Pura Kahyangan Tiga (Bagian 2)
 
 

Oleh: Prof. Drs I Gusti Gde Ardana

1999 / 2000

BAB III DENAH DAN NAMA-NAMA BANGUNAN DARI KAHYANGAN TIGA
 
1. Pura Desa

Pura ini disebut dengan nama Pura Desa karena pura ini lazim ditempatkan di pusat desa yaitu pada salah satu sudut dari catuspata (perempatan agung).

Catus merupakan perubahan ucapan dari kata catur artinya tempat. Perubahan wianjana r menjadi s memang sering terjadi seperti dursila menjadi dussila menjadi susila, nirkala menjadi niskala dan lain-lain. Pata merupakan perubahan ucapan dari kata pada yang berarti dunia/alam. Dengan demikian catus pata adalah daerah bertemunya pengaruh yang datang dari empat buah slam yang ada di sekitar dunia ini (Timur, Selatan Barat dan Utara). Wujud nyata sebuah catus pata adalah jalan simpang empat atau perempatan.

Masyarakat tradisional Bali selaku kelompok masyarakat budaya dalam mengatur desa selaku daerah pemukiman dengan kelengkapannya seperti: pura, bale banjar, pasar, rumah, jalan, diatur dalam satu tata ruang. Filosofis pengaturan tata ruang tadi berdasarkan konsep catus pata dan luan teben, misalnya: pasar, wantilan, Pura Desa, rumah pembesar desa ditempatkan pada sudut-sudut dari catus pata.

Pura Desa menjadi tempat pusat kegiatan pelaksanaan upacara untuk kepentingan desa seperti upacara Ngusaba Desa, pasamuhan batara setelah upacara melis yang dilaksanakan sebelum upacara Panyepian. Pada beberapa daerah di Bali, Pura Desa disebut pula dengan nama Pura Bale Agung. Nama ini kemungkinan diambil dari nama bangunan Bale Agung yang terdapat pada bagian halaman pertama dari pura tersebut.

Pura Desa mempunyai denah yang terbagi atas tiga bagian, tetapi lebih umum denah pertama dan kedua digabung menjadi satu, sehingga tampak mempunyai dua denah yaitu : Jaba sisi (halaman pertama) dan jaba jeroan (halaman kedua). Kedua halaman dikelilingi dengan tembok dengan pintu masuk yang disebut candi bentar dan kori agung. Masing-masing halaman tersebut disertai dengan bangunan-bangunan dengan fungsi yang berbeda-beda. Mengenai jumlah bangunan-bangunan yang ada di halaman pertama dan kedua dari Pura Desa adalah berbeda-beda, tetapi pada tulisan ini dikemukakan bangunan-bangunan pokok yang harus ada pada setiap pura Kahyangan Tiga. Sebagai pedoman pendirian bangunan tersebut diambil dari hasil seminar kesatuan tafsir aspek-aspek agama Hindu yang pertama yang diselenggarakan di Amlapura pada tahun 1974.

Bangunan-bangunan minimal yang ada pada halaman pertama adalah sebagai berikut:

Candi Bentar.
Bentuknya belah dua yang berfungsi untuk pintu masuk ke halaman pertama dari pura. Untuk memasuki halaman kedua (jeroan pura) melalui candi kurung atau kori agung dengan berbagai macam bentuk variasi dan hiasannya.
Bale Kulkul.
Letaknya di sudut depan dari halaman pertama. Bentuk bangunannya dibuat tinggi sebagai menara dengan kulkul atau kentongan yang bergantung di atasnya. Fungsi dari kentongan berkaitan dengan pelaksanaan upacara seperti ketika nedunang batara dan ketika nyimpen. Fungsi yang lain adalah sebagai tanda bahwa pertemuan antara krama pura akan segera dimulai yang membicarakan berbagai masalah tentang pura seperti : persiapan piodalan, rencana perbaikan pura dan lain-lainnya.
Bale Agung.
Bangunan berbentuk bale panjang dengan dasar bangunannya yang agak tinggi dan atapnya disangga beberapa buah tiang. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat pasamuhan (pertemuan) para batara ketika berlangsung upacara ngusaba dan setelah upacara mekiyis (upacara penyucian pratima dari batara).
Bale Gong.
Bangunan ini berfungsi sebagai tempat gamelan, yang ditabuh ketika upacara piodalan berlangsung untuk menunjang jalannya upacara di pura.

Sedangkan Bangunan yang terdapat pada halaman kedua (jeroan) dari Pura Desa adalah:

Sanggar Agung.
Bangunan ini disebut Pula dengan nama Sanggar Surya. Penempatannya pada bagian arah hulu dari denah jeroan pura. Bangunan ini pada bagian atas terbuka, yang berfungsi sebagai stana Hyang Raditya/ Hyang Widi.
Gedong Agung.
Bangunannya berbentuk gegedongan yang dibagi atas tiga bagian yaitu, dasar gedong, badan gedong dengan tembok keliling pada keempat sisi, sehingga pada badan gedong berbentuk sebuah ruangan. Ruangan ini dapat dicapai melalui pintu pada bagian sisi depan dari gedong. Bagian atap dari gedong dibuat bersusun dengan atap dari ijuk. Bangunan ini berfungsi sebagai stana Dewa Brahma, dalam wujud pratima dan tidak memakai laksana (ciri) Dewa Brahma sebagai lazimnya dalam seni arca.
Dalam seni arca Dewa Brahma biasanya digambarkan, berwajah empat yang menghadap ke semua arah mata angin, bertangan empat yang masing-masing memegang tasbih, cemara, kendi dan buah yang berbentuk bulat. Sakti dari Dewa Brahma bernama Dewi Saraswati dengan wahana angsa.
Ratu Ketut Petung
Bangunan berbentuk gedong berfungsi sebagai tempat pepatih atau pendamping dari Dewa yang berstana di pura tersebut.
Ratu Ngerurah
Bangunan dibuat berbentuk tugu yang berfungsi sebagai penjaga dan bertanggungjawab atas keamanan dari pura.
DENAH PURA DESA  
Keterangan Denah
1 Gedong Agung.
2 Sedahan Penglurah.
3 Ratu Ketut Petung.
4 Sanggar Agung.
5 Bale Pawedan.
6 Pengaruman.
7 Kuri Agung.
8 Apit Lawang.
9 Bale Agung
10 Bale Gong.
11 Bale Kulkul.
12 Candi Bentar
2 Pura Puseh.

Kata Puseh adalah berasal dari kata puser yang berarti pusat. Kata pusat di sini mengandung makna sebagai pusatnya kesejahteraan dunia yang mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi umat manusia, sehingga upacara-upacara yang berhubungan dengan kesuburan dunia dilaksanakan di Puseh.

Dewa Wisnu sebagai Dewa Pemelihara dari ciptaan Hyang Widi dalam seni arca digambarkan dengan laksana atau ciri bertangan empat yang masing-masing memegang, cakra, sangka dan buah atau kuncup teratai. Wahana adalah Garuda, sedangkan saktinya adalah Sri atau Laksmi (Dewi Kebahagiaan).

Mengenai denah dari Pura Puseh dapat dibagi atas dua bagian sebagaimana denah dari Pura Desa. Pembagian atas dua bagian tersebut adalah: halaman pertama atau disebut dengan jabaan dari pura dan halaman kedua disebut jeroan dari pura.

Pada halaman pertama terdapat beberapa buah bangunan, seperti candi bentar, bale kulkul, pawaregan, bale gong, apit lawang dan candi kurung.

Mengenai fungsi dari bangunan-bangunan tersebut di atas adalah sama dengan bangunan-bangunan yang terdapat pada halaman pertama dari Pura Desa.

Pada halaman kedua atau jeroan pura terdapat pula beberapa buah bangunan dengan fungsinya masing-masing seperti:

Sanggar Agung:
Bangunan suci ini pada bagian puncaknya terbuka yang berfungsi sebagai tempat memuja Hyang Raditya/ Hyang Widi Wasa. Pada bagian puncaknya dibuat terbuka karena Hyang Widi tidak terbatas, memenuhi alam semesta.
Meru Tumpang
Lima atau Tujuh
atau Sebelas.
Bangunan meru ini berfungsi sebagai stana Dewa Wisnu yang dipuja di Puseh. Di sini menjadi tanda tanya kenapa meru, dipakai sebagai stana Dewa Wisnu dan kenapa tidak Gedong sebagai di Pura Desa dan Dalem. Mengenai hal ini belum diketahui dengan pasti tetapi kemungkinan karena Meru adalah lambang gunung yaitu Gunung Mahameru sebagai stana para Dewa. Gunung dengan hutannya adalah merupakan sumber mata air yang nantinya mengalir menjadi sungai-sungai. Air inilah yang memberikan kesejahteraan atau Amerta kepada umat manusia.
Ratu Made Jelawung.
Bangunannya berbentuk gedong, berfungsi sebagai tempat pepatih (pendamping) dari Dewa yang berstana di Meru.
Sedahan Pengrurah.
Bangunan ini berbentuk tugu dengan fungsi sebagai penjaga keselamatan dan keamanan dari pura.
Gedong Pertiwi.
Bangunan ini berfungsi sebagai stana dari Ibu Pertiwi.
Batur Sari.
Bangunan ini berfungsi sebagai stana dari Dewi Danuh yang berkaitan dengan kesuburan.
Denah Pura Puseh.  
Keterangan:
1 Meru.
2 Sedahan Penglurah
3 Ratu Made Jelawung.
4 Sanggar Agung.
5 Gedong Pertiwi.
6 Batur Sari
7 Pengaruman
8 Bale Pawedan
9 Kuri Agung
10 Apit Lawang
11 Bale Gong
12 Pawaregan
13 Bale Kulkul
14 Candi Bentar.
3. Pura Dalem

Kata Dalem secara harafiah berarti jauh atau sulit dicapai. Disebut demikian karena dalam kenyataannya Dewa Siwa adalah sulit dicapai oleh manusia karena beliau adalah niskala, wyapi-wyapaka.

Sakti dari Dewa Siwa adalah Dewi Durga, di mana kata Durga berarti jangan mendekat, sebagai wujud kroda dari Dewa Siwa yang berfungsi mempralina alam ciptaan Tuhan.

Dalam seni arca Siwa diwujudkan dalam berbagai-bagai bentuk sesuai dengan fungsi yang dijalankan. Siwa sebagai Mahadewa, Siwa sebagai Maha Guru Siwa sebagai Mahakala dan saktinya adalah Dewi Durga.

Siwa sebagai Mahadewa laksana atau cirinya adalah ardhacandrakapala yaitu lambang bulan sabit di bawah sebuah tengkorak yang disematkan pada mahkota, mata ketiga di dahi, upawita ular naga, tangannya empat masing-masing memegang cemara, aksamala, kamandalu dan trisula.

Siwa sebagai guru atau di Bali disebut Batara Guru laksananya adalah kamandalu, Trisula, perutnya gendut berkumis dan berjanggut panjang. Sedangkan sebagai Mahakala rupanya menakutkan seperti: raksasa, bersenjatakan gada.

Durga sebagai saktinya Siwa dilukiskan sebagai Mahisasuramardini ini. la berdiri di atas seekor lembu yang ditaklukkan. Lembu ini adalah penjelmaan raksasa (asura) yang menyerang Kahyangan dan dibasmi oleh Durga, Durga digambarkan bertangan 8,10 atau 12, masing-masing tangannya memegang senjata.

Arca Durga yang terkenal dari Bali adalah Durgamahisasuramardini dari Pura Bukit Dharma Mesa Kutri Gianyar. Arca ini adalah arca perwujudan dari Gunapriya Darmapatni Ibunda dari Airlangga. Laksana dari arca ini adalah bertangan delapan tetapi yang tinggal utuh hanya enam buah, tangan kanan masing-masing memegang cakra, anak panah, kapak, sedang tangan kirinya masing - masing memegang kerang bersayap, busur dan tameng.

Putra dari Dewa Siwa adalah Ganesa yang digambarkan berkepala gajah dengan empat buah tangan, yang masing-masing memegang mangkuk, patahan gading, aksamala (tasbih dengan 50, 81, atau 108 butir manik) dan kapak. Ganesa disembah sebagai Dewa penyelamat dari segala rintangan dan juga sebagai Dewa ilmu pengetahuan.

Mengenai Denah dari Pura Dalem pada garis besarnya dapat dibagi atas dua bagian yaitu: Jabaan (halaman pertama) dan Jeroan (halaman kedua). Masing-masing halaman tersebut disertai dengan bangunan-bangunan dengan fungsinya masing-masing. Bangunan-bangunan yang didirikan di halaman pertama adalah hampir sama dengan bangunan-bangunan yang ada di Pura Desa. Perbedaannya di halaman pertama Pura Dalem tidak terdapat Bale Agung. Beberapa bangunan di halaman pertama adalah candi bentar, bale kulkul, bale gong, pawaregan, apit lawang, candi kurung (paduraksa).

Pada halaman kedua yang merupakan halaman yang tersuci, terdapat beberapa jenis bangunan dengan fungsinya masing-masing, seperti :

Sanggar Agung.
Bangunan suci ini ditempatkan pada bagian arah Timur Laut (kaja kangin) dari denah halaman kedua. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat pemujaan Hyang Raditya (Tuhan Yang Maha Esa).
Gedong Agung.
Bangunan ini berbentuk gegedongan dengan memakai atap dari ijuk. Pada bagian badan dari gedong terdapat ruangan yang berfungsi sebagai tempat pratima (Arca) dari Dewa. Gedong Agung berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa dalam wujud sebagai Dewi Durga yaitu Sakti dari Dewa Siwa.
Ratu Ketut Petung.
Bangunannya berbentuk gedong tetapi ukurannya lebih kecil dari gedong bata. Bangunan ini mempunyai fungsi sebagai tempat dari pepatih (pendamping) dari Dewa.
Ratu Ngerurah.
Bangunannya berbentuk tugu, hanya bagian atas terbuat dari konstruksi batu padas, sedangkan kalau gedong bagian kepala dari bangunan terbuat dari konstruksi kayu dengan atap alang-alang atau ijuk. Bangunan ini berfungsi sebagai penjaga dan bertanggungjawab atas keamanan dari pura.
Denah Pura Dalem  
1 Gedong Agung
2 Ratu Ngerurah
3 Ratu Ketut Petung
4 Sanggar Agung
5 Bale Pawedan
6 Pengaruman
7 Kuri Agung
8 Apit Lawang
9 Bale Pasandekan
10 Bale Gong
11 Bale Kulkul
12 Pwaregan
13 Candi Bentar
Upacara.

Pura yang termasuk kelompok Kahyangan Tiga, masing-masing mempunyai hari piodalan (hari ulang tahun) tersendiri. Hari ulang tahun dari suatu pura ditentukan melalui hari diresmikan pura tersebut. Hari peresmian biasanya dipilih hari yang baik sesuai dengan petunjuk dari pendeta dan selanjutnya ditetapkan sebagai hari piodalan. Kata piodalan adalah berasal dari kata wedal yang artinya lahir mendapat awalan pa dan akhiran an yang berarti tempat lahir atau kelahiran.

Waktu pelaksanaan hari piodalan pada tiap-tiap pura berbeda-beda, ada setiap enam bulan atau 210 hari, tetapi ada pula yang dilaksanakan setiap tahun. Upacara piodalan dari pura digolongkan pada upacara dewa yajnya yang merupakan salah satu dari lima jenis upacara atau Panca Yajnya. Yajnya berasal dari kata jaj yang artinya sembahyang. Dari akar kata ini lalu menjadi kata yadnya yang berarti persembahan kepada Hyang Widi dan manifestasinya.

Pelaksanaan upacara di Pura Kahyangan Tiga dilakukan secara berkala pada hari-hari tertentu, seperti upacara flap bulan sekali yang disebut rerainan yang jatuh harinya sesuai dengan hari piodalan dan juga setiap hari Purnama dan tilem. Upacara yang diadakan berkala setiap 210 hari disebut hari piodalan dengan upacara yang lebih besar dari rerainan. Jenis upacara berkala yang lebih besar adalah karya ngusaba, karya mamungkah dan lain-lainnya.

Pada umumnya tiap-tiap pura Kahyangan Tiga mempunyai kekayaan khusus yang disebut laba pura atau kalau di Jawa pada jaman Hindu disebut tanah perdikan dari suatu Candi. Laba Pura biasanya dalam bentuk tanah yang luasnya tergantung pada kemampuan dari desa adat. Hasil dari penggarapan tanah dimanfaatkan untuk kepentingan biaya upacara rerainan, piodalan dan juga untuk biaya memperbaiki kerusakan dari bangunan-bangunan yang ada di dalam pura. Kelompok orang yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan suatu pura disebut: Krama pura.
Untuk menunjukkan rasa baktinya kepada Hyang Widi dan Batara Batari, ketika upacara piodalan masyarakat menghaturkan sesajen yang disebut banten piodalan dan banten perseorangan dari anggota krama pura. Banten piodalan dapat dibedakan atas beberapa jenis seperti banten sor, catur dan lainnya. Jenis bebanten mana yang akan dilaksanakan tergantung pada kemampuan dari para krama pura. Selain menghaturkan sesajen ketika upacara piodalan berlangsung, diiringi pula dengan gamelan dan tari - tarian suci keagamaan. Jenis tarian yang dipentaskan adalah; tari Sanghyang, pendet, berbagai jenis baris. Tujuan dari pementasan tarian ini adalah untuk menyambut kedatangan kekuatan suci di mana pada saat ini masyarakat akan mengadakan kontak dan mohon keselamatan bagi warganya. Karena itu sering dikatakan, munculnya jenis-jenis tarian di Bali pada mulanya adalah diabdikan untuk kepentingan agama dan baru kemudian berkembang menjadi seni kemasyarakatan yang ditandai munculnya kreasi- kreasi baru dalam seni taxi di Bali.

Upacara piodalan dan jenis-jenis upacara berkala di Pura Kahyangan Tiga diantarkan oleh seorang Pendeta tetapi upacara kecil yang disebut rerainan diantarkan (diselesaikan) oleh seorang pemangku dari pura itu sendiri. Untuk desa-desa kuna upacara diselesaikan oleh seorang jero Gede atau semacam pemangku. Ketika pendeta memuja, para krama pura sudah siap di halaman dalam untuk melaksanakan pemujaan. Setelah selesai memuja maka pendeta menuntun jalannya persembahyangan hingga selesai.
Pemakaian puja atau stawa oleh pendeta pada masing-masing pura dari Kahyangan Tiga adalah berbeda-beda seperti di Pura Desa memakai puja Brahma stawa, di Pura Puseh memakai Wisnu Stawa dan di Pura Dalem mempergunakan Durga Stawa. Sebagai contoh dikutipkan Brahma stawa sebagai berikut:

 

Om Ang Brahma namas catur-mukham Brahmagni rakta-varnan ca shpatika varna dewata, sarva bhusana raktakam.
Danda antra maha tiksna, atma raksa nabhi-sthana, adyageni surya sphatika, sarva satru vinasanam.
Terjemahan
Hyang Widi Ang Dewa Brahma yang mulia, mempunyai empat muka, Brahma adalah Agni, dengan warna merah, Dewa yang berwarna berkilauan, mempunyai hiasan serba merah. Mempunyai senjata bernama gada yang amat sakti, menjaga atma yang berada di nabi, awal dari api, surya dengan cahaya berkilauan menghancurkan semua musuh-musuh.

Untuk pemujaan kepada Dewa Wisnu di Pura Puseh, pendeta mempergunakan Wisnu stawa, kutipannya sebagai berikut:

Om Ung namo Wisnu tri mukhanam, trinayanam Catur-bhujam, krsna varnam sphatikantam, sarva bhusana kresnam, Cakra astra mahatiksnam, atma raksam ampru sthanam, amrtah jivano devah, sarva satru vinasanam.
Terjemahan:
Hyang Widi Ung Dewa Wisnu, tiga muka, tiga mata dan empat tangan, warna hitam yang berkilauan, semua hiasan hitam. Senjata cakra yang amat tajam, melindungi atma, yang tinggal di hati, dewa memberikan kehidupan, semua musuh dihancurkan.

Puja atau stawa yang dipergunakan oleh pendeta di Pura Dalem disebut Durga stawa dan di sini akan disampaikan kutipannya sebagai berikut :

  1. Om Giri - putri deva-devi, lokasraya mahadewi Uma Gangga Saraswati Gayatri Vaisnawi Dewi.
  2. Catur Divya mahasakti, catur asrama Batari Siva jagat pati devi, Durga Masayrira dewi.
  3. Sarva jagat pranamyanam jagad vighna vimurcanam Durga bhucara moksanam sarva duhka vimoksanam.
  4. Anugraha amerta bhumi vighna dosa vinasanam sarva papa vinasanam sarva pataka nasanam.
  5. Om Deva-devi maha jnanam suddha vighna bhv esvari sarva jagat pratisthanam sarva devanugrahakam.
Terjemahan
  1. Hyang Widi Dewa-Dewi, Giri Putri yang melindungi dunia Dewi Uma, Gangga, Saraswati, Gayatri, dan sakti Dewa Wisnu.
  2. Empat kekuatan Maha sakti dan Batari dipuja dalam empat lingkungan hidup Sakti dari Dewa Siwa, penguasa dunia, Durga yang berbadan Dewi.
  3. Dia dihormati oleh seluruh dunia, mempunyai kekuatan menghilangkan rintangan dunia Dewi Durga mendatangkan keselamatan dari gangguan para danawa yang membawa kebebasan dari rintangan dan kesalahan.
  4. Dia memberi karunia, air kehidupan untuk dunia, menghancurkan segala rintangan dan dosa-dosa.
  5. Dewi dari Dewa sebagai kebebasan yang maha besar, Dewi dari dunia yang menghilangkan penderitaan. Menolong seluruh dunia, dan menyatu dengan dewa-dewa yang lain serta memberi karunia.

Sekian, semoga bermanfaat.

 
  DAFTAR PUSTAKA
 
1 Ardana, I Gusti Gede    
  1982/1983 : Inventarisasi Aspek-aspek nilai Budaya Bali, Proyek Bantuan Sosial.
  1974 : Unsur-unsur Kepercayaan Megalitik Dalam Kebudayaan Bali, Denpasar.
       
2 Gelebet, Nyoman : Arsitektur Tradisional Bali, Dep. P dan K 1986 Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
       
3 Gora, Sirikan:    
  1956 : Sejarah Bali. Gianyar
       
4 Parisada Hindu Dharma Pusat
   
  1985 – 1986 : Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu
       
5 Putra Kemenuh, Ida Pedanda    
  1975 : Arti dan Fungsi Palinggih-Palinggih, Seminar I Kesatuan Tafsir Aspek-Aspek Agama Hindu di Amlapura.
       
6 Soeka, Gde    
  :1986 : Tri Murthi Tattwa, CV Kayumas
       
7 Sugriwa, I Gusti Bagus    
  1975 : Pemargan Empu Beradah.
  1975 : Bali Aga.
       
8 Warna, I Wayan dkk.:    
  1986 : Usana Bali Usana Jawa, Teks dan Terjemahan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali.
       
9 Wahyono Marto Wikrido    
  1975: : Trimurti, Direktorat Museum Dit Jen Kebudayaan.
 
  PENGANTAR DAN SAMBUTAN- SAMBUTAN

Judul:

PURA KAHYANGAN TIGA
Disusun oleh: Prof. Drs. I Gusti Gde Ardana
Milik Pemerintah Daerah Tingkat I Bali
Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama
Tersebar di 9 (sembilan) Daerah Tingkat II
Tahun 1999/2000

 
SAMBUTAN PHDI PUSAT

Om Swastyastu,

Buku yang berjudul Kahyangan Tiga ini adalah salah satu buku bacaan yang baik dibaca oleh umat Hindu di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya. Buku ini baik sekali untuk menambah dan memperluas pemahaman umat Hindu akan arti dan makna Kahyangan Tiga untuk meningkatkan mutu rohani umat.

Kahyangan Tiga di samping berfungsi sebagai tempat memuja manifestasi Ida Sang Hyang Widi sebagai Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa jugs berfungsi sebagai pemersatu umat Hindu di tingkat Desa Pakraman.
Kami dari Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat menyambut baik terbitnya buku ini sebagai bahan bacaan umat Hindu untuk mengisi pembangunan di bidang mental spiritual.

Om Santi, Santi, Santi, Om.
Denpasar, Februari 1989.
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat

Ketua I

 

SAMBUTAN KEPALA KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN AGAMA PROPINSI BALI

Om Swastyastu,

Kami angayubagia atas diterbitkannya buku Kahyangan Tiga ini, sebab selama ini belum satu buku pun yang menguraikan secara khusus tempat pemujaan ( buku Kahyangan Tiga ) tersebut.

Sebagai telah dimaklumi bahwa pemujaan melalui Kahyangan Tiga ini ditujukan kepada Sang Hyang Tri Murti ( Brahma, Wisnu, Siwa) yang tidak lain adalah Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.

Di dalam kitab suci Weda pemujaan kepada Dewa-dewa Tri Murti tidak demikian menonjol. Dewa-dewa yang dominan dipuja dalam Weda adalah: Agni, Indra, Bayu dan Surya. Pada jaman Purana, dewa-dewa di atas diambil alih melalui pemujaan dewa-dewa Tri Murti. Dewa Agni digantikan oleh Dewa Brahma. Dewa Indra dan Bayu digantikan dengan pemujaan kepada dewa Wisnu, sedang Dewa Surya digantikan dengan pemujaan kepada Dewa Siwa. Pemujaan kepada dewa-dewa Tri Murti ini yang bermula pada jaman Purana kita warisi sampai kini. Memang dalam agama Hindu Tuhan Yang Maha Esa disebut dengan ribuan nama (Brahma Sahasranama). Penamaan yang banyak ini bahkan dalam bahasa lokal penganut agama Hindu, Tuhan Yang Maha Esa itu disebut dalam bahasa tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa mudah dihayati oleh pemeluknya, dan Tuhan sangat dirasakan dekat dengan penyembahnya.
Pemujaan kepada Sang Hyang Tri Murti melalui Kahyangan Tiga ini merupakan landasan desa Sukrtagama yakni desa sejahtera bernafaskan ajaran agama yang lebih populer dengan nama desa Adat di Bali. Desa Adat di Bali dengan Trihita Karana mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat melalui hubungan yang harmonis antara manusia dengan Sang Hyang Widi, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam ciptaan-Nya.

Semoga dengan penerbitan buku ini cita-cita masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dapat segera diwujudkan.

Om, Santi, Santi, Santi, Om.
Denpasar, Februari 1989.
Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Bali
KEPALA

 

SAMBUTAN GUBERNUR BALI

Om Swastyastu,

Pertama-tama marilah kita bersama-sama memanjatkan puji dan sukur ke hadapan Ida Hyang Widi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa karena atas perkenan-Nya telah berhasil disusun buku agama berjudul Pura Kahyangan Tiga.

Dengan materi yang disajikan dalam buku mengenai Kahyangan Tiga diharapkan akan dapat memberikan pengertian, sejarah dan fungsi dari Pura Kahyangan Tiga sebagai manifestasi pemujaan kepada Ida Hyang Widi Wasa.

Kita menyadari bahwa pembinaan di bidang agama sangat perlu diberikan sedini mungkin dan dihayati di dalam kita melaksanakan pembinaan bidang mental rohani.

Sehingga sebagai umat beragama kita mempunyai pedoman/dasar berpijak di dalam melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Karena dengan dasar berpijak yang kokoh dalam melaksanakan ajaran agama kita akan bisa menjadi manusia yang takwa kepada kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.

Demikian lah sambutan singkat saya dalam penerbitan buku Pura Kahyangan Tiga ini, semoga Ida Hyang Widi Wasa senantiasa memberikan bimbingan kepada kita sekalian di dalam kita melanjutkan tugas-tugas pembangunan.

Om Santi, Santi, Santi, Om.
Denpasar, Februari 1989.
GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I BALI

 
 
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Kami merasa sangat berbahagia dapat mempersembahkan kitab Pura Kahyangan Tiga kepada masyarakat khususnya umat Hindu, semoga dapat merupakan bahan bacaan bagi mereka yang ingin mengetahui masalah seluk-beluk Kahyangan Tiga (Pura Desa, Puseh dan Dalem).

Pura ini mempunyai peranan yang penting bagi kehidupan keagamaan masyarakat Bali karena merupakan salah satu unsur dari Trihita Karana yaitu unsur parhyangan.

Buku yang sederhana ini diharapkan dapat mencegah adanya kesimpangsiuran informasi mengenai Kahyangan Tiga dan dapat membantu mereka yang ingin mendalami masalah Pura secara umum. Berhasilnya usaha ini berkat bantuan dan Pemerintah Daerah Tingkat I Bali yang menyediakan dana untuk penelitian dan penerbitan.

Kami menyadari bahwa buku ini belum sempurna sekali, masih perlu dilengkapi materi yang ada di dalamnya berdasarkan penelitian yang lebih mendalam. Harapan kami terbitan ini ada manfaatnya.

Om Shanti Shanti Shanti Om.
Denpasar, 1 Februari 1989

Penyusun.
ttd
(I Gusti Gde Ardana)