Pura Penegil Dharma
 
 
Pura Penegil Dharma


Indriyanam jaye yogam
Samatistheddivanisam.
Jitendriyo hi saknoti.
Vagesthapayitumprajah
(Manawa Dharmasastra, VII.44).

Maksudnya:

Siang dan malam terus berusaha mengendalikan indria sekuat tenaga. Kalau raja berhasil menundukan indrianya sendiri maka raja akan dapat membuat rakyatnya patuh pada kepemimpinannya.

SETIAP orang hendaknya mengamalkan ajaran kitab suci ke dalam dirinya sendiri dan untuk bekal mengabdi pada orang lain. Yang tertinggi ajaran kitab suci itu untuk dijadikan pegangan berbakti kepada Tuhan. Apalagi bagi seorang yang berkedudukan sebagai raja. Sebelum bertugas mengendalikan pemerintahannya seorang raja harus berusaha siang malam mengendalikan indrianya agar patuh pada arahan pikiran dan kesadaran budhinya.

Indria yang berada di bawah kendali pikiran dan kesadaran budhi itu akan dapat mengimplementasikan kesucian Atman dalam setiap perilakunya. Apalagi sebagai seorang raja memiliki kewajiban berat untuk mengupayakan rasa aman (Raksanam) dan kehidupan yang sejahtera (Danam) bagi rakyatnya. Seorang raja membutuhkan stabilitas fisik dan mental yang kuat serta moral yang luhur. Karena itu, ia harus secara khusus menyediakan waktu untuk penguatan diri secara utuh.
Demikianlah Pura Penegil Dharma yang berdiri di pantai utara Kabupaten Buleleng sebagai pura untuk tempat bermeditasinya raja dengan pembantu-pembantunya. Selanjutnya setelah sang raja berstatus sebagai Dewa Pitara di Sunia Loka distanakan di pura ini.

Pura Penegil Dharma dengan Pura Prasanaknya ini terletak di Desa Kubutambahan dan Desa Bulian, Buleleng Utara. Pura Penegil Dharma ini pada mulanya bernama Pura Penyusuhan yang bentuknya hanya sebongkah batu hitam yang sangat kuno namun ada sesuatu yang magis religius di balik bentuk sederhana itu.
Sekitar tahun 1994 rombongan dosen Fakultas Teknik atas undangan umat berkunjung ke kaki Gunung Raung di Banyuwangi dan juga ke sebuah Petilasan di Alas Purwo untuk sembahyang. Persembahyangan itu sangatlah khusyuk. Dalam persembahyangan yang sangat hening itu ada salah seorang dosen mendapatkan bisikan spiritual. Isi petunjuk spiritual itu agar umat Hindu segera melestarikan tempat-tempat pemujaan atau pura yang ada di Gigir Manuk. Umat telah lama lupa pada tempat pemujaan Ida Batara di Pura Penegil Dharma.

Petunjuk spiritual itu diyakini kebenarannya oleh para dosen yang ikut sembahyang saat itu. Para dosen pun siap memberi bantuan teknik kalau ada pemugaran pura yang dimaksud. Setelah itu Pura Penegil Dharma itu pun dicari. Ternyata yang dimaksud Pura Penegil Dharma itu adalah Pura Penyusuhan yang ada di Desa Kubu Tambahan. Kata ''susuh'' itu adalah bahasa Jawa yang artinya ''tegil'' ayam dalam bahasa Balinya. Sejak itulah Pura Penyusuhan mendapat nama Pura Penegil Dharma. Nama inilah yang sekarang lebih dikenal luas oleh umat Hindu di Bali.

Setelah melalui berbagai pembahasan yang mendalam maka terbentuklah Panitia Pemugaran Pura Penegil Dharma dan Prasanaknya. Panitia pemugaran itu diketuai oleh Drs. Putu Armaya. Sebelumnya Dekan Fakultas Teknik membentuk juga panitia bantuan di bidang teknik yang diketuai oleh Ir. I Gusti Lanang Utawa pada Mei 1995.

Pura Penegil Dharma termasuk pura pesanakannya berjumlah sembilan pura. Enam pura di Desa Kubu Tambahan dan tiga pura di Desa Bulian. Di timur laut Desa Kubu Tambahan terdapat enam buah pura yaitu Pura Penyusuhan (Pura Penegil Dharma), Pura Pande, Pura Kerta Negara Gambur Anglayang, Pura Dalem Puri, Pura Patih dan Pura Madue Karang. Tiga buah pura di Desa Bulian yaitu Pura Candri Manik, Pura Sang Cempaka (Mahisa Cempaka) dan Pura Gede.


Di Pura Kerta Negara Gambur Anglayang di sebelah barat laut Pura Penegil Dharma. Pura ini tergolong Pura Prasanak dari Pura Penegil Dharma. Di Pura Kerta Negara Gambur Anglayang ini di samping ada Padmasana terdapat pelinggih-pelinggih untuk memuja Ida Ratu Pasundan, Ida Ratu Pamelayu, Ida Ratu Agung Dalem Mekah, Ida Ratu Manik Subandar dan Ida Batari Sri (Medang Kamulan).

Di pura ini nampaknya dipuja roh suci dari berbagai tokoh yang memiliki keyakinan yang berbeda-beda namun tetap rukun dan damai dalam membina kehidupannya. Hakikat Tuhan itu adalah Mahaesa. Tuhan Yang Mahaesa itu dipuja oleh setiap umat dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Setiap sistem keyakinan menyebut Tuhan Yang Mahaesa dengan sebutan yang berbeda-beda. Sangatlah tidak pantas sebutan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Mahaesa itu dipertentangkan. Hal itu akan membuang-buang energi saja.

Pelinggih utama di Pura Penegil Dharma adalah Pelinggih Gedong yang disangga Badawang Nala. Menurut Ida Pandita Sri Bhagawan Wira Panji Yoginanda, pada awalnya Pura Penegil Dharma ini ditemukan bongkahan batu yang cukup unik dan ada vibrasi spiritual yang sangat luar biasa di balik bentuk sederhana itu. Di tempat itulah didirikan Gedong dengan alas Badawang Nala. Pura Penegil Dharma ini menurut diktat sejarah Pura Penegil Dharma dan Prasanaknya didirikan pada awalnya oleh dinasti Raja Warmadesa dalam wujud yang sangat sederhana.

Keberadaan Pura Penegil Dharma seperti sekarang ini berkat kerja keras Panitya Pemugaran Pura Penegil Dharma dan Prasanaknya yang diketuai oleh Drs. Putu Armaya di Pura Penegil Dharma ini beliau dipuja dengan gelar ''Batara Prameswara Sri Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana''.

* Ketut Gobyah

PURA PENEGIL DHARMA BERAWAL DARI KERAJAAN KAWISTA

Pura Penegil Dharma berada di wilayah Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan, Buleleng. Pura yang tergolong Kahyangan Jagat Nusantara ini sering pula disebut Pura Puseh Penegil Dharma atau Penyusu Dharma. Berdasarkan penuturan Ulu Krama Pura Penegil Dharma Prof. Putu Armaya, pura ini merupakan pura tertua di Bali dan menjadi cikal-bakal Bali. Sebagai pusat kesucian bhuwana agung. Sejarah pendirian pura ini dimulai pada 915 Masehi.

Menurut Prof. Armaya, keberadaan Pura Penegil Dharma tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Ugrasena, pendiri Dinasti Warmadewa dan Maha Rsi Markania atau yang disebut masyarakat Bali sebagai Rsi Markandea. Pura Penegil Dharma sudah ada sebelum Majapahit datang ke Bali. Saat itu Bali masih menyatu dengan Pulau Jawa dan berada di ujung timur pulau itu. Dahulu Bali bernama Prawali. "Itu berdasarkan prasasti Mataram I," ucap ahli sejarah yang pernah jadi Ketua DPRD Buleleng pada 1977 ini.

Dalam prasasti itu juga tertulis bahwa Gunung Merapi meletus hebat pada 914 Masehi. Letusannya menghancurkan ibu kota Kerajaan Mataram I yang berpusat di Candi Boko, Jawa Tengah, di mana penduduknya menganut agama Siwa. Raja Mataram I Sri Sanjaya meninggal karena bencana itu. Kemudian masyarakat setempat yang selamat dipimpin Mpu Sindok mencari tempat baru untuk mendirikan kerajaan.

Mereka menyusuri perbukitan selatan Pulau Jawa. Di lereng Gunung Semeru rombongan itu menemukan aliran sungai bernama Berantas. Akhirnya di tepi sungai itu, Mpu Sindok yang begelar Rakai Hino membangun kerajaan yang diberi nama Kahuripan.

Sementara Ugrasena, salah seorang anggota keluarga Raja Mataram I tidak ingin turut membangun Kahuripan. Hal tersebut karena dalam meditasinya di Candi Boko, Ugrasena yang seorang spiritualis tinggi itu melihat pralingga Ida Sang Hyang Widhi di ujung timur Pulau Jawa yaitu Prawali bersinar berkilauan. Ugrasena lalu berniat membangun pusat kerajaan baru di Prawali.

Di Kahuripan, Ugrasena mendengar bahwa ada parekan Ida Sang Hyang Widhi sedang bertapa di Puncak Gunung Semeru. Namanya Maha Rsi Markania. Nama "Markania" berasal dari kata "parekan". Ugrasena lalu menghubungi Maha Rsi itu dan bersama-sama mencari pralingga di Prawali. Bersama sebagian rakyat Mataram I mereka akhirnya menemukan pralingga tersebut di tepi danau yang kemudian diberi nama Kawista yang artinya buah bila.

Kawista ini juga singkatan dari "Kawi Prayascita", bermakna wilayah Kawista sebagai ibu kota yang sudah suci karena titah (takdir) sebelum campur tangan manusia yang mengupacarai kesuciannya. Maha Rsi Markania mengatakan tempat itu Gigir Manuk yang berada di wilayah Desa Kubutambahan hingga Air Lutung (Ponjok Batu).

Kawista dibangun menjadi pusat kerajaan, istana, agama dan petirtaan karena di dalam danau itu ada 118 mata air suci. Ugrasena menjadi Raja Kawista dengan gelar Kesari Warmadewa. Sementara Senapati Kuturan atau Menteri Agama dijabat Rsi Markania yang merangkap sebagai penasihat raja. Kawista inilah nantinya menjadi Pura Penegil Dharma.

Batas wilayah Kawista di arah utara adalah laut yang ada hutan bakau sepanjang 200 meter. Di dalamnya terdapat laguna yaitu danau air tawar yang tembus ke laut. Timur: Ponjok Batu (Air Lutung). Selatan: Paradayan Air Tabar (sekarang jadi Desa Bayad, Tajun, Tunjung, Depeha). Barat daya: Bila (sekarang jadi Bila Tua, Bila Bajang, Bengkala, Tamblang) dan di arah barat: Air Raya (Tukad Aya).

Di Istana Kawista inilah lahir keturunan Dinasti Warmadewa yaitu putra-putra Kesari Warmadewa. Pertama Janasadhu Warmadewa dengan permaisurinya Sri Wijaya Mahadewi yang menurunkan Udayana. Udayana memiliki permaisuri Mahendradatta, yaitu mindon-nya dari Kerajaan Kahuripan. Keturunan selanjutnya dari Dinasti Warmadewa yaitu Marakata Pangkaja dan Anak Wungsu tidak menghasilkan keturunan (ceput) sehingga tidak ada penerus Kerajaan Kawista yang masih menyatu dengan Pulau Jawa itu. Kawista akhirnya jadi hutan rimba yang ditempati para bromocorah.

Sementara pada 1248, di Singosari dinobatkan dua pangeran muda menjadi raja kembar, setelah perebutan kekuasaan di Daha. Kedua pangeran bersepupu itu masing-masing Ranggawuni dan Mahesa Cempaka. Ranggawuni dinobatkan sebagai raja Jawa bergelar Jaya Wisnu Wardana, sedangkan Mahesa Cempaka menjadi Raja Mancanegara Nusa Atepan yang terdiri tujuh gugusan kepulauan selain Jawa. Dia juga disebut Nara Jaya atau Jaya Pangus. Sebagai raja dia bergelar Narasinga Murti. Sementara Nusa Atepan diberi nama Narasinga Negara dengan lambang singa bersayap.

Selanjutnya, Wisnu Wardana memperistri adik Narasinga Murti bernama Waninghiun. Mereka memiliki putra Kertanegara. Sejak itulah terjadi keretakan antara keluarga Wisnu Wardana dengan Narasinga Murti. Muncul isu Narasinga Murti tidak dikehendaki berada di Jawa karena dia raja mancanegara. Maka pada 1250, Narasinga Murti melacak jejak istana leluhurnya di Prawali. Tujuannya untuk dijadikan pusat kerajaan Narasinga Negara. Saat itu Prawali sudah terputus dengan Pulau Jawa dan menjadi pulau tersendiri bernama Bali. Kedua pulau itu terpisah laut sempit yang lebarnya kurang dari 100 meter sehingga diberi nama "Segara Rupet".

Akhirnya Narasinga Murti yang saat itu bernama Suradipa atau Ksatria tanah leluhur menemukan Kawista. Lahirlah istilah Pakraman I Bulian dari kata "muloyo iki pusering jagat prawali". I Bulian juga berarti tanah yang lain. Pada 1260 sesuai permintaan Pakraman Paradayan Bulian, Narasinga Murti menjadi Pasek di tempat tersebut karena sudah lama terjadi kekosongan kekuasaan di Bali. Kawista juga sudah ditempati para bromocorah yang merampok pedagang yang melewati tempat itu. Dengan menyandang nama Jayasakti, dia lalu menumpas para penjahat itu.

Pura Penegil Dharma

Setelah menumpas para penjahat, Kawista dibangun kembali menjadi areal pura. Di Pura Puseh Panegil Dharma dibangun lima pura yaitu Pura Pucaking Giri (selatan), Pura Patih Patengen Agung (utara), Pura Kertapura yang berfungsi sebagai pesamuan para raja dan patih di Narasinga Nagara (tengah), dalam telaga, Pura Taman Sari Mutering Jagat Istana Dharmadyaksa (timur) dan Pura Kerta Negara Mas sebagai istana raja.

Sementara pusat itu dikelilingi delapan pura lainnya masing-masing Pura Negara Gambuh Anglayang, Dalem Puri, Maduwe Karang, Patih, Pandita, Candri Manik, Gede dan Pura Sang Cempaka.

Menurut Prof. Armaya, di Pura Penegil Dharma semua umat harus mohon kesadaran terhadap fungsi panumadian supaya perjuangan hidup berhasil dengan baik. Orang yang bersembahyang ke pura ini harus dalam keadaan bersih lahir batin seperti balita.

"Jangan meminta hal-hal aneh seperti kekayaan berlebihan karena tidak akan berhasil. Begitupun niat-niat buruk, tidak akan mempan dilakukan di Pura Penegil Dharma," ucapnya.

Sementara itu, salah seorang pemangku di Pura Penegil Dharma Jro Mangku Gede Nyoman Sara mengatakan pura ini berada di lahan seluas sekitar 1,5 hektar. Piodalan di pura ini berlangsung setiap enam bulan, yaitu saat Buda Manis Julungwangi. Pura ini disungsung seluruh masyarakat Buleleng dan Bali.

Pangemongnya dari Desa Pakraman Kubutambahan yang terdiri atas Pasaren, Teruna dan Pemaksan. Jumlahnya lebih dari 500 orang. Para pangemong ini yang menyiapkan segala upacara yang berlangsung di Pura Penegil Dharma.

sumber: BaliPost

Jejak Pura Puseh Penegil Dharma, Pusat Pengembangan Agama dan Pemerintahan

Quote:

Pura Penegil Dharma (PPD), nama dari sembilan pura yang terdapat di Desa Kubutambahan dan Desa Bulian, Kabupaten Buleleng. Pusat dari pusat pura itu adalah Pura Puseh Penegil Dharma atau dikenal dengan nama Pura Penyusuhan. Pura ini tidak pernah diketemukan tertulis pada prasasti-prasasti yang ada. Pura itu baru dikenal awal 1995, pada saat rombongan dosen Teknik Unud mengunjungi sebuah desa di kaki Gunung Raung, Banyuwangi. Di sebuah petilasan yang ada di sekitar Desa Alas Purwo itu, nama Pura Penegil Dharma yang terdapat di Gigir Manuk muncul sebagai sebuah pura yang harus dilestarikan. Apa dan bagaimana keistimewaan Pura Penegil Dharma itu, sehingga orang-orang spiritual banyak berkunjung ke sana? Apa filosofi pura dalam konteks kekinian? Bukti-bukti sejarah apa yang mendukung keberadaan pura tersebut?


Menurut Klian Ulu Krama Pengemong Pura Penegil Dharma Prof. Drs. Putu Armaya, apabila diperhatikan secara seksama, bentuk Pulau menyerupai bentuk seekor itik dengan posisi kepala menghadap ke Barat. Punggungnya menghadap ke utara, ekornya menghadap ke Timur. Perut bagian bawah serta dada menghadap Samudera Hindia di selatan.

Dari gambaran itu, di mana punggung menghadap ke utara, besar kemungkinan bahwa terjalin hubungan Pulau Bali dengan pusat-pusat budaya, baik yang bersifat lokal di nusantara, maupun yang hubungan internasional. Dicontohkan, hubungan dengan pusat budaya Cina, India, Mesir, Babilonia, Atena dan lain-lainnya dimulai dari Bali Utara.

Dikatakan, jika meneropongnya dari sisi spiritual, pada punggung (gigir manuk), ada satu jalur penghubung sepanjang sumsum tulang belakang yang dikenal dengan istilah kundalini. Penjelasan secara spiritual itu lebih meyakinkan lagi bahwa Bali bagian Utara yang menggambarkan gigir manuk terdapat tempat-tempat suci yang punya nilai magis yang sangat tinggi.

Di samping penjelasan itu, di Bali Utara juga dikenal dengan konsep Nyegara Gunung dengan ditemukan Pura Mutering Jagat di sepanjang pesisir utara Pulau Bali. Bila ditelusuri dari segi geografis, di daerah punggung yang menghadap ke utara Pulau Bali atau dikenal dengan istilah gigir manuk atau tulang geger yang nampak paling menonjol. Hal itu, tak ubahnya sebuah daerah yang menonjol ke laut yang merupakan Tanjung Utara Pulau Bali.

Di daerah yang menonjol ini dulunya diduga terdapat sebuah laguna. Lokasi laguna diperkirakan kurang lebih 400 meter dari batas daratan yang ada sekarang. Dapat dibuktikan dengan keberadaan Barier yang ada serta perbedaan jenis tanah yang ada di sebelah utara jalan raya dengan jenis tanah di sebelah selatan jalan raya. Jenis tanah di sebelah utara jalan raya merupakan tanah endapan lumpur atau sedimentasi. Sedangkan jenis tanah di sebelah selatan jalan raya merupakan jenis tanah batuan.

Uraian tentang jenis tanah membuktikan bahwa memang daerah tersebut merupakan danau yang sangat luas yang bermuara ke laut, sehingga disebut laguna. Tempat pertemuan laut dan danau itu sekarang merupakan Pura Negara Gambur Angelayang. Di tempat itu dulu merupakan pelabuhan dagang yang bernama Kuta Baning yang berarti Benteng Perang.

Lebih lanjut dikatakan, Kuta Baning mempunyai arti sebagai berikut. Di atas merupakan sebuah tempat yang dikelilingi dengan benteng berfungsi sebagai pengamanan karena daerah tersebut merupakan pelabuhan dagang dan sebagai pusat perdagangan. Tempat ini sekarang sebagai salah satu pura pesanakan Padma Bhuana Kahyangan dengan nama Pura Negara Gambur Angelayang. Pura ini merupakan lambang di mana agama merupakan satu tujuan.

Dikatakannya, di Kawista inilah -- bila diruntut sejarah -- dibangun istana, pusat pemerintahan dan pusat agama yang didirikan oleh Sri Ugra Sena Warmadewa yang juga bergelar Sri Kesari Warmadewa (secara etimologi kata ''Ugra'' sama dengan kata ''Kesari'' artinya sama-sama Singa). Istana tersebut sekarang ini dikenal dengan nama Pura Puseh Penegil Dharma.

Sri Ugra Sena Warmadewa dikenal sebagai Sri Kesari Warmadewa saat beliau memimpin penyerangan daerah Suwal, Gerung atau Gurun yang dikenal sekarang dengan Sumbawa dan Lombok. Setelah membangun Kauripan bersama Mpu Sendok, Tabanendra Warmadewa membantu Ugrasena Warmadewa membangun Kawista. Istana beliau di tepi selatan Kawista, yang keberadaannya sekarang merupakan Pura Bukit Sinunggal. Tabanendra Warmadewa bertugas mengembangkan wilayah Tajun ke arah selatan sebagai sentra pertanian. Nama Tabanan diambil dari nama Tabanendra Warmadewa.

Lebih lanjut dikatakan, pasca-Sri Kesari Warmadewa, daerah Kawista juga sempat dijadikan kembali sebagai istana. Di sana dipakai sebagai pusat pemerintahan dan pengembangan agama. Selain bernama Kawista, pusat pemerintahan tersebut juga dikenal dengan nama Banyu Buah dan Puseh Penegil Dharma, sebagi pusat dari Padma Bhuana Kahyangan.

Nama Banyu Buah mempunyai arti ''berbuah di air''. Buah yang dimaksud adalah padi. Pada zaman pemerintahan Nara Singa Murti, sudah ada sistem subak untuk mengairi tanah pertanian (sawah). Subak yang pertama adalah Subak Tukad Dalem (tukad yang dibangun oleh Raja atau Dalem-red) yang masih bisa dilihat peninggalannya di sekitar Pura Penegil Dharma sekarang.

Kembali ke kata Kawista. Menurut Armaya, kata Kawista mempunyai arti ''tanah yang suci''. Tanah sebelum campur tangan manusia memang sudah dititahkan oleh Tuhan, Sang Pencipta sebagai tempat yang suci. Di tempat tersebut akan dibangun tempat suci, sebagai perlambang bangkitnya jalan-jalan sinar yang menganugerahkan hari wisuda dari sebuah jiwa setelah melewati lahir kembali yang siklusnya berulang-ulang.

Armaya mengatakan, di tempat suci merupakan pertanda dari kembalinya putra-putri sang Sinar yang berbaur dengan kita dalam wujud manusia yang terlahir lewat sang Illahi. Di pura tersebut akan dibuka segel buku sang Sinar yang lembaran-lembarannya direkatkan oleh tiap kepercayaan sebagai bahasa cinta kasih universal. Pusat Kawista yang menjadi Istana, pusat pemerintahan dan pusat agama, keberadaannya sekarang dikenal dengan nama Pura Puseh Penegil Dharma, berlokasi di Banyu Buah, Desa Kubutambahan. (sut)

Struktur dan Arsitektur Pura Penegil Dharma

PEMBANGUNAN tempat suci oleh Nara Singa Murti, mengikuti sistem ketatanegaraan pemerintahan di Kediri. Istana sebagai pusat pemerintahan juga pusat pengembangan agama. Raja sebagai kepala pemerintahan berfungsi sebagai stabilisator dan dinamisator makrokosmos. Menjalankan fungsi itu, Nara Singa Murti bergelar Parameswara Sri Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana.

Menurut Klian Ulun Krama Pengemong Pura Penegil Dharma Prof. Drs. Armaya dan pengikut spiritual Suhandoyo dari Yogyakarta, Mahesa Cempaka atau Nara Singa Murti mempunyai banyak nama. Masing-masing gelar mempunyai arti. Maharaja Aji Jayapangus gelar yang diberikan di Jawa saat mengikuti pendidikan. Sedangkan Jaya Sakti, Jaya Raga, Jaya Den Jaya, gelar yang diberikan pada saat membebaskan Istana Kawista dari sarang perompak yang mengganggu alur perdagangan laut.

Gelar Nara Singa Murti, gugusan bintang Leo atau bintang utara, sebagai pertanda tempat pemerintahan raja. Singa Murti, Singa Raja, Singa yang mengabdi pada Tuhan. Batara Guru, Nara Singa Murti mengembangkan agama, sehingga terjadi kolaborasi Ciwa, Buddha, Polinesia. Agama Hindu Bali yang sekarang memiliki konsep tiga kepercayaan di atas. Upacara tersebut dikenal dengan Tumpek Landep, Tumpek Wariga, Tumpek Kuningan, Tumpek Kerulut, Tumpek Kandang, Tumpek Wayang.

Dicontohkan Tumpek Landep. Makna tumpek ini terkait dengan hidup manusia. Manusia hidup menggunakan alat perjuang. Alat ini untuk mempermudah hidup seperti membuat alat teknik dan mengembangkan iptek. Umat makan untuk menjaga alat-alat tubuhnya berfungsi normal. Manusia pada saat itu tidak selalu tergantung pada benda. Berbeda dengan sekarang. Mereka lebih mengagung-agungkan benda dan berorientasi pada kekayaan materi.

Lebih lanjut dikatakan, Batara Maha Guru, gelar yang dipakai setelah menyelesaikan pembangunan Padma Bhuana Kahyangan. Batara Dana Diraja, beliau juga mengembangkan perekonomian dan pelabuhan bernama Kuta Baning. Sekarang berada di Pura Negara Gambur Angelayang. Batara Parameswara Cri Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana. Nara Singa Murti mengemban tugas sebagai stabilisator dan dinamisator makrokosmos dan mengembangkan konsep Padma Bhuwana Kahyangan.

Armaya mengatakan, padma berarti bunga teratai berdaun delapan. Masing-masing daun bunga berisi kekuatan suci. Di tengah daun berstana kekuatan Siwa. Pada bunga padma merupakan sembilan kekuatan suci. Padma Bhuana Kahyangan yang dibangun Nara Singa Murti berpusat di Pura Puseh Penegil Dharma. Padma Bhuana Kahyangan terdiri atas Pura Puseh Penegil Dharma, Negara Gambur Angelayang, Pingit, Meduwe Karang, Patih, dan Pura Dalem Puri. Selain itu, terdapat Pura Pande, Pura Sang Cempaka, dan Pura Candra Manik.

Dikatakan, dari konsep Padma Bhuana Kahyangan itu, Penegil Dharma dikelilingi ke delapan pura pesanakan dikenal konsep Asta Dala (Siwa). Dalam mengembangkan konsep Padma Bhuana Kahyangan, ia dikenal dengan nama Asta Sura Sri Ratna Bumi Banten. Bila kedelapan pura yang mengelilingi Pura Penegil Dharma mengikuti konsep Asta Dala, lima pura yang berada di Puseh Penegil Dharma mengikuti konsep tapak dara (Buda).

Lima pura di Puseh Penegil Dharma yang posisinya mengikuti konsep tapak dara. Pura Pucaking Giri, situs Karang Harum diperkirakan akarnya mencapai kedalaman 118 meter. Lokasinya di sebelah delatan merupakan tempat pemujaan Batara Parameswara Cri Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana. Tempat ini merupakan pusat pengembangan agama, beliau merupakan maharaja dan mahapandita.

Pura Kepatihan Petengen Agung berada di sebelah utara. Tempat ini merupakan sekretaris negara, kalau dibandingkan dengan susunan kabinet pemerintahan sekarang. Pelinggih Ratu Gede Petengen Agung merupakan tempat departemen kesehatan dengan adanya pelinggih Ratu Gede Balian Sakti di pura itu.

Konsep Nyegara Gunung

Pura Mutering Jagat salah satu konsep Nyegara Gunung. Arti dari jagat adalah daratan. Mutering Jagat adalah laut. Tanpa adanya laut tak mungkin ada daratan. Berlokasi di sebelah timur. Di tempat ini distanakan putri dari Nara Singa Murti, adik tiri dari Ratu Bagus Mas Aji Sapelinggih (dari ibu yang berbeda-red).

Pura Kertha Negara Mas berlokasi di sebelah barat, tempat istana Putra Nara Singa Murti yang bernama Ratu Bagus Mas Aji Sapelinggih, bergelar Asta Sura Cri Ratna Bumi Banten II yang merupakan Raja Bali terakhir sebelum Majapahit di Bali. Tempat ini dahulu berfungsi sebagai istana raja.

Pura Kertha Pura di Tengah, di mana pada masa pemerintahan merupakan tempat penerapan penegakan hukum. Di tempat ini terdapat bangunan ''Bale Mudra Manik''. Sebuah bangunan tempat pesamuhan para raja-raja Nusantara. Di tempat ini distanakan cucu laki-laki yang bernama Ratu Ngurah Kertha Pura dan cucu perempuan Ratu Ayu Mas Gemulung pada Bale Mudra Manik yang diapit oleh pelinggih Ibunda Ratu Ayu Manik Mekolem (Ratu Ayu Solo) di sebelah kiri dan pelinggih Ratu Patih Sebali di sebelah kanan.

Delapan pura pesanakan yang mengikuti konsep Asta Dala yakni Pura Pandita, di barat daya Pura Puseh Penegil Dharma, Desa Kubutambahan. Pura ini merupakan kompleks penasihat spiritual raja. Pura ini merupakan pesraman dari Resi Markandiya zaman pemerintahan Sri Kesari Warmadewa. Pura Meduwe Karang, berada di Desa Kubutambahan dan dibangun oleh Wijaya Mahadewi.

Pura Candra Manik dikenal pula dengan nama Pura Yeh Lesung di Desa Bulian. Pura ini istana darurat dari Sri Wijaya Mahadewi, pada saat Istana Kawista diserang oleh Wong Bajo. Saat yang bersamaan Punggawa Udayana menyerang Tampaksiring berkaitan dengan penganut sekte Bhairawa. Batara Indra yang kita tahu dari cerita berdirinya Pura Tirta Empul adalah Udayana. Saat itu diberikan gelar Indra Warmadewa. Di pura ini (Candri Manik) oleh masyarakat dipercaya adanya nama Dewi Suleca yang berstana.

Suleca berasal dari kata ''Salu'' dan ''Ica''. Salu berarti sanggar agung berkaki pendek atau singgasana. Sedangkan Ica berarti anugerah. Dari kata raja yang berarti Kinasihaning Jawoto. Dengan kata lain Sri Wijaya Mahadewi merupakan kesayangan Tuhan. Atas anugerah beliaulah Sri Wijaya Mahadewi menjadi raja. Pura Negara Gambur Angelayang di Desa Kubutambahan merupakan pusat perdagangan yang dikelilingi oleh benteng yang disebut Kuta Baning. Dikatakan, tempat ini dipakai transaksi perdagangan dan terjadinya kolaborasi budaya dari pedagang Melayu, Cina, Babilonia, Pasundan, India, Atena, dan pedagang-pedagang dari belahan dunia lainnya. ''Namun, untuk membuktikan kebenaran sejarah itu, perlu ada pengkajian yang sangat mendalam,'' katanya.

Menurut Armaya, pusat perdagangan ini di bawah pengawasan Ratu Ngurah Kertha Pura dibantu penasihat administrasi pabean. Sekarang dikenal dengan nama Ratu Gede atau Ayu Subandar. Beliau adalah salah seorang panglima saat dinasti Sung berkuasa di daratan Tiongkok yang diperbantukan untuk membantu Raja Nara Singa Murti mengelola pelabuhan dan administrasi pabean.

Di pura ini terdapat pelinggih Ratu Agung Syah Bandar, Ratu Agung Melayu, Ratu Bagus Sundawan, Ratu Gede Dalem Mekah, Ratu Ayu Pasek, Ratu Gede Siwa, Batari Sri Dwijendra dan Ratu Ayu Mutering Jagat. Keberadaan pura ini sangat berjasa dalam pembinaan dan penerapan agama. Agama itulah merupakan satu tujuan. Tempat di mana agama dan penganut agama berkumpul dan bersatu.

Pura Pingit di Desa Bulian. Sesuai dengan nama Pura Pingit, pura ini merupakan tempat melaksanakan pertapaan oleh Raja Nara Singa Murti. Sekarang dikenal dengan tempat penyimpanan prasasti (prasasti Bulian-red). Prasasti ini baru sebagian kecil saja bisa dibaca salinannya yang dikenal dengan nama prasasti Bulian A dengan nomor 633 dan prasati Bulian B dengan nomor 706.

Masih dalam kompleks Pura Penegil Dharma. Di sana ada Pura Patih di Desa Kubutambahan merupakan istana tepi siring bagian barat. Pura Sang Cempaka di Desa Bulian merupakan benteng pemantau laut berlokasi pada dataran tinggi. Pura Penegil Dharma yang kini menjadi incaran orang-orang spiritual memang memiliki kekuatan dan pancaran Illahi. Menurut Jro Mangku Gde Made Astika, pura ini penuh dengan misteri. Pengalaman spiritual sejak menjadi pemangku sangat unik. Apa yang tidak pernah dibayangkan manusia, terjadi dan muncul di sekitar pura itu. (sut)

Pura Penegil Dharma, Dalam Konteks Spiritual Modern

DALAM konteks kekinian, Pura Puseh Penegil Dharma (PPPD) banyak menyedot perhatian banyak pihak. Mulai dari kalangan spiritual, sejarawan, arkeolog dan lain-lain. Salah seorang arkeolog itu adalah berkebangsaan Swis yakni Mr. Bruno Riek. Ia pernah mengunjungi Pura Puseh Penyusuhan Dharma dalam upaya mencari sebuah gugusan bintang. Tujuannya, membuktikan sebuah teori tentang makrokosmos dan mikrokosmos.

Gugusan bintang yang dimaksud adalah gugusan bintang utara. Teori itu menyebutkan, tempat di mana gugusan bintang utara dapat dilihat dengan jelas, tempat di mana makrokosmos dan mikrokosmos benar-benar menyatu di daerah tersebut. Pendapat tersebut dikuatkan tokoh spiritual dari Benua Amerika, Elan dan Carrol. Kedua orang ini merasakan getaran-getaran energi illahi di lintas batas Pura Penegil Dharma tersebut.

Elan dari Kanada beserta Carrol dari Amerika dalam bahasa spiritual mengandaikan, bahwa sebelum semua berawal, dan sesudah segalanya berakhir, tempat ini sudah terpilih sebagai temple. Pulau Bali menggambarkan inti dari cincin api dan temple ini sebagai titik tengah tempat di mana semua kepercayaan yang berbeda akan menyatu dan disucikan menuju suatu titik -- unsur Tuhan yang suci dan unsur murni dari yang satu yang membara dalam hati.

Pandangan Elan dan Carrel mengingatkan pada nama Kawista yang mempunyai arti tanah yang suci. Temuan lain tentang Pura Puseh Penegil Dharma, dapat ditemukan pada World Matrix With Energy Centres. Dalam World Matrix With Energy Centres disebutkan, ''Tempat ini (di Pura Puseh Penegil Dharma-red) merupakan titik atau poin timur dari bola dunia. Titik barat ada pada Danau Titicaka di Puncak Gunung Titicaka di Peru''. Sebenarnya titik-titik tersebut, sesuai dengan isi bait-bait wargasari yang menyebutkan ...Betel Kangin, Betel Kauh. Maksudnya bahwa Bali merupakan Betel Kangin dan Danau Titicaka di Pucak Gunung Titicaka merupakan Betel Kauh.

Seperti disebutkan pada peta itu, tempat ini merupakan titik timur dari bola dunia. Di mana titik barat berada di sebuah Danau Titicaka di Puncak Gunung Titicaka di Peru. Jika sekarang masih tersisa mata air yang ada di Permandian Air Sanih dan mata air yang berada di dalam Pura Penyusuhan, memang tempat ini dahulu kala merupakan danau atau laguna yang membentang dari Pura Dalem Puri Desa Kubutambahan sampai Permandian Air Sanih.

Keberadaan laguna atau Danau itu memang disebutkan dalam beberapa prasasti dengan nama Er Madatu, Banyu Plasa atau Er Angga. Er Angga berasal dari Er Rangga. Rangga sama dengan pohon tenggulun. Tenggulun berasal dari kata ''tanggu ulu'' yang berarti tanduk menjangan. Jika dilihat saat ini, memang di sekitar Pura Puseh Penegil Dharma banyak ditemukan pohon tenggulun yang dimaksud. Dahannya menyerupai tanduk menjangan.

Titik barat di mana danau tersebut berada di pucak Gunung Titicaka, maka titik timur berada di gunung keempat yang dimaksudkan adalah Pucaking Giri (Puncak Gunung). Sekarang merupakan nama salah satu pura yang berada di Pusat Pura Penyusuhan Penegil Dharma.

Pendapat lain yang memperkuat arti spiritual Pura Puseh Penegil Dharma diungkapkan Mr. Jhon Barry, seorang koreografer dari Colorado. Mr. Jhon Barry. Setelah melakukan perjalanan ke negara Mesir (negeri Egip) untuk meneliti keberadaan piramida yang sangat termasyur, ia melanjutkan perjalanannya ke Bali untuk mencari Puncak Piramida yang diperkirakan berada di Pulau Bali.

Dalam sebuah perayaan Natal 24 Desember 1998 lalu yang dilaksanakan oleh kelompok warga negara Italia yang ada di Pulau Bali, Jhon Barry mengikuti rombongan ikut merayakan Natal di Pura Puseh Penegil Dharma. Tanpa disadari, pura itulah yang dicari sebagai pucak piramida. Tempat itu dianggap sebagai pucak dari sebuah piramida. Menurut pandangan beberapa kelompok yang mendalami spiritual, tempat itu merupakan tempat yang universal.

Dikunjungi Orang Spritual

Tak heran, sejak awal 1996, Pura Puseh Penegil Dharma banyak dikunjungi oleh orang-orang yang senang melakukan perjalanan spiritual. Tak pelak lagi Presiden Megawati Soekarnoputri juga sempat ke sana. Jumlah pejabat di Bali juga banyak yang bermeditasi di pura itu. Para pendalam spiritual itu berasal dari Bali luar Bali, bahkan mancanegara. Banyak dari mereka yang memberikan pandangan pribadi mereka tentang keberadaan pura tersebut.

Pandangan dan bahasa spiritual Elan O'Brien Carrol dari Kanada tentang keberadaan Pura Puseh Penegil Dharma seperti ini: ''Sebelum semuanya ada, dan setelah semuanya tiada, pura ini telah ditentukan sejak dahulu kala. Di saat kita semua berada dalam haribaan Yang Esa. Awalnya kita satu, kita adalah cinta kasih, kita adalah Tuhan itu sendiri''.

Kita adalah bagian dari sang Roh Pencipta yang bersemayam di dalam diri kita semua. Kita sepakat untuk memainkan beragam peran. Kita sepakat melupakan intisari Tuhan yang bersemayam di dalam diri kita. Maksudnya, semua agar dapat berpencaran dan mewujudkan bentuk yang lebih agung dari intisari Tuhan yang bersemayam dalam segala yang ada.

Pura ini mengisyaratkan kesiapan kita mengingat atau bersujud pada pura baik yang ada di Bhuana Alit maupun di Bhuana Agung. Semua orang telah ambil bagian dalam membuka pintu perwujudan penciptaan yang lebih agung. Semua kepercayaan dan perwujudannya adalah bagian dari kunci universal ini. Kunci ini adalah cinta kasih. Bila semua agama dan umat manusia bersatu dalam satu titik fokus guna menyalakan ungkapan mereka yang unik lewat Mudra dan Suara, daya mahkota dari Yang Esa akan bangkit.

Merpati (cinta kasih) yang bersemayam di dalam diri kita semua akan mulai berkelana dari bintang di dalam inti bumi. Melewati jalanan sang Naga dan bumi ini akan mencuat menjadi sebuah bintang yang menyatukan sorga-sorga dan bertahta sebagai Kerajaan Tuhan.

Oleh sebab itu, semua orang akan mendapat kesempatan. Mereka yang datang hanya perlu mengenali Tuhan yang bersemayam di dalam dirinya. Memilih untuk melangkah ke depan dan mengingat masa lalunya sebagai bagian dari intisari Tuhan sebagai pencipta yang Esa. Tiap orang akan memegang kode-kode istimewa yang diwujudkan dalam kepercayaan-kepercayaan mereka yang unik sebagai bagian dari rencana Sang Pencipta.

Ini menjadi lambang dari lengkungan pelangi yang menyatu di atas mau pun di bawah berlandaskan pemersatuan dua kutub yang berlawanan. Pura ini diciptakan untuk menjadi pintu masuk ke dalam mahkota yang hanya bisa dicapai dengan meniadakan waktu, ruang dan tidak mendua serta hati yang saling bertautan.

*Ngurah Paramartha
source: Balipost