Penjelasan pasal 36 UUD
1945 menyebutkan bahwa di daerah-daerah
yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara
oleh rakyatnya dengan baik-baik, bahasa-bahasa
itu akan dihormati dan dipelihara oleh
negara. Bahasa daerah itu juga merupakan
sebagian dan kebudayaan Indonesia yang
hidup. Sejalan dengan itu bahasa Bail
sebagai salah satu bahasa daerah yang
memiliki tradisi lisan dan tulis juga
telah mendapat perhatian dari pemerintah.
Dalam usaha memelihara dan membina bahasa,
aksara dan Sastra Bali, Pemerintah Daerah
Tingkat l Bali telah mengeluarkan Peraturan
Daerah No. 3 Tahun 1992 tentang Bahasa,
Aksara dan Sastra Bali (Lembaran Daerah
Propinsi Daerah Tingkat l Bali Tahun 1992
Nomor 385 Seri D Nomor 3799).
Pembangunan daerah Bali
telah menetapkan Kebudayaan sebagai potensi
dasar. Dengan demikian pembangunan yang
dilaksanakan di daerah ini baik fisik
maupun non fisik senantiasa berwawasan
budaya. Oleh karenanya bahasa Bali sebagai
media bahasa untuk kebudayaan Bali sudah
semestinya mendapat posisi yang penting
dan perhatian yang sungguh-sungguh dalam
pembangunan ini. Didorong oleh kesadaran
bahwa bahasa, aksara dan sastra Bali mempunyai
peranan yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat dan budaya Bali maka usaha
pembinaan, pengkajian, pemeliharaan dan
pelestarian perlu dilakukan secara berlanjut
dan terprogram. Hanya dengan usaha ini
bahasa Bali yang merupakan media komunikasi
yang bersifat produktif untuk mempelajari
khasanah budaya dan pengetahuan dalam
kehidupan masyarakat Bali akan dapat dipelihara
dan dilestarikan. Namun disadari dalam
era globalisasi bahasa Bali belum sepenuhnya
menjadi kebanggaan daerah dan masyarakat
penuturnya. Pemahaman akan pemakaian bahasa
Bali yang baik dan benar perlu lebih ditingkatkan
terutama dalam konteks kehidupan adat
dan budaya Bali. Demikian pula pengenalan
aksara Bali dengan sistem ejaannya belum
memasyarakat. Di samping itu untuk kegiatan
apresiasi sastra di kalangan masyarakat
Bali terutama generasi mudanya dirasakan
mulai memudar kalau tidak boleh dikatakan
mulai dijauhi dan ditinggalkan.
Walaupun disadari kegiatan
bersastra (nyastra) merupakan tiang penyangga
utama untuk semua aspek kebudayaan Bali
dan sebagai persemaian bibit pengawi Bali.
Pembangunan yang sedang digiatkan sekarang
ini senantiasa memperhatikan keseimbangan
dan keserasian antara bidang ekonomi budaya
dan lingkungan. Dengan tetap memperhatikan
aspek keserasian dan keseimbangan pembangunan
ini diharapkan dapat menghasilkan sumber
daya manusia yang mempunyai jati diri
yang mantap, penuh percaya diri dan serasi
sebagai anggota masyarakat baik daerah,
nasional maupun dunia. Penggalakan pengkajian
bahasa daerah dengan segala aspeknya sangat
besar artinya dalam menumbuhkan jati diri
sebagai bangsa Indonesia. Uraian di atas
hanya ingin memberi pernyataan bahwa kegiatan
untuk mempelajari, memahami dan mengembangkan
bahasa dan sastra Bali dirasakan mulai
menurun. Hal ini mendorong saatnya dilakukan
usaha membangkitkan kembali (revitalisasi)
kegairahan apresiasi bahasa, aksara dan
sastra Bali (tradisi nyastra) di kalangan
masyarakat dan penutur bahasa Bali. Untuk
mewadahi kegiatan-kegiatan berkaitan dengan
kehidupan bahasa, aksara dan sastra Bali,
Gubernur juga telah membentuk Badan Pembina
Bahasa, Aksara dan Sastra Bali dengan
S.K. Nomor 179 Tahun 1995.
Sebagai tindak lanjut
program pembinaan, pemeliharaan dan pelestarian
bahasa dan aksara Bali telah dilakukan
kegiatan-kegiatan pembinaan ke Kabupaten
dan Kotamadya se Bali. Khusus untuk pelestarian
aksara Bali, Gubernur Kepala Daerah Tingkat
l Bali telah mengeluarkan surat Edaran
No. 01/1995 untuk mengajak seluruh masyarakat
Bali serta mengimbau semua pihak untuk
menggunakan tulisan Bali di bawah tulisan
Latin pada papan nama instansi pemerintah
maupun swasta. Di samping itu untuk nama-nama
hotel, restoran, nama jalan, bale banjar,
pura, tempat obyek pariwisata, dan tempat-tempat
penting lainnya di seluruh Bali diimbau
untuk memakai tulisan Bali dan tulisan
Latin.
Kelihatannya edaran ini sederhana saja
dan mudah dilakukan, namun sesungguhnya
banyak sekali permasalahan yang perlu
dikaji lebih mendalam untuk dapat melaksanakan
imbauan tersebut sesuai dengan sasaran
yang ingin dicapai. Permasalahan-permasalahan
tersebut meliputi berbagai aspek ejaan
bahasa Bali, Pasang Aksara Bali untuk
unsur bahasa serapan, belum adanya pedoman
yang pasti untuk penulisan unsur-unsur
yang berasal dan luar bahasa Bali dan
lain-lainnya. Di samping itu selama ini
diketahui aksara Bali itu hanya dipakai
untuk menuliskan Bahasa Bali dan Bahasa
Kawi (Jawa Kuno), terutama untuk tata
kehidupan budaya dan masyarakat Bali serta
agama Hindu. Dengan adanya keinginan untuk
menuliskan papan nama instansi pemerintah/
swasta dengan tuli"an Bali di bawah
tulisan Latin tentu dituntut adanya satu
pedoman untuk pelaksanaannya. Bertolak
dan permasalahan tersebut tulisan ini
akan mencoba menyusun pedoman penulisan
papan nama dengan aksara Bali sebagai
usaha untuk menjawab sebagian kecil permasalahan
berkaitan dengan imbauan Gubernur Bali,
No. 01/1995. Penulisan ini lebih banyak
bersifat praktis di lapangan dan disertai
kajian pustaka dan berbagai buku yang
membicarakan tentang ejaan/pasang aksara
Bali.
|