Prawacana
(pangaksama) penulis mohon ijin dan restu kepada
Ida Sanghyang Widdhi dan Bhatara Ra Hyang Dimaharaja
Manu agar memperoleh keselamatan dan berhasil
dalam karyanya.
Bhatara Ra
Hyang Dimaharaja Manu turun di Tanah Jawa pada
tahun Çaka 530 (tahun 608 Masehi), bulan
Citra, hari kedua belas bulan hidup, wuku Julung
Pujut. Baginda bermukim di Medang Kemulan, seraya
mengadakan Yoga Samadhi. Sehingga tanah Jawa
menjadi aman dan makmur semenjak Baginda Ra
Hyang Dimaharaja Manu bertahta.
Baginda memperoleh
keturunan bernama Sri Jaya Langit, Sri Jaya
Langit berputra Sri Wreti Kandayun, Sri Wreti
Kandayun berputra Sri Kameswara Paradewasikan.
Sri Kameswara Paradewasikan berputra Sri Dharmawangsa
Teguh Ananta Wikrama Tunggadewa. Baginda Sri
Dharmawangsa seorang raja besar di tanah Jawa,
amat berjasa dalam bidang sastra, pada zamannya
disalin naskah- naskah Asta Dasa Parwa ke dalam
bahasa Jawa Kuna. Negara aman makmur dan sentosa.
Sri Dharmawangsa berputra Sri Kameswara dan
Dewi Guna Priya Darmapatni, kawin dengan Sri
Udayana melahirkan Erlangga dan Anak Wungsu,
Sri Kameswara berputra Sri Kreta Darma, Tunggul
Ametung, dan Dewi Gori. Kemudian mengangkat
anak bernama Erlangga dari Bali, berkedudukan
di Daha.
Erlangga berputra
4, Sri Dewi Kili Endang Suci (putri), Sri Jayabaya,
Jayasaba, dan Arya Buru. Sri Jayabaya dan Sri
Jayasaba dua saudara yang selalu bertengkar.
Sri Jayabaya
berputra tiga orang; Sri Dangdang Gendis, Sri
Çiwa Wandira, Sri Jaya Kusuma.
Sri Dangdang
Gendis berputra Sri Jayakatong. Sri Jayakatong
berputra Sri Jaya Kata. Sri Jaya Kata berputra
Arya Wayahan Dalem Manyeneng (cikal bakal Arya
Gajah Para dan Getas), Arya Katanggaran (cikal
bakal Arya Kanuruhan) dan Arya Nudata.
Sri Çiwa
Wandira berputra Sri Jaya Waringin (cikal bakal
Arya Kutawaringin). Terjadi kesalahapahaman
antara Prabu Dangdang Gendis dengan para pendeta,
para pendeta mengungsi ke Tumapel mohon bantuan
Ken Arok raja Singasari. Kemudian Ken Arok menggempur
Negara Galuh (Kediri), akhirnya Kediri dikuasai
oleh Singasari.
Keturunan Dangdang Gendis, Jaya Kata dan Jaya
Waringin ditawan di Tumapel, di sana Jaya Kata
mengadakan keturunan. Jaya Waringin kawin dengan
warga Kebo Ijo bernama Gandhi Gari berputra
Arya Kutewandira, Arya Kutewandira berputra
Arya Kutewaringin yang kemudian turun ke Bali.
Sri Jayasaba:
berputra Sira Arya Kediri. Sira Arya Kediri
berputra Sira Arya Kepakisan, kemudian turun
ke Bali mengembangkan keturunannya di Bali.
Singasari mengalami kemunduran. Sedangkan Kerajaan
Majapahit menanjak kebesarannya, terutama pada
masa Maha Patih Gajah Mada sebagai mangkubumi.
Terjadi ekspedisi Gajah Mada (Majapahit) ke
Bali. Penyerangan dari tiga jurusan. Dari timur:
Gajah Mada dibantu oleh patih yang lain berlabuh
di Tianyar. Dari arah utara, Arya Damar, Arya
Sentong, Arya Kutewaringin berlabuh di Ularan.
Dari selatan, Arya Kenceng, Arya Belog, Arya
Pangalasan, Arya Kanuruhan, mendarat di Kuta.
Terjadi pertempuran antara pasukan Majapahit
dengan Bali, banyak korban jatuh di pihak pasukan
Bali, terutama para patih raja-raja Bali yang
bermukim di desa-desa. Hanya tinggal Ki Pasung
Grigis bertahan di desa Tengkulak, Raja Bedahulu
telah gugur lebih dulu.
Pada suatu
malam Gajah Mada dan Arya Damar merencanakan
suatu siasat untuk menangkap Pasung Grigis hidup-hidup.
Keesokan harinya, dengan pura-pura menyerah,
dan dengan tipu muslihat yang licin, pasukan
Majapahit berhasil menawan Ki Pasung Grigis.
Dengan demikian maka Bali dinyatakan telah menjadi
daerah taklukan Majapahit.
Raja Majapahit mengutus Ki Kuda Pangasih menjemput
Gajah Mada agar segera kembali ke Majapahit.
Segera Gajah Mada mengatur penempatan para Arya
di Bali yaitu:
- Sira Arya Kutewaringin di Gelgel
- Sira Arya Kenceng di Tabanan
- Sirarya Belog, di Kabakaba
- Sirarya Dalancang di Kapal
- Sirarya Belentong di Pacung
- Sirarya Sentong di Carangsari
- Sirarya Kanuruhan Singasardula di Tangkas
- Kryan Punta di Mambal
- Kryan Jrudeh di Tamukti
- Kryan Tumenggung di Patemon
- Arya Demung Wangbang Kediri di Kretalangu
- Arya Sura Wangbang Lasem di Sukahet
- Arya Wangbang Mataram tidak menetap di suatu
tempat
- Arya Melel Cengkrong di Jembrana
- Arya Pamacekan di Bondalem
Pada saat
Bali ditaklukkan oleh Majapahit, bertahta Raja
Kala Gemet. Patih Gajah Mada merasa cemas melihat
pulau Bali yang belum ada kepala pemerintahannya.
Apalagi rakyat Bali telah mengirim utusan agar
segera ditetapkan seorang pemimpin. Kemudian
Maha Patih Gajah Mada mengirim seorang adipati
untuk memimpin pulau Bali bernama Dalem Ketut
Kresna Kepakisan tahun Çaka 1274. (yogan;
muni; rwaning; buana) atau tahun Masehi 1352,
Patih Agung Sirarya Kepakisan, orang kedua Sirarya
Kutewaringin, tangan kanan Sirarya Kanuruhan
dibantu oleh para Arya yang lain.
Arya Kutewaringin
yang juga menjabat "Tumenggung" amat
besar jasanya dalam menciptakan keamanan, kemakmuran,
dan kesentosaan negara. Beliau berputra empat
orang, pria dan wanita. Yang pria bernama Kyayi
Klapodyana, Kyayi Parembu, dan Kyayi Cenda.
Sedangkan yang wanita, seorang, bernama I Gusti
Ayu Kutewaringin, kemudian menjadi permaisuri
Dalem Ketut Kresna Kepakisan. Setelah Arya Kutewaringin
lanjut usia, beliau digantikan oleh putranya
yang sulung Kyayi Klapodyana yang bergelar Kyayi
Gusti Agung Bandesa Gelgel.
Dalem Ketut
Kresna Kepakisan wafat pada tahun. Çaka
1302 (mangrwa; sunia; ikang- tri; buana) atau
tahun 1380 Masehi. Baginda berputra empat, Dalem
Ile, Dalem Taruk, Dalem Ketut
dan Ida I Dewa Tegal Besung yang masih
kecil dan lahir dari I Gusti Ayu Kutewaringin.
Almarhum digantikan
oleh putranya yang sulung yaitu Dalem Ile yang
terkenal dengan sebutan Dalem Samprangan. Baginda
ini tidak betah mengendalikan roda pemerintahan.
Pada suatu
ketika Kyayi Gusti Agung Bandesa Gelgel, serta
para Arya yang lain menghadap ke istana Samprangan,
namun seperti biasa, Dalem Samprangan tidak
kunjung menemui di balairung karena asik mempertampan
diri. Hal seperti itu memang sering terjadi,
sehingga adiknya, Dalem Taruk terpaksa mengirim
utusan bernama Kuda Panandang Kajar menjemput
adindanya lagi, Dalem Ketut, tetapi nampaknya
Dalem Ketut menolak untuk datang.
Akhirnya Kyayi
Gusti Agung Bandesa Gelgel karena tekadnya yang
bulat ingin mempertahankan keamanan, kemakmuran,
dan kesentosaan negara, seolah-olah memperoleh
inspirasi untuk menjemput Dalem Ketut ke desa
Pandak. Dalam pikirannya, putra Dalem yang juga
kemenakannya sendiri yaitu Ida I Dewa Tegal
Besung masih kanak-kanak, dianggap belum mampu
mengendalikan pemerintahan.
Dengan segala
kemampuan dan daya upaya Kyayi Gusti Agung Bandesa
Gelgel berhasil membujuk Dalem Ketut agar berkenan
menduduki tahta kerajaan berkedudukan di Gelgel.
Dengan ikhlas pula Kyayi Gusti Agung Bandesa
Gelgel mempersembahkan rumahnya untuk istana
baginda Dalem Ketut, keraton tersebut diberi
nama Suwecalinggarsapura. Meskipun Dalem Samprangan
mengetahui hal itu, namun baginda tidak menghiraukannya.
Terjadi kesalahpahaman
Kyayi Nyuhaya karena putrinya yang bernama I
Gusti Ayu Adi dikawini oleh Kyayi Gusti Agung
Bandesa Gelgel (Klapodyana). Kyayi Nyuhaya keberatan
karena tidak tahu asal-usul kebangsawanan Kyayi
Klapodyana, hingga bermohon kepada Dalem untuk
membunuh Kyayi Klapodyana. Baginda Dalem yang
sangat berhutang budi kepada Kyayi Klapodyana
berusaha sekuatnya, mencari jalan penyelesaian
yang baik.
Baginda mendekati
kedua belah pihak, agar timbul saling-pengertian.
Lalu diadakan suatu pertemuan, di dalam pertemuan
itu Kyayi Klapodyana mampu menunjukkan yang
dituntut oleh Kyayi Nyuhaya. Dikuatkan dengan
pembuktian kebangsawanannya yang bernama "Candri
Sawalan", dipersembahkan kepada Dalem,
seraya dibaca dan ternyata Kyayi Nyuhaya keturunan
Sri Jayasaba dan Kyayi Klapodyana keturunan
Sri Jayabaya. Kyayi Nyuhaya tampaknya belum
puas menuntut agar Kyayi Klapodyana mempersembahkan
sebutir kelapa yang sama besarnya dengan kelapa
yang dibawa oleh Kyayi Nyuhaya.
Berkat anugrah
Ida Sanghyang Widdhi pada pertemuan yang kedua,
Kyayi Klapodyana berhasil memenuhi tuntutan
itu, baginda raja menyatakan bahwa benar mereka
sedarah seketurunan. Untuk lebih memuaskan ayah
mertuanya, Kyayi Klapodyana mohon ijin untuk
mengangkat sumpah (sapata) atas kebenaran asal-usul
kebangsawanannya itu, segera dilaksanakannya.
Mulai saat
itu baginda raja mempersatukan Kyayi Nyuhaya
dan Kyayi Klapodyana dan keluarganya masing-masing
dalam suatu ikatan keluarga yang menyatu. Kyayi
Klapodyana berputra empat orang pria wanita,
yang sulung putri bernama I Gusti Ayu Mider
menjadi permaisuri Dalem Waturenggong. Adiknya,
Kyayi Lurah Abian Tubuh, Kyayi Lurah Karang
Abian, dan yang bungsu wanita bernama Winiayu
Abian menikah dengan Pangeran Kayumas. Kyayi
Parembu berputra Kyayi Wayahan Kutewaringin,
Kyayi Madya Kuteraksa, Kyayi Wantilan, dan satu
wanita Winiayu Reresik. Kyayi Candi berputra
Kyayi Candigara, dan Kyayi Jaya Paguyangan.
Utusan raja
Blangbangan datang menghadap raja Gelgel (Bali).
Sri Aji Smara Kepakisan mohon bantuan pengamanan
sebab kerajaan Blangbangan dirusak oleh harimau
hitam. Baginda raja mengutus Kyayi Klapodyana
untuk melaksanakan penumpasan ke Blangbangan,
bersenjatakan sumpitan hadiah baginda raja Bali,
Kyayi Klapodyana berangkat dan telah tiba di
Blangbangan, perjalanannya itu disusul pula
oleh Kyayi Nyuhaya. Berkat ketangkasan Kyayi
Klapodyana harimau itu dapat dibunuh oleh Kyayi
Klapodyana, kemudian barulah tiba Kyayi Nyuhaya.
Karena tugasnya telah tuntas maka mereka pun
kembali ke Bali. Kyayi Klapodyana melaporkan
kepada baginda raja Bali bahwa harimau itu telah
mati, sebagai bukti beliau mempersembahkan kulit
harimau itu.
Baginda raja
Bali amat gembira. Sebagai imbalan atas jasa-jasa
Kyayi Klapodyana baginda raja Bali menganugrahkan
piagam yang berisi catatan hak penghormatan
dan penghargaan serta tata cara upakara dan
upacara pelaksanaan upacara semasa masih hidup
hingga upacara kematian untuk turun-temurun.
Selaku penghargaan pula atas jasa Kyayi Klapodyana,
maka baginda raja Bali menyerahkan sebuah pura
Kahyangan "Dalem Tugu". Kyayi Nyuhaya
berkewajiban menyimpan "Aji Purana"
dengan catatan setiap upacara piodalan di Pura
Dalem Tugu harus diusung ke Dalem Tugu untuk
diupacarai. Bila upacara telah selesai, "Aji
Purana" itu disimpan kembali oleh Kyayi
Nyuhaya. Sedangkan sumpitan pemberian raja Bali
dulu, tetap menjadi milik Kyayi Klapodyana.
Dalem Taruk karena amat kasih kepada Kuda Panandang
Kajar, baginda mengawinkan secara paksa dengan
Sri Dewi Muter putri Dalem Ile. Malang bagi
kedua mempelai itu mereka terbunuh berkat kesaktian
keris Ki Tanda Langlang yang konon bisa pergi
dengan sendirinya. Dalem Ile amat murka, seraya
memerintahkan untuk menangkap Dalem Taruk. Dalem
Taruk telah lebih dulu melarikan diri, hingga
sulit untuk didapatkan karena rakyat pegunungan
berusaha menyembunyikan diri baginda. Kyayi
Parembu yang memimpin rombongan mengejar Dalem
Taruk merasa putus asa kembali dengan tangan
hampa. Ketika Dalem Taruk sedang bersembunyi
pada Kyayi Poh Tegeh, maka Kyayi Parembu diperintahkan
lagi untuk menangkap Dalem Taruk. Kyayi Parembu
dengan putranya yang sulung Kyayi Wayahan Kutewaringin
berangkat dengan rombongannya, menyusup ke desa-desa
berjumpa dengan Ki Dukuh Sekar, memperoleh keterangan
bahwa Dalem Taruk telah lama pindah dari sana.
Dengan amat sedih dan menyesal Kyayi Parembu
akhirnya menetap di Bubung Tegeh, karena menyadari
seolah-olah tidak mampu membalas budi tuannya,
Sebagian pengikutnya dikembalikan untuk melaporkan
kepada Kyayi Klapodyana, Kyayi Poh Tegeh mendengar
kabar tentang keadaan Kyayi Parembu demikian.
Segera beliau mengundang agar Kyayi Parembu
berkenan singgah ke rumahnya. Kyayi Parembu
bersama putranya memenuhi undangan tersebut,
mereka pun diterima dengan baik sekali. Mereka
saling bertimbang rasa dan Kyayi Poh Tegeh menasihati
Kyayi Parembu, tak perlu menyesal dan tidak
usah hal itu dibesar-besarkan , karena hal itu
adalah urusan ke dalam istana, Kyayi Wayahan
Kutewaringin jatuh cinta kepada putri Kyayi
Poh Tegeh, Winiayu Luh Toya, kedua orang tuanya
merestui maka dilanjutkan pernikahan, berputra
dua orang Kyayi Panida Waringin meninggal di
masa muda, dan adiknya Kyayi Tabehan Waringin
menetap di Bubung Tegeh.
Sri Aji Smara
Kepakisan (Dalem Ketut Ngulesir) wafat tahun
Çaka 1382 atau tahun 1640 Masehi. Digantikan
oleh putranya bergelar Sri Waturenggong. Patihnya
Kyayi Batan Jeruk, orang kedua Kyayi Lurah Abian
Tubuh. Para menteri yang lain terdiri dari anak
dan cucu para Arya terdahulu. Baginda raja Dalem
Waturenggong raja terbesar Gelgel, negara aman
makmur dan sentosa. Musuh daerah tidak mampu
memasuki. Bali. Kyayi Lurah Abian Tubuh kemudian
digantikan oleh putranya bernama Kyayi Lurah
Kubon (Tubuh) Kelapa. Pada masa ini beliau mengundang
keluarganya yang ada di Bubung Tegeh agar ke
Gelgel menghadap kepada Dalem. Maka Kyayi Tabehan
Waringin pun menghadap ke Gelgel. Di sana dilaporkan
segala keadaannya sampai dengan tentang, sebuah
pura yang dibangun oleh ayahnya Kyayi Wayahan
Kutewaringin (cucu Arya Kutewaringin ) pura
itu disebut "Parhyangan Kutewaringin".
Juga sebuah pura Dalem yang terletak di sebelah
selatan Pura Kutewaringin. Selanjutnya mereka
menghadap baginda raja diantarkan pula oleh
Kyayi Poh Landung, baginda raja mempersatukan
kembali keluarga Kyayi Kubon Kelapa dengan Kyayi
Tabehan Waringin. Dikuatkan lagi dengan pernikahan
Kyayi Wandira Wira (putra Kyayi Tabehan Waringin)
dengan Winiayu Ketut Tubuh (adik Kyayi Lurah
Kubon Tubuh). Kyayi Wayahan Parembu (putra Kyayi
Tabehan Waringin) yang sulung menetap di Bubung
Tegeh (Waringin).
|