Bertepatan dengan Purnama Kedasa, sebagaimana
biasa berlangsunglah upacara besar di Pura Ulun Danu Batur. Desa
Batur, Kintamani, Bangli.
Pura Ulun Danur Batur sebagai kahyangan jagat
umat Hindu di Bali, dimuliakan sebagai stana Bhatara Wisnu. Sedangkan
Bhatara Siwa di Besakih dan Brahma di Lempuyang Luhur, Karangasem.
Sebagai stana Bhatara Wisnu, yang dalam konsep
masyarakat Batur terkenal dengan sebutan Batari Dewi Danuh, Pura
Ulun Danu memiliki sejarah yang sangat menarik, baik yang berkembang
secara turun-temurun, sebagai cerita rakyat yang hidup di Batur
serta masyarakat pemuja di sekitarnya, mau pun sebagaimana termuat
dalam beberapa babad.
Paling tidak, sejarah Pura Ulun Danu Batur termuat
dalam
(1) Babad Pasek yang ditulis oleh Jro Mangku Gede Ketut Soebandi,
(2) Babad Pasek yang ditulis oleh I Gusti Bagus Sugriwa, serta
(3) Babad Kayu Selem yang disalin oleh Drs. Putu Budiastra, dkk.
Bahkan sejarah pura ini juga termuat dalam Raja Purana Pura Ulun
Danu Batur I dan II yang disusun oleh Drs. I Putu Budiastra, dkk.
Sejarah dan terjadinya Gunung Batur serta Pura
Ulun Danu Batur dapat diuraikan sebagai berikut.
Zaman Bahari
Dalam versi Babad Pasek dan Babad Kayu Selem,
semula Pulau Bali dan Selaparang masih menyatu dan terombang-ambing
dihanyutkan arus samudera. Waktu itu, Ida Bhatara Hyang Pasupati
yang berstana di Puncak Gunung Prabulingga (Gunung Semeru) merasa
kasihan melihat kedua pulau tersebut terombang-ambing. Beliau
lantas mengutus tiga putranya yakni Bhatara Hyang Geni Jaya, Bhatara
Hyang Mahadewa, dan Bhatari Dewi Danu agar menyusup ke Pulau Bali.
Nanda bertiga, Geni Jaya, Putra Jaya (Mahadewa)
dan Dewi Danuh hendaknya nanda bertiga datang ke Pulau Bali agar
pulau tersebut tidak terombang-ambing, demikian sabda Hyang
Pasupati. Mohon maaf ayahanda, nanda masih
sangat muda dan belum berpengalaman, jawab ketiga putranya.
Nanda jangan khawatir, tandas Hyang
Pasupati.
Begitulah, akhirnya Hyang Pasupati memasukkan
ketiga putranya ke dalam kelapa gading, dan dihanyutkan lewat
dasar laut. Secara gaib ketiganya tiba di Gunung Agung, dan Beliau
sepakat mencari tempat bersemayam.
Bhatara Hyang Geni Jaya memutuskan berstana di Gunung Lempuyang,
Bhatara Putra Jaya (Mahadewa) berstana di Gunung Agung dengan
Pura Besakih, dan
Bhatari Dewi Danu memilih sebuah kubangan besar yakni Danau
Batur dengan Gunung Batur sebagai puncaknya.
Setelah itu, Hyang Pasupati mengirim empat putra
lainnya, seterusnya berstana di Andakasa, Gunung Beratan (Pucak
Mangu), Gunung Batukaru, dan Pejeng. Sehingga bila dirunut secara
historis, khususnya dari kajian babad, seharusnya di Bali ada
sapta kahyangan bukannya sad kahyangan.
Purana Tatwa Batur
Siapa dan bagaimana Gunung Batur serta Beliau
yang bersemayam di Pura Ulun Danu Batur, tersirat pula dalam salah
satu bagian: Raja Purana Pura Ulun Danu Batur -- Purana Tatwa.
Begitu pula, uraian ini sangat populer di sekitar pemuja Pura
Ulun Danu Batur.
Kisahnya adalah: Tersebutlah tiga putra Bhatara
Indra yang berstana di Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar,
bertanya pada kakeknya Hyang Pasupati di Gunung Semeru.
''Mohon maaf Kakek Bhatara, siapakah
gerangan ayah cucunda?''
''Oh kalau itu cucunda tanyakan, biar nanti bibi yang mengantar
cucunda menjumpai ayahanda''.
''Nah nanda I Ratu Ayu Mas Membah (sebutan Bhatari Dewi Danu),
sekarang berangkatlah ke Tirta Empul antarkan kemenakan nanda
menghadap ayahandanya.''
Demikianlah I Ratu Ayu Mas Membah berangkat ke
Bali diiringi ketiga putra Bhatara Indra serta I Ratu Ayu Arak
Api. Tak terkisahkan di jalan ketiganya telah tiba di stana Bhatara
Indra di Tirta Empul, dan langsung menghadap Bhatara Indra.
''Oh dinda Dewi datang, siapa
kiranya ketiga anak ini?''.
''Oh kanda tidak kenal, inilah ketiga putra kanda yang yang semula
di Semeru bersama ayahanda''.
''Oh begitu, kemarilah Nanda bertiga maaf ayahanda sudah tua,
dan pandangan ayah sudah berkurang''.
''Nah, nanda yang tertua, ayah tak punya apa-apa, kiranya apa
yang akan nanda minta?''.
''Mohon maaf ayahanda dan kiranya ada nanda memohon goa yang besar
serta air suci''.
''Oh kalau itu, baiklah, kini ayah beri nama nanda I Ratu Gede
Gunung Agung, dan di sanalah nanda menetap di bekas tempat ayah
di pertengahan Gunung Agung, dan ini air suci, nanti beri nama
tirta Mas Manik Kusuma.''
Begitulah, beliau lantas berstana di sekitar
pertengahan Gunung Agung. Selanjutnya,
''Nanda yang kedua I Gede Nengah, apa
yang nanda minta?''.
''Hamba juga minta air suci''.
''Nah nanda I Gede Nengah tempatkanlah air suci ini di barat
laut tempat ibunda, dan beri nama tirta Mas Manik Mampeh. Letaknya
di barat laut Danau Batur.''
''Nah nanda yang terkecil namun badannya terbesar apa yang nanda
minta?''.
''Nanda minta balai agung''.
Beliau diberikan dan distanakan di Manukaya.
Lalu, Bhatara Indra meminta Mangku Pucangan agar mengantarkan
I Ratu Ayu Mas Membah menuju tempatnya. Beliau dijunjung menuju
arah timur laut, di suatu tempat. Karena kepayahan menjunjung
I Ratu Ayu Mas Membah istirahat sambil nafasnya ''ah-ah, ah'',
sehingga tempat itu disebut Basang Ah.
Perjalanan dilanjutkan dan tiba di Desa Pengotan.
Saat itu penduduk sedang rapat. Mangku Pucangan berkata:
''Tuan berhentilah sebentar bersidangnya,
ini Paduka datang''.
Mereka tertawa karena melihat wujud Ida Bhatari
layaknya ukiran janur yang dijunjung oleh Mangku Pucangan.
''Oh ha, ha, ha dimana ada Bhatari,
orang menjunjung sampyan (ukiran rontal) banyak capak''.
Ida Bhatari berkenan menunjukkan wajah aslinya
dan berkata,
''Nanti jika kalian semua memuja
kepada-Ku, masih di pintu gerbang akan diterbangkan angin''.
Begitulah yang terjadi sampai saat ini, biasanya
sesaji warga Pengotan, hancur di candi Pura Ulun Danu Batur. Perjalanan
dilanjutkan. Sampai di Penelokan Mangku Pucangan melihat air payau
sangat luas dan Bhatari Ratu Ayu Mas Membah meminta mencari benang
dan bulu ayam. Benda tersebut dilemparkan ke tengah paya lalu
benang tersebut diikuti oleh Mangku Pucangan. Tepat di tengah
air paya Beliau berkata,
''Sudahlah Mangku Pucangan tempatkan
Aku di sini''.
Begitu Beliau diturunkan, mendadak tempat ini
makin tinggi terus menjadi sebuah gunung tepat di tengah paya
(danau). Gunung itu diberi nama Gunung Tempur/ Tempuh Hyang. Artinya
bekas pijakan kaki Ida Bhatari, sehingga menjadi Gunung Tampur
Hyang. Nama lain dari Gunung Tampur Hyang adalah Gunung Lebah
yang artinya sebuah gunung yang letaknya di dataran rendah, serta
Gunung Sinarata -- yang diartikan oleh masyarakat Batur ''gunung
yang mendapat sinar matahari secara merata''.
Demikianlah ceritanya, dan secara berkelanjutan
akibat letusan Gunung Batur, mereka berpindah ke atas, serta puranya
bernama Pura Ulun Danu Batur yang pujawalinya jatuh setiap Purnama
Kedasa.
Oleh : Jro Mangku I Ketut Riana
|