|
Minggu,
2008 Juli 06
TERJEMAHAN PRASASTI DADYA BANDESA MANIK MAS
UNGASAN
Dadya Bandesa Manik Mas Kanginan Ungasan memiliki
Prasasti yang aslinya disalin dalam bahawa Bali
dan Kawi selanjurnya diterjemahkan kedalam bahasa
indonesia agar mudah dimengerti. Prasasti ini
diterjemahkan oleh A.A. Geria dari Petak Gianyar
dengan terjemahannya sebagai berikut :
Semoga tidak ada halangan dan
berhasil.
Sembah sujud hamba ke hadapan para leluhur,
beliau yang telah paham akan saripati Hyang
Ratna Ongkara Mantram, suci lahir-bathin hingga
disebut Sang Yogiswara. Semoga beliau memberkati
hamba untuk menceritakan perihal terdahulu yang
amat suci. Bebas hamba dari kesalahan, kekeliruan,
segala mala pataka serta dimaafkan oleh beliau
untuk keselamatan dan panjang umur seluruh keluarga
hingga keturunan kelak, semoga sejahtera.
Tersebutlah zaman dahulu, keadaan dunia masih
kosong bagaikan perahu yang terombang-ambing
yakni di tanah Bali dan Selaparang, sirna semua
yang ada di jagat Bali ini.
Adapun ceritanya: semula ada
empat gunung bernama Gunung Catur Loka Pala,
yakni : di timur adalah Gunung Lempuyang, di
selatan ada Gunung Andakasa, di sisi utara adalah
Gunung Manghu, di sisi barat ada Gunung Watukaru.
Demikian keberadaan gunung itu, yang pada hakikatnya
sebagai kunci penguat jagat Bali sejak zaman
dulu. Itu sebabnya terasa sulit Hyang Hari Bawana
(Wisnu) menjaga Bali ini. Bersedihlah Hyang
Tri Nayana menyaksikan Bali ini bagaikan pralaya
(kiamat). Segera berupaya mencabut puncak Gunung
Mahameru, Hyang Badhawang Nala sebagai dasar
gunung, Hyang Ananta Boga dan Hyang Basuki sebagai
talinya, Hyang Naga Taksaka menerbangkan hingga
di Bali dan Selaparang. Itu sebabnya ada Gunung
Agung dan Gunung Rinjani. Hampir sama dengan
perihal ketika para dewata memutar Gunung Mandara
di lautan susu (Ksiràrnawa). Demikian
cerita kedua pulau itu (Bali, Lombok).
Entah berapa lamanya, bertepatan pada wuku Prangbakat
sasih kadasa (Panca Indra Bhumi) bernama Anggara
Kasih Prangbakat, sasih kadasa bertemu purnama,
tahun Candra sangkala: Sukita Pawaka Mastaka
Witangsi, satuannya (rah) 3, puluhannya
(tenggek) 1, atau Wesakyam Ghni Bhudara (Isaka
..13), meletus Tohlangkir (Gunung Agung), muncullah
Bhatara Tri Purusa, yakni : Bhatara Hyang Aghni
Jaya berstana di Pura Lempuyang, Bhatara Putra
Jaya yang juga bergelar Bhatara Hyang Mahadewa
berstana di Pura Besakih, dan Bhatari Hyang
Dewi Danuh beristana di Pura Ulun Danu Batur.
Ada lagi putra Hyang Pasupati, ditugaskan menjaga
jagat Bali bergelar Sang Hyang Tri Purusa, seperti
Bhatara Hyang Tugu berstana di Gunung Andakasa,
Bhatara Hyang Tumuwuh berstana di Gunung Watukaru,
Bhatara Hyang Manik Gumawang di Gunung Bratan,
dan Bhatara Hyang Manik Galang (Corong) di Pejeng.
Entah berapa lama beliau berstana di Sad Kahyangan
dan disembah jagat Bali, ceritakan kini pada
siwa kuje Julung Mrik yang bernama Anggara Kliwon
Julungwangi, Sadara marga uttara badrawada,
bernama sasih Karo, ketika Hyang Surya bergerak
ke utara, bertepatan pada sukla pawaka bhudara,
yakni pananggal ke-13 (tahun Candra Sangkala:
swanita kala bhumi sirsaya janma) bernama rah
(satuan) 8, tenggek (puluhan) 1 (Naga wulan
witangsu Udaning Jagadhitaya) atau tahun Isaka
18. Ketika itu Bhatara Hyang Aghni Jaya dan
Bhatara Hyang Putra Jaya beryoga dan meletuslah
Hyang Tohlangkir (Gunung Agung) mengeluarkan
lahar api membasmi segala yang dilaluinya. Kemudian
menjadi sungai yang dinamai Lwah Embah Ghni
hingga kini.
Berkat yoga Bhatara Hyang Putra Jaya lahirlah
putranya yang tertua bernama Bhatara Ghana.
Adiknya bernama Bhatari Manik Ghni. Berkat yoga
Bhatara Hyang Ghni Jaya lahir putranya empat
orang, yakni Sanghyang Sri Mahadewa bergelar
Mpu Witta Dharma, Sanghyang Sidhi Mantra yang
sangat sakti, Sang Kulputih, serta yang terbungsu
bernama Ratu Sakti menjadi raja di Madura. Berkat
yoga Mpu Witta Dharma, lahir seorang putra bernama
Mpu Bajra Satwa, bergelar Mpu Wira Dharma. Adapun
adiknya bernama Mpu Dwijendra bergelar Mpu Raja
Kretta. Ceritakan berkat yoga yang dilakukan
Mpu Dwijendra, lahir empat orang putra, yakni
(1) Mpu Gagak Aking, (2) Mpu Bubuk Sah, (3)
Mpu Brahma Wisesa, dan (4) Mpu Lingga Nata.
Hentikan beliau yang demikian itu, ceritakan
berkat yoga beliau Mpu Bajra Satwa yang bergelar
Mpu Wira Dharma, lahir seorang putra bernama
Mpu Tanuhun yang juga bernama Mpu Lampitha.
Adapun dari yoganya Mpu Tanuhun lahir lima orang
putra, yakni: (1) Sang Brahmana Pandita, (2)
Mpu Sumeru, (3) Mpu Ghana, (4) Mpu Kuturan,
dan (5) Mpu Baradah. Kelimanya disebut panca
pandita atau panca tirta dan panca dewata. Semuanya
menghadap Bhatara Gana dan Bhatari Manik Ghni
yang berada di Gunung Sumeru seraya melakukan
yoga semadi menghadap anugrah Bhatara Hyang
Pasupati. Ada kata bhisama Bhatara Hyang Pasupati
kepada Bhatara Hyang Panca Tirta sebagai berikut.
“Oh cucuku sekalian, dengarkanlah baik-baik,
jangan lupa terhadap perilaku seorang pendeta,
yang taat akan tutur kamoksan dan kebenaran
aksara. jika begini mestinya begini, jika begitu
mestinya begitu. Yang terpenting anugrah beliau,
adalah segala ilmu yang tersurat dalam Sanghyang
Manu, Tri Kaya Parisudha, dan Tatwa Dyatmika.
Kemudian jika ada keturunanmu, sampaikan juga
bhisamaku ini, untuk mengingatkan perilaku seorang
pendeta utama. Jika ada keturunanku melanggar,
tidak hirau isi lontar (lepihan), ia bukan keturunanmu.
Semoga ia kalah dan turun wangsanya”.
Demikian anugrah serta bhisama Bhatara Hyang
Pasupati kepada Panca Pandita, sepi bagaikan
diperciki tirta amerta kamandalu setelah merasuk
ke ubun-ubunnya.
Hentikan dan diganti ceritanya, tersebutlah
entah berapa lamanya Sang Panca Pandita berada
di bumi Jawa. Ceritakan kini telah berada di
jagat Bali. Sang Brahmana Pandita memperistri
putri Bhatari Manik Ghni, hingga bergelar Mpu
Ghni Jaya Sakti. Kemudian berputra tujuh orang
yang disebut Sapta Rsi, yakni: (1) Mpu Ketek,
(2) Mpu Kananda, (3) Mpu Wiradnyana, (4) Mpu
Wita Dharma, (5) Mpu Ragarunting, (6) Mpu Prateka,
dan (7) Mpu Dangka. Adapun Mpu Ghni Jaya Sakti
datang ke tanah Bali pada Kamis Umanis Dunggulan,
tahun Isaka 928, mendirikan parhyangan di Lempuyang
Madya. Sementara Mpu Sumeru datang ke tanah
Bali pada Jumat Kliwon Pujut, purnama Kaulu,
tahun Isaka 921 berstana di Besakih. Adapun
Mpu Gana turun ke tanah Bali pada Senin Kliwon
Kuningan, tahun Isaka 923, berstana di Gelgel.
Adapun Mpu Kuturan datang ke tanah Bali pada
Rabu Kliwon Pahang tanggal 6 Isaka 923 berstana
di Silayukti Padangbai. Mpu Baradah tidak ikut
datang ke Bali, beliau berstana di Lemah Tulis
Pajarakan sebagai pendeta oleh sang prabu di
kerajaan Kediri (Jawa).
Hentikan yang demikian, kini ceritakan sang
Sapta Rsi telah mempunyai keturunan, seperti
tersurat dalam lepihan (lontar), Adapun kini
disebutkan Mpu Witta Dharma, putra keempat dari
Mpu Ghni Jaya mempersunting putri Mpu Darmaja
bernama Dewi Darmika. Datang ke Bali dan menetap
di Lempuyang Madya berbakti dan memelihara parhyangan
Bhatara Kawitan Hyang Abra Sinuhun. Kemudian
berkat keutamaan yoganya, muncul tirta Tunggang
(tirta utama) dari kemaluannya sebagai tirta
pangentas orang mati. Entah berapa lama fase
grehasta yang dijalaninya, lalu melahirkan seorang
putra diberi nama Mpu Bajra Sandi Wira Dharma.
Adapun Mpu Bajra Sandi Wira Dharma sebagai suami
putri Mpu Siwa Gandu yang bernama Dewi Giri
Nata melahirkan tiga putra laki, yang tertua
Mpu Lampitha, yang menengah Mpu Adnyana atau
bergelar Mpu Pananda, dan terbungsu adalah Mpu
Pastika. Adapun Mpu Pastika dan Mpu Pananda
dijadikan murid oleh Mpu Kuturan. Keduanya tiada
pernah kawin (sukla brahmacari), turut di Silayukti
Padang. Sedangkan Mpu Lampitha dijadikan suami
oleh Ni Ayu Subrata melahirkan seorang putra
bernama Mpu Dwijaksara. Adapun Mpu Dwijaksara
berputra Mpu Jiwaksara, yang kemudian bernama
Ki Patih Wulung.
Ceritakan kini pada tahun Saka 1246, zaman pemerintahan
Sri Aji Tapa Wulung di Bali pulina bergelar
Sri Aji Gajah Waktra dan Sri Aji Gajah Wahana
nama lain beliau. Sebagai patih agung adalah
Kriyan Pasung Grigis keturunan Sanghyang Sidhi
Mantra Sakti dan Kriyan Kebo Iwa sebagai adipati,
didampingi oleh para mantri lainnya seperti
Ki Patih Wulung, Ki Wudug Basur, Ki Kala Gemet,
Ki Tumenggung serta empat mantri andalan, yakni
Ki Tunjung Tutur di Karangasem, Ki Tunjung Biru
di Tenganan, Ki Kopang di Seraya, Ki Bwahan
di Batur, Ki Walung Singkal di Taro, Ki Tambiak
di Badung, Ki Girik Mana di Buleleng, dan Ki
Ularan di Kalopaksa. Demikian banyak bala mantri
yang memperkuat raja dalam memegang tapuk pemerintahan
di Bali Pulina. Entah berapa lama beliau memerintah,
kemudian beliau melaksanakan yajna Eka Dasa
Rudra di Besakih didamping oleh Sang Sapta Rsi.
Tak disebutkan keagungan yajna, kini setelah
yajna usai negeri menjadi tentram karena kebijakan
beliau memerintah. Rasa bahagia di dunia seakan
mengalir. Itu sebabnya beliau diberi gelar Sri
Aji Dalem Asta Sura Bumi Banten. Demikian sejarahnya
seperti tersurat dalam lepihan (lontar).
Kembali kini ceritakan tentang Mpu Dwijaksara
yang datang ke Bali tahun Saka 1265. Atas permohonan
Mahapatih Gajah Mada untuk menata jagat Bali
setelah kekalahan raja Sri Aji Dalem Bedahulu
oleh Majapahit dan tidak ada yang memerintah
di jagat Bali. Setibanya di tanah Bali segera
membangun parhyangan di Gelgel bernama Pura
Panganggihan Batur Gelgel. Disebutkan bahwa
beliau punya seorang putra bernama Mpu Jiwaksara
dan bergelar Ki Patih Wulung. Kemudian beliau
beristrikan Ni Ayu Swara Reka, menurunkan dua
orang putra yang tertua bernama I Gusti Smaranata
dan adiknya bernama I Gusti Bandesa Manik. Adapun
I Gusti Smaranata beristrikan Ni Ayu Rudini
menurunkan seorang putra bernama I Gusti Rare
Angon. Adapun Ki Gusti Bandesa Manik beristrikan
Ni Luh Ayu Manik Hyang menurunkan Ni Luh Ayu
Made Manikan dan dijadikan istri oleh Ki Gusti
Rare Angon.
Ceritakan I Gusti Bandesa Mas sebagai Bandesa
di desa Mas tahun Saka 1257, menetap di Taman
Pule. Kemudian menurunkan tiga orang, yang tertua
bernama I Gusti Bandesa Mas, yang menengah bernama
Ni Luh Made Manikan, dan terbungsu bernama Ni
Luh Nyoman Manikan. Adapun I Gusti Rare Angon,
dari istri beliau I Gusti Bandesa Manik melahirkan
tiga orang putra, yakni: (1) I Gusti Pasek Gelgel,
(2) I Gusti Pasek Denpasar, dan (3) I Gusti
Pasek Tangkas. Lagi I Gusti Rare Angon yang
istrinya dari Tohjiwa berputrakan tiga orang,
yakni (1) I Gusti Pasek Tohjiwa, (2) I Gusti
Pasek Nongan, dan (3) I Gusti Pasek Prateka.
Enam orang putra dari Gusti Rare Angon dan tujuh
hingga I Gusti Bandesa Mas menjadikan sebutan
Pasek Sanak Pitu di dunia ini. Adapun I Gusti
Bandesa Mas menurunkan tiga orang putra, yang
tertua bernama Pangeran Bandesa Mas di Banjar
Tarukan, Taman Pule Desa Mas Gianyar, yang menengah
Bandesa Mas di Desa Gading Wani Jembrana, dan
terbungsu Bandesa Mas di Desa Mundeh Kaba-Kaba
Tabanan.
Hentikan lagi cerita itu, kini ceritakan ketika
pemerintahan Sri Aji Dalem Waturenggong pada
tahun Saka 1382 sebagai raja Bali. Beliau sakti
mandraguna, gunawan penegak dharma dan bijaksana,
seorang raja yang disegani rakyat sehingga banyak
negeri tetangga tunduk kepada raja, seperti
Sasak, Sumbawa, Bone, Blambangan, dan Puger.
Tetapi negeri Pasuruan belum kalah olehnya.
Itu sebabnya raja mengadakan rapat besar mengundang
para bahudanda mantri seperti Rakyan Patandakan,
Manginte, Batan Jeruk, Panyarikan Dauh Bale
Agung, Gusti Jelantik, Sanak Pitu Pangeran Pasek
Gelgel dan Pangeran Bandesa Mas berikut punggawa
dan prajuru, disaksikan oleh purahita Siwa-Budha.
Karena teringat akan yang terdahulu, adanya
duta baginda raja menyerang Sri Aji Pasuruan
yang dipimpin Arya Patih Ularan, Arya Kuta Waringin,
Arya Manguri, Arya Delancang, dan Arya Muda.
Ada lagi tentang masalah pada diri Pangeran
Pasek dan Pangeran Bandesa, yang zaman dulu
sebagai senapati perang oleh Dalem Cili Kresna
Kapakisan. Tak disebutkan perihal duta perang
di Pasuruan, akhirnya kalah Sri Aji Pasuruan,
namun tetap tidak mau diajak ke Bali. Betapa
marah Patih Ularan segera dipenggal kepala Sri
Aji Pasuruan dan dibawa ke Bali, berikut seluruh
kekayaan istana dihaturkan kepada raja Bali,
sebagai bukti beliau telah mengalahkan negeri
Pasuruan.
Setibanya Ki Patih Ularan dan kedua Pangeran
seperti Pangeran Pasek Gelgel dan Pangeran Bandesa
di balairung, lalu bersujud kepada Dalem seraya
berkata: “hamba mohon maaf sebagai abdimu,
kini telah berhasil mengalahkan negeri Pasuruan,
seperti Sri Aji Pasuruan, telah dipenggal kepalanya
olehku, ini hamba serahkan kepada paduka”.
Pangeran Bandesa juga berkata: “Oh paduka,
hamba telah hancurkan istana Pasuruan yang dilapisi
permata, dan kini telah mampu hamba raih sebagai
bukti mengalahkan kerajaan Sri Aji Pasuruan”.
Ketika Kriyan Ularan dan Pangeran Bandesa mengatakan
semua itu, raja terdiam bisu bagaikan tertindih
gunung mendengarkannya. Wajah beliau merah bagaikan
api menyala karena sangat marahnya. Segera turun
dari kursi langsung masuk istana dan menutup
pintu. Ada terdengar kata-kata beliau: “
Hai kamu Kriyan Ularan, ada bisama/putusanku
kepadamu, kini kamu tak bisa menghadap aku,
karena dosamu yang amat berat terhadap kakakku
Sri Aji Pasuruan. Ini ada pemberianku padamu,
rakyat dua ratus orang, sawah dua ratus sikut.
Pergilah kamu dari sekarang. Aku
harap kamu menuju Patemon sebelah selatan bukit
(Singaraja). Jangan kamu menghadap aku. Dan
kamu Pangeran Bandesa, karena telah mengambil
permata mas manik di gapura Pasuruan, mulai
sekarang kamu bernama Pangeran Bandesa Manik
Mas hingga keturunanmu seterusnya. Tidak kena
hukuman mati, jika dosa sangat berat harus diusir.
Jika salah usir wajib dimaafkan. Sekarang juga
pikiranku padamu Pangeran Pasek Gelgel, karena
kamu masih satu berkat Kriyan Patih Ulung dulu,
senantiasa berbakti padaku. Aku beri rakyat
sama-sama seratus orang, sawah masing-masing
seratus wit, dan ladang seratus wit, wajib diterima
olehmu sekeluarga hingga keturunanmu”.
Demikian kata Dalem tersurat dalam lepihan.
Kemudian Pasek Gelgel dan Bandesa Manik Mas
membangun rumah di Sweca Lingga Pura (Klungkung)
bernama Jero Kuta sebelah selatan Puri Agung,
diperkuat oleh dua ratus orang rakyat bersama
Pangeran Mas sebagai pemuka Desa Gelgel atas
perintah Sri Aji. Sangat utama dan berkembang
keturunannya, didampingi oleh para mantri, dibantu
para pemuka desa, seperti I Gusti Agung, I Gusti
Nginte, I Gusti Jelantik, I Gusti Pinatih, I
Gusti Panyarikan Dauh Bale Agung, I Gusti Lanang
Jungutan, I Gusti Tapa Lare, I Gusti Kaler,
I Gusti Lod, I Gusti Pangyasan, dan I Gusti
Batan Jeruk. Itulah seluruh arya di Gelgel dan
para pangeran, yakni: I Gede Pasek Gelgel, I
Gede Bandesa Manik Mas, I Gede Dangka, I Gede
Gaduh, I Gede Ngukuhin, I Gede Tangkas Kori
Agung, I Gede Kubayan, I Gede Mregan, dan I
Gede Abyan Tubuh. Lagi ada pangeran dari predana
(wanita) Sri Aji, seperti I Gede Salahin, I
Gede Cawu, I Gede Moning, I Gede Lurah. Dan
ada pangeran keturanan Sri Aji dari Dalem Tarukan,
seperti Gede Sekar, Gede Pulasari, Gede Belayu,
Gede Babalan, Gede Bandem, dan Gede Dangin.
Demikian banyak satria (pangeran) dan pemuka
masyarakat yang ada di Gelgel.
Hentikan dan diganti ceritanya. Kini tersebutlah
Danghyang Nirartha, seorang pendeta utama datang
ke tanah Bali pada tahun Saka 1411 bersama istri
dan putra-putranya, yakni: (1) Ida Ayu Swabawa,
(2) Ida Kuluwan, (3) Ida Lor, (4) Ida Wetan,
(5) Ida Rai Istri, (6) Ida Tlaga, (7) Ida Nyoman
Kaniten. Adapun Danghyang Nirartha menaiki waluh
kele / waluh pahit, istri dan putra-putranya
menaiki perahu bocor. Karena kesaktiannya segera
sampai di Bali, istirahat di bawah pohon ancak.
Kemudian didirikan parhyangan bernama Pura Ancak.
Ada bisama/putusannya kepada keturunannya, tidak
boleh makan waluh seterusnya. Dikisahkan ke
arah timur perjalanan Danghyang Nirartha, tiba-tiba
bertemu dengan seekor naga menganga bagaikan
goa. Masuklah beliau, dan ada telaga berisi
bunga tunjung sedang mekar, ada yang putih,
merah dan hitam. Lalu dipetik bunga itu. Baru
keluar dari perut naga, sirnalah naga itu, menyeramkan
dan berubah-ubah wajah Danghyang Nirartha, terkadang
merah, hitam, dan putih silih berganti. Itu
sebabnya pucat istri dan para putranya melihat
sang rsi. Kemudian terlihat istrinya Sri Patni
Kiniten demikian juga putra-putranya. Tetapi
Ida Ayu Swabawa terlihat paling akhir dalam
keadaan pingsan, karena diperdaya oleh orang
desa di Pagametan. Lalu marah sang Rsi seraya
mengutuk orang Desa Pagametan menjadi wong samar
bernama wong Sumedang berikut desanya disirnakan.
Demikian kisahnya.
Adapun Ida Ayu Swabawa sirna sebagai dewa wong
Sumedang, berstana di Pura Dalem Mlanting disembah
sebagai Dewa Pasar. Dan beliau Patni Kaniten
sirna di Pulaki menjadi Bhatara Dalem Pulaki.
Demikian juga putranya yang bernama Ida Rai
Istri, ketika mengikuti perjalanan Danghyang
Nirartha, lalu sirna di Alas Sepi bernama Suwung,
disembah di Pura Griya Tanah Kilat Desa Suwung
Badung, bergelar Bhatari Ratu Niyang Sakti.
Ceritakan lagi perjalanan Danghyang Nirartha,
lalu tiba di Desa Gading Wani Jembrana, ketika
penduduk desa kena gering gerubug tak bisa diobati.
Di sanalah Bandesa Mas sebagai bandesa di Gading
Wani mohon kepada Rsi agar berkenan mengobati
penduduk Desa Gading Wani. Tak lama dapat disembuhkan
oleh kesaktian Danghyang Nirartha. Kemudian
Ki Bandesa Mas Gading Wani didwijati oleh Danghyang
Nirartha bergelar Ki Dukuh Macan Gading. Sejak
itu Danghyang Nirartha diberi gelar Padanda
Sakti Bawu Rawuh, juga Danghyang Dwijendra.
Di sana Bandesa Gading Wani menghaturkan putrinya
kepada Danghyang Nirartha bernama Ni Jero Patapan,
serta dayangnya bernama Ni Berit.
Entah berapa lama Danghyang Nirartha berada
di gading Wani, lalu terdengar oleh Bandesa
Mas di Desa Mas dan Bandesa Mas di Kaba-Kaba
Tabanan akan kesaktian Danghyang Nirartha. Lalu
mengutus seorang duta agar sang Rsi berkenan
datang ke Desa Mas. Tak disebutkan perjalanan
beliau, di tengah jalan dijemput oleh Ki Bandesa
Mas di desa Kaba-Kaba. Tetapi beliau tidak berkenan,
karena Ki Bandesa Mas Kaba-Kaba memohon di perjalanan.
Namun, ada anugrah beliau berupa Siwa-Lingga
agar dipuja oleh penduduk setempat, kemudian
didirikan Pura bernama Pura Griya Kawitan Rsi
hingga kini. Setelah demikian, lalu Danghyang
Nirartha berjalan melewati Badung. Tak dikisahkan.
Kini diceritakan perihal Bandesa Mas sebagai
Bandesa di Desa Mas bergelar Bandesa Manik Mas
atas anugrah Sri Aji dalem Waturenggong, ketika
mengalahkan Sri Aji Pasuruan terdahulu bersama
Pangeran Pasek Gelgel dan Arya Ularan. Dikisahkan
sekarang Danghyang Nirartha setelah tiba di
Desa Mas, dijemput oleh Bandesa Manik Mas, seraya
dibuatkan griya (rumah) di Taman Pule Desa Mas.
Entah berapa lamanya, lalu didwijati Bandesa
manik Mas oleh Danghyang Nirartha. Ketika itu,
Bandesa Manik Mas menghaturkan adiknya yang
bernama Ni Luh Nyoman Manikan, diganti namanya
menjadi Sang Ayu Mas Genitir sebagai istri Danghyang
Nirartha. Kemudian menurunkan seorang putra
bernama Ida Putu Kidul. Selanjutnya menurunkan
Brahmana Mas di tanah Bali. Dari perkawinan
Danghyang Nirartha dengan Jero Patapan, menurunkan
seorang putra bernama Ida Wayahan Sangsi, juga
bernama Ida Andapan atau Ida Patapan. Juga beristrikan
dayangnya yang bernama Ni Berit, menurunkan
Ida wayan Temesi atau Ida Bendu sebutan lainnya.
Kemudian datang I Gusti Panyarikan Dauh Bale
Agung sebagai duta Sri Aji Dalem Waturenggong,
agar Danghyang Nirartha berkenan menjadi Bhagawanta
atau purahitanya. Itulah sebabnya Danghyang
Nirartha sebagai pendetanya sang raja. Kemudian
Sri Aji Dalem mengadakan Yajna Homa, yakni Aghni
Hotra, digelar oleh pendeta Siwa-Sogata, yakni
Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka. dan
didwijati Sri Aji dalem oleh Danghyang Nirartha.
Semakin kuat negerinya karena kesaktian sang
raja menguasai jagat Bali.
Hentikan sejenak dan diganti ceritanya, Dikisahkan
Bandesa Manik Mas di Banjar Tarukan Taman Pule
Desa Mas, menurunkan tiga orang putra, yakni:
(1) Bandesa Mas di Taman Pule Desa Mas, (2)
Bandesa Mas di Desa Lod Tunduh, (3) Bandesa
Mas di Desa Mawang Gianyar. Adapun Bandesa Mas
di Desa Lod Tunduh Gianyar menurunkan keturunan
di Desa Ungasan, Bandesa Mas di Kesiman, Bandesa
Mas di Sangeh, Bandesa Mas di Desa Abiansemal,
dan Bandesa Mas di Desa Pangastulan Buleleng.
Adapun Bandesa Mas di Desa Mawang Gianyar menurunkan
Bandesa Mas di desa Wanayu Bedulu, Bandesa Mas
di Desa Celuk, Bandesa Mas ring Desa Malinggih,
Bandesa Mas di Desa Paguyangan, dan Bandesa
Mas di Desa Sanur.
Hentikan cerita itu sejenak, kini ceritakan
entah berapa lama Bandesa Manik Mas sebagai
pemuka Desa Mas secara bergantian sebagai bandesa
di Desa Mas, selalu berbakti kepada junjungan.
Dikisahkan sekarang, ketika zaman Sri Agung
Anom Sirikan sebagai pemegang kekuasaan Desa
Timbul bergelar Sri Aji Dalem Wijaya Tanu Ratna
Pangkaja, Dalem Sukawati sebutan lainnya, sekitar
tahun Saka 1672-1742, ada rencana Dalem agar
Ki Bandesa Manik Mas menghaturkan pustaka leluhur
ke Puri Sukawati, seperti Tombak, keris, mirah
manawa ratna manik mas. Mungkin telah takdir
datangnya kehancuran, Ki Bandesa tidak setuju
menyerahkannya karena semua itu adalah pustaka/
senjata andalan sejak dulu. Itu sebabnya, meletus
perang maha dahsyat. Dikisahkan perang mulai
berkecamuk, balatentara perang Ki Bandesa Mas
telah bersiap-siap. Ada di ladang, persawahan,
sebelah selatan Desa Mas, semua siap menunggu
kehadiran musuh dari Timbul. Perang sengit saling
penggal, berhadapan-hadapan dengan perwira,
mengamuk sejadi-jadinya, bunuh-membunuh, karena
rasa sayang dan bakti kepada rajanya.
Tak terhitung yang mati dan terluka ibarat perang
Baratayuda terdahulu. Demikian juga amukan Kyayi
Bandesa Manik Mas, bagikan Abhimaniu yang direbut
seratus Korawa di medan laga Kuru Ksetra. Wajar
saja, karena banyaknya musuh mengitari, akhirnya
balatentara dan Kyayi Bandesa Manik Mas tiada
berkutik. Sepeninggal Kyayi Bandesa Manik Mas,
maka yang masih hidup dan seluruh keluarganya
berlari mencari persembunyian, termasuk seluruh
keluarga Brahmana Mas. Semua nyineb wangsa agar
tak diketahui oleh musuh. Ini adalah sebuah
bhisama Kyayi Bandesa Manik Mas sebelum kalah
di medan laga. Itu sebabnya semua berlari hingga
jauh dari Desa Mas, agar tidak dibunuh oleh
musuh. Ada yang bersembunyi di Tangkulak, ada
di Badulu, ada di Tampaksiring, ada di Tegalalang,
Pujungan, ada menuju Buleleng, Bon Dalem, Banyu
Atis, Banyuning, Kubu Tambahan, Gitgit, Baturiti,
Candi Kuning, Mengwi Kapal, Kaba-Kaba, Jembrana,
Negara, Yeh Embang, Badung, Kapisah, Pedungan,
ada di Desa Ungasan menetap di Banjar Kangin,
ada di Pabangbai, ada di Karangasem, di Klungkung,
Nusa Penida, ada di Abianbase, ada di Balahpane,
ada di Bukit, dan ada di Desa Dusun (perkampungan)
memenuhi jagat Bali. Bagaikan pohon beringin
besar banyak rantingnya merasuk ke pertiwi,
lebat daunnya, banyak buahnya tiada terhitung.
Lama-kelamaan ada angin ribut, entah dari mana
asal daun dan buahnya, dan ada burung-burung
mencari makanan hingga ke desa-desa. Akhirnya,
ada yang kaya dan miskin, ada yang pandai dan
bodoh, ada yang masih setia dengan wangsa serta
tidak tahu akan sejarah leluhur. Itu semua adalah
takdir Tuhan atau titah Sanghyang Para Wisesa,
karenanya jangan bersedih, ceritakan perihal
kejelekan, karena yang namanya manusia tiada
luput akan suka-duka, ibarat roda berputar,
walaupun sangat lambat putarannya, itu pasti
akan dijumpai oleh manusia di dunia. Untuk menghilangkan
kekotoran di dalam diri, mesti dibersihkan dengan
kesucian pikiran, Sanghyang Sastra dipakai penuntun
agar dapat meraih kebahagiaan dan keselamatan.
Karena segala bentuk buta, manusialah yang mampu
menjadikan semua itu bersifat suba dan asubakarma.
Tiada lain, sifat subakarmalah yang mampu merubah
sifat asubakarma, sehingga meraih keselamatan
dan panjang umur. Itu sebabnya, janganlah lupa
terhadap bhisama Bhatara Kawitan (leluhur) kepada
keturanan Bandesa Manik Mas dan wahyu Danghyang
Nirartha yang bergelar Danghyang Dwijendra,
bahwa keturunan Bandesa Manik Mas dapat memakai
sastra utama, yang dijadikan menjaga jiwanya
di kemudian hari, baik suka-duka, sekala-niskala,
bisa mempelajari tutur tentang perilaku dharma,
layaknya seorang pendeta, juga seluruh isi Weda
dan ilmu dyatmika, seperti menjalani tapa brata
dan yoga semadi. Yang paling utama adalah melakukan
olah nafas dalam diri (pranayama sarira). Adapun
anugrah Ida Danghyang Dwijendra kepada seluruh
keturunan Bandesa Manik Mas, yaitu : Weda Salambang
Geni, Pasupati, Rencana, Suwer Mas seperti Aji
Kepatian (kematian), wajib menikmati secara
wahya dan dyatmika (sekala-niskala), oleh seluruh
keturunan Bandesa Manik Mas sejak dulu atau
mulai sekarang. Ada lagi anugrah Pranda Sakti
Wawu Rawuh, ketika Bandesa Mas menikmati keberhasilannya
di Desa Mas berdasarkan keutamaan dharma dan
senantiasa mengikuti perilaku seorang pendeta.
Seluruh rakyat yang ada di Bali Tengah, bersikap
baik dan tulus lahir bathin kepada Pangeran
Bandesa Manik Mas, ibaratkan Dewa Kusala beliau
yang senantiasa berbakti kepada raja Bali (Klungkung),
terlebih kepada Ida Pranda Sakti (Danghyang
Nirartha) sebagai hadiahnya, maka Bandesa Manik
Mas menghaturkan putrinya kepada Ida Pranda
Sakti Wawu Rawuh. Menurunkan Ida Putu Kidul
yang bergelar Ida Buk Cabe. Itu sebabnya, ada
wangsa Brahmana Mas adalah karena istri Danghyang
Nirartha adalah putri Bandesa Manik Mas. Sejak
itu, Ida Pranda (Danghyang Nirartha) mendirikan
Pura untuk para Brahmana di Desa Mas bernama
Pura Pule di bagian utama dan stana putra beliau
yang bernama Ida Buk Cabe. Itu makanya dipuja
oleh para Bandesa Manik Mas. Jika tidak sesuai
dengan prasasti ini, tidak akan bahagia selamat,
semakin kurang kharismanya. Demikian bhisama
Bandesa Manik Mas. (Juga) akan pendek umur,
salah perilaku, bingung, tak tahu keluarga,
tiada henti halangan hingga keturunan seterusnya.
Jangan lupa kalian semua, kata-kataku kepadamu,
juga anugrah Danghyang Dwijendra.
Jika ada upacara kematian di kemudian hari,
kalian bisa mengikuti sebagaimana tertera di
depan (prasasti), antara lain : mantri laksana,
bertumpang tujuh, dua warna, sancak, taman,
kapas berwarna sembilan, memakai karang gajah,
berisi bhoma, memakai ulon Acintya Reka, seluruh
upakara selalu yang utama, berisi kajang, klasa,
dan memakai tirta tunggang dari Gunung Lempuyang,
beralaskan daun pisang ikik, dan bisa kalian
memakai segala jenis upakara Nyawa Madya Kebasen
(nista, madya, utama). Yang utama memakai uang
(kepeng) 16.000, yang madya (menengah) memakai
uang 8.000, dan yang nista (terkecil) memakai
uang 4.000.
SELESAI.
Atas prakarsa Ida Bagus Raka
Rusna, pemangku Pura Taman Pule, disusun oleh
Ida Pandita Mpu Widya Dharma Siwa Dhaksa, Griya
Agung Widya Srama, Banjar Sakih, Desa Guwang
Sukawati Gianyar, pada hari Jumat Wage Wayang,
Panca Dasi, Sukla Paksa (purnama), sasih Kartika
(Kapat) atau sekitar Oktober, candra sangkala:
Gangsal =5, Netra =2, Duara =9, tunggal =1,
bernama Purnama Kapat, Isaka 1925 (10 Oktober
2003 Masehi).
|