|
Pura Dalem Batu Kuub, Br. Bantas, Desa Peguyangan
Kangin, Denpasar Utara.
Inilah Babad
Pura Dalem Batu Kuub.
Sanghyang
Pasupati beryoga di Gunung Raja. Yoganya sangat
mantap, lalu dilemparkan dan jatuh di sungai,
menimpa batu. Maka timbul lah gempa bumi, angin
topan, guntur dan halilintar. Kemudian muncul
lah bayi dari batu itu, rupanya hitam. Ada pula
bayi muncul dari buih, rupanya putih. Sejak
itu sungai itu dinamakan sungai Lipak.
Kedua bayi
itu bermain-main, di hutan. Setelah tiba di
tengah hutan, lalu ditemukan oleh si Lembu,
dan ditanya: "Wahai anakku berdua, siapakah
namamu? Siapakah nama ayahmu? Siapakah nama
ibumu?" Bocah itu menjawab: "Saya
tidak mengetahui orang tua saya. Demikian pula,
saya tidak mengetahui di mana rumah saya".
Si Lembu menyahut: "Saya tahu asal-usulmu,
Tuanku adalah putra Sanghyang Pasupati, bernama
Dalem Kembar, yakni Dalem Putih dan Dalem Selem
(Hitam). Engkau lahir dari batu. Sejak sekarang
Tuan bernama Dalem Batu Putih dan Dalem Batu
Selem. Namun, tuan tidak boleh bersamaan naik
tahta kerajaan menjadi raja, hanya salah seorang
berhak menjadi raja". Kedua bocah itu berkata:
"Wahai Lembu, siapakah di antaraku, yang
patut menjadi raja?" Si Lembu, menyahut:
"Yang berhak menjadi raja adalah yang hitam,
sebab hitam adalah perwujudan Wisnu, yang bisa
menciptakan keteduhan dunia". Demikian
lah kata si Lembu. Si bocah berkata: "Wahai
Lembu, di manakah sepatutnya aku bertempat tinggal?"
Si Lembu menjawab: "Karena Tuan perwujudan
batu, di mana ada batu bersinar, disinari oleh
matahari, di sana lah Tuan patut membangun istana.
Kelak akan dinamakan Batu Makelepan (Batu Bersinar)".
Demikian lah kata si Lembu kepada si bocah hitam.
Si bocah hitam berkata: "Wahai Lembu, aku
berterimakasih, namun ada yang aku tanyakan
kepadamu, di manakah kau tinggal, Lembu?"
Si Lembu menjawab: "Tempatku di hutan,
di wilayah hutan Raja". Si bocah berkata:
"Wahai Lembu, sejak sekarang, nama tempat
penggembalaanmu adalah Taro, sebab engkaulah
yang bisa mengetahui dan menjelaskan (ngetarang)
kerajaanku". Si Lembu menjawab: "Hamba
setuju. Tuanku telah menyumpah tempat tinggal
hamba, supaya bernama Taro. Hamba menyumpah
tempat ini sebab di sini lah Tuanku bertemu
dengan hamba, kelak akan bernama Desa Ketemu.
Hanya itu lah pesan hamba. Hamba mohon diri,
pulang ke sorga. Jika tuanku belum mengenal
hamba, hamba adalah I Lembu Nandini". Tiba-tiba
si Lembu menggaib. Oleh karena itu, lembu yang
ada di Taro itu berkurang satu ekor.
Kini kedua bocah itu berbincang-
bincang. Batu Putih berkata: "Wahai Batu
Selem, sebab demikian pesan si Lembu, di sini
lah kau bertahta menjadi raja. Karena aku tidak
boleh bersama-sama bertahta denganmu di sini,
maka aku akan meninggalkanmu, mencari tempat
lain, sebab kita lahir kembar, dan kau sudah
menjadi raja, supaya aku juga dapat menjadi
raja". Demikian kata Dalem Batu Putih.
Dalem Batu Selem menjawab: "Baiklah, silakan
kau berangkat, tetapi jangan lupa bahwa kita
lahir kembar, baik-buruk harus dilalui bersama,
di mana pun kelak kau tinggal supaya tetap bertemu
denganku, sebab telah ada belas kasih si Lembu,
menyumpah suatu tempat bertemu". Begitu
lah kata Dalem Batu Selem. Lalu Dalem Batu Selem
menuju tempat tinggalnya.
Dikisahkan Dalem Batu Putih
dengan ikhlas pergi menuju ke barat. Tempat
yang dituju itu kemudian bernama Desa Losan.
Lama sekali ia mengembara ke arah barat daya
di tengah hutan. Tidak pernah makan. Amat sangat
haus dan kelaparan. Ia kelelahan di tengah hutan,
tidak bisa berjalan. Ia duduk di tengah hutan,
bersedih hati karena amat kelaparan. Ia teringat
kepada pesan si Lembu, yang mengatakan dirinya
adalah putra Sanghyang Pasupati. Oleh karena
itu, lalu ia memuja Sanghyang Pasupati. Doanya
terkabulkan, maka ada air keluar dari tanah.
Air itu lah diminumnya. Hatinya pun menjadi
lega, mungkin karena dianugerahi Tuhan. Di sini
lah beliau menyumpah hutan ini semoga kelak
jika menjadi desa supaya bernama Batuyang. Setelah
ia menyumpah hutan itu, ia sangat terkejut karena
secara tiba-tiba ada. banyak rakyat datang menjemputnya,
yaitu Gaduh, Kebayan, Pasek, Dangka, Ngukuhin,
Penyelaweyan. Betapa sangat baktinya mereka
menjunjung Dalem. Adalah pesan Dalem: "Nah,
begini besar rasa baktimu kepadaku, kalian semua
bisa menempatkan keagunganku. Aku menamakan
tempat ini kelak menjadi desa Batuaji".
Lalu diiringi oleh rakyatnya, beliau berjalan
ke arah barat. Setelah tiba di barat, beliau
beristirahat bersama rakyatnya. Disitulah beliau
dibuatkan tempat tinggal. Kata Dalem: "Wahai
sahabatku sekalian, karena berkat sahabatlah
aku bisa tiba di sini, aku akan menyumpah tempat
ini. Sejak ini bernama desa Atege. Lalu beliau
tinggal di sana. Ada selama satu bulan berada
di sana, beliau tinggal dengan sangat tenang,
pikirannya amat bersih. Oleh karena itu, beliau
menyumpah bersama para sahabatnya. Sumpah Dalem
adalah: "Sejak ini, tempat ini bernama
desa Batu Bulan. Para sahabatnya sangat senang
mengiringi. Ada pesan Dalem: "Wahai sahabatku
sekalian, desa ini akan aku tinggalkan, aku
akan meninggalkanmu ke desa Panji. Pikiranku
sedih seperti telah hancur". Demikian kata
Dalem. Sahabatnya semua ikut mengiringi.
Dalem berjalan ke arah barat.
Beliau tiba di tengah hutan. Tidak ada orang
ditemukan di sana. Beliau mawas diri, berpikir
dalam hati bahwa jika menjadi orang besar, maka
teman-teman yang lebih rendah tidak akan berani
mendekat. Jika menjadi raja, maka teman-teman
di bawah tidak akan berani menghadap. Demikian
dipikir oleh Dalem di dalam hati, teringat ketika
membangun desa di Batuyang. Orang kecil lah
yang senang dan bersih pikirannya sehingga menemukan
Dewa. Oleh karena itu, lalu Dalem merendahkan
diri, tetapi pikirannya suci bersih. Dalem terkejut,
tiba-tiba ada banyak rakyat datang menghadap,
amat sangat berbakti kepada Dalem. Hati Dalem
bagaikan dihiasi emas. Oleh karena itu, beliau
kemudian menyumpah tempat itu supaya kelak bernama
desa Kayun Mas. Teman-temannya setuju. Kata
Dalem kepada sahabatnya: "Wahai sahabatku
sekalian, bukan yang besar, bukan yang menengah,
kebesaran hatimu lah menemukan keselamatan.
Batin yang tajam, yang suci bersih didasari
oleh rasa rendah hati, juga akan menemukan keselamatan.
Sekarang aku menyumpah, pada saat rendah hati,
aku menemukan keselamatan berkat sahabatku,
aku menyumpah kelak tempat ini bernama Kalanis.
Di sini aku merahasiakan identitas diri, bernama
Dalem Tungkub. Tempatmu untuk pergi menghadap
bernama Seman Bantas, menjadi tempat tinggal
segala makhluk". Demikian kata Dalem. Lama
beliau tinggal di sana. Pikiran beliau sangat
senang, suci dan bersih. Tempat itu kemudian
disumpah oleh beliau, kelak bernama desa Taman,
tempat beliau menyucikan diri. Semakin lama
beliau tinggal di sana, semakin tidak enak hati
beliau, lalu beliau pergi menyelinap dan kemudian
memuja, sama seperti ketika beliau berada di
Batuyang. Beliau memuja Sanghyang Pasupati,
bertujuan memohon tempat yang pantas menjadi
istana Dalem Putih.
Ada sabda dari langit yang
tertuju kepada Dalem Putih, yakni supaya beliau
pergi ke arah selatan. Setelah Dalem selesai
memuja, lalu menyumpah tempat itu menjadi Dalem
Yang Batu. Kemudian beliau berjalan menuju arah
selatan, dan tiba di Sakenan. Beliau dihadap
oleh I Dukuh Prateka, yang tinggal di Sakenan.
Dukuh Sakenan bertanya: "Tuanku, hamba
tidak mengenalmu. Tuanku hendak ke mana?"
Dalem menjawab: "Aku adalah Dalem Batu
Putih. Aku ingin mencari tempat tinggal supaya
sesuai dengan kodratku sebagai Dalem Batu Putih".
"Siapakah orangtuamu?" Jawab Dalem:.
"Aku tidak tahu orangtuaku. Aku dilahirkan
di sungai Limpar Kembar. Aku lahir kembar, hitam
(selem) dan putih. Aku lahir dari batu. Saudaraku
Dalem Batu Selem sudah menjadi raja di wilayah
Gelgel. Aku belum dapat menjadi raja berkat
pesan si Lembu sehingga aku pergi mengembara.
Wahai kakek, siapakah namamu?" I Dukuh
terkejut dan segera mengambil Dalem dan didudukkan
di atas dipan. Kata I Dukuh: "Daulat Tuanku
Dalem, hamba adalah abdi Paduka, I Dukuh Prateka
Sakenan. Paduka lah yang menurunkan hamba, hamba
lah yang memiliki Paduka. Hamba mengabdi kepada
Paduka. Baik lah, jika Paduka menginginkan tempat
tinggal, hamba akan menghaturkan bersama teman-teman
hamba". Kata Dalem: "Aku setuju".
Lalu I Dukuh memanggil anaknya: "Wahai
anakku, kita berbahagia dikunjungi oleh Dalem
yang menginginkan tempat tinggal. Kalianlah
mengiringi beliau. Tuluskanlah rasa baktimu
kepada beliau. Dan ajaklah beliau ke Uluwatu.
Ajaklah beliau ke sana dan supaya dijunjung
oleh kerabatmu sekalian. Ajarkanlah kepada kerabatmu
supaya mengenal sopan-santun. Kau harus belajar
dan menyucikan diri, kelak supaya ada Dukuh
di Uluwatu". Putra I Dukuh setuju, lalu
I Dukuh menyampaikan kepada Dalem: "Daulat
Tuanku Dalem. Hamba, si tua-bangka ini tidak
bisa mengiringi Paduka. Abdi Paduka lah yang
akan mengiringi Paduka, ia ibarat sama dengan
diri hamba".
Lalu Dalem berjalan diiringi
oleh I Dukuh. Beliau tiba di Uluwatu. Dalem
terkejut menemukan pohon bambu gading hamil.
Dalem berkata: "Wahai Dukuh, baru kali
ini aku menemukan bambu gading hamil".
I Dukuh disuruh menebang. Kata I Dukuh: "Daulat
Tuanku Dalem. Hamba tidak membawa apa-apa, apakah
yang hamba pakai menebang?" Dalem teringat
membawa keris pusaka ketika dilahirkan di sungai
Limpar, yang bernama keris I Jala Katenggeng.
Lalu beliau menghunus keris I Jala Katenggeng,
dan menebang bagian bambu gading yang hamil
itu. Tiba-tiba ujungnya melesat ke langit dan
menghilang. Kandungannya itu melahirkan bayi
wanita. Dalem berkata kepada I Dukuh: "Wahai
Dukuh, kau lah mengambil bayi. ini dan peliharalah
di sini. Karena ujung bambu ini menghilang ke
langit, maka sejak sekarang tempat ini bernama
Luhur, sebab terbang ke langit artinya luhur
(tinggi). Kelak, siapa pun mohon air suci untuk
upacara supaya memakai sarana ujung bambu bercabang".
Demikian kata Dalem. Kata I Dukuh: "Daulat
Tuanku Dalem. Hamba setuju. Hamba akan tinggal
di sini menjadi Dukuh. Para abdi Paduka akan
mengiringi Paduka membangun istana". Istana
Dalem pun selesai. Perjalanan beliau dipakai
dasar pertimbangan dalam pembangunan istana
(puri). Karena sangat panjang dan lebar oleh
beliau berjalan dari Limpar, maka istananya
diberi nama Jimbaran. Sedangkan Dalem kemudian
bergelar Dalem Batu Putih Jimbaran.
Dikisahkan I Dukuh Uluwatu
sangat bersedih memelihara si bayi karena tidak
mempunyai ibu, di mana dicarikan air susu ibu.
Ketika I Dukuh bersedih memelihara si bayi,
ada seekor kijang datang dari hutan, dan tiba-tiba
menyususui bayi. Siang malam diemban oleh si
kijang. Lama-kelamaan hingga si bayi menjadi
dewasa, tidak pernah terserang penyakit. Ketika
itu, I Dukuh berkaul: "Wahai anakku, ingat
lah sejak sekarang, ayah berkaul. Kau tumbuh
dengan selamat hingga remaja, disusui oleh kijang.
Oleh karena itu, se-keturunanmu dan se-keturunan
ayah tidak boleh membencanai kijang, membunuh
kijang. Jika kau membunuh kijang, makan daging
kijang, semoga kau terserang penyakit grehasta
(penyakit keturunan). Karena kau lahir dari
bambu gading, maka kau akan kuberi nama I Luh
Pering Gading. Se-keturunanmu dan se-keturunanku
kelak tidak boleh tidur memakai galah bambu,
sebab leluhurmu berasal dari bambu. Siapa saja
- keturunanmu dan se-keturunanku yang tidur
memakai galah bambu, semoga terserang penyakit
grehasta". Demikian lah sumpah I Dukuh.
Dikisahkan Ni Pering Gading
sangat rajin melayani I Dukuh. Ketika I Dukuh
menyucikan diri, selalu dilayani oleh Ni Pering
Gading, bagaikan Sanghyang Siwa dilayani oleh
Supraba. wajah Ni Pering Gading sangat cantik,
kulitnya gading. Pekerjaannya menurut perintah
I. Dukuh. Tidak henti-hentinya bekerja di pondok,
yakni berkebun.
Dikisahkan Dalem Batu Putih
Jimbaran, istananya telah selesai dibangun.
Pekerjaan Dalem Putih Jimbaran sehari- harian
berkebun di bukit, diiringi oleh abdinya. Cukup
lama beliau bekerja di kebun, kebetulan menyempatkan
diri mampir. Diajak mampir oleh I Dukuh Uluwatu.
Beliau senang diajak mampir, diiringi oleh I
Dukuh. Setelah tiba di Padukuhan, beliau dipersilakan
duduk di atas dipan. Ni Pering Gading sedang
sibuk di dapur. Dipanggil oleh I Dukuh, disuruh
menghaturkan canang lekesan (daun sirih dan
perlengkapannya) kepada Dalem. Ni Pering Gading
sibuk membuat canang lekesan dan kemudian menghaturkan
kepada Dalem. Dalem sangat terkejut melihat
kecantikan Ni Pering Gading bagaikan penjelmaan
Dewi. Dalem bertanya: "Wahai Dukuh, siapakah
si wanita itu?" I Dukuh menjawab: "Daulat
Tuanku Dalem, dia adalah anak hamba". Dalem
berkata: "Jika benar dia anakmu, aku berharap
agar diajak ke istana, akan aku jadikan permaisuriku".
I Dukuh berkata kepada Dalem: "Sudah hamba
duga. Tidak sepantasnya Paduka Dalem jatuh cinta
kepada abdi, supaya jangan karena hamba membuat
aib di seluruh istana". Dalem menjawab:
"Wahai Dukuh, apa sebabnya? Jika memang
keturunan Dukuh, wajarlah dia menjadi pendamping
di istana. Dukuh pantas mempersembahkan ke istana".
I Dukuh berkata: "Paduka Dalem, hamba tidak
berpanjang kata lagi. Paduka lah yang memilikinya.
Ketika menebang bambu gading dengan keris pusaka
I Jala Katenggeng, lahirlah bayi yang Paduka
berikan kepada hamba. Inilah dia yang bernama
Ni Pering Gading". Dalem berkata: "Kebetulan,
dia menjadi milikku. Dia tidak boleh tetapi
boleh. Dukuh meminta dan sekarang boleh lah
menghaturkan kembali. Jika aku yang memeliharanya
dulu, maka ia tidak boleh menjadi permaisuriku
sekarang, karena dia adalah putriku namanya.
Dukuh dulu meminta, memeliharanya sebagai anakmu,
nah sekarang aku boleh menjadikannya permaisuri".
I Dukuh menjawab: "Paduka Dalem, hamba
tidak berpanjang kata, kalau Paduka memang menginginkan,
hamba akan serahkan". Segera Ni Pering
Gading diambil oleh Dalem, dan telah menjadi
permaisuri Dalem Putih Jimbaran. Pekerjaan sehari-hari
Ni Pering Gading sama seperti di pondok, yakni
memasak di dapur dan menyuguhkan makanan kepada
Dalem. Dalem pun semakin berhasrat membuat perkebunan
di Bukit.
Kini dikisahkan Dalem Batu
Selem. Setelah lama bertahta di Gelgel, pikirannya
bimbang, teringat kepada saudaranya. Meskipun
dapat bertahta, jika tidak tahu keadaan saudara,
tidak ada gunanya juga. Pikirannya tidak tenang.
Oleh karena itu, beliau pergi dari wilayah Gelgel,
menyusul kepergian Dalem Batu Putih. Beliau
menuju hutan di sebelah barat. Setelah beliau
pergi jauh menyusup ke hutan, lalu menemukan
desa. Ada abdi ditemukan oleh beliau dan ditanya:
"Siapakah namamu? Desa apa namanya ini?"
Si abdi menjawab: "Hamba adalah Bendesa
Ngukuhin. Ini adalah Desa Batuyang namanya,
berkat sumpah Dalem Batu Putih". "Dalem
di mana?" "Beliau berada di Batuaji".
"Tolong antarkan aku bertemu dengan Dalem
Batu Putih". "Baik lah!" Setelah
tiba di Desa Sasih lalu dihadap oleh I Kabayan.
Tanya Dalem: "Desa apa namanya ini'?".
I Kabayan menjawab: "Ini adalah wilayah
desa Sasih, berkat sumpah Dalem Batu Putih".
Kata Dalem: "Di mana beliau?" "Beliau
berada di desa Kayu Mas, Kelandis, di sana menjadi
raja". Kata Dalem: "Wahai Ngukuhin,
Gaduh, Kebayan tinggal lah di sini, peliharalah
anugrah Dalem Batu Putih, karena semuanya dapat
menghasilkan tirta Sudamala (air suci ruwatan).
Aku sendiri akan menuju Desa Kelandis".
Ada tiga orang abdi mengantarkan beliau datang
ke desa Kelandis. Beliau dijemput oleh I Dangka.
Tanya Dalem: "Wahai Dangka, di mana Dalem
Putih berada?" I Dangka menjawab: "Dulu
beliau beristana di sini, namun beliau telah
pergi meninggalkan tempat ini, setelah bertapa
di Yang Batu". Kata Dalem: "Sekarang
di mana beliau berada?" "Konon sekarang
beliau beristana di Sakenan?" Kata Dalem:
"Wahai Dangka, peliharalah anugrah beliau
yang ada di sini. Aku sendiri akan menyusul
kepergian Dalem Batu Putih". I Dangka menjawab:
"Hamba setuju". Dalem berangkat diiringi
oleh anak I Dangka, yakni I Mada dan I Merangin.
Setelah tiba di Sakenan, lalu dijemput oleh
I Prateka. Tanya Dalem: "Dukuh, di manakah
Dalem Batu Putih?" I Dukuh menjawab: "Hamba
mohonkan kepada beliau supaya beristana di Jimbaran.
Anak hamba yang bernama I Dukuh Uluwatu telah
mengiringkan beliau". Kata Dalem: "Aku
ingin bertemu dengan Dalem Batu Putih".
I Dukuh menjawab: "Daulat Paduka, silakan
berangkat, ingat lah juga anak hamba I Dukuh
Uluwatu".
Dalem pun berangkat, lalu tiba
di wilayah Jimbaran, hanya menemukan istana
saja, tidak ada orang dijumpai beliau. Kemudian
beliau menuju ke dalam istana. Setelah tiba
di dalam istana, beliau bertemu dengan Ni Pering
Gading sedang menghidangkan makanan untuk Dalem
Putih. Kebetulan Dalem Batu Selem juga lapar,
lalu bergegas membuka tutup suguhan itu. Ni
Pering Gading terkejut dan berkata: "Tuan,
jangan lah Tuan membuka tutup suguhan itu, sebab
suguhan itu milik Dalem Batu Putih Jimbaran".
Beliau batal membuka tutup suguhan itu. Tanya
Dalem: "Di mana beliau?" Ni Pering
Gading menjawab: "Beliau sedang ke Bukit
mengawasi perkebunan". Lalu Dalem keluar
dari istana dan menuju perkebunan di wilayah
Bukit. Sekitar tengah hari, Dalem berangkat
menuju perkebunan. Namun tidak ada dijumpai
beliau di perkebunan. Dalem Putih sudah pulang.
Karena tidak bertemu di perjalanan, lalu Dalem
Selem bertanya di perkebunan, setiap orang ditanya
pada lari ketakutan. Beliau dikira jin raksasa.
Perkebunan di Bukit rusak akibat orang lari
ketakutan.
Dalem Batu Putih tiba di istana
dan langsung menuju hidangan. baru dilihat ternyata
tempatnya berlainan, bukan seperti biasanya.
Tanya Dalem: "Pering Gading, siapakah membuka
hidanganku?" Ni Pering Gading menjawab:
"Paduka Dalem, tadi ada orang datang ke
istana membuka hidangan Paduka. Hamba sangat
ketakutan melihat wajahnya. Mungkin jin atau
mungkin juga raksasa. Wajahnya hitam, rambut
ikal, berjanggut, kumis lebat, kales, tubuhnya
berbulu, hamba sangat ketakutan". Tanya
Dalem Putih: "Ke mana ia pergi?" Ni
Pering Gading menjawab: "Ia pergi menuju
perkebunan Paduka". Kata Dalem: "Aku
akan menyusul kepergian si pencuri itu".
Dalem Batu Putih berangkat menuju perkebunan.
Setelah tiba di perbatasan perkebunan, beliau
menemukan abdinya lari ketakutan. Ada yang pincang,
ada yang batuk, ada yang gemetar menghadap Dalem
Batu Putih untuk menyampaikan bahwa perkebunan
itu dirusak oleh jin raksasa. Dalem sangat marah:
"Di mana dia? Aku akan membunuh si penjahat
itu". Dalem berangkat ditemani abdinya.
Setelah tiba di hutan, si penjahat
pun ditemukan. Kata Dalem Putih: "Nah inilah
kau si penjahat, mati lah kau!" Yang disangka
pencuri berkata: "Kau lah yang akan mati".
Keduanya pada marah dan berperang sangat ramai.
Lama berkelahi, tidak ada yang kalah, tak ada
yang terluka, tidak ada yang mati. Bukit pun
hancur. Setelah lama berperang, keduanya kelelahan.
Para abdi pun kepayahan dan beristirahat. Di
situlah mereka saling bertanya, siapa kamu,
sangat kebal dan sakti. Yang ditanya menjawab:
"Kau siapa begitu kebal dan sakti?"
Mereka saling bertanya. Di depan mereka yang
saling bertanya itu, tumbuh pohon randu kembar
berakar ular. Mereka pada berpikir. Dalem Batu
Putih berkata: "Aku adalah Dalem Batu Putih
Jimbaran". Dalem Selem berkata: "Aku
adalah Dalem Batu Selem". Dalem Batu Putih
ingat kepada keris pusaka leluhurnya: "Apa
senjatamu Dalem Selem sehingga kau kebal?"
"Apakah senjatamu Dalem Putih?" Tanya
Dalem Selem. Di situlah mereka saling bertanya
dan memperlihatkan senjatanya masing-masing.
Senjata Dalem Putih Jimbaran bernama Jala Katenggeng.
Senjata Dalem Selem bernama Miring Agung.
Di situlah mereka sadar bersaudara,
dan berkata dengan baik, saling bercerita, saling
menghormati. Kata Dalem Selem: "Paduka
Dalem Putih Jimbaran, jangan lah bersedih, sebab
Paduka dan aku lahir kembar, artinya dunia menginjak
masa Dwapara, akan ditantang musuh. Oleh karena
itu, kau dan aku berperang saudara. Namun jangan
bersedih, sejak saat ini mari kita bersaudara
dengan baik". Kata Dalem Putih: "Marilah
tinggal bersama di sini, baik-buruk, hidup-mati,
suka-duka". Kata Dalem Selem: "Aku
tidak setuju. Kau dengan menderita membangun
wilayah Batu Lepang, Batu Yang, Batu Aji, Batu
Bulan, Kelandis, Kayu Mas, Taman Yang Satu,
dan Puri Jimbaran. Jimbar artinya luas, maksudnya
kau telah membangun wilayah begitu luas. Aku
adalah saudara kembarmu, tidak mempunyai hasil
jerih payah, aku tidak pantas bersaudara. Aku
mohon diri darimu, akan pergi mengembara. Aku
akan pergi ke wilayah hutan bagian utara. Namun,
ingatlah perjanjian kita dulu". Jawab Dalem
Putih: "Baik lah". Dalem Selem berkata:
"Jika kau ingin menemui aku, pergi lah
menyusup ke hutan, tanyakan di mana wilayah
Batuhe, tanya-tanyakan". Jawab Dalem Putih:
"Baik lah". Dalem Selem berkata: "Wahai
Dalem Putih, supaya ada kenangan kelak sebagai
tempat kita berperang, marilah tempat ini kita
namakan Bukit Kali". Kata Dalem Putih Jimbaran:
"Silakan!" Mereka saling berjanji.
Dalem Putih menjadi raja di Jimbaran menguasai
daerah Bukit.
Dalem Batu Selem berangkat
menuju hutan di bagian utara diiringi oleh rakyatnya.
Setelah tiba di tengah hutan, Dalem berkata:
"Wahai rakyatku sekalian, aku ingin membangun
istana, karena telah melihat hutan kelapa. Dalem
sangat senang, dan rakyat pun senang. Para kerabatnya
diperintahkan datang ke hutan kelapa, semua
membawa senjata untuk membabat hutan kelapa.
Setelah semua tumbang, hutan kelapa itu dibanjiri
air laut, kebetulan musim pasang, maka Dalem
pergi meninggalkan tempat itu diiringi oleh
abdinya. Beliau pergi menuju ke arah timur.
Kata Dalem: "Kapan pun tempatku ini menjadi
desa, supaya bernama desa Sehseh. Sekarang,
di manakah aku pantas membangun istana, sebab
di sini rasanya tidak pantas". Di sini
lah beliau mengatakan melihat tempat tanah berwarna
putih. Tempatnya di timur laut. Beliau ingin
pergi menuju tempat tanah putih itu. Kata Dalem:
"Kapan saja tempatku ini menjadi desa,
sejak ini bernama Batu Bolong". Lalu beliau
berjalan ke timur. Setelah tiba di perbatasan
jalan, kaki beliau terpeleset menginjak batu.
Tiba-tiba Dalem berkata: "Kapan saja tempat
ini menjadi desa, tempat kakiku terpeleset menginjak
batu, supaya bernama Batu Belig". Beliau
berjalan semakin jauh. Setelah sampai di perbatasan
jalan, beliau terjatuh. Dalem bangun: "Kapan
saja tempatku jatuh ini menjadi desa, supaya
bernama desa Batu Tulung". Dalem melanjutkan
perjalanan. Di tengah perjalanan, Dalem merasa
kehausan. Di sana lah beliau meminta air dan
minum air. Dalem menyumpah: "Kapan saja
tempat ini menjadi desa, supaya bernama desa
Batu Bedak". Dalem melanjutkan perjalanan.
Perjalanan beliau selamat karena sudah mendapat
air. Tempat itu pun disumpahnya: "Kapan
saja tempat ini menjadi desa, supaya bernama
desa Batu Paras".
Dalem melanjutkan perjalanan.
Di tengah perjalanan, beliau sadar bahwa telah
banyak membangun wilayah. Kata Dalem: "Wahai
rakyatku, buatkan lah dirimu tempat tinggal,
tinggal lah di daerah-daerahku, agar ada abdiku
termasuk keturunan Batu. Para abdinya pada mencari
tempat tinggal.
Dalem sendiri tinggal di sana, diiringi seorang
abdi. Lama beliau tinggal di sana. Tidak ada
mendampingi. Kata Dalem: "Kapan saja tempatku
ini menjadi desa supaya, bernama desa Lami Mekutang.
Pesan Dalem kepada abdinya: "Kau lah di
sini menempati desa ini!" Abdinya setuju.
Dalem pergi menyendiri ke arah timur. Setelah
tiba di perbatasan desa, tiba-tiba beliau menemukan
orang sedang melaksanakan upacara di Pura Puseh,
yakni I Gusti Bungangaya diiringi oleh abdinya,
kebetulan abdinya menghaturkan sesajen ke Pura.
Banyak laki-laki dan wanita mengiringi I Gusti
Bungangaya. Kebetulan Dalem sedang duduk di
bawah balai agung. Orang-orang pada terkejut
melihatnya dan mengira raksasa duduk di bawah
balai agung. Semua orang itu berlari. I Gusti
Bungangaya marah dan memukul serta mengusirnya
dikira jin. Dalem sangat marah lalu meninggalkan
tempat itu dan menyumpah Pura itu supaya terputus
pelaksanaan upacaranya. I Gusti Bungangaya juga
dikutuk oleh Dalem supaya menjadi Gusti Bongkang.
Dalem melanjutkan perjalanan.
Perjalanan beliau semakin jauh. Tiba di pertengahan
jalan, beliau melihat kakinya terluka karena
tersandung batu. Kata Dalem: "Aku Batu
tersandung batu. Kapan saja tempat ini menjadi
wilayah desa, supaya bernama desa Tohjaya".
Dalem berjalan semakin jauh.
Di tengah perjalanan, beliau menyaksikan orang
menari Gambuh. I Gusti Tangkas mempunyai anak
bernama Ni Gusti Ayu Tangkas dan I Gusti Tangkas
Wayahan kebetulan melaksanakan upacara Rajasewala
dan upacara potong gigi disertai tarian Gambuh.
Setelah selesai potong gigi, beliau berdua menonton
Gambuh, duduk di atas dipan di sebelah barat.
Dalem berada di timur menatap Ni Gusti Ayu Tangkas.
Lalu Ni Gusti Ayu Tangkas jatuh sakit gila.
Dalem bersembunyi di hutan. Desa Tegeh Kuri
gempar mencari dukun. Banyak dukun menolongnya
tetapi tidak bisa waras. Si gila tetap mengigau
meratapi Dalem Batu Selem. Hanya itulah obatnya,
itu obat mujarab.
Perintah Ni Gusti Ayu Tangkas
kepada abdinya supaya mencarikan Dalem Batu
Selem. Si abdi setuju dan berjalan ke arah timur,
ke selatan, ke barat. Lama mereka mencarinya,
namun tidak ada ditemukan. Entah berapa lama
Ni Gusti Ayu Tangkas mengidap penyakit, lalu
ada orang menemukan orang bersembunyi. Wajahnya
sangat menakutkan bagaikan jin, namun bukan
jin, seperti raksasa tetapi bukan raksasa. Dalem
berkata: " Kau mencari apa. Jangan kau
takut kepadaku". Yang ditanya menyahut
sambil ketakutan: "Tuan, aku disuruh mencari
Dalem Batu Selem, apakah Tuan mengenalnya, di
mana tempatnya?" Jawab Dalem: "Aku
lah Dalem Batu Selem". Si pelacak semakin
takut, berbalik lari ke istana menyampaikan
kepada Ni Gusti Ayu Tangkas. Ni Gusti Ayu Tangkas
berkata: "Hai, mengapa kau datang tersengal-sengal?"
Jawab si abdi: "Hamba menemukan jin, tetapi
bukan jin, raksasa tetapi bukan raksasa, bersembunyi
di hutan. Baru hamba datangi, ia mengaku Dalem
Batu Selem". Kata Ni Gusti Ayu Tangkas:
"Di mana tempatnya, ajaklah ke mari!"
Jawab si abdi: "Hamba tidak berani sendirian,
hamba akan mencari teman untuk diajak ke hutan
persembunyiannya".
Dalem Batu Selem datang ke
istana Ni Gusti Ayu Tangkas diiringi oleh banyak
abdi. Dalem dilihat oleh Ni Gusti Ayu Tangkas,
lalu beliau tersimpuh di hadapan Dalem Batu
Selem, menyerahkan diri supaya diambil oleh
Dalem. Seketika Ni Gusti Ayu Tangkas waras.
Dalem pun senang menjadikannya permaisuri. I
Gusti Tangkas berkata: "Paduka Dalem, hamba
mohon tinggal bersama kami di sini". Dalem
tidak mau. Perintah Dalem, supaya dibuatkan
istana tempat permaisurinya, istana itu bernama
Puri Bungkasa, dibangun di tempat Dalem menatap
dengan seksama sehingga Ni Gusti Ayu Tangkas
sakit gila, di sana lah tempat istana itu. Pesan
Dalem adalah supaya dibuatkan istana yang berbeda
yakni di tempat beliau bersembunyi. Kelak istana
Dalem itu bernama Puri Ditu Mengkeb.
Lama beliau beristana di sana.
Beliau ingin membangun tempat permandian yang
dinamakan Dalem Pebersihan. I Gusti Tangkas
menjalankan, pesan Dalem, menghaturkan istana
dan abdi. Setelah Puri Bungkasa selesai, Ni
Gusti Ayu Tangkas beristana sendirian di sana
tanpa suami. Kata Dalem: "Bapa Tangkas,
bapak mempunyai anak, bapak menghaturkan istana,
bapak juga menghaturkan abdi di Puri Bungkasa".
Jawab I Gusti Tangkas: "Benar Paduka, itu
adalah warisan hamba dari Gunung Agung, dijadikan
abdi di Bongkasa". Pande Bang yang dulu
mengabdi di Tangkas, sekarang kepada Dalem,
sejak ini mereka bernama Pande Bang Angkasa.
Di Puri Dalem Ditu Mengkeb, para abdi di sana
bernama Sagerehan. Yang di Puri Pebersihan,
mereka bertugas memelihara, dan dijuluki Dangka
oleh Dalem. Dalem Tangkas, dan semua abdi merasa
senang. Baik-buruk dalam kebersamaan. Dalem
teringat kepada pesan sehingga Dalem ingin membangun
taman. Taman pemujaan Bali Aga: Jika semua lancar,
akan diberi nama Taman Dalem Pada Getas. Di
sana lah beliau memohon air kepada Bhatara di
Gunung Batur. Dikabulkan oleh Bhatara di Gunung
Batur dengan memberikan air suci Kamandalu.
Di Dalem Pebersihan, beliau memohon air suci
kepada Bhatara Batu Karu. Bhatara di Batu Karu
ingat bahwa beliau mempunyai putra. Beliau bertiga
berunding bersama istri. Batu Karu, Batur, Gunung
Agung merupakan perwujudan Sanghyang Pasupati
yang pantas memberikan anugrah air suci. Lalu
dianugerahi sebelas air suci yang disebut Kundalini,
kata Dalem.
Lama Dalem beristana di Puri
Ditu Mengkeb, tidak mempunyai keturunan. Lalu
beliau memohon putra kepada Bhatara di Gunung
Batur. Putra anugrah itu bernama Arya Panji.
Diistanakan di Puri Semanggen. Putra yang dimohon
kepada Bhatara Batu Karu, bernama Arya Ularan.
Beliau beristana di Jaba Tengah. Kedua putranya
itu mengemban istana di luar halaman puri. Tidak
ada abdi mengemban. Dalem memohon Patih kepada
Bhatara Batu Karu yang diandalkan oleh para
abdi, bernama Arya Pasung Gerigih. Lalu beliau
memohon Patih kepada Bhatara Gunung Batur, bernama
Arya Pasung Giri. Dengan memuja Bhatara di Gunung
Agung, maka adalah Arya I Tunjung Tutur. Beliau
masih kekurangan seorang patih lagi supaya berjumlah
empat. Kata Dalem kepada ketiga Arya itu: "Aku
kekurangan seorang patih lagi". Ketiga
Arya menjawab: "Apa yang perlu hamba lakukan?"
Kata Dalem: "Jangan memilih wajah, asalkan
kebal, pemberani, pilihlah itu!" Ketiga
Arya menyetujui perintah Dalem. Semua pada memerintahkan
anak buahnya masing-masing lima puluh orang.
I Pasung Gerigih , mempunyai abdi yang bernama
warga Batu Kesepih, bertempat tinggal di desa
Sumapan. I Pasung Giri mempunyai abdi bernama
warga Batu Piak, bertempat tinggal di desa Kuta
Dalem Batur. Tunjung Tutur mempunyai abdi warga
Batu Karang, bertempat tinggal di Batu Krotok.
Tempat pertempurannya di wilayah Penataran Pejeng.
Ketika perang berlangsung, warga Batu Krotok
kalah, semua warga Batu Sepih kalah. Hanya I
Batu Piak berhasil pulang sendiri. I Batu Piak
diangkat menjadi Patih bernama Patih Tambyak.
Patih Tambyak dijadikan putra oleh Mpu Bijaksara,
karena lahir di Kuta Dalem menimpa bebatuan
hingga terbelah. Ia bertugas menjaga bukit selatan.
I Tunjung Tutur menjaga wilayah timur berpusat
di Krotok. I Pasung Giri menjaga wilayah utara
di sekitar 25 Gunung Batur dan berpusat di Taro.
I Pasung Gerigih menjaga wilayah di bagian tengah
bertempat tinggal di Beda Ulu. Wilayah barat
tidak ada menjaga. I Kebo Iwa dititahkan menjaga
wilayah di sebelah utara bukit.
Entah berapa tahun lamanya
Dalem didampingi oleh para Arya, sebagaimana
kata Dalem ketika berada di Jimbaran, dirasakan
bahwa pada masa Dwapara, akan ada bencana datang
dari Jawa yakni Majapahit. Nama si utusan itu
adalah Patih Agung Gajah Mada. Ia menuju wilayah
Beda Ulu ingin bertemu dengan I Pasung Gerigih,
supaya ada yang mengantarkannya menghadap Dalem.
Kata I Pasung Gerigih: "Hamba tidak berani
mengantarkan menghadap Dalem, jika I Kebo Iwa
belum mengetahui, hamba tidak berani!"
Tanya I Rakryan Gajah Mada: "Di mana :
Kebo Iwa tinggal?" Jawab I Pasung Gerigih:
"Ia tinggal di Belah Batuh, tetapi ia bertugas
menjaga wilayah di Den Bukit. Cobalah cari dulu
di Belah Batuh!" Demikian kata Pasung Gerigih:
I Rakryan Mada berjalan menuju selatan Sampai
di tengah perjalanan, ada orang tua dijumpainya
Mereka saling bertanya. Orang tua itu mengaku
bernama Dukuh Kedangan. Gajah Mada pun memperkenalkan
diri sebagai Patih Agung Gajah Mada. Seketika
si tua itu duduk memberi hormat sebab telah
tersebar berita bahwa. raja yang bertahta di
Jawa adalah perwujudan Wisnu. Kata I Dukuh Kedangan:
"Mari tuan mampir dulu!" Jawab Patih
Mada: "Baik lah", Lalu beliau diajak
mampir ke pondok I Dukuh Kedangan. I Dukuh Kedangan
mempunyai seorang putri bernama Ni Uradani.
Ni Uradani disuruh oleh ayahnya supaya menghaturkan
suguhan penyambut tamu. "Beliau adalah
Gusti Patih Gajah Mada dari Jawa, yang sering
ayah ceritakan kepadamu". Kata I Dukuh
Kedangan. Ni Uradani menyetujui. Ni Uradani
menghadap Patih Agung Gajah Mada.
Pada malam harinya, I Patih
Agung Mada menginap di pondok I Dukuh Kedangan.
Sementara itu, I Dukuh Kedangan mohon diri untuk
tidur. Ni Uradani berbincang-bincang dengan
Patih Agung Gajah Mada. Ni Uradani terpesona
mendengarkan cerita I Patih Agung Gajah Mada.
I Patih Agung Gajah Mada jatuh cinta kepada
Ni Uradani. Ni Uradani menerima. Pada saat Ni
Uradani pertama kali dijamah sambil ditanyai:
"Siapakah yang paling kebal di Bali, siapakah
yang paling pemberani di Bali?" Ni Uradani
menjawab: "Di antara kelima Patih, hanya
lah Patih I Kebo Taruna yang dipuji". Tanya
Gajah Mada: "Mengapa dinamai Kebo Taruna?"
Ni Uradani menjawab: "Beliau tidak mempunyai
istri. Jika tidak mendapatkan wanita yang sama
besarnya, sama tingginya, sama kepandaiannya,
beliau tidak mau menikah. Tidak ada wanita seperti
itu di Bali". Setelah selesai menjamah,
selesai pula perbincangannya. Pesan Patih Agung
Gajah Mada kepada Ni Uradani: "Wahai Luh
Uradani, kelak jika janinku ini jadi, aku memberikan
tanda kepadamu, supaya aku bisa mengenali anakku
kelak". Beliau memakai kain geringsing
wayang, lalu diserahkannya selembar kain poleng,
dipakai kain untuk anaknya kelak.
Kemudian beliau meninggalkan
Ni Uradani menuju wilayah Belah Batuh bertemu
dengan I Kebo Iwa. Mereka saling menyapa. I
Gajah Mada mengaku sebagai utusan Dalem Majapahit:
"Bali dan Jawa supaya saling menghormati,
saling memberi, saling menasihati". Demikian
kata I Gajah Mada. I Kebo Iwa setuju: "Lalu
sekarang apa maumu?" Kata Gajah Mada: "Lapor
lah ke istana bahwa aku akan menghadap".
I Kebo Taruna menjawab: "Baik lah, tunggulah
di sini, aku akan menyampaikan dulu".
I Kebo Taruna berangkat menghadap
Dalem. Tanya Dalem: "Apa kabar Paman Iwa?"
I Kebo Taruna menjawab: "Ini ada utusan
dari Raja Jawa ingin menghadap Tuanku Dalem,
namanya adalah Gajah Mada. Bagaimana Tuanku
Dalem?" Kata Dalem: "Ajaklah dia ke
mari, tanyakan lah kepadanya, apa kesenangannya,
tanyakan dulu kepadanya supaya jangan nanti
Bali dijelek-jelekkan di Jawa". Kebo Taruna
setuju dan bertemu dengan Gajah Mada: "Tuanku
Patih Agung, Tuan sudah diijinkan menghadap,
akan ada jamuan, apa kesenangan Tuan?"
Jawab Gajah Mada: "Aku senang nasi sengauk,
sayur plecing pakis batangan, airnya supaya
berwadah kendi". Kata Kebo Taruna: "Marilah
kita menghadap". Setelah tiba di hadapan
Dalem, I Gajah Mada duduk menunduk. I Kebo Taruna
mempersiapkan hidangan sebagaimana disebutkan
tadi. Kata Dalem: "Paman Patih Mada, marilah
kita makan dulu, nanti saja kita berbincang-bincang".
I Gajah Mada menyetujui, lalu mengambil nasi
dan memonyongkan mulutnya, mengambil sayur serta
minum air dengan memakai kendi. Dari situlah
dia tahu wajah Dalem. Dalem pun terkesima dan
telah merasa didatangi utusan membawa bencana.
Namun beliau menyimpan di dalam hati. Tanya
Dalem kepada I Mada: "Wahai Mada, ada perlu
apa?" Jawab Mada: "Daulat Tuanku Dalem,
tata kehidupan masyarakat di Jawa-Majapahit
hancur dan Tuanku lah yang pantas menatanya
kembali. Karena itu, hamba diutus menghadap
ke Bali". Kata Dalem: "Apakah ada
tanda-tanda atau mungkin berita?" Jawab
Gajah Mada: "Di Jawa, ada seorang wanita
lahir dengan tubuh besar, tinggi, sakti, tidak
mau menikah: jika tidak sama besar dan tingginya.
Terdengar berita bahwa di Bali ada juga abdi
yang demikian". "Kebetulan sekali
Paman, inilah orangnya, marilah kita satukan
antara Jawa dan Bali". "Patih Tuanku,
I Kebo Taruna, hamba mohon untuk diajak ke Jawa".
Kata Dalem: "Paman Mada, supaya benar-benar
jujur. I Kebo Taruna juga demikian sehingga
ia bernama Kebo Taruna di Bali, sebab tidak
ada wanita lahir seperti itu. Nah, di Jawa lah
ia dinikahkan". Mada setuju. Kata Mada
kepada Kebo Taruna: "Bagaimana Dinda, Tuanku
Dalem sudah mengijinkan kau akan menikah, sebab
di Jawa ada wanita seperti yang kau dambakan".
Kebo Taruna senang dan setuju,
lalu mereka berdua mohon diri kepada Dalem.
Tiba di Gunung Jawa, kata Mada: "Wahai
Adikku Kebo Taruna, karena Majapahit sudah dekat,
sebaiknya kau mandi dulu, sebab keringatmu berlimbah,
supaya tubuhmu tidak kotor ketika menghadap
raja!" Kata I Kebo Taruna: "Di manakah
mencari air di puncak bukit seperti ini?"
Kata Mada: "Silakan kau membuat sumur di
sini. Air sumur di sini sangat bening didasari
bayu sabda idep. Aku juga ikut mandi jika kau
bisa membuat sumur". Setelah dalam olehnya
menggali tanah dengan kukunya, sampai-sampai
I Kebo Taruna tidak kelihatan karena sumur itu
terlalu dalam, maka di situlah Rakryan Mada
segera menimbunnya dengan batu-batu besar sebesar
lesung dan mengharapkan I Kebo Taruna supaya
mati di sumur itu.
Peristiwa itu telah dipikirkan
oleh Dalem bahwa mungkin ada kerabat di Bali
yang memberi tahu kepada Gajah Mada. Oleh karena
itu, beliau ingin mencari jalan moksa sehingga
beliau tidak datang-datang ke tempat tidur.
Kebetulan Ni Gusti Ayu Tangkas sedang senang
hati mengemban istana bersama kerabatnya para
warga Pande Bongkasa. Ayahnya I Gusti Tangkas
Tegeh Kori datang menemuinya: "Anakku,
jangan lah lalai mengemban anak. Dalem sudah
menjalankan tapa puasa untuk bisa menuju alam
nirwana. Jika Dalem moksa, siapakah yang akan
memperhatikan kedua putramu. Sekarang godalah
Dalem, ajaklah anakmu menghadap Dalem supaya
batinnya goyah. Jika batinnya telah goyah, maka
jelas lah beliau tidak bisa moksa". Ni
Gusti Ayu Tangkas menghadap bersama anaknya.
Setelah tiba di Dalem Puri Tungkub, ditanya
oleh Dalem: "Ada apa Dinda datang bersama
anak-anak?" Ni Gusti Ayu Tangkas menjawab:
"Hamba menghadap Dalem karena lama Dalem
tidak pernah berkunjung ke Puri Bongkasa. Hamba
mendapat berita bahwa Dalem akan moksa. Jika
benar seperti berita itu, bagaimanakah dengan
kedua anak kita ini?" Kata Dalem: "Jangan
percaya kepada berita itu. Aku sangat sayang
kepadamu dan juga anak-anak. Hiburlah anak-anak
kita di Jaba Semanggen". Ketika Ni Gusti
Ayu Tangkas ingat kembali kepada Dalem, tiba-tiba
Dalem tidak ditemukan lagi di tempatnya. Ni
Gusti Ayu Tangkas mencari bersama anak-anaknya
serta rakyatnya.
Ditemukan jejak kaki Dalem
di tengah hutan. Jejak itu dilacak oleh Ni Gusti
Ayu Tangkas bersama anak-anak dan rakyatnya.
Setelah tiba di tepi sungai Ayu, kebetulan air
besar. Ni Gusti Ayu Tangkas berhenti bersama-sama.
Baru menoleh, tiba-tiba Dalem sudah berdiri
di timur-sungai Ayu dan berkata. Kata Dalem:
"Istriku Ni Ayu Tangkas, anak-anakku dan
rakyatku sekalian, jangan lah bersedih, sebab
saat inilah takdir bagiku, tiada lain lagi,
adalah permintaanku, di tempatku moksa ini,
supaya dibangun tempat suci sebagai perwujudan
diriku. Jika tempat suci ini selesai, maka.
supaya diberi nama Dalem Batu Ulu. Wahai rakyatku
sekalian, kalian lah memuja dan menyembah di
sini ibarat memuja diriku, menyembah diriku.
Siapa pun kelak, entah anak, atau pun sanak-saudara,
tidak mau hormat berbakti di sini, semoga ia
menjadi sudana. Hutan itu, di tempat jejakku
bisa dilacak, sejak ini aku sumpah bahwa jika
wilayah ini menjadi desa supaya bernama desa
Ban Mentas". Setelah selesai berkata, Dalem
moksa.
Adalah tempat suci bernama
1. Dalem Batu Ulu.
2. Dalem Padang Getas.
3. Dalem Pebersihan
4. Dalem Bongkasa
5. Dalem Tungkub
Bersambung
ke Bagian 2
|