|
|
|
|
|
|
|
Bagian |
|
|
|
BABAD
KAYU SELEM
Babad Pasek Kayuselem ini merupakan turunan
Saudara Wayan Pasek yang sumbernya dipetik dari
koleksi Gedong Kirthya di Singaraja dan pada
kesempatan ini, ingin pula disampaikan bahwa
untuk mengetahui isi suatu babad kita harus
lebih berhati hati apabila kita ingin menarik
suatu kesimpulan yang termuat di dalamnya Kita
harus menyadari karena pada umumnya ceritera
yang disampaikan di dalam babad banyak diselingi
Ceritera ceritera lain yang kadang kadang membingungkan
si pembaca, Uraiannya putus putus tidak berurut
dan tidak jarang pula ceritera yang disisipkan
agak menyimpang dengan judul babadnya. Oleh
karena mengingat hal tersebut, pada bagian ini
terketuk pula hati Penulis untuk menyampaikan
isi pokok babad Pasek Kayuselem secara lebih
sistimatis dengan harapan Semogä apa yang
dapat penulis simpulkan kiranya lebih mempermudah
dan dapat dijadikan pegangan apabila kita ingin
menuturkannya kepada Masyarakat lainnya. Sebagaimana
halnya dengan babad babad lainnya pada bagian
pembukaan babad ini diuraikan permohonan maaf
sipenulis agar para leluhur, kawitan serta Ida
Sanghyang Widhi Waça berkenan memaafkan
serta nengampuni sipenulis atas keberaniannya
menuturkan kembali Hyang Kawitan kepada masyarakat.
|
|
Selanjutnya
dijelaskan paduka Bhatara Hyang Pasupati amat
prihatin melihat pulau Bali yang selalu saling
terantuk dengan Selaparang (Lombok).Oleh karena
itu untuk menghindari hal tersebut Bhatara Hyang
Paçupati dengan segala kekuatannya membongkar
sebahagian gunung Mahameru di Jambudwipa untuk
dipindahkan ke pulau Bali dan Selaparang sebagai
penindih agar kedua pulau ini tidak mudah dihanyutkan
serta terantuk oleh gelombang. Perpindahan gunung
ini menyebabkan di Bali kita mengenal gunung
Lokapala yaitu gunung Lempuyang , gunung Andakaça,
gunung Watukau, gunung Beratan, gunung Mangu
dan gunung Tulukbiyu. Setelah nusa Bali tenang
dan tidak diombang ambingkan oleh gelombang,
Bhatara Jagat Karana mengutuskan Bhatara Hyang
Tiga yaitu, Bhatara Mahadewa, Bhatari Danuh
serta Bhatara Ghnijaya turun ke Bali sebab pada
saat itu pulau Bali .amat sunyi keadaannya.
Berkat kesaktian beliau akhirnya Bhatara Hyang
Tiga tiba dengan selamat dinusa Bali. Bhatari
Danuh ditugaskan, bersemayam (aparhyangan) di
Ulun Danu,.Bhatara Hyang Ghnijaya bersemayam
di gunung Lempuyang sedangkan Bhatara Putrajaya
bersemayam di Besakih. Dijelaskan rula pada
waktu Bhatara Putrajaya türun ke Bali beliau
diiringi oleh Bhatarà lainnya antara
lain Bhatarà Tumuwuh yang selanjutnya
bersemayam di gunung Watukaru, Bhatara Manik
Kumayang yang bersemayam di gunung Beratan,
Bhatara Hyang Manik Galang bersemayam di Pejeng
$erta Bhatara Tugu bersemayam di gunung Andakaça
Bhatara Hyang Ghnijaya dan Bhatara Hyang Mahadewa
tidak henti-hentinya melakukan yoga semadi demi
ketentraman serta kesejahteraan pulau Bali.
Berkat ke mahiran beliau beryoga dari semadi
Bhatará Hyang Ghni jaya lahirlah anak
laki—laki yang cakap dan sempurna yang
pada waktu lahirnya’ semuanya beralaskan
daun pisang kaikik. Adapun putra—putra
beliau adalah Sang Brahmandá Pandita,
Mpu Mahameru, Mpu Gana,Mpu Kuturan, dan Mpu
Pradhah. Kemudian atas kehendak beliau mereka
berlima
diperintahkan ke Jambudwipa untuk memperdalam
kesidhi ajnanan mereka masing— masing
Ketika yoga mereka teláh masak Sang Brahmanda
Pandita menikah dengan Bhatani Manik Gni, Putri
Bhatara Hyang Mahadewa di Tolangkir dan berganti
nama menjadi Mpu Ghnijaya. Dan pernikahan beliau
menurunkan Mpu Ktek, Mpu Kananda, Mpu Wirajnana,
Mpu Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Preteka,
Mpu Dangka yang kemudian dikenal dengap Pasek
Sanak Pitu. Setelah beberapa lamanya dengan
diiringi kedua adiknya yaitu Mpu Gana dan Mpu
Kuturan. beliau menaiki daun kapu—kapu
yang berlayarkan daun tehep kembali ke nusa
Bali. Setibanya di Bali (di Silayukti) beliau
langsung ke Besakih menghadap Bhetara Putra
Jaya serta Ayahandanya Bhetara Ghnijaya di Gunung
Lempuyang, serta Selanjutnya Mereka silih berganti
ke Jawa dan ke Bali. Pada waktu itu diceritakan
pula Pulau Bali amat tenangnya, namun para Bhetara
yang bersemayam di Bali masih merasakan adanya
kekurangan sebab walaupun telah banyak dibangun
tempat-tempat suci ( Khayangan ), Bali masih
amat lengang karena tidak ada manusia hidup
di Bali yang menyungsung dan menghormati para
Bhetara. Itulah sebabnya Bhetara Ghnijaya dan
Bhetara Catur Purusha sepakat menghadap Bhetara
Hyang Pasupati ke Jambu Dwipa untuk mengutarakan
maksudnya. Oleh Bhetara Hyang Pasupati maksud
diatas dipenuhi dan untuk ini Beliau disarankan
menunggu di Besakih saja. Bhetara Hyang Pasupati
( Pramesti Guru ) dengan diiringi oleh para
Dewata semua, Rsi Gana, Dewa Sanga serta seluruh
yang ada di Sorga beramai-ramai turun ke Bali.
Dalam perjalanan Beliau Bhatara Parameswara
( pasupati ) mengendarai Padma Manik Anglayang
diapit Payung serta umbul-umbul. Sedangkan para
Dewata lainnya mengndarai Wahana mereka masing-masing.
Bergema suara gentanya serta bergemuruh suara
diangkasa diiringi Keplug dan sebagainya. Setibanya
di Tolangkir beliau dsambut oleh Bhetara Putra
Jaya, Betara Ghnijaya serta Bhetara Catur Purusha
sesuai dengan Penyambutan dan penghormatan yang
berlaku lalu langsung menuju Tampurhyang. Kemudian
Bhetara Pramestiguru bersabda : : “anakku
Deata Semua sekarang siapkanlah segala keperluan
agar segera tercipta Manusia yang kalian kehendaki,
Kamu Hyang Iswara hendaknya menyusup di Otot,
Hyang Mahadewa di Sumsum, Hyang Wisnu di Daging
dan kamu Sangkara serta Rudra pada Pabwahan
( Ginjal )”. Ketika semua telah siap menghadap
Perasapan (Kundagni), tiba tiba datanglah Bhetara
Yamadipati berwujud seekor anjing hitam hendak
menghalangi maksud Bhetara Pramesti guru yang
dengan angkuhnya Anjing Jelamaan Bhetara Yamadipati
berkata : “Hai Paduka Bhetara Pramesti
Guru sekarang Paduka hendak menciptakan manusia
dari tanah, Mustahil maksud tersebut akan terlaksana,
Andaikata benar tercipta manusia, hamba sanggup
makan kotorannya, Mendengar ucapan ini dengan
murkanya lalu Bhatara Pramesti Guru menjawab
: “Hai Yamadipati yang angkuh apa katamu
? Besar amat kesanggupanmu terhadapku, Yah andaikata
maksudku tidak terlaksana, aku bukanlah dewa
dan seluruh dewa—dewa, Patutlah diriku
ditenggelamkan ke dalam kotoran”. Bhatara
Pramesti Guru kemudian beryoga.. Api perasapan
berkobar, asapnya keluar lalu terwujudlah muka
manusia, Tetapi tiba—tiba penjelmaan manusia
itu patah, diiringi dengan suara gonggongan
sang anjing .... kong kong kong karena kegirangan.
Bhatara mengulangi yoganya, Untuk kedua kalinya
manusia ciptaan beliau patah, Sang anjing amat
bergembiranya serta menggong—gong suaranya
kong kong kong, Bhatara tidak
putus asa dan mengulangi yoganya, Untuk ketiga
kalinya Bhatara Pramesti Guru gagal menciptakan
manusia, disertai gonggongan sang anjing king...
King... Sampai lima kali Bhatara beryoga selalu
mengalami kegagalan, Akhirnya beliau merasa
berang dikalahkan dan diejek o1eh anjing. Dengan
segala kesaktiannya beliau menyatukan tiga dunia
(Triloka). Api perasapan kembali berkobar, dunia
bergoncang, keluarlah amerta disertai terjelmanya
manusia ciptaannya. Ketika itu tercenganglah
sang anjing terkejut menyaksikan manu sia ciptaan
Bhatara. Bhatara Hyang Pramesti Guru : “Sekarang
kalahlah kamu, hai anjing. Ingat mulai sekarang
anjing harus memakan kotoran manusia”.
Amatlah malunya Bhatara Yamadipati mendengar
kutukan tersebut dan tanpa memberikan jawaban,
menangis serta menyesal atas perbuatannya lalu
pergi ke Yamadiloka. Di Yamadiloka ia mengumpulkan
seluruh cikrabala terutama si Bhuta Kalika serta
pàra Kingkara bala Lainnya dan berkata
:“Hai para balaku semua aku perintahkan
kamu agar turun ke madyaloka untuk menggantikan
diriku memakan kotoran manusia mulai sekarang
sampai seterusnya sebab aku kalah hertaruh dengan
Bhatara Acintya, Itulah sebabnya aku memerintahkan
kepadamu menggantikan diriku menjadi anjing
di madyaloka”. Tetapi petuahku kepadamu,
kelak apabila sudah saatnya manusia itu mati,
disanalah kita bersama-sama menyiksa roh manusia
yang berlaksana tidak pantas selama hidupnya
di madyaloka. Itulah asal mula nya mengapa anjing
memakan kotoran manusia. Selama Bhatara Hyang
Pramesti Guru di Tampurhyang beliau juga menciptakan
manusia dari serabut ( toktokan) kelapa gading
sehingga terjelma dua orang manusia laki perempuan
yaitu Ki Ketok Pita dan I Jenar. Oleb karena
keduanya buncing ,mereka dikawinkan dan menurunkan
keturunannya. Tidak hanya sampai di sini saja,Bhatara
Pramesti Guru dengan yoga semadinya berusaha
menciptakan manusia lainnya. Dan payogan beliau
ini lahirlah dua orang manusia 1aki perempuan
pula yaitu Ki Abang dan I Barak. Keduanya bersuami
istri dan pindah, menetap di tepi danau yang
sekarang disebut desa Abang. Ciptaan manusia
yang berasal dari sumber yang berbeda beda ini
melahirkan keturunannya dan menambah banyaknya
manusia di Bali, namun biji mata mereka semuanya
hitam tanpa ada putihnya. Mengingat makin banyaknya
manusia diBali tetapi masih awam dan tidak dapat
melakukan pekerjaan se patutnya, Bhatara Hyang
Pramesti Guru mengutus para dewä lainnya
untuk mengajarkan manusia membuat alat alat
dan bercocok tanam. Hutan di Tampurhyang dibakar
dan ditebang dijadikan ladang agar dapat ditanami
oleh manusia. Bhatara Indra diutus mengajarkan
manusia mesesanggingan (ukir mengukir). Bhagawan
Wismakarma mengajar ngundaginin (membuat bangunan)
dan sebagainya. Hubungan para Bhatara dengan
manusia sangat eratnya. Mereka dapat bercakap
dan saling melihat Sebagaimana kita melihat
teman lainnya. Namun hubungan ini tidaklah terlaksana
abadi sebab suatu godaan tiba tiba muncul saat
itu. Diceriterakan bahwa sebagaimana biasanya
para Bhatara sering berjalan jalan di Tampurhyang
melihat dan mengawasi orang—orang desa
dalam melaksanakan kewajibannya. Tidak jarang
pula mereka be cakap—cakap dengan intimnya
membicarakan situasi disekitarnya. Pada suatu
senja Bhatara berkehendak pulaberjalan—jalan
melihat tanam—tanaman yang dikerjakan
manusia. Ditengah jalan beiiau bertemu dengan
manusia. Manusia itu menyapa dengan hormatnya
sambil buang air dan menanyakan hendak kemana
paduka Bhatara di sore
hari. Kebetulan pada waktu itu si Balwan (Bunglon
) melihat peristiwa ini. Dengan marah dan angkuhnya
si Balwan berkata : “Hai kamu manusia,
sungguh kamu tidak senonoh, amat durhakamu,
Benar—benar kamu tidak mengenal budi pekerti,
Dimana kamu menemukan aturan yang menjelaskan
bahwa kamu boleh menyapa Bhatara sambil buang
air ? Pantaslah kamu manusia herasal dari tanah
dikepal kepal”, Manusia itupun menjawab
: “Ih kamu Balwan apa katamu ? mengungkap_
ungkap asal usulku, benar— benar kamu
tidak tahu adat (nirgama), berpura—pura
akhli dan taat kepada tata susila, Pantaslah
asal usulmu kumatap—kumitip yang diselimuti
oleh kotoran, Dasar kamu ini, berpura—ura
alim, mengapa kamu keberatan sedangkan Bhatara
sendiri tidak merasa tersinggung”. Si
Balwanpun menjawab : “Hai kamu manusia
yang dungu, moga—moga kamu menjadi hina
dina, Semoga kamu menjadi orang dusun untuk
seterusnya atas dosamu menyapa dewa, Amatlah
dengkinya si Balwan seraya berkata kepada Bhatara
dan mengasutnya, Bhatara lalu memanggil seluruh
manusia yang ada dan setelah berada dihadapannya,
mereka dipérintahkan mendelikkan matanya
sambil memandang Bhatara. Mata mereka dicoret
dengan kapur disertai kutukan : “Semoga
hai kamu manusia, karena kamu bertindak yang
tidak pantas kepadaku muiai saat ini kau tidak
akan dapat melihat para dewata sampai seterusnya,
atas dosamu menyapaku sambil buang air, Sapaku
ini berlaku pula kepada keturunanmu, seandainya
engkau ingin bertemu denganku, pada saat kematianmulah
akan dapat meiihatku”. Demikianlah sapa
Bhatara kepada manusia. Mereka menyembah kehadapan
Hyang Bhatara yang tak henti—hentinya
menyesali perbuatannya. Itulah sebabnya mengapa
manusia di dunia tidak dapat melihat para dewata
lagi. Diceriterakan bahwa ketika mereka kembali
ke gubuknya di tengah jalan mereka bertemu dengan
si Balwan, Terjadilah perdebatan antara si Balwan
dengan manusia, Mereka berseru : “Berbahagialah
aku bertemu denganmu di sini, Sekarang aku akan
menyampaikan kepadamu bahwa mulai saat ini sampai
seterusnya aku akan menjadi musuhmu dan setiap
keturunanku bertemu dengan keturunanmu mereka
akan membunuh keturunanmu, Si Balwan lalu menjawab
: “Hai manusia aku tidak akan menolak
permintaanmu, Baiklah kalau demikian, tetapi
ada permintaanku kepadamu yaitu apabila keturunanku
bertemu dengan keturunananmu pada waktu kajeng
kliwon, keturunanku akan membunuh keturunanmu
dengan menjilat badan serta mata kakinya”
Baiklah kalau demikian mulai sekarang beritahukanlah
seluruh keturunanmu agar mereka tetap waspada
terhadap perjanjian ini, Itulah sebabnya si
Balwan dapat merubah diri sesuai dengan keadaan
disekitarnya lebih—lebih apabila berada
di daun kayu. Pada salah satu bagian babad ini
dijelaskan pula asal mula timbulnya pungkusan
keturunan Tewel yang diuraikan sebagai penuturan
di bawah ini. Seperti halnya para dewa—dewa
lainnya Bhatara çiwa diutus oleh Bhatara
Hyang Pramesti Guru untuk menuntun dan memberikan
pelajaran kepada orang—orang yang ada
di Bali, membuat bale papayon agar dapat ditiru
ôleh orang—orang Baliaga. Dalam
perjalanannya beliau menjumpai tuwed nangka
sisa—sisa hutan yang terbakar waktu membuat
lading, Melihat tuwed nangka ini lalu terbitlah
keinginan beliau untuk memperbaik i dan memperhaluskannya
sehingga berbentuk manusia, Bhatara çiwa
dengan dibantu oleh Hyang Semara, beryoga dan
menjelmakan manusia laki perempuan Sejumlah
1l9 orang. Mereka berpasang—pasangan dan
menikah dengan saudaranya, Karena jumlah 119
salah seorang wanita diantaranya tidak mendapatkan
jodoh dan tidak mau dimadu oleh
saudaranya, Dengan perasaan kesal dan sedih
berjalanlah ia tanpa tujuan Sehingga akhirnya
sampai di tempat tuwed nangka yang diperhalus
oleh Bhatara çiwa, Wanita ini merasa
tertarik / jatub cinta kepada togog nangka dan
sambil dielus—elusnya iapun berkata “Wahai
arca penjelmaan Mona, benar—benar terkesan
dihati hamba, Yah seandainya tuanku (togog),
menjadi manusia, hamba akan sanggup dan bersedia
menghamba, Suka duka hamba akan selalu mendampingi
serta memenuhi segala kehendak tuanku. Demikian
ucapan wanita itu seraya mengurut togog tuwed
nangka sehingga karena seolah—olah telah
berhubungan dengannya keluarlah spermanya. Atas
kehendak Hyang Bhatara akhirnya perempuan itupun
hamil Namun ia tidak henti hentinya berujar
bermohon kepada Bhatara agar apa yang dicita—citakan
terlaksana. Selanjutnya datanglah Bhatära
Brahma disertai Bhatara Semara seraya berkata
“Hai kamu perempuan Baliaga dusun, apa
kehendakmu sekarang ? Hendak bersuami dengan
togog ? Perempuan itupun menjawab sambil menyembah
“Wahai paduka Bhatara, hamba menyadari
tetapi oleh karena besar kasih sayang hamba
kepada tawulan ini, andaikata berkenan dihati
Bhatara alangkah berbahagia perasaan hamba seandainya
paduka Bhatara dapat menjelmakan tawulan ini
menjadi manusia agar dapat hamba jadikan suami
sampai seterusnya”. Bhatarapun menjawab
“Hai kamu manusja andaikata demikian kehendakmu
baiklah akan aku laksanakan segalanya”.
Kemudian Bhatarapun beryoga sehingga tidak lama
akhirnya tawuluan itu menjelma menjadi seorang
pria yang amat tampan. Tidak terkatakan betapa
gembiranya wanita dusun Baliaga itu, sebagai
tidak di dunia perasaannya. Segera penjelmaan
itu diayunnya, dipangku, dirangkul, dielus—
elus karena suka citanya sehingga hampir saja
keluar sanghyang tiga smaraturanya (sperma),
Tercenganglah Bhatara melihat tingkah ]aku perempuan
itu dan berkata : “Hai kamu manusia, amatlah
tidak senonohmu, Sekarang terimalah kutukanku
atas dosamu yang tidak tahu diri tidak sabar
berkasih kasihan serta mengelus elus dihadapanku,
Sedikitpun kamu tidak mengenal malu dan tidak
mempunyai perasaan takut Semogalah kamu hai
manusia selalu bertengkar, tidak serasi dalam
keluargamu karena kawin dengan tuwed, Kelak
apabila kandungan ini lahir semoga melahirkan
gumatap—gumitip sejumlah 175 dan berbalik
menjadi musuh manusia di dunia, Selanjutnya
apabila kamu kembali melahirkan anak dengan
si Tawulan dimanapun mereka berada agar bernama
Ki Mangatewel sebab leluhurmu berasal dari kayu
tuwed nangka. |
|
Pada bahagian lain babad Pasek
Kayuselem diselingi ceritra bertahtanya seorang
raja bernama Detya Karna pati dengan abiseka
çri Jayapangus yang berkeraton di Balingkang.
Selama beliau memegang tampuk pemerintahan,
Bali amat aman, tenteram dan segala usahanya
selalu ber hasil, Sebaliknya ketika çri
Jayapangus wafat, Bali kembali menjadi lengang
sebab tidak ada raja yang membimbing penduduk
Bali. Menyadari hal ini Bhatara Putra jaya,
Bhatara Ghnijaya serta Hyang Catur Purusa bersama
sama pergi ke Jambudwipa menghadap Bhatara Hyang
Pramesti Guru untuk memohon, agar ada raja yang
memerintah di Bali. Permohonan beliau dipenuhi
dan sesuai dengan hasil pertemuan para dewa,
diputuskan Mayadanawa turun ke Bali untuk memegang
tampuk pemerintahan, Mayadanawa adalah anak
Bhagawan Kasyapa yang kawin dengan Dyah Wyapara,
Dari perkawinan ini lahir Mayadanawa yang menikah
dengan Dewi Malini putri dan Hyang Anantabhoga
dan beribu-kan Ni Dewi Danuka. Mayadanawa selama
memerintah di Bedahulu didampingi seorang patih
yang amat terkenal bernama Kala
Wong dan pusat pemerintahannya terletak di Batànar
( Pejeng). Pada awal pemerintahan Mayadanawa
pulau Bali tidak jauh berbeda dengan masa pemerintahan
çri Jaya pangus yang berkeraton di Balingkang.
Namun hal ini tidaklah dapat berlangsung lama
sebab sifat loba,tamak angkara murka serta “Nyapa
kadi aku” makin menyelubungi hatinya.
Prabu Mayadanawa tidak ingat akan dirinya sebagai
seorang raja yang harus mengayomi dan melindungi
seluruh rakyat, Mayadanawa tidak ingat akan
kebesaran Tuhan yang telah menjadikannya, Bahkan
dengan tegas Mayadanawa menghalangi dan melarang
rakyat menghaturkan sembah dan pemujaan Ida
Sanghyang Widhi Waça. Rakyat Bali tidak
diperkenankan sujud kehadapanNya sebab Maya
danawa berpendapat, tidak ada yang lebih kuasa,
kuat dan berpengaruh selain dirinya, Oleh karena
itu tidaklah ada gunanya menghaturkan sajian
kepada Ida Sang hyang Widhi Waça kecuali
kepada dirinya. Tindakan di atas amat merisaukan
para dewata sebab sejak saat itu rakyat Bali
tidak ada yang berani menghaturkan sembah dan
bakti kepadaNya. Mereka takut melakukannya,
khawatir serta cemas dikenakan hukuman ataupun
siksaan oleh Mayadanawa, Kegelisahan para dewata
makin tidak dapat dibendung lagi, Akhirnya para
Bhatara dan dewata di Tolangkir menghadap Hyang
Pra mesti Guru, memohon agar Prabu Maya danawa
yang mencemaskan penduduk Bali dimusnahkan dari
madyaloka. Hyang Pramesti Guru memerintahkan
para dewata para resi dan tidak ketinggalan
Bhatara Indra agar turun ke Bali untuk melenyapkan
raja Mayadanawa, Se tibanya di Bali terjadilah
pertempuran yang dasyat antara bala tentara
Mayadanawa dengan para dewata, Korban diantara
kedua belah pihak berjatuhan dan pertempuran
tetap berkobar dengan sengitnya, Bala tentara
Mayadanawa terdesak, tidak kuat melawan serangan
para dewata yang dipimpin Bhatara Indra, Mayadanawa
dan Patih Kala Wong melarikan diri tetapi walaupun
menyamar menjadi berbagai bentuk, penyamarannya
tetap diketahui Bhatara Indra. - Mula—mula
Mayadanawa menjelma menjadi pohon timbul, kemudian
lari ke sorga menjadi seorang bidadari tetapi
diketahui juga dan tak henti—hentinya
dikejar Bhatara Indra. Perlu kami sampaikan
bahwa pada Usana Bali dijelaskan banyak nama—
nama desa yang dihubungkan dengan penjelmaan
Mayadanawa dalam menyelamatkan dirinya dari
kejaran Bhatara Indra. Misalnya tempat Mayadanawa
menjelma menjadi busung (daun kelapamuda),disebut
desa Belusung, Tempat Mayadanawa menyamar menjadi
pusuh ( jantung pisang) disebut desa Paburwan,
tempat Maya danawa menyamar menjadi batu besar
sekarang disebut desa Sebatu, Menjadi manuk
(burung) disebut desa Manukaya Tempat Mayadanawa
menyamar menjadi padi disebut desa Tampaksiring
dan terakhir sampailah ia pada suatu tempat
dan menjelma menjadi padas (paras), Pada penjelmaan
inilah akhirnya Mayadanawa dipanah oleh Bhatara,
Indra sehingga menemui ajalnya, Tempat terbunuhnya
Mayadanawa dan Patih Kala Wong kini dikenal
dengan nama desa Toya Dapdap dan Pangkung Petas.
Sedangkan darah Mayadanawa yang terus mengalir
menjelma menjadi sungai yang sekarang dikenal
dengan nama sungai Petanu. Tersebutlah setelah
Prabu Mayadanawa meninggal, arwahnya dapat kembali
ke sorga sebab walaupun Maya— danawa telah
berbuat jahat dan melarang orang—orang
menghaturkan sembah kehadapan Sanghyang Widhi
Waça pada waktu beliau di Madyaloka namun
tetap dianggap sebagai seorang kesatria (puruseng
rana) yang rela berkorban di medan pertempuran.
Dewi Malini amat sedih ditinggalkan suaminya
(Mayadanawa), Ia merasa ini sebab arwah suaminya
dapat menetap di sorga dengan tenangnya, Itulah
sebabnya Dewi Malini pergi ke Sapta Petala menghadap
ibundanya Dewi Danuka, Mendengar pengaduan putrinya,
Dewi Danuka tidak dapat memecahkan
permasalahan tersebut dan mereka berdua pergi
menghadap Dewi Wyapara, Dewi Wyaparapun tidak
dapat mengatasi persoalan di atas. Akhirnya
mereka berdua(Dewi Wyapara dan Dewi Danuka)
pergi ke Indraloka menghadap Bhatara ,Indra
serta memohon agar Mayadanawa dapat kembali
menjelma menjadi raja di Bali. Oleh Bhatara
Indra permohonan mereka dikabulkan tetapi dengan
persyaratan bahwa sebelum Mayadanawa menjelma
Ia harus beryoga semadi untuk melenyapkan segala
dosa yang pernah dibuatnya. Ketika yoganya selesai
dan segala dosa—dosanya lenyap Mayadanawa
diperintahkan menjelma menjadi raja di pulau
Bali. Penjelmaan beliau buncing (kembar laki
perempuan) dan berabiseka çri Aji Masula
Masuli. Sejak saat kelahiran çri Aji
Màsula Masuli, Bhatara Indra memberitahukan
kepada seluruh penduduk Bali bahwa mereka tidak
diperkenankan kawin dengan saudara kandungnya.
Mereka tidak diperkenankan meniru (amada—mada)
çri Aji Masula Masuli yang kawin dengan
saudara kandungnya. Ditegaskan bahwa andaikata
diantara mereka ada yang melanggar, mereka harus
dibuang ke laut sebab dianggap mencemarkan negara
(angletuhin gumi). Lebih—lebih apabila
ada penduduk yang melahirkan anak laki perempuan
(kembar buncing) seperti ke lahiran Dalem çri
Aji Masula Masuli, mereka harus disingkirkan
dan bertempat tinggal di dekat kuburan Selama
42 hari, serta untuk mengembalikan kesucian
desa penduduk harus melaksanakan upakara pamalik
sumpah, anyapuh untuk melenyapkan kekotoran
(keletehan) desa. Lebih jauh diceriterakan bahwa
dari çri Aji Masula Masuli ini lahirlah
seorang putra yang tampan serta ahli menjalarkan
weda mantra. ,Putra beliau bernama Tapolung
(Tapaulung) yang kemudian menggantikan ayahnda-nya
menjadi raja di Bali dengan didampingi dua otang
patihrya yaitu Pasunggrigis dan Kebo Iwa, Selama
pemerintahan raja Tapolung pulau Bali tetap
aman Seperti pada masa pemerintahan Sri Aji
Masula Masuli. Selanjutnya pada bagian akhir
babad mi dijelaskan bahwa Bhatara Putrajaya
memerintahkan agar : a. Mpu Ghnijaya beryoga
di gunung Lempuyang bersama—sama Bhatara
Kamimitan yaitu Bhatara Ghnijaya. b. Mpu Semeru
beryoga di Besakih bersama— sama Bhatara
Putrajaya. c. Bhatara Ghana beryoga di Dasar
Bhuwana. d. Mpu Kuturan beryoga di silayukti.
e. Mpu Bradah ke Jawa dan ke Bali (angajawa
dan angabali). Mpu Ghnijaya menurunkan Sanak
Pitu. Mpu Sumeru menurunkan Mpu Kamareka dan
Mpu Ghana menurunkan Mpu Galuh. Setelah kita
mengikuti beberapa garis besar isi babad Pasek
Kayuselem yang merupakan uraian pelengkap babad
ini, baiklah pada bagian ini kita mengalihkan
pikiran untuk membicarakan bagaimana asal usul
terjadinya Warga Pasek Kayuselem sesuai dengan
babad yang kami pakai dasar penyusunan tulisan
ini. Tersebutlah pada waktu para dewata merabas
dan membakar hutan di gunung Tampurhyang sebuah
pohon asam( tuwed) tidak habis terbakar oleh
api, Tuwed asam yang masih tersisa ini kelihatan
sebagai orang yang sedang bersemadi (ngranasika).
Penduduk Bali makin bertambah mengingat sudah
banyaknya manusia di Bali. Bhatara Brahma diperintahkan
oleh Hyang Pramesti Guru turun ke Bali untuk
menciptakan manusia agar kelak ada keturunan
Bhujangga di Bali. Ketika beliau sampai di Tampurhyang
dijumpainya tuwed asam tersebut. Beliau amat
tertarik melihat dan berkehendak memperbaikinya.
Kemudian Hyang Brahma mengundang Bhagawan Wismakarma
untuk memperbaiki dan memperhalus tuwed asam
itu agar benar—benar menyerupai bentuk
manusia. Untuk memenuhi maksud di atas serta
agar beliau tidak dikenal oleh orang—orang
Baliaga. Bhagawan Wismakarma menyamar menjadi
seorang petani dusun, berbaju kotor dan bertopikan
sebuah kuskusan datang ke tempat tuwed asam
bekas pembakaran hutan di Tampurhyahg. Tuwed
tersebut diperbaiki dengan saksama sehingga
benar benar berbentuk wujud manusia yang tampan.
Sebelum Bhagawan Wismakarma meninggalkan Tampurhyang
beliau tidak lupa memberikan petunjuk kepada
wong Baliàga, bagaimana cara membuat
bangunan (ngundaginin) agar dapat dikembangkan
dan diterapkan pada masa mendatang. Atas perintah
Hyang Pramesti Guru, Bhatara Indra ditugaskan
mengajar wong Baliaga agar mereka dapat mengerjakan
pekerjaan yang berhubungan dengan ukir mengukir
(sangging). Selama Bhatara Indra berada di Tampurhyang
beliau tidak lupa menyempurnakan togog celagi
yang telah diperhalus sebelumnya oleh Bhagawan
Wismakarma. Demikian pula agar penduduk Baliaga
mengenal perdagangan, Bhatara Hyang Pramesti
Guru mengutus para Bidadari menyamar menjadi
penjual keris serta kain agar dapat ditiru oleh
wong Baliaga. Pada kesempatan ini para bidadari
pergi ke tempat togog tuwed celagi dan mengenakan
kain, destar,sampir, ikat pinggang serta menyisipkan
sebuah keris di pundaknya. Keindahan togog makin
bertambah serta orang—orang Bali aga tidak
bosan—bosan menikmatinya. Siang malam
mereka berbondong-bondong melihat sehingga tak
ubahnya Seperti Sang Kresna di Dwarawati sedang
dihadap para menteri dan rakyatnya. Kewibawaan
togog makin cemerlang, sehingga banyak diantara
mereka yang kagum dan tercengang menyaksikan.
Bahkan banyak pula diantara nEreka mengeluarkan
ucapan bahwa apabila tögog tersebut benar
benar berwujud seorang manusia mereka akan sanggup
menghamba selama hidupnya. *** Diceriterakan
Mpu Mahameru turun ke Bali hendak menghadap
Bhatara Putrajaya di Tolangkir dan Bhatara Ghnijaya
di Lempuyang. Dalam perjalanannya menuju desa
Kuntugladi beliau beristirahat sejenak di Tampurhyang.
Di tempat itu Mpu Mahameru melihat air yang
jernih Se hingga timbul hasrat beliau untuk
mencuci muka. Ketika beliau mencuci muka terlihat
olehnya tuwed clagi yang amat tampan dan berwibawa
sedang dikerumuni oleh orang orang Baliaga.
Terketuk hati beliau untuk menjelmakan togog
tersebut menjadi seorang manusia. Mpu Mahameru
beryoga dan dengan segala keahliannya dan terjelmalah
togog itu menjadi seorang manusia. Tiba—tiba
manusia penjelmaan togog (Kayureka) menjadi
amat tercengang serta keheran heranan sebab
tidak
mengetahui apa yang harus ia perbuat, seraya
menghaturkan sembah dihadapan Sira Mpu ia pun
bertanya : “Wahai Paduka Sang Mahamuni,
siapakah yang telah menaruh belas kasihan kepada
hamba sehingga hamba benar—benar menjelma
menjadi seorang manusia ?“. Mpu Mabameru
menjawab : “Hai Kayureka akulah yang menjelmakanmu
menjadi manusia”. Kayukreka menyembah
dan memeluk kaki beliau seraya bertanya : “Siapakah
sebenarnya paduka yang masih kasihan kepada
hamba ?“ Mpu Mahameru menjelaskan bahwa
beliau adalah putra Bhatara Ghnijaya yang bersemayam
di Adrikarang (Lempuyang). Mendengar penjelasan
itu Kayureka berkata “Wahai Mpu ngku junjungan
hamba, hamba merasakan seolah—olah mendapatkan
amerta dari paduka. Apakah yang harus hamba
pergunakan membayar hutang hamba kehadapan paduka
yang tak ubahnya sebagai bumi dan akasa ini
?. Sekarang tuluskanlah belas kasihan paduka
kepada hamba agar segala dosa—dosa yang
ada pada diri hamba menjadi bersih seterusnya.
Demikian juga apabila paduka berkenan hamba
memohon agar hamba bisa jüga kiranya mengikuti
jejak Sang Mahameru”. Mpu Mahameru menjawab
: “Tidak boleh aku menganugrahkan Sanghyang
Aji kepadamu sebab engkau bukanlah berasal dari
manusia, Tidak sepatutnyalah Sanghyang Aji dianugrahkan
kepadamu”. Mendengar jawaban itu Kayureka
menangis, menyesali nasib nya yang malang serta
berkata : “Wahai paduka Bhatara, seandainya
paduka tidak ada belas kasihan kepada hamba,
menganugrahkan Sanghyang Aji, baiklah kembalikan
dirihamba kepada wujud semula yaitu berupa tuwed,
Apakah gunanya hamba menjadi manusia tidak mengetahui
tata laksana dan selalu akan dijadikan tertawaan
orang ?“. Mpu Mahameru tertegun mendengar
ucapan Kayureka Tiba tiba terdengar suara dari
angkasa : “Anakku Sang Mpu, janganlah
demikian, boleh juga anakku menganugrahkan Sanghyang
Aji kepadanya sebab anakku jugalah yang menjelmakan
Kayureka nenjadi manusia, Janganlah khawatir
aku memperkenankan Sanghyang Aji diajarkan kepada—
nya”. Mpu Mahameru berpikir dan berkata
: “Wahai Kayu reka, benarlah kamu ini
seorang dewata yang berganti rupa menjadi sebuah
togog, Pantaslah kamu menjadi Wong lawu, Sekarang
marilah mendekat képadaku, aku akan menganugrahimu”.
Kayurékapun mendekat dan menunduk di
hadapan Sang Adiguru. Sabda Sang Mahajati “Hai
Kayu reka, dengarkanlah petuahku baik—baik
dan janganlah engkau mengumbar—ambirkan
serta meremehkannya, karena Sanghyang Aji yang
akan aku anugrahkan amat keramat. Terimalah
anugrahku semoga kamu dapat meresapkan ke dalam
batinmu dan karena tidak adanya Bhujangga di
Bali, mulai sekarang engkau diperkenankan menjadi
Bhujangga (mujanggain) orang—orang Baliaga
semuanya Janganlah lupa memberitahukan keturunanmu
agar mereka selalu mengingat asal usulnya. Begitu
pula kelak apa— bila lahir keturunan dari
kakakku Mpu Ghnijaya, keturunanmu harus menghormat
dan menyembahhya, Tetapi keturunanku tidak boleh
menyembah keturunanmu sebab kamu aguru putra
denganku lagi pula penjelmaanmu berbeda dengan
kelahiranku. Ingatlah jangan lupa, amat’
berbahaya apabila engkau tidak mentaati petuahku,
Ada pun anakku Kayureka oleh karena engkau sudah
apodgala (dibaptis) mulai sekarang engkau bernama
Mpu Bendesa Dryakah sebab engkau berasal dan
tuwed pada mulanya. Engkau diperkenankan melaksanakan
upakara kematian( pralina ngentas) tetapi yang
boleh kamu selesaikan upakaranya hanyalah orang—orang
Baliaga saja, Anakku Mpu Dryakah kelak apabila
engkau sudah meninggal dan diupakarai oleh anak
cucumu, upakaranya tidak boleh diselesaikan
oleh Brahmana. Kamu cukup memohon di kawitanmu
(kahyanganta) sebab asal usulmu bukanlah dari
manusia. Apabila anak cucumu telah selesai
mengupakarai jasadmu, engkau diperkenankan melakukan
pitra yadnya sebanyak tiga turunan, dan setelah
tiga turunan barulah sang resi Siwa Bhudha diperkenankan
menyelesaikan (muputang) upakaranya. Ingat dan
beritahukanlah petuah—petuahku ini kepada
seluruh keturunanmu karena amat berbahaya apabila
kena kutukanku’. Demikianlah sabda Mpu
Mahameru kepada sisyanya disertai sembah sujud
Mpu Dryakah dihadapannya. Disamping itu Mpu
Mahameru memperingatkan kepada orang Baliaga
bahwa kelak apabila diantara mereka ada yang
hendak melaksanakan upakara pitrayadnya, mereka
diperkenankan membakar jasad, (mabya geseng
) dan setelah dibakar diperkenankan menanam
kembali. Itulah yang disebut wangsa Krama Tambus
yang penyelesaian upakaranya dilaksanakan oleh
Mpu Dryakah. Sebagai kelanjutannya mereka diperkenankan
juga melaksanakan upakara matres dan matuwun.
Kepada keturunan Ki Barakan yang berasal dari
tanah liat diperingatkan oleh Mpu Mahameru bahwa
keturunan mereka diperkenankan membakar jasad
dan menanamnya kembali. Keesokan harinya mereka
diperkenankan melakukan upakara ngirim yaitu
membuat symbohis orang—orangan di atas
kuburannya dan apabila ada yang hendak melanjutkan
dengan upakara matres dan matuwun tidak dihalangi.
Mpu Mahameru menegaskan. apabila mereka hendak
bercakap—cakap dengan Bhujangga Mpu Bendesa
Dryakah, mereka harus menyebut beliau Jro Gede
sebagai panggilan penghormatannya. Ditambahkannya
setelah Mpu Mahameru memberikan penje1asan kepada
Wong Baliaga, untuk lebih sempurnanya keutamaan
(kahotaman) Mpu Bandesa Dryakah, Mpu Mahameru
kembali menganugrahkan Sanghyang Aji Sehingga
pikiran (ajnanan) Mpu Dryakah makin terang Sejak
saat itu nama beliau diganti menjadi MpuKamareka.
Tidak lama setelah menganugrahkan Sanghyang
Aji serta memberikan petuah—petuah kepada
Wong Bali aga, Mpu Mahameru meninggalkan Tampurhyang
melanjutkan perjalanan menghadap Bhatara Putrajaya
di Tolangkir serta Hyang Kamimitan Bhatara Ghnijaya
di gunung Lempuyang. Selama di Bali dan bekerja
sama dengan Bhatara Tri Purusa, Tolangkir, Lempuyang
dan UlunDanu yang dibantu oleh Wong Baliaga
di bawah pimpinan Mpu Kamareka, beliau membuat
beberapa kahyangan-kahyangan lainnya. Hal inilah
yang menyebabkan keberangkatan Mpu Mahameru
ke Jawadwipa mengalami hambatan. Diceriterakan
sepeninggal Mpu Mahameru diBali, Mpu Kamareka
kembali beryoga di gunung Tampurhyang yaitu
pada suatu tempat yang agak tinggi bernama Gwa
Song. Beliau melaksanakan yoganya dengan taat
dan tekun sesuai dengan petunjuk yang diterima
dan Mpu Mahameru. Dalam melaksanakan tapa, beliau
tidak makan maupun minum kecuali memusatkan
pikiran (ngranasika ) menghadap ketimur selama
satu tahun empat hari, menegakkan Sanghyang
Ongkara Mantra di dalam hatinya. Berkat kekuatan
yoganya maka turunlah paduka Bhatara Brahma
dari alam sunya menganugrahi Mpu Kamareka. Bhatara
Brahma bersabda “Hai kamu Mpu Kamareka
sungguh amat kuat yoga semadimu menghormat kepadaku.
Sekarang trimalah anugrahku kepadamu tatwa dyatmika,
bentuk tak berbentuk. Begitu pula aku berpesan
kepada mu bahwa apabila nanti ada seorang perempuan
cantik datang kepadamu mencari tirtha kamandalu,
banu pawitra, itulah anugrahku sebagai istrimu
dan nanti apabila kamu melahirkan keturunan
dengannya berilah ia nama Mpu Ghnijaya Kayu
Ireng. Demikianlah anugrah Bhatara Brahma maka
Mpu Kamareka menghaturkan sembah. Tidak hanya
sampai di sini bahkan setelah beliau menerima
anugrah Bhatara Brahma, Mpu Kamareka kembali
beryoga memusatkan pikiran dihadapan api perasapan,
Asapnya membubung ke atas, bau yang harum sampai
ke sorga. Gemparlah seluruh widyadara dan widyadari
para dewata serta para resi gana yang ada di
sorga. Dari awang—awang keluarlah Bhatara
Sanghyang Acintya disertai hujan bunga dan bersabda
: “Wahai Kamareka walaupun kamu seorang
Mpu dan keturunan sudra (kula wangsa) tetapi
tidak terhingga betapa teguh yoga Semadimu,
Sekarang ada anugrahku kepadamu tirtha kamandalu,
banu pawitra. Terimalah tetapi janganlah ditekeburkan,
simpanlah baik—baik dalam hatimu.Tak lama
kemudian lenyaplah Bhatara diiringi weda pujaan
Mpu Kamareka. Bertambah tambah kegembiraan Mpu
Kamareka berkat anugrah Sanghyang Aji yang telah
sampaikan kepadanya. Diceriterakan Dadari Kuning
diperintahkan Bhatara Indra ke Tampurhyang untuk
menjadi jodoh Mpu Kamareka. Setibanya di Gwa
Song Dadari Kuning dilihat oleh Mpu Kamareka
seraya disapanya, “Wahai wanita cantik
yang tak ubahnya seperti Dewi Gangga, dan manakah
tuan putri sehingga sampai di sini di tengah
hutan yang lebat serta siapakah sebenarnya tuan
putri ini ? Siapakah orang tua anda,kalau boleh
ceriterakanlah kepada hamba segera”. Menjawab
Dadari Kuning, “ Hamba ini adalah seorang
bidadari dan Indraloka, membuang— buang
langkah ke Bali hendak mencari tirtha pawitra.
Tetapi oleh karena hamba melihat sebuah sinar
gemerlap, hamba memutuskan menuju sinar tersebut.
Itulah sebabnya hamba sampai ke tempat ini”.
Mpu Kamareka menjawab : “Baiklah hai wanita
cantik yang tak ubahnya sebagai Dewi Ganggà.
Apakáh maksud tuan putri mencari tirtha
pawitra ? ”. Wahai Sang Maha Mpu dahulu
pada waktu hamba di sorga loka hamba merasa
khawatir terhadap para watek gandharwa yang
selalu mendesak dan memaksa hamba untuk menjadi
istrinya. Itulah sebabnya hamba pergi dan sorga,
pergi tanpa tujuan untuk membersihkan diri dan
akhirnya bertemulah hamba dengan Sang Mahamuni
di sini. Mpu Kamareka berkata : “Báiklah
andaikata demikian,apabila tuan putri tidak
berkeberatan marilah kita bersama—sama
menanggung kesengsaraan di hutan belantara ini.
Dadari Kuning menjawab : “Aduhai Sang
Mahamuni teringatlah hamba pada perintah Bhatara
dahulu menyuruh hamba turun ke dunia, Mungkin
benar inilah jodoh hamba, Yah apabila Maha muni
tidak berkeberatan tuluskanlah belas kasihan
Mpu ngku kepada hamba. Mpu Kamareka tertegun
tidak bisa menjawab permohonan Dadari Kuning
oleh karena suka citanya, pilu bagaikan disayat
hatinya,Akhirnya beliau pun menjawab dengan
gregetan : Aduhai buah hatiku tidak lain hambalah
jodohmu, Teringat hamba kepada sabda Bhatara
báhwa bidadarilah tuanku, tidak sabar
sudah kakandamu menantikannya”. Dadari
Kuning menunduk, dipangku, dibelai oleh Mpu
Kamareka dengan gregetan seraya berkata : “Aduhai
idaman hatiku, terus kanlah kasih sayangmu kepada
hamba, bersama menderita di dalam hutan, Kakandamu
tidak akan menentangmu walau pun sampai tujuh
kali menjelma kanda akan selalu menyertaimu”.
Dadari Kuning menjawab dengan berlinangkan air
mata “Wahai Mpu-ngku janganlah demikian
tergesa —gesa Mpungku. Siapakah yang tidak
akan bergembira apabila Mpungku berbahagia bersama
hamba. Tetapi permintaan hamba apabila perkawinan
telah terlaksana Mpungku tidak boleh menolak
segala permintaàn hamba sebab demikianlah
tata krama di sorga loka. Menjawab Sang Mpu
Kamareka “Baiklah kalau demikian,kanda
akan mematuhi
permintaanmu, Janganlah ragu—ragu terhadap
hamba. Kemudian merekapun kawin dan bersama
sama mengecap kebahagiaan orang bersuami istri.
Entah berapa lama mereka bersuami istri,lahir
dua orang anak laki perempuán yang amat
cantik rupanya. Tidak terhingga betapa gembiranya
Mpu Kamareka beserta istrinya. Kedua putra putri
beliau diupacarai sesuai dengan upakara yang
telah berlaku. Kedua putra putrinya diberi nama
Ki Kayu Ireng dan Ni Kayu Ayu Cemeng. Ketika
keduanya telah dewasa Ki Kayu Ireng berkata
pada ayahndanya “Wahai ayahnda oleh karena
anaknda sudah dewasa dan di gunung demikian
dinginnya ka1au boleh hamba ingin mencari seorang
istri, ayah anda”. Sang Maha Mpu menjawab
“Anakku Kayu Ireng baiklah tetapi yang
patut engkau jadikan istrimu tidak lain adikmu
Ni Kayu Ayu Cemeng sebab ialah jodohmu semenjak
engkau berada di dalam perut. Hanya saja sekarang
masih menunggu hari yang baik untuk melangsungkan
upakaranya. Akhirnya ketika tiba waktunya Ki
Kayu Ireng dikawinkan dengan Ni Kayu Ayu Cemeng
serta setelab dibaptis (apodgala) Ki Kayu Ireng
berganti nama Mpu Ghnijaya Mahireng. Selanjutnya
pada .waktu Mpu Mahameru pergi ke Bali menghadap
Bhatara Putrajaya di Besakih dan Bhatara Ghnijaya
di Lempuyang beliaupun tidak lupa singgah di
Tampurhyang menemui Mpu Kamareka. Beliau disambut
Mpu Kamareka dan istrinya sesuai dengan penyambutan
para pendeta yang lazim dilaksanakan. Pada kesempatan
ini Mpu Kamareka diberi petuah agar tetap taat
melaksanakan apa yang telah dianugrahkan kepadanya.
Ditegaskan bahwa sejak saat itu Mpu Kamareka
rumawak ksatriya Brahmana selama tiga keturunan
saja dan setelah itu kembali menjadi kulawangsa
(sudra). Para pratisentana Mpu Kamareka dimanapun
mereka berada agar tetap menjaga gagaduhan yang
telah dipaparkan.Sebaliknya apabila ada yang
melanggar gagaduhan tersebut mereka dikutuk
agar menjadi wong tani cingkrang Pada waktu
meninggalnya tidak boleh upakaranya dilaksanakan
oleh brahmana atau dibakar sebab mereka di anggap
bukan ketürunan Mpu Kamareka. Sedangkan
bagi mereka yang taat melaksanakan gagaduhan
di atas disebut wong tani dan setelah tiga turunan
menjadi Arya Pasek Kayuselem. Demikian pula
mereka yang sudah dianggap akhli menjalankan
tata agama diperkenankan mujanggain tetapi batasnya
hanya tiga turunan dan Setelah itu surud kembali.
Kelak apabila ada keturunanmu hendak membakar
jasad leluhur apabila belum ada brahmana di
Bali yang lahir dari keturunan Mpu Ghni jaya,
keturunan beliau yang disebut Jro Gede diperkenan
kan menyelesaikan upakaranya. Sekarang anakku
diperkenankan melaksanakan penyelesaian (muputang)
jasad orang—orang Baliaga semua, Sebelum
Mpu Mahameru kemba1i ke Jawadwipa beliau tidak
lupa menganugrahkan Sanghyang Aji kepada Mpu
Kamareka. Sepeninggal Mpu Mahameru, Mpu Kamareka
memberi petuah kepada putranya sesuai dengan
petuah yang beliau terima dari Mpu Mahameru.
Antara lain oleh karena telah banyaknya keturunan
Mpu Kamareka ditekankan agar pratisentanan beliau
tetap menjaga gagaduhan dan harus aguru sisya
dengan keturunan Bhatara Ghnijaya yang disebut
Sanak Pitu. Walaupun mereka bersaudara, oleh
karena asal penjelmaan mereka berbeda maka ditegaskannya
keturunan Mpu Kamareka harus menghormati dan
menyembah keturunan Sanak Pitu. Keturunan Mpu
Kamareka tidak diperkenankan saling ambil mengambil
(silih alap) dengan ke— turunan Sanak
Pitu. Tetapi apabila keturunan Sanak Pitu berkenan,
mereka boleh mengambil keturunan Mpu Kamareka,
Keturunan Sanak Pitu tidak diperkenankan menyembah
keturunan Mpu Kamareka tetapi keturunan Mpu
Kamareka harus menyembah keturunan Sanak Pitu
sebab méreka pernahsisya dengan Bhatara
Ghnijaya.
Seandainya keturunan Mpu Kamareka meninggal
jasadnya tidak boleh dibakar agar asapnya tidak
membubung lebih atas dan pura Panarajon, pura
Ulun Danu, pura Tegeh serta gunung Tampurhyang..
Bhatara tidak menginginkan kahyangañ
beliau diliputi asap mayat yang amat kotor (leteh).
Untuk mengatasi hal ini mereka hanya diperkenankan
melaksanakan upakara penguburan ( mabya tanem
). Disamping Mpu Ghnijaya Mahireng, Mpu Kamareka
melahirkan pula tiga orang putra yaitu Sang
Made Clagi, Sang Noman Taruan dan Sang Ketut
Kayuselem yang setelah dibaptis (apodgala) masing—masing
berganti nama menjadi Mpu Kaywan, Mpu Nyoman
Tarunyan dan Mpu Badengan. Seperti halnya Mpu
Ghnijaya Mahireng ketiga adik beliau inipun
menjadi Bhujangga di Bali. Dari Goa Song mereka
berpindah dan beryoga semadi mencari tempat
masing—masing. Mpu Kaywan berpindah dan
beryoga di Panarajon, Mpu Nyoman Tarunyan pindah
ke gunung Tuluk biyu di Blong yang selanjutnya
disebut desa Taruñyan. Sédangkan
Mpu Badngan menetap di Gwa Song (Songan)’beserta
kakaknya Mpu Ghnijaya Mahireng. Dan catur bhujangga
ini melahirkan keturunan yang pada akhirnya
saling ambil mengambil (silih alap) diantara
mereka. Dunia berputar terus, usia Mpu Kamareka
makin bertambah lanjut dan masanya kembali ke
alam sunya makin mendekat, Kini Mpu Kamareka
sudah wreda, beliau menyadari bahwa tidak lama
beliau harus meninggalkan anak cucunya. Oleh
karena itu beliau memanggil seluruh anak cucunya
untuk menyampaikan bahwa pada purnamaning kartika.
beliau akan meninggalkan mereka kembali kepada
Sanghyang Acintya. Pada kesempatan itu beliau
berpesan bahwa apabila beliau telah meninggal
agar anak cucunya membuatkan kahyangan mengukuhkan
(ngadegang ) Sanghyang Tri Purusa beserta Hyang
Bhatara lainnya dan khusus baginya agar dibuatkan
Sebuah bebaturan sebagai pelinggihnya. Kahyangan
tersebut harus dipelaspas, anyapuh serta melaksanakan
piodalannya pada hari tileming kadasa. Seluruh
keturunannya (Warga Pasek Kayuselem) agar melaksanakan
upacara di atas dengan hikmat dan tawakal. Mereka
yang tidak mau patuh kepada petunjuk beliau
akan kena kutukan yaitu banyak kerja tetapi
tidak menemukan pahalanya. Segala tindak perbuatannya
tidak akan menemukan kebahagiaannya serta setiap
akan muncul di akhiri dengan kegagalan (sugih
gawe kurang pangan salampah lakunya tan amangguhaken
ayu, mentik—mentik punggel). Selanjutnya
apabila pada kahyangan tersebut tumbuh pohon
kayu yang hitam warñanya, hal itu suatu
pertanda bahwa beliau (Mpu Kamareka) telah berbadan
sakala niskala, telah beradá di sisi
Sanghyang Jagat Karana serta sejak saat itu
berilah nama kahyangan tersebut pura Kayuselem.
Seandainya di sini (di Gwa Song) telah tumbuh
pohon beringin hal itu suatu pertanda bahwa
Mpu Kamareka di alam sunya telah atirta gamaña.
Dan sanalah beliau mendoakan seluruh keturunannya
(Warga Pasek Kayuselem) yang taat dan patuh
terhadap petuahnya tidak akan kurang sesuatu
apapun. Hidup dalam kebahagiaan serta kepada
mereka yang telah ahli menjalankan weda mantra
diperkenankan melaksanakan upakara (manditanin)
dan patut dihormati seluruh keluarganya. Kini-
tibalah purnamaning kartika, hari yang ditunggu—tunggu
Mpu Kamareka bersiap —siap menuju sunya
taya. Pada waktu itu seluruh wong Baliaga, para
tamu terutama para warga Sanak Pitu diundang
menghadiri dan menyaksikan perjalanan beliau
ke alam niskala. Putra— putra beliau sang
atur pandita yaitu Mpu Ghnijaya Mahireng, Mpu
Panarajon, Mpu Tarunan serta Mpu Badng—
an sibuk menyapa dan menyambut para
tamu yang datang menghadirinya. Dauh 5, rabu,
madhura, byantara, dadi, mahulun wurukung, guru
mandala, mnga pada waktu itulah saatnya”Mpu
Kamareka mengenakan pakaian serba putih tanda
kesuciannya. Seluruh persiapan upakara telah
disiapkan yaitu dupa, menyan, astanggi, tile
gandapati serta seluruh alat—alat pemujaan
lainnya berada di tempatnya masing masing. Mpu
Kamareka dengan tenang dan tabah dituntun para
putranya keluar menjumpai para tamu yang diundang
nya. Kepada para tamu Mpu Kamareka berkata dengan
hormatnya : “Amatlah berbahagianya hati
kami sebab Seluruh maha pendeta telah datang
ketempat ini,meluangkan waktu untuk memenuhi
undangan kami, menyaksikan dan memberikan doa
restu sebagai pengantar kami menuju alam sunyata.
Kesemuanya itu benar-benar mengharukan dan menggembirakan
hati saya sebab segalanya menandakan bahwa para
Mpu benar—henar tulus, ikhlas kepada hamba.
Menjawab para Mpu serta sisya beliau : “
Wahai adikku Sang Mpu, andaikata demikian maafkanlah
kami sebab seolah—olah lupa mematuhi kehendak
Sang Mpu. Kini kami akan selalu bersedia memenuhi
dan mentaati kehendak adik Sang Mpu”,
Mpu Kamareka berkata kepada para sisyanya :
Aduhai para sisyaku semua, dengarkanlah sekali
lagi petuahku apabila keturunanmu telah berkembang
beritahukan pula kepadanya bagaimana cara melaksanakan
upakara berkenaan dengan upakara kematian (ngaben).
Andaikata diantara keturunanmu belum ada yang
bisa mujanggain, salah seorang dan keturunan
Sanak Pitu yang telah menjadi Bhujangga diperkenankan
melaksanakan upakara di atas sebab demikianlah
petuah yang telah aku terima dari Bhatara junjungan
kita Bhatara Mpu Mahameru. Ingatlab segala nasehat—nasehat
ku’. Jikalau ada keturunanku yang tidak
mau mematuhi petuah serta nasehatku semoga kena
kutukan, merosot, bodoh, banyak kerja tetapi
tidak menemukan pahalanya. Lagi pula pada waktu
engkau melaksanakan upakara kematian (ngaben)
tetapi belum ada Bhujangga di Bali engkau diperkenankan
nuhur tirta pangentas di kahyangan saja. Tetapi
sebelum engkau nuhur tirta,berdoa dan mohonlah
kehadapan Bhatara Jagat Karana serta Sanghyang
Tri Purusa. Namun sebelum melaksanakan hal di
atas beritahukankanlah kepadaku dahulu,(anging
manira astawa rutnuhun) aku akan datang dari
alam sunya membantumu memohonkan tirtha pangentas
dan pabersihan. Kemudian jika Bhatara Tri Purusa
telah menganugrahkan tirtha beritahukan pula
kepadaku segera sebab dari sana aku bersama—sama
Bhatara akan menganugrahkan tirtha panglambus.
Adapun cara memohonnya pergunakanlah sangku
tembaga, bahem. slaka, batil besi, dengan rerajahannya
masing—masing. Tempat Sanghyang tirta
berupa 3 buah periuk (payuk anar) tempat tirta
pabersihan”. Para sisya mendengarkannya
dengan tekun dan meresapkan petuah—petuah
beliau ke dalam hati seraya menghaturkan sembah
kepada sang kawitan. Ketika telah selesai memberikan
petüah Mpu Kamareka beryoga dan dengan
tenang moksa menuju alam sunyata. Diceriterakan
setelah Mpu Kamareka moksa Mpu Ghni jaya Mahireng
beserta saudara— saudara dan cucunya berkumpul
membicarakan petunjuk yang telah disampaikan
Sang wuwus lepas yaitu agar segera melaksanakan
upakara pitrayadnya Hari Rabu, mahadewa, kresna
paksa ping 15, sasih badrawada mereka mengundang
para pandita yang disebut Sanak Pitu agar datang
ke Songan menyaksikan upakara pitrayadnya yang
akan diselenggarakannya. Upakara berlangsung
dengan meriah, gambelan selonding ditabuh sehingga
menambah khikmatnya upakara tersebut. Mpu Ragarunting
dan Mpu Kaywan mamutru. Mpu Ketek ayoga tasik
wedana, Mpu Witadharmma melaksanakan reg weda,
Mpu Panarajon ngastawa wedana. Amatlah meriahnya
upakara di atas, suara genta
bergema bagaikan suara kumbang sedang mengisap
bunga. Demikianlah suasana pitrayadnya yang
dilaksanakan oleh Mpu Ghnijaya Mahireng dan
setelah upacara berakhir para tamu pun kembali
ke tempatnya masing—masing. Oleh karena
upacara pitrayadnya telah dilaksanakan selanjutnya
Mpu Ghnijaya Mahireng beserta anak cucunya membangun
kahyangan sesuai dengan petuah sang wuwus lepas
yaitu : 1. Di Jeroan. a. Sanggar agung pangastawan
Bhatara Hyang Suci yang berabiseka Sanghyang
Taya. b. Gedong Tn Purusa tumpang t1u, pangastawan
Bhatara çiwa, Sada Siwa, Parama Siwa
yang juga disebut Sanghyang Tiga Yadnya. c.
Gdong tumpang dua, pangastawan Bhatara Hyang
Brahma dan Hyang Wisnu. d. Kemulan rong telu,
pangastawan Sanghyang Tn Purusa, Brahma Wisnu,
Içwara rikala atma tiga. e. Bebaturan
rong dua pangastawan Sanghyang Akasa bertemu
dengan Sanghyang Ibu Pertiwi disebut juga, Ibu,
Bapak yang menimbulkan amerta siwaiba ( Dwipala).
2. Di Madya : Pesamuhan agung untuk Bhatara
semua. 3. Di Jabayan. a. Bebaturan rong dua,
lanang wadon pangastawan Hyang Kawitan. b. Bebaturan
rong t1u, pangastawan.Sanghyarig tiga sakti.
c. Sedahan taksu apit lawang. Seluruh pelinggih
kahyangan di atas selesailah sudah dibangun
serta upakara anyapuh, pamelaspas, ngenteg linggih
segera dilaksanakan. Tidak lama kemudian pohon
asam hitampun tumbuh di kahyangan tersebut sehingga
sejak saat itu pura tersebut dinamakan pura
Kayu selem yang juga merupakan suatu pertanda
Mpu Kamareka telah berbadan sakala niskala.
Sesuai dengan petuah Hyang Kawitan oleh karena
pelaksanaan upakara telah selesai, sebagai pertanda
kebenaran (kesujatian) kahyangan dibangunnya,
didirikan pula sebuah kahyangan disebut pura
Jati yang menjadi junjungan penduduk pulau Bali.
Selesai.
Disadur dari : Buku Babad Pasek Kayu Selem
yang ditulis oleh PUTU BUDIASTRA dan WAYAN WARDHA
|
|
|
|
|
|
|
|
|