka tidak dapat dikejar oleh Ki Gusti Panji Sakti, selanjutnya menuju Gelgel, di sana beliau mengutarakan sumpahnya, semua keturunannya sampai kemudian hari, tidak boleh mempergunakan senjata yang berkepala/berbentuk babodolan, oleh karena sangat tidak berguna, demikian ceritanya.

 

 

Entah berapa lamanya, pemerintahan Sri Panji Sakti, beliau tetap tinggal di istana Sukasada, beliau menurunkan banyak putra serta cucu, tidak ada yang berani menentang perintah beliau raja, semuanya diam tunduk dan setia, masing-masing melakukan kegiatannya, dan entah berapa lamanya, setelah tiba ajalnya, akhirnya beliau Ki Gusti Ngurah Panji moksah, menuju alam Nirwana, meninggalkan sanak keluarga, meninggalkan banyak putra laki perempuan, masing-masing namanya, yang tertua Ki Gusti Ngurah Panji Gede, yang berhasil menggantikan menjadi raja Den Bukit, beliau tinggal di istana Sukasada, adiknya bernama Ki Gusti Ngurah Panji Made, satu ibu lahir dari I Dewa Ayu Juruh.

I Gusti Alit Oka, I Gusti Made Padang, satu ibu lahir dari golongan Wesya yang berasal dari Banjar Ambengan Badung. Beliau I Gusti Made Padang, mengambil istri I Gusti Luh Abyan Tubuh, anak Ki Gusti Sakti, raja Tabanan.

Ki Gusti Wayan Padang, Ki Gusti Made Banjar, satu ibu berasal dari desa Panji. Dan lagi I Gusti Ayu Panji, beribu Ki Gusti Ayu Rai, putri raja dari Mangwi, dipakai istri oleh Ki Gusti Anom dari Kapal Mangwi.

I Gusti Ngurah Panji Cede, mempunyai seorang putri, bernama I Gusti Ayu Jelantik Rawit, I Gusti Ngurah Panji Made, berputra I Gusti Ngurah Panji Bali, beristri I Gusti Ayu Jelantik Rawit, I Gusti Panji Tahimuk, I Gusti Made Munggu, I Gusti Nyoman Panji, I Gusti Oka paling kecil.

I Gusti Alit Oka, mempunyai seorang putri, bernama I Gusti Ayu Nambangan Mas, nama lain beliau I Gusti Ayu Den Bukit, dipakai istri oleh beliau Dalem Dewa Agung Made, yang berhasil melahirkan Dewa Agung Panji beserta keturunannya.

I Gusti Made Padang berputra Ki Gusti Gede Jelantik, beliau pindah ke Jineng Dalem. I Gusti Wayan Padang, berputra Ki Gusti Lanang Jelantik, I Gusti Panji Dalugdag. I Gusti Made Banjar, berputra tiga laki-laki, semuanya ikut mengiringkan Ki Gusti Ayu Nambangan Mas Den Bukit, ke Klungkung. I Gusti Ayu Panji, kawin ke Mangwi daerah wilayah Kapal.

Sesudah sama-sama pergi ke alam baka, seperti Ki Gusti Ngurah Panji Gede, beserta Ki Gusti Ngurah Panji Made, lalu digantikan oleh Ki Gusti Ngurah Panji Bali, menjadi raja di daerah Den Bukit, selanjutnya beliau beristana di Sukasada, akan tetapi istana di Singaraja dipelihara sebagai tempat bersenang-senang, karena dibuat oleh leluhurnya, supaya tidak hilang dan hancur, tetap handal selama pemerintahan beliau, tidak ada yang berani berbuat durhaka.

Ada putranya Ki Gusti Ngurah Panji Bali, dua orang laki-laki berlainan ibu, yang tertua bernama Ki Gusti Ngurah Panji, beliau sebagai raja di istana Sukasada. Adiknya, bernama Ki Gusti Ngurah Jelantik, beliau yang menjadi raja di Singaraja, oleh karena sudah dibagi daerah Lor Adri oleh dua bersaudara itu, sama-sama lahir dari permaisuri.

Adapun I Gusti Made Munggu, berputra Ki Gusti Wayan Panji. Ki Gusti Wayan Gulyang, sama-sama berada di Singaraja, I Gusti Made Ksatra, I Gusti Made Ino, serta I Gusti Ketut Intaran Kawan, yang pergi ke Patemon, dan lagi I Gusti Nyoman Patandakan, yang pergi ke Bon Tihing. I Gusti Nyoman Panji, berputra I Gusti Wayan Ksatra; I Gusti Made Ino, dan I Gusti Ketut Intaran Kawan, sama-sama di Sukasada. I Gusti Oka, beliau tidak berputra. Adapun Ki Gusti Gede Jelantik, beliau mempunyai dua orang putri, bernama I Gusti Ayu Raka yang tertua, dipakai istri oleh beliau yang berkuasa di Sukasada, dan yang kedua, I Gusti Ayu Rai, dipakai istri oleh beliau yang berkuasa di Singaraja. Adapun tiga orang yang mengikuti I Gusti Ayu Nambangan Mas, di Klungkung, pindahnya dari Banyuning, mereka menetap tinggal di Banjar Lebah Klungkung, mereka menurunkan banyak keturunan di sana, tunduk setia kepada beliau yang diikutinya. Ki Gusti Lanang Jelantik, berputra Ki Gusti Alit Ksatra. Ki Gusti Panji Dalugdag, berputra Ki Gusti Bagus Panji Celuk, beserta saudaranya di Banyuning. Demikian beliau pergi mencari tempat tinggal, sebab rakyatnya sama-sama bakti menghamba.

Lama-kelamaan, sebagai manusia yang tidak luput dari kesulitan dan penyakit, tak terduga takdir Yang Maha Kuasa, terjadilah perselisihan di dalam keluarga, yang berkuasa di Sukasada, dengan yang berkuasa di Singaraja, semakin lama semakin keras bentrok mereka, tidak ada yang berani menghalanginya, sebab sama-sama sangat mempercayai fitnah, sehingga yang berkuasa di Singaraja, meminta bantuan kepada Ki Gusti Ngurah Ketut Karangasern, Raja di Amlapura, sebagai pengatur siasat I Gusti Nengah Sibetan Wiweka, sebagai penguasa desa Selat, apa yang dikatakan, Raja di Singaraja Ki Gusti Ngurah Jelantik, membuat perjanjian imbalan terlebih dahulu, jika sudah mencapai tujuan, menyebabkan tunduk kakaknya, yang berkuasa di Sukasada, bersedia akan membagi pajak bumi Den Gunung, sama-sama memimpin bumi Buleleng, sebagai pemimpin hanya Ki Gusti Ngurah Jelantik, sebagai lambang adapun Sri Bupati dari Amlapura sebagai raja muda (iwaraja), sebagai pemimpin taktik dan strategi pemerintahan (makocering niti), maka perjanjiannya disetujui oleh beliau yang memimpin Karangamla, segera berkemas prajurit itu lengkap dengan senjata, lengkap dengan segala perlengkapan, seluruh pasukan Karangasern, siap untuk berangkat ke Den Gunung, menuju kota Singaraja.

Tidak lama kemudian, didengar oleh kakaknya, jika adiknya meminta bantuan dari Karangasern, telah semua prajuritnya sampai di sana, luar biasa marahnya kepada adiknya, sehingga semua prajuritnya dipanggil dikumpulkan, disertai dengan senjata yang bertubi-tubi tan putus-putusnya, dengan maksud mendahului menyerang kota Singaraja, para prajurit menyebar menyerbu riuh rendah, hal itu diketahui oleh beliau penguasa Singaraja, sehingga sama-sama bersiaga, kemudian terjadilah perang, antara kedua istana itu, menjadi medan perang, setelah kedua belah pihak sama-sama melakukan pertempuran, saling berguguran. dorong mendorong, tikam-menikam, saling tombak, adapun sebagai pimpinan I Gusti Ngurah Jelantik, sehingga prajurit Sukasada menjadi terdesak, oleh karena kebanyakan musuh, dengan dibanjiri keberanian, tiba-tiba sama-sama melarikan diri bubar serta mundur, ada yang dirasakan dalam hati, akan hal kematiannya hampir tiba, itulah sebabnya Ki Gusti Ngurah Panji menjadi marah, menerobos ke tengah-tengah medan laga, ke depan dengan membawa keris pusaka Ki Semang, mengamuk dengan sangat hebatnya, banyak musuh beliau yang terbunuh, oleh karena kebanyakan lawan, sama-sama tidak hendak mundur, akhirnya kedua belah pihak Karangasern dan Singaraja berkumpul, menyerang mengurung, sehingga Ki Gusti Ngurah Panji dapat dikerubut, diusahakan merebut kerisnya, sehingga dapat diambil oleh musuhnya, akhirnya setelah lepas senjatanya beliau pun ditikam, darah beliau memancur, sehingga gugurlah beliau yang beristana di Sukasada, prajurit beliau semuanya tunduk memohon perlindungan, akhirnya semua prajurit Ler Gunung berkumpul menghamba kepada Ki Gusti Ngurah Jelantik, sebagai pemimpin daerah Den Bukit, beristana di Singaraja, sebagai raja muda beliau yang bergelar I Gusti Nyoman Karangasern, keturunan Arya Patandakan, sama-sama beristana di Singaraja, yang pindah dari Karangasern, atas perintah beliau Ki Gusti Ngurah Ketut Karangasern.

Lama-kelamaan, setelah tiba ajalnya, beliau I Gusti Ngurah Jelantik wafat, namun karena liciknya daya upaya beliau raja Amlapura, akhirnya tersebar pula diketahui oleh rakyat, timbul pikiran loba dan tamak pada kawan, dengan mengandalkan kekuatan senjata dan rakyat, serta kereta perang dan perbekalan, di balik isi perundingan dulu, I Gusti Nyoman Karangasern dinobatkan menjadi raja Singaraja.

Adapun anak beliau I Gusti Ngurah Jarantik, yang tertua bernama Ki Gusti Bagus Jelantik Banjar, berkedudukan sebagai patih di istana Bangkang, di bagian barat We Mala.

Tak lama kemudian, Ki Gusti Nyoman Karangasern, memerintah sebagai raja wilayah Den Bukit, beliau meninggal karena diserang oleh penyakit, kemudian digantikan oleh Ki Gusti Agung Made Karangasern Sori, keturunan Karangasern, lebih kurang selama tiga tahun lamanya beliau berkuasa, beliau turun dari singgasana, oleh karena beliau tidak tegas memerintah rakyat, sehingga beliau memilih muka, tidak adil kepada rakyat.

Adapun yang menggantikan beliau, bergelar Ki Gusti Ngurah Agung, mulanya juga dari Karangasern, sejak lama mengembara di Jembrana, sehingga beliau meninggal di Pangambengan Jambrana, diserang oleh prajurit penuh dengan senjata, oleh karena rakyat Jambrana tidak setuju menghamba kepada beliau.

Kembali diceritakan, Ki Gusti Ngurah Panji, raja di Sukasada, yang meninggal di medan pertempuran dahulu, karenanya ada bernama desa Baratan, sampai sekarang, adalah bekas dua orang saudara bertempur, yang meninggal dalam pertempuran, meninggalkan putra, bernama Ki Gusti Ketut Panji, yang kalah dalam pertempuran dan masih hidup, selanjutnya beristana di Sukasada.

Adapun yang menang dalam pertempuran, mempunyai putra bernama Ki Gusti Bagus Jlantik Banjar, beliau berkedudukan sebagai patih di istana Bangkang, ketiganya sama-sama meninggal karena tanah longsor, pada Isaka 1737 (1815 M), sebab lumpur dari gunung mengalir melaju ke wilayah Sukasada serta Bangkang, banyak rakyat yang meninggal terbenam oleh lumpur itu.

Ada adik beliau Ki Gusti Bagus Jlantik Banjar, bernama Ki Gusti Ketut Jlantik, tidak meninggal oleh banjir lumpur itu, sebab beliau sudah pindah ke daerah Kubutambahan, serta adiknya yang bernama Ki Gusti Made Jlantik, mengungsi desa Pereyan Tabanan, beliau meninggal di sana, adapun yang bungsu bernama Ki Gusti Ketut Panji, beliau masih tetap tinggal di Singaraja.

Adapun anaknya Ki Gusti Wayan Ksatra, yang bernama Ki Gusti Wayan Panji, Ki Gusti Wayan Panebel, serta Ki Gusti Nyoman Panarungan, sama-sama masih di Sukasada, semuanya meninggal terbenam dalam lumpur pada tahun Isaka 1737 (1815 M).

Adapun Ki Gusti Ayu Den Bukit, yang diambil sebagai istri oleh beliau Dalem Smarapura, berputra Dewa Agung Panji, beliau yang menurunkan Cokorda Agung Mangwi, beserta Dewa Agung Putu di daerah Getakan, serta Cokorda Mayun Giri, di daerah Nyalian.

Adapun sanak saudaranya, beliau Ki Gusti Ayu Den Gunung, yang mengikuti beliau di Klungkung dahulu, yang paling tua menurunkan mereka yang berada di Gunung Rata, adiknya berputra yang menurunkan mereka yang berada di Sampyang Gianyar, sedangkan yang paling kecil berputra yang berada di daerah Lebah Klungkung.