|
|
|
|
|
|
|
Etika, Yajnakarma dan Danakarma |
|
|
|
Keberhasilan (sidaning don) pelaksanaan persembahan
dan pemujaan yajna, selaras dengan tuntunan
konsep ajaran Tiga Kerangka agama Hindu, harus
selalu diusahakan terciptanya keselarasan
dan keharmonisan antara filsafat agama, tata
susila agama dan upacara serta upakara. Memang
dalam berbagai sumber riptaprasasti, lontar
- lontar di Bali. masalah etika itu baik saat
atitikrama pada umumnya, maupun saat atitiyajna,
mendapat penekanan khusus, agar di jaga dan
dilaksanakan sebaik - baiknya, selaras dengan
tuntunan ajaran tata susila agama Hindu. Lebih
- lebih lagi penekananya adalah kepada para
fungsionaris pelaku dan pelaksana yajna, seperti
Sang Trini Mangaleng yajna, yakni Wiku Pamuput.
Mancaghra dan yajamana, (Sang Adruwe Karya,
Sang Aharep Karya ). Bahkan ada kecendrungan
penekanan untuk pelaksanaan dan kepatuhan
kepada etika pada umumnya dan tuntunan ajaran
tata susila agama pada khususnya, oleh yajmana.
Tuntunan konsep ajaran kepatutan yajamana
saat melakukan yajna agar selalu mempedomani
dan patuh melaksanakan etika dan ajaran tata
susila agama, dapat di ketemukan pada Lontar
Medang Kamulan, yang juga mengemukakan arti
dan maksud mempersembahkan Karya Mamungkah
dengan segenap aed (rangkaiannya). Petikannya
adalah sebagai berikut:
nihan
tegesing karya mamungkah, ling sang
triparusha ring para bhagawanta ; "
anakku para mpu dang hyang, yan mahyun
tuhwa janma, luputing sangsara papa,
kramanya sang kumingkin karya nista,
madya, uttama, manah lega dadi hayu,
haywa ngalem drewya, mwang kapungutaning
kaliliran wang atuha, haywa makambekang
krodha, mwang mojar angangsul, ujar
menak juga kawedar denira. Mangkana
kramening sang aharep karya, haywa simpang
budhinta mwang rodra. Yan dadya mangkana,
putus gawenya sami...." |
terjemahanya berarti: |
Demikianlah
arti karya mamungkah, kata Hyang
Tripurusha, (Siwatiga, Paramasiwa, Sadasiwa,
dan Siwa ), kepada seluruh Bhagawanta
(Pendeta Raja): " putra-putraku
para wiku, yang berkedudukan sebagai
orang tua (bagi mereka yang mempersembahkan
yajna ), akan dibebaskan dari sengsara
dan kepapaan, ( demikian pahala yang
didapatkan) oleh mereka yang melaksanakan
ya jna nista, madya, utama, pikiran
baik akan menjadi bahagia, janganlah
menyayangi hak milik (untuk dipersembahkan
pada saat beryajna), janganlah mengurangi
swadharma (warisan kewajiban) orang
tua (leluhur), janganlah marah-marah
dan berkata yang kasar (wakcapala),
kata-kata yang baik saja patut di ucapkan
olehmu. Demikianlah perilaku orang yang
sedang beryadjna, janganlah menyimpang
dari perilaku seperti itu. Dan jangan
ganas dan bermuka galak dan masam: Kalau
sampai demikian, (maksudnya berpelilaku
ujar angangsul, berlaku galak dan ganas
(rodra), tidak akan berhasil persembahan
yajna mamungkah ( yajna pada umumnya). |
Demikian tuntunan sikap dan perilaku bagi
para wiku, terutama sang Yajamana, sang Adruwe
Karya atau juga sering dikemukakan sebagai
sang Aharep Karya pada saat melaksanakan persembahan
karya Mamungkah, (dengan segenap aed (rangkaianya).
Lebih jauh, kepada sang Yajamana lebih ditekankan
lagi dalam sikap dan perilaku, agar jangan
sampai menyayangi harta benda yang patut didana
puniakan saat (dalam kebersamaan) melaksanakan
yajna, selalu berusaha berpikir yang baik,
agar mencapai kebahagiaan. Termasuk jangan
sampai mengurangi swadharma leluhur, (melakukan
yajna), jangan marah-marah dan berkata yang
kasar, kata-kata yang baik juga patut diucapkan
(selama proses dan rangkaian pelaksanaan yajna),
jangan sampai menyimpang dari perilaku seperti
itu (berperilaku yang baik).
Dan yang penting lebih ditekankan lagi sejak
persiapan sampai proses pelaksanaan yajna
selanjutnya, sang Yajamana,(Krama Desa Adat)
yang melaksanakan persembahan dan pemujaan
ya jna, jangan sampai bermuka ganas, masam
pada saat menenuaikan tugas yajna, masing-
masing. Kalau bersikap dan berperilaku, menurut
tuntunan sumber riptaprasasti ini, dikemukakan
yajna tidak akan berhasil, tan sidaning don,
phalanya. Dari semua tuntunan sikap dan prilaku
semua fungsionaris, baik yang terlibat langsung,
maupun yang tidak terlibat langsung dalam
aktivitas selama kegiatan yajna yang dilaksanakan,
dapat dirangkum kembali, bahwa Trikaya Parisudha
Sang Trini manggaleng Yajna, harus ingkup,
satu, tidak berbeda, dalam pikiran yang suci,
dalam perkataan yang suci dan patut, dalam
setiap langkah dan perbuatanya. Kalau ada
yang berbeda pendapat, apalagi sampai bertentangan,
patut diselesaikan melalui prawerti masasahan,
ngandap - kasor, jangan nyapa kadi aku, apalagi
sampai ngaku-ngaku tulya makadi Bhima Upih.
Andaikata semua pihak dapat bersikap dan berprilaku
seperti cara Bali yang telah dikemukakan,
jalan lempeng ke arah keberhasilan pelaksanaan
persembahan dan pemujaan Karya Mamungkah dengan
segenap rangkaianya, telah terarah menuju
ke arah keberhasilan (sidaning don) itu sendiri.
Persiapan sampai pelaksanaan, persembahan
dan pemujaan Karya Mamungkah, Ngenteg Linggih,
Tawur Agung, Mapedanan mwang Panyegjeg Bhumi
di Pura Dalem Swargan, membutuhkan dana yang
besar. Bukan hanya dana saja, tetapi juga
pemikiran, waktu dan tenaga. Tetapi bagi Krama
desa Kedewatan bersama semua fungsionaris
Desa Adat Kedewatan sendiri sebagai Sang Yajamana,
semuanya harus melakukan yajnakarma dan danakarma
selaku pengejawantahan ajaran yajna dan kirti,
untuk saling melengkapi seperti yang dikemukakan
oleh Bhagawan Wararuci, dalam karya tulisnya,
yakni Sarasamuscaya, yang petikannya sebagai
berikut :
punya
talaga tan hili, punya sumur, punya
talaga humili, punya dewagrha, ulul,
kamalir. pahoman prakara, punya nasi,
punya pawiraman, patani gilang-gilang
prakara, ika to kabeh, yatika purta
ngaranya. |
Terjemahanya berarti: |
Amal yang berupa
waduk, sumur. Telaga yang airnya mengalir,
rumah Dewa, tempat beratap sebagai payung,
panggung beratap (platform) tempat persembahan
kurban kebaktian dan yang lain-lain
sebagai itu, amal nasi, amal tempat
peristirahatan atau pasanggrahan, bangku
duduk, tempat perhentian, balai perhentian
bagi para wisatawan, dan balaibalai
lainya seperti itu, kesemuanya itu adalah
pekerjaan amal (purta). |
|
|
Pekerjaan amal (purta) itu sendiri memiliki
arti yang luas. Seperti dalam kata istapurta,
yang berarti: kurban dan amal, persembahan
kebaktian dan perbuatan kebajikan; yang dapat
pula dikatakan yajnakarma dan danakarma, atau
sama pula artinya dengan yajna dan kirti.
Dalam pelaksanaan kegiatan persembahan dan
pemujaan Karya Agung Mamungkah dengan segenap
aed (rangkaianya) di Pura Dalem Swargan, kalau
kita pilah-pilah ajaran sumber sarasamuscaya
yang petikanya telah dikemukakan, perbuatan
untuk melakukan yajnakarma dan danakarma,
yang juga merupakan istaputra, kalau kita
rinci memang telah dilaksanakan berkepatutan,
selaras dengan hukum persembahan yajnakarma
dan danakarma itu sendiri.
Kongkritnya persembahan dewagrha (rumah) Dewa,
adalah semua pelinggih Meru di Pura Dalem
Swargan, termasuk Widhigrha, bangunan padmasana
dan Sanggar Tawang, pelinggih Hyang Whidi
yang dibangun secara padgatakala, kalau dilaksanakan
Karya Agung seperti sekarang ini . Termasuk
persembahan tempat kebaktian yang lainnya,
seperti tempat kebaktian, (pahoman prakara),
dan punia nasi, baik sebagai perlengkapan
upakara, maupun untuk para pengayah, termasuk
pula kepada para atitiyajna, (tamu dan para
undangan lainya). Sadar atau tidak sadar,
menghormati para atitiyajna, ri sedek ngupa
desa, mwang nangun yajna pada dasarnya adalah
Krama Desa Adat bersama segenap fungsionaris
Desa Adat Kedewatan, telah melakukan istaputra,
(kurban suci, amal, persembahan kebaktian
dan perbuatan kebajikan), selaras dengan tuntunan
ajaran Weda, yang mengemukakan sebagai berikut
:
-
Pathru Dewo Bhawo,
(Hormatilah Ayah, dalam artian luas)
-
Mathru Dewo Bhawo,
(Hormatilah Ibu, dalam artian luas)
-
Acharyo Dewo Bhawo,
(Hormatilah Guru, dalam artian luas, mulai
dari Dang Acharyo (Adi Guruloka), Guru Wisesa,
Guru Pengajian, yang dituwur dan diundang.
-
Atiti Dewo Bhawo,
(Hormatilah para tamu, dari mana pun asalnya,
siapapun mereka, terutama para atitiyajna
tamu yang khusus diundang dalam kerangka
persembahan dan pemujaan yajna yang dilaksanakan).
Demikian etik dan tata susila agama yang
patut dipedomani dan dipatuhi, terutama oleh
sang yajamana sang adruwe Karya, saat nyanggra
miwah midabdabin pamargi karya, sane kemargiang.
Sehingga seluruh aspek goals persembahan dan
pemujaan Karya Agung Mamungkah, Ngenteg Linggih,
Tawur, Mapedanan mwang Panyegjeg Bhumi di
Pura Dalem Swargan dapat terwujud dan tercapai
berdasarkan tuntunan Etika, ajaran yajnakarma
dan danakarma, serta secara rincian yang lebih
luas lagi, Krama Desa Adat beserta para fungsionaris
Desa Adat Kedewatan telah melakukan aitapurta.
Demikian pula dasar-dasar etik secara umum
dan tuntunan ajaran tata susila agama telah
dilakukan selaras dengan tuntunan ajaran istapurta
itu telah terlaksana sejak awal persiapan,
proses pelaksanaan seluruh aed (rangkaian)
persembahan dan pemujaan Karya Agung, Mamungkah,
Ngenteg Linggih, tawur, Mapedanan mwang Panyegjeg
Bhumi, telah dilaksanakan selaras dengan konsep
jajaran istepurta itu, sehingga pada dasarnya
juga yajna dan kriti telah dilaksanakan sepatutnya,
sehingga ya jna besar ditingkat Desa Adat,
telandilaksanakan menurut ajaran sanatana
dharma.
Setelah mengemukakan dasar etika pada umumnya
dan ajaran tata susila agama pada khususnya,
yang menjadi landasan dasar yang pokok untuk
dipedomi dan dipatuhi oleh Sang Trini Mangleng
yajna, terutama oleh Sang Yajamana, Sang Adruwe
Karya, selama proses pelaksanaan persembahan
dan pemujaan yajna, sehingga dapat berhasil
baik, satu pertanyaan timbul lagi dalam pikiran
kita . Apa sebenarnya maksud dan pahala persembahan
dan pemujaan yajna Pamungkah Agung dengan
segenap rangkaianya, yang telah selaras dengan
Etika pada umumnya dan ajaran tata susila
agama pada khususnya itu? Jawaban pertanyaan
seperti ini perlu kita ketahui sehingga dalam
usaha meningkatkan Sradha dan Bhakti, aspek-aspek
goals pelaksanaan persembahan dan pemujaan
yajna menjadi semakin mantap dan utuh, dalam
sumber riptaprasasti, lontar Widhi Sastra
Niti Sang Hyang Dharma Yogi, ada dikemukakan,
sebagai berikut:
Ikang
yajna maka don, luputing sangsara papa,
tkaningtuha, pati, sukasada, ya akertyaning
agawe yajna ", |
yang terjemahanya berarti: |
Maksud pelaksanaan
yajna adalah untuk melepaskan sengsara,
kepapaan, sehingga sampai umur tua,
bahkan sampai saat meninggal dunia pun
kesukaan dan kebahagiaan, selalu dapat
dinikmati, demikianlah pahala orang
yang melakukan dan melaksanakan yajna. |
|
|
Apa yang dapat kita simak dan kaji mengenai
pahala umat manusia yang melakukan dan melaksanakan,
(penulis ; nista, madya, utama), menurut sumber
riptaprasasti, Lontar Widhisastra Niti Sang
Hyang Dharma Yogi, yang petikanya telah dikemukakan,
adalah akan dapat membebaskan kesengsaraan
dan kepapaan sampai umur tua, bahkan sampai
saat meninggalkan dunia pun, kesukaan dan
kebahagiaan selalu dapat dinikmati. Kebahagiaan
skala dan niskala yang dapat dinikmati oleh
umat manusia yang melakukan dan melaksanakan
persembahan dan pemujaan yajna dalam hidup
dan kehidupanya.
Demikian jelas pahala yang didapatkan oleh
umat manusia sebagai parabhakta, menurut sumber
riptaprasasti yang telah dikemukakan, dengan
mempergunakan kesempatan dalam hidup dan kehidupanini
pula, untuk melakukan yajnakarma dan danakarma,
baik secara individu atau pribadi, maupun
secara kelompok, (mulai dari keluarga besar,
krama Banjar, atau pun Krama Desa Adat). Seperti
halnya Krama Desa Adat dan para fungsiunaris
Desa Adat Kedewatan, yang dalam hidup dan
kehidupan sekarang ini, berkesepakatan melakukan
persembahan dan pemujaan Karya Agung Ngenteg
Linggih, Tawur Agung, Mapedanan mwang panyegjeg
Bhumi di Pura Dalem Swarga.
Bahkan kalau kita simak dan kaji lebih jauh
lagi dengan masih tetap meniti sumber lontar
widhisastra Niti Sang Hyang Dharma Yogi yang
telah di kemukakan, dalam konsep ajaran nyasa,
sebagai prabhakta, Krama Desa Adat dan segenap
fungsionaris Desa Adat Kedewatan, telah memindahkan
sorga atau Kedewatan, ke Desa Adat Kedewatan.
Sehingga selama aed (rangkaian) persembahan
dan pemujaan karya agung Mamungkah dengan
segenap ranggkaiannya di Pura Dalem Swargan,
di Desa Adat Kedewatan ada dua kedewatan.
Yang satu adalah Desa Adat Kedewatan yang
memang ada di dunia, yang berlokasi di kecamatan
Ubud, Kabupaten daerah tingkat II Gianyar.
Sedangkan yang satu lagi adalah Kedewatan
secara nyasa, yang di nyasa - kan oleh Sanggar
Tawang, sthana Hyang Widhi, dengan tanda -
tanda ke - sorga - an atau Ke - Dewata - anNya,
berupa plawa yang terdiri dari unsur - unsur
panca vriksha, lima genus dan species tumbuh
- tumbuhan sorga, yang berada di dunia, berkat
jasa satya bhoma Dewi, yang membawa bibitnya
dari Taman Nandhana Dewa Indra di Keindraan,
untuk ditanamdi Taman Sari di Dwarawati, seperti
yang dikemukakan dalam sumber Wanaparwa.
Lima genus dan species unsur - unsur Panca
Vriksha tumbuhan - tumbuhan Sorga (Kedewatan)
yang semula tumbuh di Taman Nandhana di Indraloka
itu yang asli menurut sumber purana (Pur Puranic),
adalah ;
1 |
Wandira |
Beringin |
Ficus Benjamina L |
2 |
Parijataka |
Dadap |
Erythrina indica |
3 |
Harichandanaka atau Dewandaru |
|
Santalum album L. |
4 |
Kalpataru |
|
Medinilla javanensis |
5 |
Vilva |
Maja |
Aegle Marmelos Correa |
Kelima genus dan species unsur
panca vriksha itulah yang seyogyanya di gunakan
sebagai plawa Sanggar Tawang, sebagai nyasa
Sorga (Kedewatan) yang di pindahkan ke bhumi
ini, sebagai parhyangan (stana)Hyang Widhi,
pada waktu amukti persembahan yajna umat manusia
sebagai parabhakta, yang menyatakan wujud agayubagya
anugrah Hyang Widhi berupa adisrsti (ciptaaan
mulia - Nya), sehingga umat manusia dapat hidup
makmur, sejahtera dan bahagia, sakala dan niskala.
Tetapi untuk mendapatkan semua genus dan species
unsur - unsur panca vriksha itu adalah sukar,
karena sebagian dari genus species unsur - unsur
Panca vriksha, tumbuh - tumbuhan sorga (Kedewatan)
tidak lengkap tumbuh di Balidwipa atau sukar
di cari, akhirnya yang digunakan sebagai plawa
sanggar Tawang hanya dua genus dan species saja,
yakni wandira (Ficus Benyamin L.) dan vilva
(Aigle Marmelos Correa), yang juga sering diganti
dengan ancak, ara jawi -jawi, (Ficus Rumhii
B1.).
Tiga genus dan species flora lokal Bali yang
umum di gunakan sebagai pengganti plawa Sanggar
Tawang adalah biu lalung, pisang, (Musa sapientum
L.), yang sering pula dikemukakan sebagai buah
sorga ( kedewatan), dalam berbagai Lontar Mpu
Lutuk dan prembon Bebantenan, dikemukakan sebagai
nyasa tateken (tongkat ) Dewa Surya. Tampaknya
pemikiran domestik seperti itu mendekati kebenaran
sastra agama juga, karena dalam konsep ajaran
filsafat siwaistis, Sanggar Tawang adalah sthana
Hyang Siwa Raditya, sebagai Hyang Widhi.
Dua genus dan species flora local Bali yang
biasa di gunakan sebagai plawa pengganti untuk
Sanggar Tawang adalah Uduh (Caryota Mihs). dan
Peji (Drymophlocus ovilivacouncis mart) Kedua
genus dan species flora local Bali ini yang
digunakan sebagai plawa Sanggar Tawang pengganti
unsur - unsur panca vriksha mengandung unsur
petunjuk bagi sang Yajamana, bahwa di sanggar
Tawang sebagai sthana Hyang Widhi atau hyang
Siwa Raditya, kauduh - ang, atau diperintahkan
untuk ngunggahang (mempersembahkan) Upakara
(banten). Jika telah ngunggahang (mempersembahkan)
banten (upakara) selengkapnya itulah yang kapuji
( dipuji). Dikiratabasakan oleh peji, sama halnya
seperti uduh, kauduhang dikiratabasakan oleh
uduh itu sendiri. Demikian unsur - unsur plawa
Sanggar Tawang, sebagai nyasa memindahkan Sorga
(Kedewataan) ke bhumi ini.
Kalau secara fisik sudah seperti itu, lalu swasananya
bagaimana? Suasana Sorga pun pada saat persembahan
dan pemujaan dihari subhadiwasa adining karya,
telah pindah ke bhumi. kalau kita meninjau agak
dari jauh sedikit sambil merenungkan suasana
persembahan dan pemujaan karya atau yajna, betapa
sakralnya suasana memenuhi relung Kati dan pikiran
spiritual kita, mulai dari mencium bau harum
dupa, kemenyan dan menasep, ingu dan kastanggi
yang di bakar dalam pasepan, dan padupan Ida
padanda yang mepuja, sampai kita dapat mendengarkan
kidung wargasari, Chanda rapalan puja Ida Padanda
yang muput, berbagai bunyi tabuh atau gambelan,
Oncang - oncangan ghanta pinara pitu, suara
damaru,sanka,ghantaorag dan ghanta uter,yang
semakin menggugah pangerasa agama kita, (Tentunya
yang memiliki kemampuan spiritual untuk menikmati
dan merasakan suasana seperti itu.
Apalagi kalau kita sampai ke lokasi persembahan
dan pemujaan, dapat menonton Tani Wali dan Babali,Tari
babali, dan busana palinggih,sanggar tawang,
sanggar tutuan, panggungan dan berbagai bentuk
dan jenis upakara yang telah mabanjahan yang
dilaksanakan oleh para Serati Banten, dibantu
oleh para pengayah kita akan tertumbuk dengan
suasana yang semeringah, tetapi tetap khidmad
dan sakral. Konon suasana di sorga pada waktu
para Dewa melaksanakan yajna, suasana semeringah
tetapi sakral itu, seperti itu pula situasi
dan kondisinya, seperti yang digambarkan dalam
sastra - sastra jawa kuno, terutama dalam sastra
kekawin. Demikianlah berbagai aspek filsafat,ajaran
tata susila agama,nyasa, arcanam dan dewawigraha,
yang di nyasa - kan oleh berbagai bentuk dan
jenis upakara dengan unsur dan struktur eteh
- eteh tatandinganya termasuk para fungsionaris
upacara yang langsung melaksanakan rangkaian
persembahan dan pemujaan itu. Seperti para wiku
pamuput, Mancaghra, Sang sastra paraga, Sangging,
undagi, pragina dan juru gambel, juru kidung),
yang karena gunakarma dan yoni masing - masing
dapat semakin menumbuh kembangkan usaha peningkatan
sradha dan bhakti, sang yajamana yakni Krama
Desa Adat bersama dengan segenap fungsionaris
Desa Adat Kedewatan. Termasuk dapat semakin
menumbuh kembangkan dan meningkatkan swadharma
agama, dengan pengejawantahan melaksanakan pangupahayu
Pura Dalem Swargan, yang menjadi amongan, emponan,
sungsungan dan penyiwian, seluruh krama Desa
Adat dan segenap fungsionaris Desa Adat Kedewatan.
|
|
|
|
|
|
|
|
|