Pura Besakih disebut Pura Purusa, sedangkan
Pura Batur disebut Pura Pradana.
Di Pura Besakih, Tuhan dipuja untuk menguatkan
jiwa kerohanian umat untuk mencapai kebahagiaan spiritual.
Sedangkan di Pura Batur, Tuhan dipuja untuk menguatkan spiritual
umat dalam membangun kemakmuran ekonomi.
Tenang secara rohani dan makmur secara
ekonomi merupakan dambaan universal setiap umat manusia
di dunia ini. Mengapa disebut Pura Purusa dan Predana. Hal
ini diceritakan dalam Lontar Usana Bali. Dalam Lontar Usana
Bali itu diceritakan secara mitologis bahwa Gunung Mahameru
di India sangat tinggi hampir menyentuh langit. Kalau langit
sampai tersentuh maka hancurlah alam ini. Karena itu Sang
Hyang Pasupati mengambil puncak Gunung Mahameru di India
dengan kedua tangannya. Bongkahan Gunung Mahameru itu diterbangkan
ke Bali. Bongkahan yang digenggam dengan tangan kanan beliau
menjadi Gunung Agung. Sedangkan bongkahan pada tangan kiri
beliau menjadi Gunung Batur. Di Gunung Agung distanakan
Sang Hyang Putra Jaya (Sang Hyang Maha Dewa). Sedangkan
di Gunung Batur distanakan Dewi Danuh. Dewi Danuh itu tidak
lain adalah saktinya Dewa Wisnu. Dewa Wisnu adalah Tuhan
sebagai dewanya air untuk kemakmuran makhluk hidup.
Lontar yang menyebutkan keberadaan Pura
Batur ini antara lain Lontar Usana Bali, Lontar Kusuma Dewa,
Lontar Raja Purana Batur. Menurut lontar tersebut Pura Batur
adalah Pura Sad Kahyangan yang tergolong Kahyangan Jagat
untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran. Kahyangan Jagat
adalah tempat pemujaan Tuhan bagi semua umat Hindu.
Dasar membangun kemakmuran dinyatakan dalam
Bhagawad Gita adalah kris, goraksya dan vanjyam yang artinya
pertanian, peternakan dan perdagangan. Kemakmuran tersebut
tidak mungkin terwujud tanpa ada air. Dari airlah stavira
(tumbuh-tumbuhan), janggama (hewan) dan manusia mengembangkan
kehidupannya.
Salah satu tujuan pendirian Sad Kahyangan
itu untuk memotivasi umat manusia melestarikan Sad Kerti
membangun kesejahteraan lahir batin. Danu Kerti dan Wana
Kerti adalah dua dari enam unsur Sad Kerti. Air samudera
menguap menjadi mendung. Mendung jatuh menjadi hujan. Air
hujan yang turun tanpa ada tumbuh-tumbuhan akan bablas langsung
ke laut.
Kalau ada tumbuh-tumbuhan sebagai hutan
di lahan yang tinggi seperti bukit dan gunung maka air tersebut
akan teresap dengan baik. Air yang diresap oleh hutan itu
akan menjadi danau dan sungai yang terus mengalir tak henti-hentinya.
Demikianlah hukum alam ciptaan Tuhan.
Proses alam seperti itu harus dipelihara
dan dijaga dengan baik oleh umat manusia dengan arif dan
bijak. Air, tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan kata-kata
bijak adalah tiga ratna permata di bumi menurut Canakya
Nitisastra. Kalau air dan tumtuh-tumbuhan tanpa dikelola
dengan kata-kata bijak maka semuanya itu akan membawa bencana
bagi umat manusia dan makhluk hidup lainnya di bumi ini.
Memuja Tuhan sebagai Dewi Danuh, saktinya
Dewa Wisnu untuk memelihara tegaknya eksistensi kata-kata
bijak mengelola proses alam itu. Kalau proses alam tersebut
dikelola dengan nafsu keserakahan justru akan membawa bencana
bagi manusia. Perpaduan Pura Ulun Danu Batur, Gunung Batur,
Danau Batur dan hutan di kawasan Kintamani merupakan keindahan
yang amat memukau. Upacara keagamaan Hindu dan sembahyang
di Pura Ulun Danu Batur itu hendaknya diarahkan untuk mencerahkan
umat agar menjaga keindahan tersebut.
Keberadaan Pura Ulun Danu Batur di kawasan
Kintamani itu harusnya dijadikan pusat penguatan jiwa untuk
memotivasi umat dalam memelihara lestarinya perpaduan proses
alam yang indah memukau.
Kawasan tersebut sebagai kawasan resapan
air di Bali. Kalau kawasan tersebut rusak maka salah satu
sumber untuk ajegnya alam Bali akan terancam. Jadi, bukan
orang Kintamani dan Bangli saja yang rugi, tetapi Bali secara
keseluruhan. Perhatian kepada Pura Ulun Danu Batur itu tidak
boleh berhenti pada proses pemujaan dan upacara semata.
Pemujaan umat ke Pura Ulun Danu Batur harus ditujukan untuk
mendalami dan memahami nilai-nilai universal yang berada
di balik Pura Ulun Danu Batur itu. Salah satu nilai universalnya
adalah adanya amanat untuk menjaga kelestarian air dan hutan
di Bali. Sesuai dengan Sarasamuscaya 135, lakukan Bhuta
Hita (alam sejahtra) terlebih dahulu untuk menjamin tercapainya
tujuan hidup dharma, artha dan kama di dunia sekala dan
moksha di dunia niskala.
* Ketut Gobyah |
Pura Batur yang lebih dikenal dengan
Pura Ulun Danu terletak pada ketinggian 900 m di atas permukaan
laut tepatnya di Desa Kalanganyar Kecamatan Kintamani di
sebelah Timur jalan raya Denpasar-Singaraja.
Pura ini menghadap ke barat yang dilatarbelakangi
Gunung Batur dengan lava hitamnya serta Danau Batur yang
membentang jauh di kaki Gunung Batur, melengkapi keindahan
alam di sekeliling pura.
Sebelum letaknya yang sekarang ini, Pura
Batur terletak di lereng Barat Daya Gunung Batur. Karena
letusan dasyat pada tahun 1917 yang telah menghancurkan
semuanya, termasuk pura ini kecuali sebuah pelinggih yang
tertinggi. Akhirnya berkat inisiatif kepala desa bersama
pemuka desa, mereka membawa pelinggih yang masih utuh dan
membangun kembali Pura Batur ke tempat yang lebih tinggi
yakni pada lokasi saat ini. Upacara di pura ini dirayakan
setiap tahun yang dinamakan Ngusaba Kedasa.
SEJARAH PURA BATUR
Sebelum letusan Gunung Batur yang dasyat
pada tahun 1917, Pura Batur semula terletak di kaki Gunung
itu dekat tepi Barat Daya Danau Batur yang merusakkan 65.000
rumah, 2.500 Pura dan lebih dari ribuan kehidupan. Tetapi
keajaiban menghentikannya pada kaki Pura. Orang-orang melihat
semua ini sebagai pertanda baik dan melanjutkan untuk tetap
tinggal disana. Pada tahun 1926 letusan baru menutupi seluruh
Pura kecuali "Pelinggih" yang tertinggi, temapt
pemujaan kepada Tuhan dalam perwujudan Dewi Danu, Dewi air
danau. Kemudian warga desa bersikeras untuk menempatkannya
di tempat yang lebih tinggi dan memulai tusag mereka untuk
membangun kembali pura. Mereka membawa pelinggih yang masih
utuh dan membangun kembali Pura Batur.
Beberapa lontar suci Bali kuno menceritakan
asal mula Pura Batur yang merupakan bagian dari "sad
kayangan" enam kelompok Pura yang ada di Bali yang
tercatat dalam lontar Widhi Sastra, lontar Raja Purana dan
Babad Pasek Kayu Selem. Pura Batur juga dinyatakan sebagai
Pura "Kayangan Jagat" yang disungsung oleh masyarakat
umum.
Sejarah Pura Batur merupakan persembahan
untuk Dewi Kesuburan, Dewi Danu. Dia adalah Dewi dari air
danau. Air yang kaya akan mineral mengalir dari Danau Batur,
mengalir dari satu petak sawah ke petak sawah yang lainnya,
lambat laun turun ke bumi. Dalam lontar Usaha Bali, salah
satu sastra suci yang ditempatkan di pura itu, ada legenda
kuno yang melukiskan susunan dari tahta Dewi Danu.
Legenda tersebut diceritakan sebagai berikut
:
Pada suatu malam di awal bulan kelima Margasari Dewa Pasupati
(Siwa) memindahkan puncak Gunung Mahameru di India dan membaginya
menjadi dua bagian. Dibawanya satu bagian dengan tangan
kirinya dan yang satunya dengan tangan kanannya. Kedua belahan
itu dibawa menjadi tahta. Belahan yang dibawa dengan tangan
kanannya menjadi Gunung Agung tahta untuk anaknya, Dewa
Putranjaya (mahadewa Siwa) dan yang dibawanya dengan tangan
kiri menjadi Gunung Batur tahta dari Dewi Danu, Dewi Air
Danau. Legenda ini menjadikan Gunung terbesar di Bali dan
dua elemen simbolis "laki-laki dan perempuan"
(Purasa dan Pradana) atau dua asal mula manifestasi dari
sumber; Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Identifikasi dan Daya Tarik
Nama obyek wisata kawasan Batur disesuaikan dengan potensi
yang ada yaitu Gunung Batur dan Danau Batur. Nama Pura Batur
berasal dari nama Gunung Batur yang merupakan salah satu
Pura Sad Kahyangan di emong oleh Warga Desa Batur. Sebelum
meletusnya Gunung Batur pada tahun 1917, Pura Batur berada
di kaki sebelah Barat Daya Gunung Batur. Akibat kerusakan
yang ditimbulkan oleh letusan Gunung Batur ini, maka Pura
bersama warga desa Batur dipindahkan di tempat sekarang.
Sisa-sisa lahar yang membeku berwarna hitam, Gunung Batur
tegak menjulang, Danau Batur teduh membiru, merupakan suatu
daya tarik bagi setiap pengunjung. Dari Penelokan dapat
memandang birunya Danau Batur dan buih-buih ombak yang menepi
menemani sopir boat saat melayani wisatawan dan penumpang
umum dalam setiap penyebrangan dari Desa Kedisan ke Desa
Trunyan. Para nelayan juga mewarnai kesibukan di Danau Batur
mengail ikan mujair yang hasil tangkapannya di jual di pasar
Kota Bangli, sehingga di Bangli dikenal dengan sate mujairnya
yang merupakan makanan ciri khas Kabupaten Bangli.
Lokasi
Obyek Wisata Kawasan Batur terletak di Desa Batur, Kecamatan
Kintamani Kabupaten Daerah Tingkat II Bangli. Obyek Wisata
Kawasan Batur berada pada ketinggian 900 m di atas permukaan
laut dengan suhu udaranya berhawa sejuk pada siang ahri
dan dingin pada malam hari. Untuk mencapai lokasi ini dari
Ibu Kota Bangli jaraknya 23 km. Obyek wisata ini dapat dilalui
dengan kendaraan bermotor, karena lokasi ini menghubungkan
kota Bangli dan kota Singaraja. Sedangkan rute obyek, menghubungkan
Obyek Wisata Kawasan Batur dengan Obyek Wisata Tampaksiring
dan Besakih.
Fasilitas
Di obyek wisata Kawasan Batur sudah tersedia tempat parkir,
rumah makan, restoran, penginapan, toilet, wartel, serta
warung-warung minuman dan makanan kecil. Mengenai fasilitas
angkutan umum dan angkutan penyeberangan sudah tersedia.
Kunjungan
Obyek wisata Kawasan Batur ramai dikunjungi oleh wisatawan
Mancanegara dan Nusantara. Kunjungan yang paling menonjol
sekitar bulan Agustus, Desember, saat menyambut Tahun Baru
dan suasana Tahun Baru. Demikian pula pada hari-hari Raya
Galungan, Idul Fitri dan Hari Raya Natal, bahkan sering
dikunjungi oleh tamu Negara baik dari pusat maupun tamu
dari luar negeri.
Deskripsi
Sumber-sumber yang menyebutkan tentang Batur adalah Lontar
Kesmu Dewa. Lontar Usana Bali dan Lontar Raja Purana Batur.
Disebutkan bahwa Pura Batur sudah ada sejak jaman Empu Kuturan
yaitu abad X sampai permulaan abad XI. Luasnya areal dan
banyaknya pelinggih-pelinggih maka diperkirakan bahwa Pura
Batur adalah Penyiwi raja-raja yang berkuasa di Bali, sekaligus
merupakan Kahyangan Jagat. Di Pura Batur yang diistanakan
adalah Dewi Danu yang disebutkan dalam Lontar Usana Bali
yang terjemahannya sebagai berikut : Adalah ceritera, terjadi
pada bulan Marga Sari (bulan ke V) waktu Kresna Paksa (Tilem)
tersebutlah Betara Pasupati di India sedang memindahkan
Puncak Gunung Maha Meru dibagi menjadi dua, dipegang dengan
tangan kiri dan kanan lalu dibawa ke Bali digunakan sebagai
sthana Putra beliau yaitu Betara Putrajaya (Hyang Maha Dewa)
dan puncak gunung yang dibawa tangan kiri menjadi Gunung
Batur sebagai sthana Betari Danuh, keduanya itulah sebagai
ulunya Pulau Bali. Kedua Gunung ini merupakan lambang unsur
Purusa dan Pradana dari Sang Hyang Widhi. Pura Batur merupakan
tempat Pemujaan Umat Hindu di seluruh Bali khususnya Bali
Tengah, Utara dan Timur memohon keselamatan di bidang persawahan.
Sehingga pada saat puja wali yang jatuh pada Purnamaning
ke X (kedasa) seluruh umat terutama pada semua kelian subak,
sedahan-sedahan datang ke Pura Batur menghaturkan "Suwinih".
Demikian kalau terjadi bencana hama. |
PURA Ulun Danu Batur, Kintamani, Bangli
sebagai pura banuwa disembah oleh empat puluh lima desa
di Bali, dengan Desa Batur sebagai penanggung jawab utamanya.
Keempat puluh lima desa tersebut wajib mengeluarkan bahan
upacara yang disebut atos. Pemuja ini terjadi karena perjalanan
Ida Bhatari Dewi Danu ke desa-desa di sekitarnya.
Dikisahkan, Ida Bhatara Indra memberikan
putra kedua tirta yang disebut Mas Manik Mampeh yang menjadi
aset wisata di sekitar Danau Batur. Jalannya melewati Desa
Songan, Kintamani, Bangli. Air ini sangat besar namun karena
diberi pesan oleh Bhatara Indra tak boleh dimanfaatkan oleh
orang Batur, maka Ida Bhatari Dewi Danu (I Ratu Ayu Mas
Membah) berniat menjualnya. Semula yang akan menjual adalah
putranya.
''Ibu hamba khawatir karena Ibu seorang
putri tentunya akan banyak halangan, biarlah nanda yang
menjualnya,'' kata putranya. ''Oh nanda jangan khawatir,
ibu bisa menjaga diri,'' jawab Dewi Danu. Seketika Beliau
berubah wujud menjadi seorang tua laki-laki yang sudah renta
dan badannya penuh dengan luka, kudisan. ''Nah nanda adakah
yang akan mengetahui ibu?''
Demikianlah Beliau menuju arah timur laut,
sampai pada sebuah dataran tinggi sambil memikul air dalam
dua buah labu pahit. Beliau tiba di dataran Bubung Kelambu,
di sana beliau istirahat. Karena ragu airnya sejak tadi
tumpah waktu dipikul, Beliau mengeluarkan airnya, dan memancur
dari labunya, sehingga tempat itu diberi nama Tirta Mas
Manik Mancur. Letaknya di sebelah barat Desa Blandingan.
Perjalanan dilanjutkan dan Beliau tiba
di Desa Munti Gunung. ''Tuan, tuan yang ada di desa ini,
saya menjual air, apakah tuan sudi membelinya?'' Penduduk
Munti Gunung merasa jijik melihat Beliau yang pebuh kudisan
dan baunya menusuk hidung sangat busuk. Lalu mereka berkata,
''Ah siapa sudi membeli airmu, kamu saja seperti pengemis,
dan baumu sangat busuk. Bagaimana dengan airnya, tentunya
juga busuk. Sana kamu pergi jangan di sini mengemis''.
''Oh kamu orang Munti Gunung, kamu sekalian
tidak tahu Aku ini Bhatari Batur menjual air, dan kamu telah
menghina Aku sebagai pengemis. Semoga nanti kamu sekalian
sangat sulit hidupmu dan hanya akan hidup dari mengemis''.
Begitulah, sampai saat ini penduduk Munti Gunung selalu
meresahkan Denpasar dengan gayanya mengemis serta menjadi
''peminta-minta di jalan perempatan''.
Selanjutnya, Dewi Danu menjajakan air dari
Batu Ringgit menuju ke barat. Namun satu desa pun tak ada
yang mau membelinya dengan dalih pedagangnya sangat menjijikkan,
serta mereka menyatakan sudah dekat dengan laut, mudah mencari
air.
Tiba di Desa Les, Dewi Danu kembali menjajakan
airnya. ''Tuan, tuan apakah tuan ada niat membeli air, saya
menjual air''. Penduduk Les merencanakan membeli dengan
dua kepeng, namun baru membayar satu kepeng. Itu pun dengan
jalan menggadaikan sabit besar (tah). ''Nah Tuan sekalian,
Aku ini Bhatari Batur, dan air ini berilah nama Toya Mampeh,
dan tuan hendaknya menggantinya setiap tahun ke Batur''.
Sejak itu, setiap tahun pada Purnama Kedasa
Desa Adat Les ngatos ke Batur berupa beras, babi, ayam aduan
(uran akembaran) serta bahan lainnya sesuai dengan permintaan
dari Penghulu Setimaan Batur. Di Desa Tejakula yang semula
sebagai tempat buangan, Beliau menjual airnya dengan dua
kepeng, serta dibayar dengan kerbau, dan selanjutnya, penduduk
berminat membeli dengan tiga kepeng, karenanya beliau mengambil
airnya sampai ke dasar labu, akibatnya kotoran labu dan
jentik pun ikut dalam gayungnya. Penduduk lantas dikutuk
''agar sumurnya dalam dengan sebutan Buhun Dalem -- Bondalem''.
Perjalanan menuju ke barat dan di Pantai
Ponjok Batur airnya dituangkan sedikit, sehingga di sana
ada mata air yang jika air laut surut airnya kelihatan.
Sampai di satu tempat dan semua airnya dituangkan serta
dikutuk: ''semoga air ini tak bisa dijadikan air pertanian,
dan air ini agar irit (inih) sehingga tempat itu menjadi
Air (Sangat) Inih -- Air Sanih.
***
DEWI Danu kemudian berganti rupa kembali
menjadi seorang putri yang sangat cantik dan telah tiba
di sekitar perbatasan Kubu Tambahan. Beliau menjunjung bambu
kecil dan berkata pada penduduk, ''Tuan, tuan di Kubu Tambahan
apakah tuan mau membeli kerbau, saya menjual kerbau''. ''Ah
ada-ada saja kamu mengatakan menjual kerbau, mana kerbaumu?''
''Ini tuan kerbaunya saya tempatkan pada bambu yang saya
jungjung,'' sahut Dewi Danu.
Mereka merasa ditipu, mana mungkin kerbau
ada dalam sepotong bambu. Lalu, bambunya dirampas, dan dilihat
ternyata di dalamnya kelihatan kerbau beberapa ekor, berkeliaran
dalam bambu. Bambunya di balik, keluarlah beberapa ekor
kerbau. Pemuka adat Kubu Tambahan dan Bungkulan mengusir
kerbau tersebut, sehingga lari tunggang langgang melampaui
beberapa desa seperti Penarukan, Banyuning, Swan, Jinengdalem,
Kerobokan, dan sekitarnya.
Setelah sore Dewi Danu memanggil kerbaunya,
namun seekor yang paling besar dipotong oleh penduduk Kubu
Tambahan dan Bungkulan, dagingnya dibagi rata. Bhatari Batur
lantas mengutuk: ''Tuan sekalian, Aku ini Bhatari Batur,
nanti semua desa yang bekas diinjak kerbauku harus membayar
ke Batur, dan tuan penduduk Kubu Tambahan dan Bungkulan
yang memotong kerbauku harus menggantinya secara bergilir
ke Batur dengan kerbau hidup.'' Begitulah, Kubutambahan
dan Bungkulan secara bergantian membayar kerbau ke Batur,
dan semua desa yang dilewati beliau dan bekas injakan kerbaunya
sebagai pemuja Pura Ulun Danur Batur.
Dewi Danu atau Ida Bhatari Batur kembali
ingin menambah wewidangan-nya dan Beliau berganti rupa menjadi
gadis desa sangat cantik sambil berjualan gantal pada sabungan
ayam di Kehen. Waktu itu, Ida Bhatara Kehen melihat beliau
dalam hatinya berkata: ''Ah kenapa ada dagang gantal sangat
cantik, kalau ini kujadikan istri sangat cocok sebagai penguasa''.
Dagang tersebut didekati: ''Putri cantik kiranya tak cocok
berdagang, bagaimana kalau Anda saya ambil menjadi istriku''.
''Mohon maaf, saya tak bisa menikah,'' sahut Bhatari Batur.
''Ah mana mungkin ada orang tak boleh menikah,'' kata Ida
Bhatara Kehen. Lalu Bhatari Batur diperkosa.
''Hai tuan penguasa Kehen, kiranya tuan
tak tahu siapa Aku, coba sekali lagi tuan memperkosa saya,''
tantang Bhatari Batur. Karena jengkel kembali Beliau mau
diperkosa, mendadak Bhatari Batur berkata: ''Tuan Aku ini
Bhatari Batur. Tuan sangat sombong baru di tempatmu, sekarang
semoga ada gunung yang membuang air Danau Batur agar tak
sampai ke Bangli''. Mendadak di selatan kota terbentang
gunung yang membujur dari barat ke timur menutup aliran
air Danau Batur. ''Ah, kamu baru bisa begitu saja sudah
sombong, aku juga bisa,'' kata Ida Bhatara Kehen. Beliau
lantas berkata: ''Semoga ada belut besi, kepiting besi yang
melubangi gunung tersebut''. Benar saja, mendadak gunung
tersebut dilubangi oleh belut besi dan kepiting besi yang
saat ini tersimpan di Trunyan.
Akhirnya, Bhatari Batur kembali ke Batur.
Namun sebelumnya mereka sama-sama mengutuk. ''Nanti jika
Bhatari melewati daerahku engkau akan aku denda,'' kata
Bhatara Kehen. ''Ya aku akan membayarnya, tetapi Aku juga
mengutuk semua orang Bangli yang memiliki genta, harus membayar
denda ke Batur,'' kutuk Bhatari Batur.
Sampai kini kutukan tersebut tetap berlaku,
dan karena gagal mempersunting Bhatari Batur, Bhatara Kehen
mengambil ''istri penawing'' ke Penglipuran.
* Jro Mangku I Ketut Riana |