Musyawarah mufakat adalah merupakan sarana yang
ampuh untuk menyatukan diri dan merupakan hukum bagi pemakainya.
Menyimpang dari pada hasil musyawarah mufakat,
maka dipandang salah. Demikian pula dalam penulisan pasang aksara
Bali sering terjadinya perubahan-perubahan itu.
|
Pada waktu pemerintahan Belanda muncul sebuah buku bernama
Balineesche Scrijftaal yang dikarang oleh Mas Niti
Sastro (Hoofd Der School Te Singaradja) pada tahun 1918.
Waktu itu ditetapkan pemakaian pasang tumpuk, misalnya:
BUNYI |
DITULIS
|
teka |
|
meka |
|
sema |
|
Pada tahun 1931 terbit buku bernama Uger-Uger Aksara
Saha Pasang Sasuratan Basa Bali Kapara oleh HJEF Schwartz
yang isinya di samping mengurangi pemakaian lambang- lambang
bunyi aksara Bali sebagai: ba kembang, ga gora
dan lain sebagainya, maka diadakan perubahan dari pasang
tumpuk menjadi pasang jajar, misalnya: tulisan:
Setelah buku ini berjalan beberapa lama, maka timbul masalah
di kalangan para sastrawan penggemar pembaca rontal. karena
pemakaian aksara Bali yang diterapkan ini dipandang tidak
menunjang untuk membaca rontal, sebab hurufnya tidak lengkap.
|
|
Pada tahun 1957 diadakan Pasamuhan Agung Bahasa Bali dan
disusul lagi tahun 1963 Pasamuhan Agung Kecil, yang isinya
antara lain menetapkan pemakaian pasang jajar, karena sesuai
dengan tulisan Latin dan gampang mengisi guru lagu pada
kekawin- kekawin, misalnya:
KATA |
DITULIS |
DENGAN
GURU LAGU |
teka |
|
|
tekek |
|
|
Sebagai pegangan dalam penulisan pasang aksara Bali dipakailah
rontal: Ramayana, oleh Dr. Kern dan Bhâratayuddha,
oleh Dr. Gunning.
|