Pura Pucak Bon merupakan salah satu pura
yang ada di kawasan Petang, Badung Utara yang belum banyak
dikenal umat. Pura ini diyakini sebagai sumber kemakmuran
atau kekayaan
Pura Penataran Agung Pucak Entapsai Bon
atau yang sering disebut Pura Pucak Bon terletak di dataran
tinggi wilayah Desa Adat Bon, kedinasan Desa Belok, Kecamatan
Petang, Badung.
Dari kota Denpasar berjalan ke lokasi menuju
arah Utara melalui Desa Pelaga, hingga di Desa Adat Bon
berjarak 59 km, dan bisa ditempuh dengan kendaraan roda
empat selama 1 jam 40 menit dengan kecepatan rata-rata 60
km/ jam tibalah di Pura Pucak Bon.
Karena Pura Pucak Bon sangat tinggi dan
posisinya di sebuah puncak pegunungan, sehingga jika ada
piodalan krama setempat cukup mengadakan upacara di Pura
Penataran Agung yang ada di bawah. Jika ingin ke Pucak Pura
diperlukan waktu paling lama sekitar 2 jam 30 menit, ini
pun harus dengan jalan kaki. Pasalnya jalan menuju pucak
belum ada jalan yang memadai dan hanya terdapat jalan setapak
yang kanan-kirinya terdapat tebing yang sangat tinggi dan
curam. Ketinggian pura diperkirakan mencapai 1.364 meter
dari permukaan laut. Dalam perjalanan diingatkan agar krama
pamedek berhati-hati, sebab medan jalan cukup berbahaya.
Biasanya para pamedek hanya tangkil di
penataran saja, seperti dikatakan tadi untuk menuju pucak
memerlukan perjalanan yang cukup lama dan melelahkan.
Menurut sejarahnya kata "Bon"
berasal dari kata "bo" dan berkembang menjadi
"Bon" yang artinya bau. Sejarah khusus yang menyangkut
Pura Pucak Bon sampai saat ini belum ditemukan prasasti
dan masih misteri.
Secara mitologi disebutkan dalam lontar
Dwijendra Tattwa, dan di dalam Babad Mengwi Raja, disebutkan
tentang berdirinya pura.
Sekitar tahun 1460 sampai 1550 Masehi,
saat pemerintahan Dalem Waturenggong, yang berpusat di Gelgel
Klungkung, disebutkan keadaan di Pulau Bali sangat subur
dan aman, rukun dan hampir tidak pernah terjadi permasalahan
yang berarti. Lantaran raja waktu itu tahu memerintah dengan
swadharmanya yang baik sebagai seorang dalem.
Sekitar tahun 1489 atau Isaka 1411 datanglah
ke Pulau Bali seorang purohito sastrawan dan rohaniwan yang
berbhiseka Danghyang Dwijendra, pandita Hindu kelahiran
Kediri, Jawa Timur. Pada waktu masih muda atau welaka beliau
bernama Danghyang Nirartha setelah kawin dari seorang daha
dari Jawa Timur serta "bernabe" dan "diniksa"
mertua beliau di Daha, Danghyang Nirartha dianugrahi bhiseka
kawikon Ida Danghyang Dwijendra. Dalam perjalanan beliau
dari Jawa ke Bali telah berbagai pura berdiri yang berkaitan
dengan perjalanan sucinya. Disebut sebagai pura yang ada
kaitannya dengan pura itu adalah, Pura Pucak Tedung karena
dalam perjalanan beliau dikatakan ketinggalan payung atau
tedung sehingga pura tersebut dinamakan dengan Pura Pucak
Tedung.
Pura Perancak yang ada di Jembrana dikatakan
beliau ketinggalan sebuah pisau kecil yang disebut dengan
temutik yang tangkainya dari les kayu ancak sehingga sebagai
penghormatan berdirilah Pura Perancak. Dan juga mengapa
babantenan sering menggunakan daun ancak. Demikian juga
pura lainnya seperti Pura Puncak Mangu, Pura Pucak Pegametan,
Pura Sekar Taji dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan Pura Pucak Bon,
menurut sejarahnya. Di pura inilah Danghyang Dwijendra mengadakan
pemujaan di pegunungan yang saat ini disebut dengan Pucak
Bon, saat itu timbullah bau yang sangat harum.
Sehubungan dengan bau ini waktu beliau
di Blambangan tercium bau harum pada lembar-lembar lontar
yang ditulis atas permintaan istri raja Blambangan yang
bernama Sri Aji Juru. Karena berbau harum beliau diduga
memasang guna-guna dan hampir dibunuh. Sebagai penghormatan
kesaktian beliau dan kesuciannya dengan adanya bau harum
tersebut maka didirikan sebuah pura yang disebut dengan
Pura Pucak Bon. Pemedek sering menyebut pura ini dengan
Pura Pucak Entap Sai Bon.
*patra
I Ketut Wigama
|