|
Isi
Singkat Babad Pulesari |
|
Prawacana
penulis, memohon restu kepada Tuhan agar memperoleh
kebahagiaan turun temurun.
Ekspedisi Gajah Mada ke Bali secara singkat
hingga takluknya pulau Bali, tertawannya Ki
Pasung Grigis, Pulau Bali belum mempunyai kepala
pemerintahan.
Danghyang Kepakisan seorang pendeta Sakti.
Dengan kesaktian yoga memperoleh seorang putra
diberi nama Sri Kresna Wang Bang Kepakisan,
juga mahir dalam berbagai ilmu berkat pendidikan
Danghyang Kepakisan.
Kemudian anak itu diserahkan kepada Kryan Patih
Mada sesuai dengan permohonannya, untuk dilanjutkan
diserahkan kepada Raja Majapahit.
Setelah diuji oleh Patih Mada, maka dimohon
untuk dijadikan raja di Bali.
Raja Majapahit belum mengijinkan, dan Sri Kresna
Wang Bang Kepakisan sementara berada di istana
Majapahit.
Untuk sementara Maha Patih Mada mengirim Mpu
Dwijaksara, untuk menata di pulau Bali, terutama
memelihara pura pura (Sad Kahyangan) di Bali.
Sri Kresna Wang Bang Kepakisan berputra tiga
orang laki-laki dan seorang wanita.
Semua diserahkan kepada Maharaja Majapahit,
dan beliau melaksanakan tugas kependetaan.
Keempat orang putra itu dididik di istana Majapahit.
Di Bali dirasakan perlu segera ada pemimpinnya.
Maka putra Mpu Dwijaksara (Patih Hulung) mengadakan
persidangan. Sidang itu memutuskan untuk mengirim
utusan ke Majapahit memohon seorang raja.
Yang memimpin perutusan itu adalah putra Mpu
Dwijaksara.
Setelah mempermaklumkan keadaan di Bali, maka
Gajah Mada mengabulkan permohonannya, dengan
permintaan agar istana Patih Gajah Mada di Samprangan
diperbaiki untuk tempat raja yang akan datang
nanti.
Maha Patih Gajah Mada segera mempermaklumkan
kepada Maharaja Majapahit, dan memohon keempat
putra Sri Kresna Wang Bang Kepakisan untuk diangkat
menjadi raja atau adipati di luar Majapahit.
Yang tertua di Blangbangan, yang kedua di Pasuruhan,
yang ketiga wanita di Sumbawa, dan yang bungsu
di Bali.
Maharaja Majapahit menyetujui, maka segera dilaksanakan
upacara pelantikan, dipuja oleh Danghyang Kepakisan.
Adipati Bali bergelar Sri Maharaja Dalem Kresna
Kepakisan. Beristri di Samprangan, lengkap dengan
peralatan kebesaran.
Keris Si Jangkung Mangilo dan tumbak Si Olang
Guguh.
Dibantu oleh para Arya yang ditempatkan tersebar
di daerah daerah yang dianggap penting.
Dalem mengadakan pertemuan dengan pejabat pejabat
terdahulu yang dipimpin oleh putra Mpu Dwijaksara.
Mereka melaporkan bahwa pembangunan belum berjalan
sebagaimana mestinya, karena rakyat Bali ragu
ragu atas kepemimpinan yang belum dilantik.
Akhirnya Dalem menganugrahkan nama Patih Hulung
kepada putra Mpu Dwijaksara sekeluarga, dan
menetapkan berkedudukan wesya, dengan sebutan
Bandesa Pasek.
Langsung Dalem membagi bagikan tugas masing-masing.
Sri Maharaja Dalem Kresna Kepakisan berputra
tiga orang pria. Yang sulung Dalem Samprangan,
kedua Dalem Tarukan, yang bungsu Dalem Ketut.
Dalem Samprangan: Menggantikan ayahnya menjadi
raja. Semula jalan pemerintahan amat baik. Kemudian
baginda tergoda oleh bidadari (permaisuri yang
cantik) hingga menjadi linglung, dan gemar bersolek,
sehingga pemerintahan tidak mendapat perhatian.
Dalem Ketut: Baginda berwajah tampan. Namun
hatinya amat terikat indria, terpikat perjudian,
gemar berkeliling mengadu ayam. Baginda bermukim
di desa Pandak, disenangi oleh masyarakat di
sana, sebagai balas budi baginda berjanji bila
baginda berkuasa nanti masyarakat dihadiahi
predikat atau nama Sanghyang.
Dalem Taruk: Kelakuan beliau seperti orang gila.
Hingga Masyarakat menjauhi dirinya. Mempunyai
seorang anak asuh bernama Sirarya Kuda Panandang
Kajar, putra Tumenggung Pasuruhan.
Ia amat, disayang oleh Dalem Taruk karena rupanya
tampan, bijaksana dan banyak keahliannya.
Dalem Taruk mempunyai seekor kuda tunggangan
berwarna hitam, diberi nama Gagak Gora, pandai
menari, dihiasi yang indah, setiap hari dijadikan
hiburan.
Entah beberapa, lama berselang, Dalem Taruk
mendengar berita bahwa Dalem Samprangan kurang
memperhatikan pemerintahan, maka beliau bermaksud
mencari Dalem Ketut ke Pandak, agar menggantikan
jadi raja. Karena beliau sendiri tidak berminat
menjadi raja. Beliau ingin melaksanakan ajaran
kependetaan. Namun rahasia penjelmaan manusia
belum juga terpecahkan, sehingga lakunya seperti
orang bingung. Kemudian Dalem Taruk mengutus
Sirarya Kuda Panandang Kajar untuk mencari adindanya,
Dalem Ketut Semara Giri (Dalem Ngulesir) ke
Pandak. Semua perlengkapan kebesaran kerajaan
telah disiapkan. Setibanya di Pandak, Kuda Panandang
Kajar segera menyampaikan pesan Dalem Taruk
sambil mempersembahkan segala kirimannya. Walau
berbagai upaya dilakukan, namun ditolak dengan
tegas. Sirarya Kuda Panandang Kajar pulang dengan
tangan hampa serta diselimuti firasat buruk
bagi dirinya.
Demikian pula Dalem Taruk semakin bingung setelah
mendengar laporan utusan itu.
Keadaan di Samprangan menjadi pasif, karena
semua merasa takut akan kesaktian Keris Si Tanda
Langlang.
Tersebut bahwa I Gusti Ngurah Abyan Tubuh, seolah-olah
memperoleh wahyu dari Tuhan agar mencari Dalem
Ketut.
Keesokan harinya beliau beserta rombongannya
menghadap ke Samprangan.
Tetapi tidak dapat menghadap raja, sebab Dalem
sibuk bersolek. Dengan penuh kecewa, I Gusti
Ngurah Abyan Tubuh (Kyayi Bandesa Gelgel) langsung
pergi ke Pandak mencari Dalem Ketut. Terjadi
dialog antara Dalem Ketut dengan Kyayi Bandesa
Gelgel.
Walaupun mulanya Dalem Ketut menolak, namun
karena desakan nada tegas dan meyakinkan Kyayi
Bandesa, akhirnya Dalem Ketut mau menjadi raja.
Kyayi Bandesa merelakan rumahnya untuk dijadikan
istana, dan seorang putrinya untuk dijadikan
permaisuri.
Mulailah kerajaan Gelgel diperintah oleh raja
Dalem Ketut Semara Kepakisan. Para menteri terpaksa
dibagi dua, ada yang di Gelgel, yang tetap di
Samprangan.
Dalem Samprangan tidak memperhatikan hal itu.
Firasat Kuda Panandang Kajar dulu, menjadi kenyataan.
Ia jatuh sakit berat, sukar untuk diobati. Dalem
Taruk karena amat sayangnya, maka beliau berkaul
bila sembuh akan dinikahkan dengan putri Dalem
Samprangan. Ternyata kaul itu mujarab. Tanpa
diobati Kuda pun sembuh. Dalem Taruk hendak
menikahkan Kuda Panandang Kajar dengan putri
Dalem Samprangan. Kuda Panandang Kajar tidak
kuasa menolak kehendak Dalem Taruk, dengan tipu,
muslihat dipertemukan lah Kuda Panandang Kajar
dengan putri Dalem Samprangan secara paksa.
Malang bagi mereka, tengah bersenggama datanglah
Keris Ki Tanda Langlang menikam kedua insan
itu hingga meninggal seketika. Berita kejadian
itu sampai kepada Dalem Samprangan. Baginda
pun amat murka, dan mengerahkan semua kekuatan
untuk menghancurkan Dalem Taruk.
Puri Tarukan diserang dari segala penjuru, tetapi
Dalem Taruk telah lebih dahulu meninggalkan
istana.
Pasukan diatur kembali ke segala jurusan untuk
mengejar Dalem Taruk.
Dalem Taruk dengan berbagai cara dan siasat
bersembunyi di sebelah selatan desa Tampuagan,
hingga pasukan yang mengejar kembali hampa tangan.
Dalem langsung menuju pondok Ki Dukuh Pantunan.
Ki Dukuh menerima dengan baik dan menjamu menurut
kemampuannya.
|
|
Masyarakat
pegunungan amat hormat dan setia kepada Dalem
Taruk. Dalem meminta agar masyarakat memanggil
dirinya, Gusti atau Jero agar tidak terungkap
persembunyiannya. Lama beliau di sana hingga
sempat bercocoktanam dan memperdalam keagamaan.
Setelah setahun berselang Dalem Samprangan memerintahkan
menggempur Dalem Taruk lagi. Ki Dukuh telah
mengetahui rencana itu, segera mengungsikan
Dalem Taruk ke tempat persembunyian. Sehingga
pasukan yang menggeledah rumah Ki Dukuh kembali
dengan tangan hampa. Mulai saat itu Dalem Taruk
berpantang makan jawa, jali dan burung titiran
(perkutut), karena diselamatkan oleh rumpun
rumpun pepohonan itu serta adanya burung titirn
yang berkicau di atasnya.
Hal ini diwasiatkan turun temurun.
Ki Dukuh Pantunan tetap mengupayakan persembunyian
untuk keselamatan Dalem Taruk.
Suatu saat Dalem dianjurkan agar bersembunyi
pada I Gusti Ngurah Poh Landung di desa Poh
Tegeh. Dalem Taruk menyetujuinya. Namun I Gusti
Poh Landung mencegah Dalem menyeberang ke Jawa,
sebagai gantinya diberikan perlindungan di Janggala
Sekar.
Dalem Taruk menikahi putri I Gusti Poh Landung
bernama Ni Gusti Luh Cwaji (Kwanji).
Dalem Taruk berputra dua orang bernama Gusti
Gde Sekar, dan Gusti Gde Pulesari.
Dalem Taruk juga memperistri putri Ki Dukuh
Darmaji bernama Ni Luh Made Sari berputra Gusti
Gde Balangan, dan Ni Luh Wanagiri.
Desa desa sekitar dengan pemuka-pemukanya amat
setia kepada Dalem Taruk.
Dengan wafatnya Dalem Samprangan, kerajaan Gelgel
di bawah Dalem Ketut, semakin berkembang. Kemakmuran
terjamin dengan baik.
Dalem Taruk telah mendengar hal itu.
Beliau berpindah ke tepi pantai di timur desa
Crutcut (Tianyar), bersama seluruh anak istrinya.
Beliau minta kepada masyarakat agar tetap merahasiakan
keberadaannya.
Masyarakat diminta menyebutnya Gusti. Kemudian
desa itu diberi nama Sukadana. Di sana putrinya
meninggal dunia, langsung dibuatkan upacara
pembakaran jenasah.
Dalem kembali ke Poh Tegeh, bermaksud kembali
ke Samprangan meninjau istrinya yang sedang
hamil ketika di tinggalkan, namun dilarang oleh
I Gusti Poh Landung.
Akhirnya Dalem Taruk bermukim di desa Sidaparna.
Dari Sidaparna pindah lagi ke pegunungan Panida
yang kemudian terkenal dengan nama Pulesanten
(Pulesari).
Dalem telah menjadi seorang bujangga (serupa
pendeta). Sering memuja dan memuput upacara
dalam masyarakat pedesaan itu.
Tersebutlah putra Dalem Taruk di puri Tarukan,
yang bernama I Dewa Gede Sekar, atau I Dewa
Gede Muter, sudah remaja putra berparas tampan
dan simpatik.
Beliau dibesarkan oleh inang pengasuh, I Dewa
Gde Muter mendengar riwayat ayahnya dari pengasuh
itu. Segera mengambil keputusan untuk mencari
ayahnya. Ia pun berjalan termangu karena belum
mengenal paras orang yang dicarinya.
Kemudian berjumpa dengan seseorang sedang membajak,
karena terjadi kesalahpahaman maka timbul percekcokan,
bahkan perkelahian. Untuk tidak menelan korban,
karena keduanya itu adalah ayah dengan anak,
Dalem Taruk dengan I Dewa Gde Muter.
Suasana perkelahian berubah menjadi suasana
kerinduan dan kasih sayang yang mendalam. Selanjutnya
mereka pulang ke Pondok Dalem Taruk, terjadi
pertemuan yang akrab antara kakak dengan adik
adiknya. I Dewa Gde Muter bersumpah setia kepada
ayahnya.
Dalem Taruk beristrikan pula putri I Gusti Agung
di Bancang Sidem berputra Gusti Belayu dan Gusti
Dangin.
Dalem Taruk sudah amat tua, pekerjaannya hanya
menghayati Weda (tugas pendeta), menyelesaikan
upacara agama. Desa desa semakin banyak yang
cinta kepada beliau sampai dengan Ponjokbatu,
Tianyar, Culik, Keladian dan lain lain.
Kemudian beliau Dalem Taruk pun meninggal, dilakukan
upacara Atiwa-tiwa oleh putra putranya dibantu
oleh pemuka-pemuka desa terutama I Gusti Ngurah
Poh Landung, dilanjutkan dengan Patileman.
Upacara dilaksanakan dengan amat mewah.
Berita tentang meninggal dan upacara Atiwa-tiwa
Dalem Taruk di desa Pulesari telah sampai kepada
Dalem Ketut di Gelgel.
Dalem Ketut mengirim utusan untuk memanggil
putra- putra Dalem Taruk agar menghadap ke Gelgel.
Yang diutus adalah Kyayi Kaler saudara Kryan
Telabah.
I Dewa Gde Muter tidak bersedia menghadap.
I Dewa Gde Muter menyampaikan wasiat ayahnya
kepada adik adiknya, untuk tidak kembali ke
kota (Gelgel).
Adik-adiknya semua menurut.
Dalem Ketut sebagai raja Gelgel merasa kewibawaannya
diabaikan, padahal beliau tidak bermaksud buruk.
Maka utusan yang kedua dan ketiga untuk memanggil
putra-putra Dalem Taruk dikirmkan, tetap tidak
berhasil.
I Dewa Gde Muter memperoleh informasi bahwa
akan diserang oleh pasukan Dalem Gelgel, maka
ia mengadakan persiapan bersama pemuka-pemuka
masyarakat yang setia antara lain I Gusti Ngurah
Poh Landung, Gusti Ngurah Pande, Gusti Ngurah
Keladian, Gusti Agung Bekung, I Dewa Ngurah
Kubakal.
Dalem Ketut mengirim pasukan untuk menyerang
Dalem Taruk di bawah pimpinan Kyayi Anglurah
Denpasar, Kyayi Anglurah Tabanan, Kyayi Anglurah
Karangasem, Kyayi Anglurah Kapal.
Pertempuran hebat tak terelakkan, banyak korban
berjatuhan, akhirnya pertempuran dihentikan
dengan datangnya malam.
Dalem memanggil pasukannya, untuk tidak telanjur
banyak jatuh korban, diatur cara yang lain hingga
satu tahun terhenti.
Dalem mengirim utusan kembali yaitu Kyayi Buringkit,
karena ada hubungan keluarga dengan Kyayi Anglurah
Keladian, sama-sama keturunan Arya Belog.
Diadakan perundingan agar pemuka-pemuka masyarakat
jangan bertahan sebab Dalem bermaksud baik kepada
kemenakan-kemenakannya.
Utusan itu kembali melaporkan tiga orang perbekel
Kyayi Ngurah Pande, I Dewa Ngurah Kubakal, dan
I Gusti Ngurah Keladian bersedia membantu Dalem.
Namun I Gusti Gde Poh Tegeh, Gusti Ngurah Bekung
tetap bertahan bersama I Dewa Gde Muter.
Terpaksa dilakukan penyerangan yang kedua di
bawah pimpinan Kyayi Bandesa Kubon Tubuh, Kyayi
Anglurah Denpasar, Anglurah Tabanan, Anglurah
Kapal dengan pasukannya.
Terjadi pertempuran amat hebat.
Korban berguguran terutama gugurnya I Dewa Gde
Muter yang berhadapan dengan pasukan Anglurah
Denpasar dan Kyayi Kubon Tubuh. Gusti Poh Tegeh
hendak maju membela, namun dicegah oleh cucu-cucunya,
Gusti Gde Sekar, akhirnya menyatakan diri takluk.
Akhirnya diadakan perundingan gencatan senjata
di Nyanggelan. Keesokan harinya Gusti Ngurah
Poh Landung dan putra-putra Dalem Taruk lainnya
menghadap ke Gelgel, hanya Gusti Dangin tetap
tidak mau menghadap ke Gelgel, akhirnya malah
ke Buleleng.
Di tempat-tempat kejadian itu didirikan tugu-tugu
dan pura, antara lain di Sujang Kangin.
Setelah menghadap ke Gelgel, Dalem Ketut menerima
dengan senang hati, dan berpetuah kepada semua
putra Dalem Taruk, serta memberikan piagam untuk
dijadikan pedoman pelaksanaan upacara adat waktu
hidup dan pelaksanaan upacara kematian lengkap
dengan Gambar Kajang.
|
|
Nama/
Judul Babad : |
Babad Pulesari |
Koleksi
: |
I Nyoman Kusuma |
Alamat
: |
Lingkungan Banjar Tampuagan,
kelurahan Karangasem, Kecamatan Karangasem,
Kabupaten Karangasem |
Bahasa
: |
Bahasa Jawa Kuna |
Huruf
: |
Bali |
Jumlah
halaman : |
Jumlah halaman 64 lembar (1b
s/d 64b ) |
|
|
|
|
|
|
|