PURA SILAYUKTI, PASRAMAN MPU KUTURAN
Pura Silayukti merupakan salah satu Pura Dang Kahyangan
di Bali. Pura ini terletak di sebuah bukit bagian timur
Desa Padangbai. Pura ini dipercaya sebagai parahyangan Ida
Batara Mpu Kuturan, seorang tokoh yang sangat berjasa dalam
menata kehidupan sosial religius masyarakat Bali sekitar
abad ke-11 Masehi.
Apakah fungsi Pura Silayukti dalam konteks spiritual dan
sosial di Bali?
===============================================
Pujawali di pura ini, kata pengayah yang juga prajuru Desa
Pakraman Padangbai I Kadek Rena, Selasa (25/4) kemarin di
Padangbai, yakni jatuh tiap Buda Kliwon Pahang (enam bulan
sekali). Pura lain yang terkait pura ini yakni Pura Telaga
Mas, diduga semula pasraman Mpu Kuturan. Selain itu di sebuah
goa di timur, di tebing pantai yang curam ada Pura Payogan.
Diduga di tempat ini Mpu Kuturan melakukan yoga semadi pada
masanya.
Saat ini, pura ini terdiri atas bangunan sederhana berupa
beberapa arca di dalam tebing karang yang menyerupai goa
dangkal.
Di selatan Pura Silayukti terletak Pura Tanjungsari. Pura
ini dipercaya sebagai parahyangan Mpu Baradah, adik Mpu
Kuturan.
Mpu Baradah, kata Rena dan Jro Mangku Wayan Marsa -- pemangku
di Pura Melanting dan Pura Mumbul, Padangbai ini -- sempat
ke Bali. Tujuannya guna memohon kepada kakaknya, Mpu Kuturan,
agar salah seorang putra Raja Airlangga di Jawa Timur bisa
diangkat menjadi raja di Bali. Namun, Mpu Kuturan tak sependapat.
Sebelum bertolak pulang ke Jawa, Mpu Baradah sempat beberapa
waktu tinggal di Bali dan mendirikan parahyangan yang diberi
nama Pura Tanjungsari. Pujawali di pura itu jatuh pada Buda
Kliwon Matal. Saat pujawali, baik di Pura Silayukti maupun
Tanjungsari, persembahyangan juga dilakukan pamedek ke Pura
Telaga Mas atau pun ke Pura Payogan.
Mpu Kuturan diperkirakan tiba di Bali pada tahun 1001 Masehi.
Tujuannya ke Bali dalam rangka menata kehidupan sosial religius
masyarakat Bali. Masalahnya, saat itu kehidupan masyarakat
Bali tengah mengalami keguncangan. Banyak terdapat sekte-sekte
keagamaan di dalam masyarakat, dan antarsekte itu ternyata
tidak rukun.
Di antara sekte-sekte itu, ada enam yang besar dan cukup
berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Bali. Raja Bali minta
kepada Mpu Kuturan agar menata dan menyatukan masyarakat
Bali. Mpu Kuturan yang diangkat sebagai senapati kerajaan
pun melakukan pendekatan kepada masyarakat termasuk kepada
para pemimpin sekte-sekte besar itu.
Disepakatilah dilakukan paruman di Pejeng di Pura Samuan
Tiga. Saat itu, senapati Mpu Kuturan juga sudah dipercaya
sebagai Pekira-kira Ijro Makabehan (penasihat semua golongan,
kelompok atau sekte).
Berkat pendekatan, pemikiran dan usaha yang dilakukan Mpu
Kuturan, sekte-sekte dalam masyarakat Bali itu berhasil
lebur dan menyatu (manunggal).
Dalam pesamuan (pertemuan) yang diikuti perwakilan sekte-sekte
dan kelompok masyarakat Bali yang saat itu dipimpin Mpu
Kuturan itu, kata Rena, dicetuskan konsep sosial religius
Tri Murti Tatwa yakni Brahma, Wisnu dan Siwa. Untuk memuja
sinar suci atau manifestasi Tuhan itu, di tiap desa pakraman
didirikan Pura Kahyangan Tiga.
Di Pura Puseh sebagai tempat pemujaan sinar suci Tuhan
dengan manifestasi Wisnu, di Pura Bale Agung/Pura Desa tempat
pemujaan Brahma dan di Pura Dalem sebagai tempat memuja
sinar suci Tuhan dengan manifestasi Siwa dan saktinya.
Selain itu, di tiap rumah tangga penduduk mesti didirikan
sanggah kemulan (rong tiga), juga sebagai tempat pemujaan
Tri Murti.
Konsep itu, terkait juga dengan Tri Hita Karana di mana
masyarakat Hindu mesti menjaga hubungan yang harmonis dengan
Tuhan (parahyangan), menjaga hubungan yang harmonis dengan
sesama warga (pawongan) dan menjaga hubungan yang seimbang
dengan alam lingkungan (palemahan).
Rena dan Jro Mangku Marsa menambahkan, setelah menginjak
usia senja diperkirakan Mpu Kuturan meninggalkan jabatan
politik (pensiun) menuju tahapan wanaprastha atau bhiksuka.
Mpu Kuturan lantas menetap dan mendirikan parahyangan di
timur Desa Padang. Dari sini, dalam yoga semadi dan perenungan-perenungan
demi membangun dan lebih memantapkan penataan sosial religius
masyarakat Bali terus diajarkan kepada masyarakat tentang
dasar-dasar ajaran kebenaran (silayukti). Ajaran-ajaran
beliau diduga disampaikan kepada sisya atau warga yang tangkil.
Rena mengatakan dalam sebuah prasasti Padang Subadra berangka
tahun 1324 Masehi, diketahui semula wilayah Desa Padang
berupa anpadan. Di mana lahan di teluk kecil di tepi pantai
dan dikelilingi perbukitan tandus berbatu, dicangkul untuk
diolah menjadi ladang tempat bercocok tanam. Desa itu berkembang
menjadi Desa Padang.
Pada masa kedatangan penjajah Barat seperti Belanda, desa
di tepi pantai dan teluk itu diberi nama Padang Bay (Teluk
Padang). Pada perkembangan bahasa dan penulisan, Padang
Bay berubah menjadi Padangbai, sehingga desa yang terus
berkembang dengan pembangunan pelabuhan penyeberangan Padangbai-Lembar
itu kini lebih dikenal dengan Desa Pakraman Padangbai.
Rena dan Jro Mangku Marsa mengatakan, nama Pura Silayukti
diduga berasal dari kata dasar ''sila'' diartikan dasar
dan ''yukti'' diartikan benar atau kebenaran. Umat yang
mamedek di Pura Silayukti itu diharapkan memegang teguh
dan menjalankan ajaran kebenaran (agama) yakni Tri Murti
Tatwa dan Tri Hita Karana.
Sampai kini krama Desa Pakraman Padangbai dikenal sangat
taat dalam menjalankan awig desa. Mereka rajin, trepti (tertib)
tiap kali ada ayahan desa. Tiap ada aci atau pujawali di
pura lingkungan desa setempat warga setempat yang merantau
ke luar desa bahkan ke luar daerah selalu menyempatkan diri
pulang kampung untuk bersembahyang.
Sementara persembahyangan umat tak cuma dilakukan pada
saat pujawali di Pura Silayukti. Selasa (25/4) kemarin,
keluarga besar Pasek Tangkas dari Serai, Desa Pakraman Kembang
Merta, Susut, Bangli nuur tirtha ke Pura Silayukti. Hal
itu, kata salah seorang pamedek, terkait ngenteg linggih
di Pura Panti setempat.
* gde budana
sumber: BaliPost
Yasya sarve samarambhah
kama samkalpavarjitah.
Jnanagni dagdhakarmanam
tam ahuh panditam budhah.
(Bhagavadgita.IV.19).
Maksudnya:
Ia yang segala perbuatannya tidak terikat oleh angan-angan
akan hasilnya (Niskama Karma),
kepercayaannya dinyalakan oleh api ilmu pengetahuan (Jnyana
Agni).
Kepada ia diberikan gelar pandita oleh orang-orang bijaksana.
Mpu Kuturan tokoh spiritual Hindu di abad ke-11 Masehi
adalah salah seorang tokoh yang berbuat dengan landasan
niskama karma. Artinya, berbuat tanpa pamerih akan hasilnya.
Hal ini dilakukan karena Mpu Kuturan sudah sangat yakin
akan ajaran Hukum Karma. Setiap perbuatan baik sudah dapat
dipastikan akan membuahkan hasil yang baik. Karena itu,
Mpu Kuturan hanya berkonsentrasi pada berbuat baik dan benar
untuk kepentingan umat manusia dalam artian yang seluas-luasnya.
Berbuat baik dan benar itu dilakukan karena keyakinan Mpu
Kuturan sudah demikian disinari oleh api ilmu pengetahuan
yang telah beliau capai. Mpu Kuturan tidak kawin karena
beliau menempuh hidup Sukla Brahmacari. Jadinya semua umat
manusia itu dianggap sebagai saudaranya. Inilah sesungguhnya
perilaku seorang yang tepat disebut Pandita.
Pura Silayukti adalah Pura Pasraman Mpu Kuturan. Mpu Kuturan-lah
salah satu tokoh spiritual Hindu di masa lampau yang sangat
tepat diberikan gelar Pandita ahli yang juga disebut Brahmanasista
dalam pustaka Manawa Dharmasastra. Mpu Kuturan yang nama
prinadi beliau Mpu Rajakerta. Beliaulah yang pernah menjabat
Senapati Kuturan di Bali pada abad ke-11 Masehi.
Mpu Rajakerta pada awalnya sebagai kesatria karena menjabat
Senapati Kuturan. Setelah selesai menjabat Senapati Kuturan
barulah beliau sebagai Bhagawanta Kerajaan Bali dengan gelar
sebagai Mpu. Selanjutnya lebih populer dengan sebutan atau
abhiseka nama Mpu Kuturan dengan asrama di Pura Silayukti.
Di Pasraman Pura Silayukti ada empat kompleks tempat pemujaan.
Di bagian utara adalah pura sebagai tempat pemujaan Mpu
Kuturan. Beliau dipuja di Meru Tumpang Tiga menghadap ke
selatan. Meru Tumpang Tiga inilah sebagai pelinggih utama
di kompleks Pura Pasraman Mpu Kuturan. Di barat agak ke
utara dari Pura Pasraman Mpu Kuturan ini terdapat Pura Taman
Beji sebagai tempat memohon tirtha sebagai sarana utama
pada saat upacara di Pura Pasraman Silayukti.
Di kompleks bagian selatan dari Pura Pasraman Mpu Kuturan
terdapat kompleks pura sebagai tempat pemujaan Mpu Bharadah.
Di pura ini Mpu Bharadah dipuja di Meru Tumpang Tiga juga,
cuma menghadapi ke barat. Sedangkan tempat meditasi Mpu
Kuturan sebagai kompleks keempat terletak di bagian timur
bukit Silayukti agak turun ke bawah menghadap ke timur di
mana akan kelihatan laut yang membiru.
Kalau saat bulan purnama dengan berpadu pada pemandangan
laut kita melakukan meditasi di tempat ini sungguh sangat
menggetarkan spiritual kita. Karena keadaan alam ciptaan
Tuhan itu demikian mempesona bagi mereka yang memiliki minat
spiritual.
Mpu Kuturan adalah salah seorang dari lima orang suci yang
berjasa menata kehidupan keagamaan Hindu di Bali. Lima orang
suci yang bersaudara itu disebut Panca Pandita atau Panca
Tirtha. Beliau itu adalah Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana,
Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah. Yang paling banyak berjasa
menata kehidupan sosial religius Hindu di Bali adalah Mpu
Kuturan. Hal ini dinyatakan dalam berbagai pustaka kuna
yang ditulis dalam daun lontar.
Dalam Lontar Usana Dewa dinyatakan Mpu Kuturan-lah yang
mengajarkan cara-cara mendirikan tempat pemujaan atau kahyangan
seperti Kahyangan Jagat di Bali.
Dalam Lontar Kusuma Dewa juga dinyatakan Mpu Kuturan yang
mengajarkan tentang pendirian Pura Sad Kahyangan di Bali
dengan landasan konsepsi Sad Winayaka.
Dalam lontar yang berjudul ''Mpu Kuturan'' juga dinyatakan
Mpu Kuturan yang mengajarkan tentang pendirian Kahyangan
Tiga di setiap desa pakraman di Bali. Penataan Pura Besakih
lebih lanjut juga dilakukan oleh Mpu Kuturan. Karena jasa
beliau itu Mpu Kuturan distanakan di Meru Tumpang Sembilan
di Pura Peninjoan. Pura Peninjoan ini termasuk kompleks
Pura Besakih.
Menurut Lontar Babad Bendesa Mas dan Lontar Kusuma Dewa,
antara Pura Kentel Gumi, Pura Dasar di Gelgel dan Pura Goa
Lawah yang mempunyai hubungan historis juga sama-sama didirikan
oleh Mpu Kuturan. Karena jasa-jasa beliau itu di berapa
Pura Kahyangan Jagat, Mpu Kuturan dimuliakan dalam Pelinggih
Manjangan Saluwang. Demikian hampir di setiap pemujaan keluarga
Hindu di Bali yang disebut Sanggah Gede atau Merajan Agung,
Mpu Kuturan juga dimuliakan di Pelinggih Manjangan Saluwang.
Jadinya Mpu Kuturan sangat berjasa dalam menata kehidupan
manusia dan alam Bali berdasarkan ajaran Hindu. Hal inilah
menyebabkan Bali sampai mendapat julukan Pulau Dewata atau
Pulau Seribu Pura. Kalau kita perhatikan Mpu Kuturan bukan
milik suatu wangsa atau warga tertentu.
Yang patut kita renungkan lebih dalam tentang pendirian
Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali sebagai pemujaan
Tuhan sebagai Dewa Tri Murti. Pemujaan Tuhan sebagai Tri
Murti bukan untuk menyatukan adanya sekte-sekte Hindu yang
bermusuhan. Para guru besar yang ahli ilmu purbakala di
Bali yang pernah saya tanyakan menyatakan bahwa tidak ada
catatan sejarah bahwa sekte-sekte Hindu di Bali pernah bermusuhan,
apalagi berperang.
Tujuan Mpu Kuturan mengajarkan pemujaan Tuhan sebagai Dewa
Tri Murti adalah untuk menguatkan umat dalam melakukan upaya
Utpati, Stithi dan Pralina. Utpati artinya giat menciptakan
sesuatu yang sepatutnya diciptakan. Stithi artinya dengan
sungguh-sungguh memelihara dan melindungi sesuatu yang seyogianya
dipelihara dan dilindungi.
Pralina maksudnya meniadakan sesuatu yang sepatutnya dihilangkan.
Pralina bukan berarti merusak. Misalnya menghilangkan kebiasaan
mabuk, apalagi saat merayakan hari raya keagamaan. Misalnya
menghilangkan kebodohan dan kemiskinan dengan cara-cara
yang baik, wajar dan benar. Itu juga tergolong kegiatan
hidup yang termasuk pralima. Melakukan upaya Upati, Stithi
dan Pralina tidaklah segampang teorinya. Melakukan hal itu
perlu ada tuntutan Tuhan melalui pemujaan Dewa Tri Murti
di Kahyangan Tiga.
* I Ketut Gobyah
sumber: BaliPost
|