Sebagai pemeluk agama Hindu Suku Tengger tidak seperti pemeluk
agama Hindu pada umumnya, memiliki candi-candi sebagai tempat
peribadatan, namun bila melakukan peribadatan bertempat di
punden, danyang dan poten.
Poten merupakan sebidang lahan di lautan pasir sebagai
tempat berlangsungnya upacara Kasada. Sebagai tempat pemujaan
bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu, poten terdiri
dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi
di pekarangan yang dibagi menjadi tiga Mandala, yaitu :
MANDALA UTAMA
Disebut juga jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan
yang terdiri dari:
Padma berfungsi sebagai bentuknya serupa candi yang dikembangkan
lengkap dengan pepalihan. Fungsi utamanya tempat pemujaan
Tuhan Yang Maha Esa. Padma tidak memakai atap yang terdiri
dari bagian kaki yang disebut tepas, badan/ batur dan kepala
yang disebut sari dilengkapi dengan Bedawang, Nala, Garuda
dan Angsa.
Bedawang Nala melukiskan kura-kura raksasa mendukung padmasana,
dibelit oleh seekor atau dua ekor naga, garuda dan angsa
posisi terbang di belakang badan padma yang masing-masing
menurut mitologi melukiskan keagungan bentuk dan fungsi
padmasana.
Bangunan Saka-pat (tiang empat) atau yang lebih besar letaknya
di bagian sisi sehadapan dengan bangunan pemujaan/ padmasana,
menghadap ke timur atau sesuai dengan orientasi bangunan
pemujaan dan terbuka keempat sisinya. Fungsinya untuk penyajian
sarana upacara atau aktivitas serangkaian upacara. Bale
Pawedan serta tempat dukun sewaktu melakukan pemujaan.
Kori Agung Candi Bentar, bentuknya mirip dengan tugu kepalanya
memakai gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat
mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar segi empat
atau sisi banyak dengan sisi-sisi sekitar depa alit, depa
madya atau depa agung. Tinggi bangunan dapat berkisar dari
sebesar atau setinggi tugu sampai sekitar 100 meter memungkinkan
pula dibuat lebih tinggi dengan memperhatikan keindahan
proporsi candi bentar. Untuk pintu masuk pekarangan pura
dari jaba pura menuju mandala sisi/ nista atau jaba tengah/
mandala utama bisa berupa candi gelung atau kori agung dengan
berbagai variasi hiasan. Untuk pintu masuk pekarangan pura
dari jaba tengah/ Mandala Madya ke jeroan Mandala Madya
sesuai keindahan proporsi bentuk fungsi dan besarnya atap
bertingkat-tingkat tiga sampai sebelas sesuai fungsinya.
Untuk pintu masuk yang letaknya pada tembok penyengker/
pembatas pekarangan pura.
MANDALA MADYA
Disebut juga jaba tengah, tempat persiapan dan pengiring
upacara terdiri dari:
Kori Agung Candi Bentar, bentuknya serupa dengan tugu,
kepalanya memakai gelung mahkota segi empat atau segi banyak
bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur
sangkar, segi empat atau segi banyak dengan sisi-sisi sekitar
satu depa alit, depa madya, depa agung.
Bale Kentongan, disebut bale kul-kul letaknya di sudut
depan pekarangan pura, bentuknya susunan tepas, batur, sari
dan atap penutup ruangan kul-kul/ kentongan. Fungsinya untuk
tempat kul-kul yang dibunyikan awal, akhir dan saat tertentu
dari rangkaian upacara.
Bale Bengong, disebut juga Pewaregan suci letaknya diantara
jaba tengah/ mandala madya, mandala nista/ jaba sisi. Bentuk
bangunannya empat persegi atau memanjang deretan tiang dua-dua
atau banyak luas bangunan untuk dapur. Fungsinya untuk mempersiapkan
keperluan sajian upacara yang perlu dipersiapkan di pura
yang umumnya jauh dari desa tempat pemukiman.
MANDALA NISTA
Disebut juga jaba sisi yaitu tempat peralihan dari luar
ke dalam pura yang terdiri dari bangunan candi bentar/ bangunan
penunjang lainnya. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok
penyengker batas pekarangan pintu masuk di depan atau di
jabaan tengah/ sisi memakai candi bentar dan pintu masuk
ke jeroan utama memakai Kori Agung.
Tembok penyengker candi bentar dan kori agung ada berbagai
bentuk variasi dan kreasinya sesuai dengan keindahan arsitekturnya.
Bangunan pura pada umumnya menghadap ke barat, memasuki
pura menuju ke arah timur demikian pula pemujaan dan persembahyangan
menghadap ke arah timur ke arah terbitnya matahari.
Komposisi masa-masa bangunan pura berjajar antara selatan
atau selatan-selatan di sisi timur menghadap ke barat dan
sebagian di sisi utara menghadap selatan.
Yadnya Kasada
Pada malam ke-14 Bulan Kasada Masyarakat Tengger penganut
Agama Hindu (Budha Mahayana menurut Parisada Hindu Jawa
Timur) berbondong-bondong menuju puncak Gunung Bromo, dengan
membawa ongkek yang berisi sesaji dari berbagai hasil pertanian,
ternak dan sebagainya, lalu dilemparkan ke kawah Gunung
Bromo sebagai sesaji kepada Dewa Bromo yang dipercayainya
bersemayam di Gunung Bromo. Upacara korban ini memohon agar
masyarakat Tengger mendapatkan berkah dan diberi keselamatan
oleh Yang Maha Kuasa.
Upacara Kasada diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger
dan pementasan sendratari Rara Anteng Jaka Seger di panggung
terbuka Desa Ngadisari. Kemudian tepat pada pukul 24.00
dini hari diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat
di poten lautan pasir Gunung Bromo. Dukun bagi masyarakat
Tengger merupakan pemimpin umat dalam bidang keagamaan,
yang biasanya memimpin upacara-upacara ritual perkawinan
dll. Sebelum dilantik para dukun harus lulus ujian dengan
cara menghafal dan membacakan mantra-mantra.
|