Tuhan dalam Mantra Weda XXXII.3, dinyatakan tidak punya
bentuk dan nama. Para vipra atau orang-orang bijak dan sucilah
yang menyebutnya dengan banyak sebutan. Hal itu untuk memudahkan
umat dalam menguatkan hidupnya untuk suatu tujuan mulia.
Demikian juga umat awam pun akan menyebutkan berbagai kemahakuasaan
Tuhan itu dengan berbagai sebutan sesuai dengan kemantapan
hati nuraninya. Yang paling utama sebutan itu menyebabkan
umat merasa Tuhan dekat dengan dirinya dan dapat didayagunakan
untuk meningkatkan keyakinannya bahwa mereka merasa tertuntun
oleh kesucian Tuhan untuk menyelenggarakan hidupnya menuju
hidup yang makin baik.
Demikian juga di Pura Bukit Mentik di Batur Kintamani,
Tuhan sebagai pencipta bumi ini disebut oleh umat Ida Batara
Maduwe Gumi. Sedangkan Tuhan sebagai pencipta agama disebut
Ida Batara Maduwe Gama. Karena dalam mantra Weda dan juga
kitab-kitab Sastra Weda dinyatakan bahwa mantra-mantra Weda
Sruti itu adalah sabda Tuhan atau non human origin. Artinya
bukan berasal dari manusia.
Meskipun Pura Bukit Mentik diperkirakan sudah ada amat
jauh sebelum zaman pemerintahan Ida Dalem Klungkung, para
orang-orang bijak di Batur Kintamani itu sudah mampu menghadiri
budaya religi dalam kemasan budaya lokal, tetapi di dalamnya
terkandung nilai-nilai universal yang tidak dibatasi oleh
ruang dan waktu.
Tradisi di Pura Bukit Mentik amat nampak merupakan tradisi
beragama sebelum Majapahit atau amat kuna, tetapi saat itu
sudah berhasil menghasilkan budaya beragama Hindu yang universal
dengan kemasan lokal Bali. Seperti istilah sebutan Tuhan
sebagai Ida Batara Maduwe Gumi dan Maduwe Gama.
Menurut keterangan Jero Mangku Jenaka atau Jero Mangku
Pupul, yang menjadi pemangku khusus di Pelinggih Ida Batara
Maduwe Gama adalah Jero Wacik yang sekarang menjabat Menteri
Budpar. Beliau diupacarai sebagai pemangku saat berumur
delapan tahun pada tahun 1955. Sejak itulah beliau diberi
gelar kepemangkuan sebagai Jero Wacik. Sebelumnya Jero Wacik
punya nama kecil tersendiri karena belum disakralisasi sebagai
pemangku di Pura Bukit Mentik itu.
Demikian Jero Mangku Jenaka menjelaskan yang juga kakak
sepupunya Jero Wacik. Jero Mangku Jenaka sesungguhnya bergelar
Jero Pupul. Kedua pemangku di Pura Bukit Mentik ini di samping
memiliki tugas-tugas umum kepemangkuan di Pura Bukit Mentik
juga ada tugas atau swadharma yang lebih khusus. Jero Mangku
Jenaka diberi gelar Jero Pupul karena bertugas untuk mengumpulkan
dengan cara-cara sakral pratima dan berbagai peralatan sakral
di Pura Bukit Mentik di Pelinggih Balai Pesamuan saat ada
upacara piodalan dan upacara-upacara besar lainnya. Sedangkan
pemangku yang bergelar Jero Wacik bertugas untuk nibakan
tirtha atau memercikkan tirtha melalui proses sakral menurut
ketentuan keagamaan Hindu di Pura Bukit Mentik tersebut.
Karena itulah gelarnya Jero Wacik. Demikian menurut keterangan
Jero Mangku Jenaka, saudara sepupu Jero Wacik.
Demikianlah swadharma Jero Pupul atau Jero Mangku Jenaka
dan Jero Wacik berbeda tetapi saling melengkapi dalam melakukan
posisi ritual sakral di Pura Bukit Mentik. Tugas suci dua
pemangku tersebut disertai oleh pemangku-pemangku lainnya
yang juga sudah melalui proses sakralisasi. Juga banyak
yang muda dari segi umur tetapi telah mendapatkan tuntunan
dari pemangku yang lebih senior.
Kembali kita bahas pemujaan Tuhan sebagai Ida Batara Maduwe
Gumi dan Ida Batara Maduwe Gama. Pemujaan Tuhan dalam sebutan
demikian juga terdapat di Pura Tuluk Biyu, yang juga terdapat
di sebelah selatan Pura Ulun Danu Batur di pinggir jalan
menuju Singaraja.
Pura Ulun Danu Batur ini berkedudukan sebagai Kahyangan
Jagat dalam kedudukannya sebagai Pura Rwa Bhineda dan Pura
Padma Bhuwana. Di Pura Bukit Mentik juga ada Pesimpangan
Batara Tiga yaitu Pura Besakih, Pura Lempuhyang Luhur dan
Ulun Batur. Pemujaan Ida Batara Maduwe Gumi dan Maduwe Gama
ini patut menjadi renungan kita dalam menjaga Bali sebagai
pulau kecil bagian dari NKRI.
Meskipun Bali pulaunya kecil tetapi di dalamnya terkandung
nilai-nilai kehidupan yang universal. Bumi ini yang terbangun
dari lima unsur yang disebut Panca Maha Bhuta. Memuja Tuhan
sebagai Ida Batara Maduwe Gumi, berarti tidak hanya mengaturkan
sesaji dan mencakupkan tangan. Tetapi harus dilanjutkan
dengan memelihara dan melindungi unsur-unsur Panca Maha
Bhuta itu agar senantiasa seimbang sehingga dapat eksis
secara alami menjadi sumber yang memberi kehidupan kepada
makhluk hidup isi bumi ini.
Sarasamuscaya 135 mengajarkan bahwa manusia baru akan dapat
menegakkan tujuan hidupnya mencapai Dharma, Artha, Kama
dan Moksha apabila terlebih dahulu manusia itu melakukan
Bhuta Hita. Bhuta Hita artinya menyejahterakan alam. Selanjutnya
memuja Tuhan sebagai Ida Batara Maduwe Gama artinya bagaimana
kita sebagai umat manusia dapat mengimplementasikan agama
sabda Tuhan itu menjadi sistem religi yang mampu menjadi
landasan moral dan mental pada sistem budaya yang lainnya,
sehingga semua sistem budaya itu dapat berperan mengantarkan
umat manusia hidup semakin baik, sejahtera dan bahagia.
Prof. Dr. Koentjaraningrat menyatakan ada tujuh sistem
budaya yaitu sistem religi, sistem sosial, sistem ilmu pengetahuan,
sistem bahasa, sistem seni, sistem mata pencaharian dan
sistem teknologi. Prof. Dr. Koentjaraningrat juga menyatakan
bahwa hendaknya sistem religilah yang menjadi landasan moral
dan mental dalam mengimplementasikan sistem budaya yang
lainnya.
Karena itu menjadi kewajiban kita umat beragama untuk menjabarkan
lebih lanjut agama sabda Tuhan yang supra empiris itu menjadi
sistem religi yang lebih aplikatif dalam kehidupan yang
empiris. Dengan demikian agama sabda Tuhan itu tidak menjadi
nilai-nilai suci yang jauh dari kehidupan manusia, bahkan
hanya untuk diagung-agungkan dalam ritual tanpa diaktualkan
dalam memecahkan berbagai persoalan yang aktual dalam kehidupan
individual dan sosial. * wiana
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/10/10/bd2.htm |