Yang dimaksud dengan pengangge tengenan, ialah meliputi: cecek,
bisah, surang dan adeg-adeg.
Pemakaian cecek
Cecek dengan lambangadalah
sebagai pengganti wianjana:
Pemakaiannya adalah sebagai berikut:
Dipakai pada suku kata
terakhir saja.
Dipakai pada kata-
kata yang kedua sukunya sama bunyi, meskipun sudah
terasimilasi (kapotahang).
Suku kedua atau ketiga
dari akhir dipakai wianjana
misalnya dalam:
Gantungan ardasuara: y, r, l,
w tidak mengubah pasang kecuali l
tidak boleh tumpuk tiga, misalnya kata-kata
di kotak sebelah:
Fungsi
arda suara di sini sebagai aksara suara.
Pemakaian bisah
Bisah dengan lambang:adalah
sebagai pengganti wianjana:
Pemakaiannya adalah sebagai berikut:
Dipakai pada suku kata terakhir
saja.
Dipakai pada kata- kata yang kedua
sukunya sama bunyi, meskipun sudah terasimilasi
(kapotahang)
Suku kedua atau ketiga dari akhir
dipakai wianjana
misalnya dalam:
Gantungan ardasuara: y,
r, l, w tidak mengubah pasang
kecuali l tidak boleh tumpuk tiga, misalnya
kata-kata:
Catatan:
Contoh tumpuk tiga untuk lambang l sukar
dicari, namun secara teori mestinya ada seperti
misalnya: dur + kleça = duhkleça
(= penyakit buruk)
Pemakaian surang
Surang dengan lambang:adalah
sebagai pengganti wianjana:
yang masih kita dapati dalam rontal- rontal secara utuh.
Pemakaian tekenan r di semuanya diganti dengan
surang saja, misalnya:
Catatan:
Dalam rontal Ramayana (Kern) tulisan:
ditulis
Pemakaian adeg-adeg
Adeg-adeg dilambangkan:
berfungsi untuk membunuh aksara.
Oleh karena itu aksara menjadi nengen, atau
mati (konsonan). Pembunuhan dengan adeg- adeg menurut
hasil Pasamuhan Agung Kecil tahun 1963 hanyalah dipakai
pada suku kata terakhir dari suatu kalimat,atau
untuk menghindari tumpuk tiga: