Dalam versi Raja Purana Pura ulun Danu
Batur, kedua situs keindahan Bali ini memang memiliki
keterkaitan integrasi langsung, bukan berdiri sendiri-sendiri.
Adalah Tukad (Sungai) Pelisan yang menjadi simpul menghubungkan
mengintegrasikan situs kawaskan Danau Batur dengan Danau
Beratan, Buyan, dan Tamblingan di bawah kaki Gunung (Pucak)
Mangu itu.
Toh, Kintamani Batur tetap masih kalah
kaya-raya tinimbang Pucak Mangu. Manakala Gunung Batur
cuma punya satu danau, Pucak Mangu justru memiliki menaungi
sekaligus tiga danau, yakni Danau Beratan, Danau Buyan,
dan Danau Tamblingan. Lebih unik mempesona lagi justru
karena masing-masing danau ini dikawal gugusan gunung
tersendiri, sehingga kawasan situs Pucak Mangu ini praktis
nyata senyata-nyatanya dikawal tiga gugusan kelompok bentang
gunung.
Cermati sajalah, di sini ada bentang
persekutuan gugusan kelompok Gunung Sanghyang-Gunung Lesong-Gunung
Pucuk serta gugusan kelompok Gunung Adeng-Gunung Pohen
- Gunung Tapak yang berada di sisi selatan Danau Tamblingan
dan Danau Buyan. Lalu ada lagi persekutuan gugusan kelompok
Gunung (Pucak) Bon-Gunung (Pucak) Mangu/Pangelengan -
Gunung (Pucak) Sangkur berada di sebelah barat. Danau
Buyan. Pucak Mangu sendiri memiliki pasanakan (berkerabat)
dengan Pucak Sangkur dan Terate Bang. Uniknya, masing-masing
gugusan kelompok gunung itu memiliki satu palinggih pangayatan
(semacam perwakilan) di Pura Pucak Mangu di ujung ketinggian
puncak Gunung Mangu.
Padu-Padan integrasi gunung-danau itu
menjadikan konsepsi triloka tribhuwana sekaligus sumbu
poros lingga-yoni, purusa-pradana, serta sagara-giri dalam
bentang fisik alam seakan terintegrasi menyatu di Pucak
Mangu: danau ber-air di kaki gunung, daratan tanah di
lereng gunung, dan angkasa luas bebas lepas di puncak
menuju menyangga langit akasa lepas tak berbatas. Gunung
sebagai lingga acala yang tiada bergerak sekaligus tiada
terciptakan manusia sekaligus berstatus purusa bergamit
padu-padan dengan danau sebagai yoni yang dinamis sekaligus
sebagai pradana. Di situ integrasi mistis yoga semesta
tergelar tiada henti.
Maka tinggalan megalitik berupa batu
alam, lalu lingga yang menjulang lurus dengan pancangan
''pancering jagat'' di tanah puncak gunung tiada ubahnya
menembus lurus ke langit sebagai titik orientasi pusat
tuju. Ulu Lingga di mandala utama Pura Pucak Mangu, yang
senyatanya memang dibiarkan tetap menembus bumi pertiwi,
layaknya pancering jagat di Trunyan, itu tiada ubahnya
titik pancang ''pancering jagat'' tidak langit sebagai
hulunya hulu utamaning utama jagat Bali dengan konsep
pra-Hindu pra-India, dan pastilah otomatis pra-Majapahit
feodal berkasta-kasta. Dapat dipahami bila yang memuja
muput ritus rutin maupun utama (kalangan ''Majapahitan''
belakangan menamai tradisi ini dengan sebutan politis-rada
arogan ''sima gunung'' yang seolah mengesankan terbelakang,
primitif) di sini bukanlah sulinggih model-model Majapahit,
melainkan kubayan-lah yang bertugas menjalankan tirta
pamuput dari Ida Bagawanta di Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur,
di utara (hulu) danau Beratan.
Berposisi dengan ketinggian 2.020 m dpl
(di atas permukaan laut) dalam bentang geografis 08 derajat
24'23'' Lintang Selatan (LS) dengan 11 derajat 11',15''
Bujur Timur (BT), Pucak Mangu lebih komplit sempurna lagi
menghamparkan keunikan istimewa bagi jagat Bali. Bentang
garis titik nol Pucak Mangu sekaligus menjadi tanggun
kaja, batas paling utara, orientasi arah baik bagi kawasan
Bali Selatan (Badung) maupun Bali Utara (Buleleng).
Bagi manusia Bali, arah kompas utara
memang tidak selalu identik dengan orientasi arah kaja,
karena kaja sebagai orientasi bukan menunjuk pada arah
jarum kompas melainkan justru menunjuk ke arah gunung.
Karena gunung-gunung jagat Bali berada di tengah-tengah
(baca kembali BPM edisi Minggu Umanis, 16 Maret 2003 lalu
di halaman ini) maka kaja bagi masyarakat Bali Utara jelas
menunjuk kawasan gunung di sisi selatan. Sebaliknya, bagi
masyarakat Bali Selatan, kaja jelas menunjuk gunung di
sisi utara. Dengan begitu bentang batas utara (tanggun
kaja) daerah Bali Selatan (Badung) adalah Pucak Mangu.
Begitupun tanggun kaja Bali Utara (Buleleng) juga di Pucak
Mangu.
Maka di sini, di Pucak Mangu, inilah
titik temu batas (tanggun) kaja dengan kaja dua belahan
Bali: utara dan selatan. Inilah kajaning kaja (utaranya
utara) Bali Selatan maupun Bali Utara. Karena arah kaja,
ke gunung, bagi manusia Bali merupakan ulu (hulu, kepala)
dan utara, maka kajaning kaja Pucak Mangu sekaligus merupakan
uluning ulu (hulunya hulu) dan utamaning utama (utamanya
utama) Bali Selatan maupun Bali Utara.
Selain sebagai kajaning kaja Badung dan
Buleleng (2-B), keunikan istimewa situs kawasan Pucak
Mangu ini masih ditambah lagi dengan posisinya sebagai
radius titik kamu batas bagi tiga kabupaten lain di Bali:
di arah barat Tabanan, di arah timur Bangli, di arah tenggara
Gianyar. Dengan begitu, setidaknya Pucak Mangu menyayomi
memberi vibrasi bentang keindahan spiritual ekologis sekaligus
ekonomis bagi lima kabupaten dari delapan kabupaten di
Bali (dulu, sebelum Denpasar menjadi Kota tersendiri.
Hanya Bali Timur (Karangasem) dan Bali Barat (Jembrana)
tak mengait langsung dalam jangkauan vibrasi Pucak Mangu.
Itu berarti, Pucak Mangu sebagai titik sentrum Bali Selatan
(Badung), Bali tengah (Tabanan, Gianyar, Bangli), dan
Bali Utara (Buleleng).
Sepatutnya memang Pucak Mangu menjadi
hulu orientasi spiritual agraris maupun semodern apa pun
sebagian besar manusia di daratan Bali nanti. Ini penting
karena sangat jelas benderang nyata sudah ditunjukkan
lewat alir air sungai subak yang berpusat hulu di tiga
danau itulah sebagian besar manusia di daratan Bali mendapatkan
air penopang hidup. Tak terkecuali yang dialirkan lewat
lembaga bernama PDAM (perusahaan daerah air minum) maupun
oleh badan-badan swasta komersial berkerakusan yang mengemas
air ke dalam gelas, botol, maupun galon plastik!
Sepatutnya memang Pucak Mangu menempati
posisi penting dalam bentang jagat spiritual kosmologi
Bali dengan status sebagai pura Sad Kahyangan sekaligus
Pura Padmabhuwana dengan posisi utara/Barat-laut arah
barat laut (wayabya/kaja kauh, titik temu utara dan barat),
sebagai stana Hyang Manikumayang, Sangkara, bersenjata
gaib Angkus, dengan aksara suci SING, berpenggetaran rupa
warna hijau. Dalam wujud ragawi bangunan suci di Pura-Pura
desa di Bali diwujudkan berupa bebaturan perwakilan stana
Hyang Anantabhoga, sumber sandang pangan tiada akhir tiada
berpenghabisan.
Karena itu, situs keindahan Pucak Mangu
(hingga Kintamani Batur) harus seharus-harusnya dijaga,
dilindungi kelestarian keajegannya oleh semua manusia,
tanpa pengecualian, yang hidup di atas tanah Ibu Bumi
Pertiwi Bali ini. Pembabatan hutan, pengalihfungsian semena-mena
lahan menjadi kawasan terbangun beton fisik, mencemari
air danau, dan perilaku destruktif semacamnya semestinya
diganjar sanksi berat karena sesungguhnya perilaku demikian
telah mengancam kelangsungan hidup manusia dan mahluk
banyak lewat perusakan situs alam keindahan itu.
Sayang, sungguh teramat sayang, bila
gara-gara alasan PAD (pendapat asli daerah) nanti malah
jadi rebutan, hendak dipotong-potong, dikapling-kapling.
Padahal, aliran air dari danau ke sungai-sungai yang menembus
desa-desa, antarkecamatan, kabupaten-kabupaten, lalu berhilir
muara di laut lepas begitu utuh, tidak mungkin bisa dipotong-potong
dikapling dengan alasan PAD. Itu sebab, tradisi sawinih
yang berdasar orientasi pada hulu danau dan aliran air
sungai menjadi penting, bukan berdasarkan teritori kabupaten.
Ini tentu bila benarlah semua hendak berpikir Bali holistik-menyeluruh
tetap sebagai satu kesatuan utuh ekologi, kosmologi, sumber
daya, maupun budaya berbasis spiritual. Lebih konyol salah
kaprah lagi bila yang nyiwi menopang keajegan Pura Pucak
Mangu sebagai Kahyangan Jagat hanya warga Kecamatan Mengwi
dan Petang, Badung. Padahal, nyata senyata-nyatanya Pucak
Mangu menjadi ''ulu subak'' manusia Bali di kawasan Bali
selatan, tengah, dan juga utara. Lewat PDAM dan produk
perusahaan air kemasan, maupun aliran sungai-sungai maka
sepatutnya Pucak Mangu di-sungsung ditopang keajegannya
oleh semua manusia di Bali. Air yang mengalir dari ketiga
Danau itu ditenggak semua orang di tanah Bali, lebih-lebih
lagi di Denpasar, Badung, Tabanan, Gianyar, lantas kok
yang memikul beban berat kewajiban bersyukur cuma petani
subak bekas seputar Mengwi dan Petang? Apa manusia modern
bergaya kota, berpendidikan berijazah sekolah formal,
tidak bisa (atau merasa tidak perlu) bersujud bersyukur
lagi karena jumawa merasa bisa menciptakan air tanpa karunia
waranugraha Hyang Danawa, Hyang Manikumayang, Hyang Sangkara
yang di-sungsung dipuja di Pura Pucak Mangu dengan penataran
di Tinggal dan Ulun Danu Beratan Itu? Beh, di mana ada
manusia bisa hidup tanpa air tanpa topangan alam semesta
raya?
* I Made Prabaswara |