|
|
|
|
|
|
|
|
|
Semoga
tiada halangan dengan memuja Ongkara Bali (memuja
Tuhan dalam wujud Aksara Suci), dengan anugerah
Hyang Prajapati, segala bencana terhindari.
Sujud hamba kehadapan leluhur, kehadapan Sang
Hyang Bumipati, izinkanlah hamba mengutarakan
kisah Arya Tambyak pada masa lampau. Semoga
hamba tidak terkena kutukan leluhur, tidak durhaka,
tidak tertimpa mala petaka, dan semoga berhasil
dengan sempurna, menemukan keselamatan, panjang
umur dan seluruh sanak keluarga hamba menemukan
kebahagiaan.
Ada seorang brahmana sakti,
datang ke Bali, menyertai Paduka Batara Putra
Jaya yang bersemayam di pura Besakih, dan Sang
Hyang Genijaya yang bersemayam di Gunung Lempuyang.
Beliau adalah Begawan Maya Cakru yang gemar
bertapa dan berasrama di Silayukti. Entah berapa
hari lamanya baginda pendeta tinggal di Bali,
beliau pun berkunjung ke Desa Panarajon di tepi
Danau Batur. Tiba-tiba sang istri menyusul datang
di Desa Panarajon. Betapa terkejutnya beliau
melihat isterinya menyusul perjalanannya. Baginda
pendeta berkata:
"Wahai Adinda, apa sebabnya
Adinda datang, menyusul perjalanan Kakanda,
tanpa mempedulikan rasa lelah". Isterinya
menjawab: "Sujud hamba kehadapan Paduka
Pendeta, hamba berhasrat menyusul perjalanan
Paduka". Begawan Maya Cakru menjawab: "Wahai
istriku, Kakanda bermaksud menghadap Paduka
Bhatari di Ulun Danu. Oleh karena Adinda sedang
hamil, janganlah Adinda mengikuti Kakanda".
Ketika sang pendeta berkata demikian, tampak
isterinya masih tetap bersikeras menyertai suaminya,
agar dapat menghadap Paduka Bhatari. Mereka
berjalan amat cepat.
Tiba-tiba mereka sudah sampai
di tepi Danau Batur, di sana ada sebuah batu
datar terletak di bawah pohon kayu mas (kayu
sena). Di sana lah isterinya duduk, oleh karena
terlalu lelah dalam perjalanan. Tidak lama kemudian
bayinya pun lahir dan jatuh di atas batu. Batu
itu pecah. Baginda pendeta berkata: "Wahai
anakku yang baru lahir, aku terpesona menyaksikan
kelahiranmu, jatuh di atas batu, namun engkau
tidak cedera dan tetap hidup. Karena itu, aku
memberikan nama I Tambyak. Sekarang aku akan
kembali ke alam dewa (moksa), semoga engkau
selaku keturunanku tetap bahagia, panjang umur,
sampai kelak tetap dikasihi oleh raja-raja Bali".
Demikianlah kata-kata Begawan Maya Cakru, lalu
beliau menggaib.
Tidak dikisahkan lagi baginda
pendeta, sekarang dikisahkan bayi itu sedang
menangis menjerit-jerit di atas batu.
Tidak panjang lebar dikisahkan,
tersebutlah seorang Kabayan dari Desa Panarajon
sedang bermain-main di tepi danau. Bayi itu
dijumpai sedang menangis di bawah pohon kayu
mas, lalu diambilnya. Bayi itu berhenti menangis.
Kabayan Panarajon memungut bayi tersebut dan
dijadikan anak angkat. Entah berapa hari lamanya,
bayi itu dipelihara oleh orang-orang Bali Aga,
ia tumbuh dengan sehat. Alangkah besarnya kasih
sayang sekalian orang-orang Panarajon kepada
si bayi. Ketika dia sudah bisa membalas budi
baik penduduk desa-desa di sekitarnya, lalu
ia bergelar Pangeran Tambyak.
Demikianlah diceritakan bahwa
ada seorang rakyat di Desa Panarajon Batur amat
pandai dalam berbagai ilmu pengetahuan, dan
bertabiat mulia. Oleh karena baginda raja ingin
mengetahui kehebatan Ki Tambyak, maka Ki Jro
Kabayan Panarajon beserta anak angkatnya itu
dipanggil agar menghadap ke istana. Demikian
pula para menteri istana, antara lain Baginda
Kebo Waruga yang memerintah di Blahbatuh, diikuti
oleh prajurit pilihan. Baginda Arya Tunjung
Tutur memerintah di Tenganan Pagringsingan juga
diikuti oleh prajurit terpilihnya. Si Arya Kalungsingkal
yang bertahta di Taro diikuti pula oleh para
prajurit andalannya. Demikian pula Ki Pasung
Grigis yang menguasai Desa Tengkulak didampingi
oleh seorang prajurit terkemuka yang dijuluki
Pasar Tubuh Bedahulu, siap-siaga sama-sama memegang
senjata, mereka nampak sama-sama tegar, siaga
dengan bekal keahlian dan kesaktian, akan bertanding
mengadu kekuatan dengan I Tambyak.
Tidak diceritakan lebih jauh,
mereka sudah tiba di kerajaan Batanyar, menghadap
Sri Haji Tapohulung. Selanjutnya, para prajurit
itu disuruh membuat benteng pertahanan oleh
baginda raja, di sebelah timur Desa Pejeng.
Orang- orang Panarajon berada di utara. Orang-orang
Tenganan, Blahbatuh, Tengkulak, Taro, ada yang
berjaga di timur, di barat, dan di selatan.
Lalu baginda raja muncul dikawal oleh Baginda
Kebo Taruna, Kalungsingkal, Tunjung Tutur, dan
Pasung Grigis. Itulah para menteri baginda raja
Sri Haji Tapohulung. Dari kursi singasana emas,
baginda raja memanggil seluruh prajuritnya untuk
bersama-sama berperang melawan I Tambyak.
Majulah seorang prajurit Si
Arya Pasung Grigis yang bernama I Kabayan Batu
Sepih yang sudah siap siaga dengan senjatanya,
yaitu keris Si Pedang Lembu yang bersinar bagaikan
pancaran sinar mercu. Orang-orang Bali selatan
bersorak-sorai, silih berganti, oleh karena
kemenangan baginda I Kabayan Batu Sepih, oleh
karena beliau sudah termashur jaya dalam peperangan.
Pada saat itu, orang-orang Panarajon nampak
ketakutan. Si Kabayan Panarajon niscaya mampu
menghadapi serangan musuh, karena itu Ki Tambyak
disuruh bersiap siaga. Baginda raja menyuruh
I Tambyak agar siap berlaga. Dia pun datang
ke tengah medan laga, sama-sama menghunus keris.
Suara kentongan bertalu-talu, tawa-tawa, kendang
besar dan bunyi-bunyian mengalun, diiringi dengan
suara gamelan, serta suara kendang dan gong
beri yang berbarung gemuruh, suara gong itu
menggema dibarengi sorak- sorai yang tiada putus-putusnya,
sungguh bagaikan gelombang lautan.
Mereka berdua nampak siaga
dan mulai mematukkan kerisnya, saling mengintai,
saling tangkis, saling sodok, saling tendang,
mereka sama-sama pandai memainkan pedang. Mereka
bergulat saling tusuk, tubuhnya sama-sama melemas.
Debu-debu pun tertidur karena diinjak-injak
oleh orang yang sedang berlaga itu, sungguh-sungguh
bagaikan peperangan Bima melawan Suyudana ketika
mengadu kesaktian. Namun tiba-tiba dalam sekejap
saja, Kabayan Batu Sepih terkena tusukan Ki
Tambyak sehingga gugur terkapar di tanah. Karena
Ki Pangeran Batu Sepih gugur maka seluruh prajuritnya
berang.
Abitah artinya dia tidak takut
kepada orang banyak,
pregitah artinya dia tidak takut menandingi
musuh yang banyak,
dan asayah artinya dia tidak takut mati di tangan
musuh.
Demikianlah dia tetap berlaga
melawan musuh-musuhnya, bagaikan roda pemintalan,
I Tambyak berputar-putar. Banyak prajurit yang
gugur, tidak ada yang tidak patah lengannya,
ada pula ususnya keluar, mayat bertumpuk-tumpuk
bagaikan gunung di medan laga, oleh karena telah
terbukti kehebatan I Tambyak. I Tambyak disuruh
berhenti berperang dan dipersilakan duduk oleh
baginda raja. Dengan disaksikan oleh seluruh
rakyat dan para menteri. Dia pun diberi pakaian
kebesaran seorang patih serta perlengkapan lain
yang utama. Oleh karena itu, dia lalu bergelar
Ki Patih Tambyak. Entah berapa lama sudah Ki
Tambyak menjabat patih, keadaan negeri sangat
tenteram di bawah pemerintahan baginda raja
Sri Haji Bedhamurdi yang sudah termashur di
seluruh negeri. Tidak diceritakan lebih lanjut
kejayaan baginda raja dalam memerintah Bali.
|
|
Sekarang dikisahkan
baginda Patih Tambyak menjadi teladan semua
rakyat, dengan sentosa seluruh sanak keluarganya
ikut serta menjaga negeri, turun-temurun menjadi
patih. Diturunkan dari sifat ayahnya, maka segala
bentuk upacara korban selalu dilaksanakan, adat-istiadat
berlangsung sebagaimana tercantum dalam purana.
Demikianlah keadaan negeri pada masa pemerintahan
Patih Tambyak. Setelah berselang beberapa lama,
Sri Haji Gajah Wahana dinobatkan menjadi raja
Bali Aga. Namun tampak kejanggalan- kejanggalan
pada masa pemerintahannya pertanda masa Kali
sudah tiba. Sekarang dikisahkan kehancuran kerajaan
Bedahulu yang disebabkan oleh serangan Majapahit
di bawah pimpinan Patih Gajah Mada, yang membuat
tipu muslihat dan menjalankan ajaran aji sukma
kajanardanan.
Demikian misalnya terdengar
berita kematian Kebo Taruna, tertangkapnya Pasung
Grigis di daerah Tengkulak menyebabkan hancurnya
kerajaan Bedahulu, juga karena kesaktian Arya
Damar yang menguasai ilmu kadigjayan yang sempurna,
Sri Haji Bedhamurdi terlebih dahulu meninggal,
baginda Patih Kalungsingkal dibunuh oleh Arya
Sentong.
Ada pun Ki Patih Tambyak, beserta
sanak keluarganya, ada yang mati, ada yang masih
hidup, ada yang mengungsi terpencar ke sana-sini,
ada yang menyusup ke desa-desa, ada yang ke
sebelah utara gunung yaitu ke Desa Bungkulan,
ada yang ke Jembrana, ada yang ke Tabanan, ada
yang ke timur, ke selatan. Mereka tidak berani
mengakui wangsanya. Di setiap desa yang disusupinya,
mereka senantiasa mengaku keturunan Arya Bandesa.
Ketika masa kekalahan Bali
Aga, di Bali tidak ada raja. Para dewa pun cemas
menyaksikan kehancuran ini. Tersebutlah seorang
pendeta suci yang bernama Dang Hyang Kepakisan.
Beliau Adalah penasehat Patih Gajah Mada. Konon
beliau lahir dari batu. Pada saat beliau memuja
Dewa Surya (Surya Sewana), beliau bertemu dengan
bidadari. Bidadari itu dinikahinya. Setelah
beliau berputra, putra-putranya itu diminta
oleh patih Gajah Mada sebagai raja. Yang paling
tua dinobatkan di Blambangan, yang kedua bertahta
di Pasuruhan, yang perempuan dinobatkan di Sumbawa,
dan terkecil dinobatkan di Bali Aga, disertai
oleh rakyat yang sakti dan kebal- kebal, serta
bertabiat mulia.
Sungguh-sungguh bagaikan Kresna
titisan Dewa Wisnu, nyata sekali baginda sudah
mendalami Tri Radya. Setelah itu akan dikisahkan
baginda Maharaja Kapakisan yang memerintah Bali
yang kerajaannya diusahakan oleh patih Gajah
Mada beserta pakaian kebesaran kerajaan dan
sebilah keris yang bernama Si Ganja Dungkul,
lengkap tidak ada yang kurang, serta didampingi
oleh beliau Arya Kanuruhan, Arya Wang Bang,
Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Pangalasan,
dan Arya Manguri. Di belakang Arya Wang Bang
adalah Arya Kutawaringin dan tersebut pula Arya
Gajah Para datang ke Bali dan menetap di Tianyar.
Sedangkan Arya Kutawaringin bertempat tinggal
di Toya Anyar. Hal itu disebabkan karena dahulu
beliau itu ialah guru dari patih Gajah Mada
yang kini menyertai perjalanan Arya Kapakisan
ke Bali. Ada pula tiga orang Wesya yang berasal
dari Majapahit yaitu Si Tan Kober, Tan Mundur
dan Si Tan Kawur juga datang ke Bali.
Demikianlah cerita yang tersebut
dalam lontar. Jika ada kata-kata yang menyimpang,
mohon dimaafkan agar tidak terkena kutukan,
dan semoga hamba menemukan keselamatan, tidak
menemui rintangan-rintangan sampai pada sanak
keluarga dan keturunan-keturunan hamba, selalu
dicintai rakyat. Tidak akan dikisahkan lebih
jauh mengenai pemerintahan Dalem beserta sanak
keluarganya yang beristana di Harsapura (Klungkung).
|
|
Sekarang akan
diceritakan beliau Arya Wang Bang, seorang keturunan
brahmana. Pada zaman dahulu ada seorang pengawal
turun ke Bali mendampingi beliau Dalem Kresna
Kapakisan. Beliau kemudian menguasai wilayah
Tabanan. Beliau bernama Kyayi Ngurah Kenceng.
Beliau beristrikan putri Pangeran Bendesa Tumbak
Bayuh, dan mempunyai dua orang anak laki-laki.
Yang tertua bernama Si Arya Rangong dan adiknya
bernama Si Arya Ruju Bandesa.
Adapun beliau Arya Rangong
amat iri hati terhadap adiknya. Kematian adiknya
seakan-akan dicari-cari. Namun dia tidak berhasil
karena amat besar cinta kasih para dewa terhadap
Arya Ruju Bandesa. Ada lagi tipu muslihat Si
Arya Rangong yaitu ada pohon beringin yang sangat
besar dan tinggi, tempat persemayaman Jro Gede
dari Nusa Kambangan. Pohon beringin itu sangat
angker, berada di Puri Buahan. Si Arya Ruju
Bandesa disuruh memangkas pohon beringin itu
oleh kakaknya. Dia tidak menolak dan segera
memangkas pohon beringin itu. Semua orang terpesona
menyaksikan Si Arya Ruju Bandesa memangkas pohon
beringin karena sama sekali tidak tertimpa bencana.
Setelah itu, beliau bergelar Arya Notor Waringin,
ia amat dicintai rakyat, bakti terhadap dewa,
tidak henti-hentinya memuja Tuhan, dalam menciptakan
kesejahteraan negeri. Demikian seterusnya, sebuah
candi pun telah didirikan oleh Arya Notor Waringin.
Namun kakaknya Arya Rangong masih saja merasa
iri hati kepadanya. Tiba-tiba dia minggat dari
istana, berjalan menyusup ke tengah hutan, sambil
memuji kebesaran Tuhan guna mendapatkan kekosongan.
Tidak dikisahkan dalam perjalanannya, tiba-tiba
dia telah sampai di pinggir sebuah danau dekat
Desa Panarajon. Di sana dia bertemu dengan Pangeran
Bandesa Tambyak. Mereka berdua saling memperkenalkan
diri. Alangkah bahagianya Pangeran Bandesa Tambyak
dapat bertemu dengan seseorang yang berbudi
luhur.
Entah berapa lamanya Kyayi
Notor Waringin berada di Desa Panarajon, bermain-main
di tepi danau. Tiba-tiba Paduka Batara muncul
di tengah danau. Mereka berdua segera menyembah,
tidak berselang lama, akhirnya mereka berdua
dipanggil untuk datang dan duduk di hadapan
Paduka Batara. Mereka menyembah dengan hati
yang suci bersih. Setelah selesai memuja, mereka
disuruh naik ke puncak bukit. Mereka tidak menolak
perintah Paduka Batara. Pada saat mereka berdua
tiba di puncak bukit, mendampingi Paduka Batara,
Kyayi Notor Waringin dianugerahi sebuah sumpit.
Dia dipersilakan melihat daerah-daerah melalui
lubang sumpit itu. Adapun daerah yang berhak
dikuasainya, dari timur, barat, utara, dan selatan.
Daerah-daerah itu nampak terang.
Tetapi di arah barat laut terlihat sebuah desa
yang gelap. Menurut Batara, konon daerah itu
akan dikuasai oleh Ki Ngurah Arya Notor Waringin.
Demikian anugerah Batara kepadanya. Beliau Arya
Notor Waringin kemudian menguasai daerah Badung,
didampingi oleh teman dekatnya yang bernama
Bandesa Tambyak. Setelah itu, Pangeran Bendesa
Tambyak di anugerahi oleh temannya: "Wahai
Bandesa Tambyak, betapa besarnya cinta kasihmu
terhadap diriku, baik pada saat suka mau pun
duka, sejak dulu sampai sekarang. Saat ini engkau
dan aku berada di daerah Badung atas restu Paduka
sejak dulu sampai kelak, tidak dapat dipisahkan,
kita sehidup semati, demikian sampai kelak seluruh
sanak keluarga dan keturunan Bandesa Tambyak
tidak dikenai hukuman. Tidak dijatuhi hukuman
mati, jika engkau mendapat hukuman mati, hal
itu dapat dibayar dengan uang. Jika engkau didenda
dengan uang, itu dapat diampuni. Harta milikmu
tidak dapat dirampas. Jika engkau bersalah,
engkau akan diusir dan terampuni".
Demikian anugerah raja Badung
kepada Pangeran Tambyak. Entah berapa lamanya,
Sri Anglurah Notor Waringin menjadi raja Badung,
didampingi oleh abdi setianya yaitu Pangeran
Tambyak, betapa sejahteranya negeri Badung.
Tidak ada musuh yang berani menandingi baginda.
Semakin hari semakin besar restu dan anugerah
Batara kepada baginda. Beliau berhasil membunuh
burung gagak siluman, sehingga dia diangkat
sebagai menteri oleh Dalem, memimpin para menteri.
Entah berapa lamanya Kyayi Notor Waringin memerintah
negeri Badung, timbullah niat buruk Ki Bandesa
Tambyak, dengan mengadakan huru-hara di istana.
Karena itu dia disuruh menguasai desa-desa berikut
penduduknya di daerah Bukit Pecatu. Ada pula
yang diusir ke Sumerta, dan ada yang ke Desa
Pahang. Semua keturunannya hidup tenteram. Tidak
akan dikisahkan lebih jauh perihal Sri Anglurah
Notor Waringin yang berkuasa di negeri Badung.
Putra-putranya silih berganti, turun-temurun
menjadi raja. Ada yang bertahta di Puri Tambangan,
ada yang bertahta di Puri Denpasar, dan ada
bertahta di Puri Kesiman.
Adapun Pangeran Bandesa Tambyak
yang berada di Desa Pahang, kemudian mengungsi
ke Desa Timbul Sukawati beserta istri, anak-anaknya
dan Gusti Grenceng serta I Gusti Brasan. Entah
berapa lamanya mereka berada di Sukawati, lalu
mereka berpindah lagi, karena kekalahannya melawan
Cokorda Karang. Gusti Brasan sudah lebih dulu
kembali ke Badung bersama-sama Gusti Grenceng.
Adapun Ki Bandesa Tambyak yang masih tertinggal
di Sukawati menyamar menjadi Pangeran Pahang.
Dia pun masih dikejar-kejar oleh I Dewa Nataran,
karena itu ia lari untuk bersembunyi ke pinggir
sungai Wos.
Setelah itu dia lari ke arah
barat menuju Desa Mantring. Hujan dan angin
ribut menyelimuti daerah di sekitar desa itu.
Karenanya orang-orang yang mengejarnya kembali
pulang. Di sana Pangeran Pahang menangis tersedu-sedu,
katanya: "Oh Tuhanku, Dewa dari semua Dewa,
beserta Paduka Batara Sang Hyang Siwa Raditya,
dan leluhurku yang berada di Desa Panarajon,
dan Paduka Batara Dalem di Desa Pahang, lindungilah
hamba dari kematian dan kejaran musuh".
Tiga empat kali, ia memuja Paduka Batara, Tiba-tiba
dari pohon beringin itu muncul sinar, dan I
Buta Panji Landung menampakkan diri, amat kasihan
melihat Ki Bandesa Tambyak menangis di sisi
tempat tidurnya: " Wahai Bandesa Tambyak,
aku menganugerahimu, agar engkau menemukan keselamatan".
Ki Tambyak menjawab: " Oh Tuhanku, siapa
gerangan yang masih menaruh belas kasihan terhadapku?"
"Wahai Tambyak, aku adalah Buta Panji Landung,
Dewa dari semua Dewa di pohon beringin ini.
Wahai Tambyak, semoga engkau menemukan keselamatan,
panjang umur, sanak keluarga dan keturunanmu
mendapatkan kesejahteraan, dicintai oleh masyarakat,
oleh semua mahluk, tidak tertimpa mara bahaya".
"Sujud hamba kehadapan Batara abdi Paduka
Batara tidak akan meninggalkan desa ini, supaya
ada yang menyembah Paduka Batara di sini, sanak
keluarga dan keturunan hamba turun-temurun tidak
akan lupa menyembah Paduka Batara" "Wahai
Bandesa Tambyak, janganlah engkau lupa akan
janjimu". Demikianlah sabda beliau. Setelah
itu beliau menggaib lagi. Karena itulah jalan
itu dinamakan Rurung Panji.
Tidak dikisahkan lagi keadaan
Ki Tambyak, sekarang akan diceritakan Sri Agung
Karang bertahta di daerah Tapesan. Negerinya
amat Sejahtera, tidak jauh berbeda dengan kakaknya
yang bertahta di Peliatan. Tidak diceritakan
lagi Ida Dewa Agung Karang, kini akan diceritakan
Ki Bandesa Tambyak yang menetap di Desa Celuk
Mantring, sama-sama memiliki tempat tinggal.
Setelah itu beliau memindahkan leluhurnya dari
Desa Pahang, diwujudkan dalam bentuk Area Batara
Siwa Raditya, dijadikan tempat persemayaman
Batara Panji Landung yang berada di Madyasari.
Demikian cerita Ki Bandesa Tambyak yang berada
di Celuk Mantring. Sudah tersurat dalam lontar
(prasasti). |
|
|
|
|
|
|