|
Pertama dinyatakan
bahwa isinya disadur dari Babad Badung yang
terdahulu, Usana Dalem Gelgel, Babad Blahbatuh,
Buleleng, Pararaton, Tabanan, juga keterangan-keterangan
dari orang-orang yang dapat dipercaya. Selanjutnya
pengarang meminta maaf atas segala kekurangannya.
Pengarang juga memohon ijin dan restu dari Tuhan
Yang Maha Esa, untuk menceriterakan Raja-raja
Badung terdahulu. Sirarya Kenceng, atas perintah
Gajah Mada setelah Bedahulu ditaklukkan oleh
Majapahit tahun Çaka 1256 (sastining
Bhuta manon janma) atau 1334 Masehi, beliau
penguasa daerah Tabanan, berkedudukan di desa
Pucangan atau Buwahan. Sirarya Kenceng berputra
empat orang:
a. Sri Magadha Prabu (sulung) tidak berkenan
menjadi raja.
b. Seorang putri diserahkan kepada Bandesa Pucangan,
termasuk lima orang anak angkat.
c. Sri Magadha Natha: bertahta menjadi raja
Tabanan.
d. Kyayi Ngurah Tegeh Kori (lahir dari lain
ibu) menjadi raja Badung berkedudukan di sebelah
kuburan umum, beliau membuat bendungan di Pegat.
Kyayi Ngurah Tegeh Kori berputra:
a. Kyayi Wayahan Tegeh.
b. Kyayi Made Tegeh,
c. Wanita, dikawini oleh Kyayi Asak Pakisan
di desa Kapal, tetapi tidak memperoleh keturunan.
Sri Magadha Nata (raja Tabanan) berputra tujuh
orang yang tertua bernama Sirarya Ngurah Agung
Rangwang (sedangkan yang lain-lain tidak disebutkan).
Kemudian Sri Magadha Natha bermukim di hutan
Matengguh. Kedudukannya digantikan oleh Sirarya
Ngurah Agung Rangwang dengan gelar Da Cokorda
Rangwang. Setelah bermukim di Matengguh Sri
Magadha Natha memperoleh seorang putra dari
istri Ni Luh Bandesa, diberi nama Kyayi Ketut
Bandesa atau Kyayi Ketut Pucangan, diajak oleh
kakaknya di istana Buwahan. Arya Ketut Bandesa
(=Pucangan), mempunyai ciri-ciri keluarbiasaan.
Maka ia tidak diperhatikan lagi oleh Da Cokorda
Rangwang dan saudara-saudaranya, karena takut
kalau- kalau kalah wibawa. Arya Ketut Bandesa
mengetahui, dan mengerti akan hal itu, maka
ia pun menyusup ke desa-desa menghibur dirinya.
Kemudian Arya Ketut Bandesa diuji kebolehannya,
oleh Da Cokorda Rangwang dengan tugas memangkas
pohon beringin yang dianggap angker. Hal itu
dilaksanakan dengan baik dan sukses. Akhirnya
diberi nama Arya Ketut Notor Wandira, dan hadiah
sebilah keris bernama Ki Cekle. Arya Ketut Notor
Waringin berputra dua orang. Tetapi tetap kurang
mendapat perhatian dari Cokorda Rangwang. Maka
ia pun mengembara untuk memperoleh wahyu. Di
desa Tambyak ia dapat memungut seorang anak
diberi nama Ki Tambyak langsung dibawa ke rumahnya
dijadikan abdi. Suatu saat beryoga di Pura Danau
Batur, diikuti oleh Ki Tambyak. Di sana ia memperoleh
wahyu dari Bhatari Danu, agar segera menghadap
Anglurah Tegeh Kori di Badung sebagai awal untuk
memperoleh kewibawaan, Entah berapa lama berselang,
Arya Ketut Notor Waringin pun pergi ke Badung
bersama anak istri dan Ki Tambyak. Mereka diterima
dengan baik oleh Pangeran Tegeh Kori. Dan Arya
Ketut Pucangan (Notor Waringin) dipersaudarakan
dengan kedua orang putranya, diganti namanya
dengan Kyayi Nyoman Tegeh. Pangeran Tegeh Kori
akhirnya lebih cinta dengan Kyayi Nyoman Tegeh
dari pada anak-anak kandungnya sendiri yang
selalu mengingkari nasehat dan perintah orang
tuanya. Akhirnya segala urusan ke hadapan Dalem
Gelgel juga diwakili oleh Kyayi Nyoman Tegeh,
sehingga Dalem pun sangat cinta dan percaya
kepadanya. Rakyatnya bertambah- tambah pula.
Kyayi Nyoman Tegeh atas bantuan Ki Tambyak berhasil
menguasai daerah Sumreta, Ki Tambyak diberi
nama Ki Handagala karena ia sebagai andalan
tuannya. Karena Pangeran Tegeh Kori sangat cinta
dan percaya kepada Kyayi Nyoman Tegeh maka ia
diangkat menjadi Raja Badung. Datang pula tiga
orang saudaranya dari Pucangan Tabanan, Kyayi
Samping Boni, Kyayi Nyoman Batan Ancak, Kyayi
Ketut Lebah, atas perintah Dalem agar menetap
di Badung sebagai pendamping raja Badung. Sedangkan
Kyayi Gede Tegeh dan Kyayi Made Tegeh (anak
kandung Pangeran Tegeh Kori) semakin lama semakin
surut wibawanya. Sedangkan kekuasaan Pangeran
Tegeh Kori digantikan oleh raja Badung Kyayi
Nyoman Tegeh (Arya Ketut Notor Wandira = Arya
Ketut Bandesa = Arya Ketut Pucangan), Raja Badung
Kyayi Nyoman Tegeh sempat pula membalas budi
Ki Handagala dengan surat wasiat yang berisikan
antara lain, tidak boleh dijatuhi hukuman mati
hingga turun temurun. Kyayi Nyoman Tegeh (Raja
Badung I) mempunyai dua orang putra, yang pria
bernama Kyayi Gede Raka dengan nama lain Kyayi
Ngurah Papak, adiknya wanita bernama Ratu Ayu
Pamadekan yang menikah dengan Anglurah Agung
Tabanan mempunyai keturunan. Juga Kyayi Nengah
Samping Boni, Kyayi Nyoman Batan Ancak, dan
Kyayi Ketut Lebah, masing-masing mempunyai keturunan
yang kemudian berpindah-pindah. Setelah raja
Badung Kyayi Nyoman Tegeh wafat, lalu digantikan
oleh putranya Kyayi Ngurah Papak (Raja Badung
II). Dengan Ki Handagala sebagai andalan raja.
Setelah wafat, Kyayi Ngurah Papak (raja Badung
II) digantikan oleh putranya yang sulung Kyayi
Putu Tegeh (raja Badung III) didampingi oleh
adiknya bernama Kyayi Bebed, dengan andalan,
Ki Handagala. Pada saat bertahta, Kyayi Putu
Tegeh, pernah dikirim bertempur oleh Dalem Sukasada
(?), bersama Kyayi Ngurah Telabah di Kuta, dan
Kyayi Ngurah Tabanan, menyerang I Kebo Mundar
di Sasak. Kyayi Telabah melarikan diri karena
dikalahkan oleh Kebo Mundar, kemudian digantikan
oleh Kyayi Anglurah Tabanan dan Badung, hingga
Ki Kebo Mundar takut dan takluk. Dalem menghukum
Kyayi Telabah, dengan menyerahkan rakyat kekuasaannya
kepada Kyayi Putu Tegeh (raja Badung III). Namun
Kyayi Telabah tidak mentaati, maka timbul bentrokan
antara Badung dengan Kuta. Kyayi Putu Tegeh
gugur. Lalu Kyayi Bebed mengadakan serangan
balasan, akhirnya Badung menang, Kyayi Bebed
menduduki tahta kerajaan menggantikan kakaknya
bergelar Sirarya Anglurah Bebed (raja Badung
IV) dengan luas wilayah hingga ke Kuta. Sebagai
peringatan atas gugurnya Kyayi Putu Tegeh di
Sungai Dawa, maka Sirarya Anglurah Bebed berkaul
berpantang mandi di Sungai Dawa hingga turun
temurun. Raja Badung IV mempunyai tiga orang
istri:
a. Sri Jambe Harum (ber-ibu Bandesa Pucangan)
berputra Kyayi Anglurah Jambe Mrik, ahli menyumpit
diberi nama julukan Sang Dewa Bagus Anulup.
Beliau berhasil mematahkan sayap Burung Gagak
yang selalu mengganggu santapan Dalem Dimade.
b. Stri Panataran dari Babandem , berputra Kyayi
Anglurah Macan Gading, ahli bermain cemeti diberi
nama julukan Sang Dewa Bagus Amecut. Diuji kecakapannya
oleh Dalem Gelgel, hingga amat disayang.
c. Jro Kame, dari Tumbak Bayuh, berputra Kyayi
Pangkung Tumbak Bayuh (anak tertua).
Para putri raja Badung di antaranya:
a. Stri Jambe, menjadi istri Dalem Dimade di
Gelgel, berputra I Dewa Agung Ketut Jambe pendiri
dan raja I kerajaan Klungkung.
b. Seorang putri ber-ibu dari Tabanan menikah
dengan Kyayi Anglurah Agung Dimade, patih kerajaan
Gelgel, berputra Ki Agung Anom Kapal, menurunkan
raja I Mengwi.
c. Seorang putri yang ber-ibu Stri Panataran,
menikah dengan Pangeran Pagedangan di Kesiman
tanpa keturunan.
Kisah terjadi nama Tahen Siyat, yaitu peperangan
antara Badung dengan Den Bukit, Kyayi Ngurah
Panji Sakti menyerang Badung. Akhirnya terjadi
perdamaian.
Pada masa pemerintahan Anglurah Bebed di Badung,
di Gelgel terjadi perebutan kekuasaan dari Dalem
Dimade oleh Kyayi Anglurah Agung Dimade dengan
nana lain Kyayi Agung Maruti dan Gusti Made
Janggaran dengan nama lain Kyayi Agung Badeng.
Dalem Dimade mengungsi ke Guliang, hingga wafat
di sana. Putra Dalem Dimade I Dewa Pemayun dan
I Dewa Ketut Jambe berunding, tetapi hanya I
Dewa Ketut Jambe saja hendak merebut kembali
Keraton Gelgel, dibantu oleh Kyayi Ngurah Singarsa.
Kyayi Ngurah Panji dan keturunan raja Badung.
Pertempuran pun terjadi dari beberapa penjuru.
Pasukan Badung mengepung dari arah selatan.
Terjadi peperangan di Handoga, banyak korban
berguguran prajurit Badung mundur dan tinggal
pemimpinnya tidak mundur setapak pun. Kemudian
pasukannya maju lagi setelah tuannya mereka
lihat ada di depan. Disela oleh malam maka pertempuran
berakhir. Tak terhitung bekas-bekas luka pada
badan raja Badung, namun beliau kembali dengan
selamat sejak itu diberi Gelar Sri Angrurah
Jambe Pule. Sri Angrurah Jambe Pule berputra
tiga orang:
a. Sirarya Angrurah Jambe Mrik beristana di
sebelah Timur Sungai Badung, sebelah pasar bernama
Rajya Lang Tegeh atau Puri Peken Badung bertahta
sebagai raja Badung.
b. Sirarya Angrurah Macan Gading, beristana
di sebelah Barat Sungai Badung, di desa Pamedilan,
bernama Puri Pamecutan. Kemudian bergelar Angrurah
Pamedilan atau Angrurah Pamecutan. Beliau orang
kedua di kerajaan Badung.
c. Kyayi Tumbak Bayuh beristana di Gelogor bernama
Puri Gelogor, bergelar Kyayi Angrurah Gelogor.
Beliau sebagai patih dari kedua adiknya. Mempunyai
keturunan para Gusti Gelogor dan Puri Oka di
Denpasar.
Ketiga bersaudara itu amat rukun memimpin pemerintahan,
sama- sama cakap dan bijaksana.
Tersebut bahwa raja Badung yang bernama Sirarya
Ngurah Jambe Mrik telah disetujui oleh Kyayi
Tegeh Kori untuk menikah dengan putrinya. Namun
Kyayi Tegeh Kori tidak tetap pendirian, ia hendak
menyerahkan putrinya itu kepada Kyayi Ngurah
Agung Dimade (=Maruti) yang dulu pindah dari
Gelgel ke Jimbaran, dan dari Jimbaran ke Kapal.
Karena dendam hati raja Badung, maka Kyayi Tegeh
Kori diserbu, segera terkalahkan, ia bersama
putrinya mengungsi ke Mengwi. Putrinya diperistri
oleh Kyayi Agung Maruti. Sanak keluarga Kyayi
Tegeh Kori yang tinggal di rumahnya semua diturunkan
derajat kebangsawanannya menjadi "Wangsa
Dukuh". Maka seluruh wilayah Badung menjadi
wilayah kekuasaan Raja Badung, Yakni Sirarya
Ngurah Jambe Mrik, beliau berputra empat orang.
Demikian tentang Badung di sebelah timur sungai.
Tersebut bahwa Sirarya Macan Gading (Sri Angrurah
Mecutan) di sebelah barat sungai Badung, amat
setia kepada Dalem Smarawijaya (Klungkung).
Beliau berputra empat orang, tiga orang pria,
Sirarya Ngurah Pamecutan, Gusti Made Tegal Cempaka,
dan Ki Gusti Telabah. Sirarya Macan Gading gugur
dalam peperangan melawan Sirarya Agung Maruti,
maka didirikan Pura Watuklotok dan Sirarya Macan
Gading disebut "Bhatara Maring Klotok".
Pada masa pemerintahan Sirarya Macan Gading
Kyayi Beranjingan cucu Kyayi Nyoman Batan Ancak
(Tabanan), dapat menaklukkan desa Intaran, maka
ia berkuasa di Intaran Abyan Timbul.
Para putra Sirarya Jambe Mrik:
a. Sirarya Jambe Ketewel, menggantikan menjadi
raja Badung.
b. Kyayi Gede Kuta Ubud (ber-ibu dari Kuta),
terbentuklah Jro Kuta, banyak keturunan "Para
Gusti Jro Kuta".
c. Kyayi Ngejung, tidak mempunyai keturunan.
d. Kyayi Pahang.
Sirarya Jambe Ketewel berputra delapan orang.
a. Sirarya Jambe Tangkeban menggantikan kedudukan
raja Badung.
b. Dan lain-lainnya,
Sirarya Jambe Tangkeban menikah dengan putri
Arya Ngurah Mecutan Sakti, tetapi tidak memperoleh
keturunan, beliau ingin memohon "putra
padana" dari Dalem, Smarapura maka dipersembahkan
seorang istri yang cantik kepada Dalem kemudian
memperoleh seorang anak pria bernama Sri Jambe
Aji, nama lainnya Jambe Haeng. Selain putra
padana itu beliau mempunyai putra dari lain
ibu bernama Kyayi Panataran, Kyayi Kerangehan,
Kyayi Munang, dan Kyayi Ketut Kebon, Sri Aji
Jambe Tangkeban, setelah wafat diberi julukan
Sang Mur Ring Pajejekan. Sri Jambe Aji menggantikan
ayahnya menjadi raja Badung. Permaisurinya bernama
Ratu Ayu Bun, putri Sirarya Ngurah Mecutan yang
wafat di Ukiran. Beliau mendirikan istana disebut
Puri Ksatria. Istana terdahulu ditinggalkan
yang tinggal hanya puranya saja yang disebut
Puru Suci. Beliau wafat dan meninggalkan para
putra: Sri Aji Jambe Ksatria, Kyayi Agung Made
Jambe, Kyayi Agung Anom Jambe menggantikan di
Jro Kuta. Permaisurinya putri Arya Ngurah Mecutan
Bija. Sri Aji Jambe Ksatria bertahta sebagai
raja Badung, istri beliau putri Arya Ngurah
Gede Mecutan Bija.
Badung sebelah barat sungai:
Para putra Arya Ngurah Mecutan Macan Gading
(Bhatara Maring Klotok), di istana Pamecutan,
berputra empat orang:
a. Nararya Ngurah Mecutan Sakti, menggantikan
kedudukan ayahnya.
b. Kyayi Made Tegal Cempaka, beristana di Tegal
mempunyai keturunan di Tegal.
c. Kyayi Ketut Telabah tidak memperoleh keturunan.
d. Seorang putri kawin ke geria Sanur berputra
Ida Ngenjung.
Nararya Ngurah Mecutan Sakti banyak istri dan
para putranya 42 orang. Di antara putranya yang
utama Nararya Angrurah Bagus Anulup, Nararya
Anglurah Pamecutan, beristana di Ukiran), Nararya
Nglurah Mayun beristana di Kesiman di timur
sungai, Kyayi Agung Gede Oka (Puri Kaleran Kawan),
sedangkan para putra penawing semua telah memiliki
rumah masing-masing sebanyak 32 orang. Keturunan
Kyandanggala (Ki Handagala) dimukimkan ke Bukit
karena kesalahan salah seorang keluarganya,
sedangkan mereka tidak boleh dijatuhi hukuman
mati. Setelah Anglurah Mecutan Sakti wafat maka
Nararya Anglurah Mecutan kembali dari Ukiran,
karena Anglurah Bagus Anulup telah wafat lebih
dahulu, maka Nararya Anglurah Mecutan bertahta
di Puri Agung Mecutan menggantikan ayahnya bergelar
Arya Ngurah Mecutan Ukiran. Beliau berputra
utama Arya Ngurah Mecutan Bija (ber-ibu Tosing
Pinatih Bun), dan yang wanita menikah dengan
Sri Jambe Aji di Puri Ksatria:
Para putra panawing masing-masing telah mempunyai
rumah dan seorang menetap di Ukiran.
Arya Mecutan Bija menggantikan Arya Mecutan
Ukiran. Kyayi Gede Kapaon dipindahkan dari puri
Ukiran ke Batan Kamoning, dan puri Ukiran dijadikan
pasanggrahan Dalem Smarapura (Klungkung). Arya
Mecutan Bija dianggap orang kedua dari raja
Badung (Ksatria).
Arya Ngurah Mecutan Bija digantikan oleh putranya
Arya Ngurah Gede Raka bergelar Arya Ngurah Gede
Mecutan, sedangkan adiknya Kyayi Ngurah Rai
di puri Kanginan atau puri Lanang. Pada masa
pemerintahan Arya Ngurah Mecutan Bija, terjadi
percekcokan antara Sri Aji Jambe Puri Ksatria
dengan Puri Kaleran Kawan. Sedangkan Arya Ngurah
Mecutan Bija tidak berada di salah satu pihak
tetap di tengah-tengah. Ternyata Puri Ksatria
dikalahkan. Sejak itu berdiri Puri Agung Denpasar
dengan rajanya Arya Agung Made Ngurah Denpasar.
Dan sejak itu pula di Badung ada dua raja, Mecutan
dan Denpasar.
Arya Ngurah Made Pamecutan, putra Arya Ngurah
Mecutan Bija menggantikan kedudukan ayahnya
bergelar Arya Ngurah Gede Mecutan. Beliau berputra
banyak jumlahnya.
Arya Ngurah Gede Mecutan setelah wafat diberi
gelar Bhatara Mur Ing Gedong atau Kurbasana,
digantikan oleh menantunya yang bernama Kyayi
Ngurah Gede Oka dari Puri Kanginan bergelar
Arya Agung Ngurah Mecutan. Beliau wafat di Madarda,
diberi julukan Bhatara Mur Ing Madarda.
Arya Ngurah Mecutan, beristri dari Puri Kelodan
Denpasar. Tahun Çaka 1814 atau tahun
1392 Masehi, Mengwi dikuasai oleh Badung. Tahun
Çaka 1820 atau tahun 1906 Masehi Badung
dikalahkan oleh Belanda, Arya Ngurah Mecutan
gugur bersama ibu dan anak istrinya, terkenal
dengan Bhatara Mur Ing Rana.
Puri Kanginan:
Pertama Kyayi Ngurah Rai putra Arya Ngurah Gede
Mecutan Bija. Beliau berputra pria seorang bernama
Kryan Agung Gede Lanang. Kryan Agung Gede Lanang
berputra dua orang Kyayi Ngurah Gede Oka yang
menggantikan di puri Mecutan Kyayi Ngurah Gede
Lanang di Puri Mecutan sendiri dan selanjutnya
turun temurun di Puri Mecutan Kanginan.
Puri Kaleran Kawan:
Pendiri Puri Kaleran Kawan ialah Kyayi Agung
Gede Oka putra Arya Ngurah Mecutan Sakti ber-ibu
Ratu Istri Bongan putri I Gusti Agung Dimade
di Kapal Mengwi, beliau berputra empat orang:
a. Kyayi Agung Gede menggantikan kekuasaan ayahnya.
b, Kyayi Gede Tegal Ayu, tidak mempunyai keturunan.
c. Kyayi Ketut Kaler berdiam di Tahitih.
d. Seorang putri menikah dengan Kyayi Ngurah
Kabakaba.
Pada masa pemerintahan Kyayi Agung Gede terjadi
percekcokan antara Kyayi Agung Gede dengan Sri
Aji Jambe Ksatria. Tetapi lama kelamaan atas
usaha Kyayi Agung Rai Ksatria dapat dikalahkan.
Salah seorang dari anak Kyayi Agung Made Jambe
dibuang ke tanah Jawa kemudian terkenal gagah
berani dalam peperangan bernama Surapati. Pada
waktu itu daerah Batubulan diserahkan pada raja
Gianyar (Anak Agung Manggis) yang membantu Puri
Kaleran Kawan. Setelah itu Puri Kaleran Kawan
membuat istana untuk para putranya, antara lain
Kyayi Agung Made Ngurah di Puri Denpasar, Kyayi
Agung Alit Pemecutan di Puri Kaleran Kangin,
Kyayi Agung Ketut di Puri Tegal.
Puri Denpasar:
Kyayi Agung Made Ngurah, menggantikan kedudukan
Sri Aji Jambe Ksatria, beliau bergelar Nararya
Agung Made Ngurah Pamecutan. Raja Pamecutan
dan Raja Denpasar bekerja sama yang baik, Kyayi
Agung Made Ngurah banyak istri dan anak-anaknya,
Salah seorang putranya diam di Kesiman sebelah
barat yang pertama-tama bersahabat dengan Belanda.
Putra yang menggantikan beliau bernama Nararya
Agung Gede Ngurah Pamecutan. Nararya Agung Gede
Ngurah Pamecutan wafat di Puri Ksatria digantikan
oleh Kyayi Agung Gede Oka yang semula diam di
Titih kembali ke Puri Denpasar. Kyayi Agung
Gede Oka di Puri Denpasar. Beliau menundukkan
desa Buduk. Beliau terkenal dengan sebutan Sang
Mur Ing Gaduh. Putranya dua orang wanita masih
kanak-kanak.
Puri Kelodan Denpasar:
Kyayi Agung Made Oka (Dewata Mur Ing Galungan)
para putranya:
a. Kyayi Agung Gede Ngurah, menggantikan di
Puri Denpasar,
b. Kyayi Agung Made Oka menggantikan ayahnya.
c. Kyayi Agung Gede Rai bermukim di Puri Anyar.
Kyayi Agung Gede Ngurah di Puri Denpasar: bergelar
Nararya Gede Ngurah Pamecutan, memperistri kedua
putri Kyayi Agung Gede Oka di Puri Denpasar.
Juga banyak istri yang lain hingga para putranya
banyak pula. Antara lain:
Nararya Agung Made Agung yang lahir tahun Çaka
1798, atau tahun 1876 Masehi. Pada masa pemerintahan
Nararya Agung Gede Ngurah Pamecutan, dimulai
lagi upacara pelebon menggunakan usungan tingkat
sembilan berkat restu Dewa Agung putra raja
Klungkung. Dan pada masa ini pula terjadi percekcokan
Badung dan Mengwi. Baginda wafat tahun Çaka
1812 (tahun 1890 Masehi), dengan upacara pelebon
tahun Çaka 1117 (tahun 1895 Masehi).
Kemudian beliau terkenal dengan julukan Maharaja
Dewata Cokorda Basmi. Digantikan oleh putranya
Nararya Agung Alit Ngurah Pamecutan (Cokorde
Gede atau Cokorda Raka) di Puri Denpasar.
Nararya Agung Ngurah Alit Pamecutan (puri Denpasar)
didampingi oleh: Kyayi Arya Gede Jambe Puri
Lalangon, Kyayi Agung Ngurah Kajanan Puri Balaluan,
Kyayi Agung Anglurah Kesiman. Pada tahun Çaka
1813 (tahun 1831 Masehi), Mengwi dikalahkan
dan menjadi daerah kekuasaan Badung. Baginda
raja wafat tahun Çaka 1822/ tahun 1900
Masehi bergelar Cokorda Mantuk Ring Ksatria.
Dewata Mur Ing Ksatria digantikan oleh adiknya
bernama Kyayi Agung Made Agung bergelar Nararya
Agung Made Ngurah Agung Mecutan (Cokorda Made),
di Puri Denpasar. Seorang raja yang bijaksana
cerdas dan sastrawan. Setelah lima tahun baginda
bertahta sebuah perahu Cina berlabuh di pantai
Sanur, dijarah oleh rakyat Badung. Hal itu dilaporkan
pada raja Buleleng dan residen Bali Lombok,
Raja Badung dipaksa agar membayar ganti rugi,
namun beliau menolak. Belanda menyerang Badung,
terjadi peperangan yang hebat. Raja Badung dengan
sanak saudara dengan pengikut-pengikutnya semua
tak kenal menyerah hingga akhirnya ditaklukkan
oleh Belanda pada tahun Çaka 1828 (Asti
Mata Bujaga Tunggal) = tahun 1906 Masehi.
|