Menurut Klian Ulu Krama Pengemong Pura Penegil Dharma Prof.
Drs. Putu Armaya, apabila diperhatikan secara seksama, bentuk
Pulau menyerupai bentuk seekor itik dengan posisi kepala
menghadap ke Barat. Punggungnya menghadap ke utara, ekornya
menghadap ke Timur. Perut bagian bawah serta dada menghadap
Samudera Hindia di selatan.
Dari gambaran itu, di mana punggung menghadap ke utara,
besar kemungkinan bahwa terjalin hubungan Pulau Bali dengan
pusat-pusat budaya, baik yang bersifat lokal di nusantara,
maupun yang hubungan internasional. Dicontohkan, hubungan
dengan pusat budaya Cina, India, Mesir, Babilonia, Atena
dan lain-lainnya dimulai dari Bali Utara.
Dikatakan, jika meneropongnya dari sisi spiritual, pada
punggung (gigir manuk), ada satu jalur penghubung sepanjang
sumsum tulang belakang yang dikenal dengan istilah kundalini.
Penjelasan secara spiritual itu lebih meyakinkan lagi bahwa
Bali bagian Utara yang menggambarkan gigir manuk terdapat
tempat-tempat suci yang punya nilai magis yang sangat tinggi.
Di samping penjelasan itu, di Bali Utara juga dikenal dengan
konsep Nyegara Gunung dengan ditemukan Pura Mutering Jagat
di sepanjang pesisir utara Pulau Bali. Bila ditelusuri dari
segi geografis, di daerah punggung yang menghadap ke utara
Pulau Bali atau dikenal dengan istilah gigir manuk atau
tulang geger yang nampak paling menonjol. Hal itu, tak ubahnya
sebuah daerah yang menonjol ke laut yang merupakan Tanjung
Utara Pulau Bali.
Di daerah yang menonjol ini dulunya diduga terdapat sebuah
laguna. Lokasi laguna diperkirakan kurang lebih 400 meter
dari batas daratan yang ada sekarang. Dapat dibuktikan dengan
keberadaan Barier yang ada serta perbedaan jenis tanah yang
ada di sebelah utara jalan raya dengan jenis tanah di sebelah
selatan jalan raya. Jenis tanah di sebelah utara jalan raya
merupakan tanah endapan lumpur atau sedimentasi. Sedangkan
jenis tanah di sebelah selatan jalan raya merupakan jenis
tanah batuan.
Uraian tentang jenis tanah membuktikan bahwa memang daerah
tersebut merupakan danau yang sangat luas yang bermuara
ke laut, sehingga disebut laguna. Tempat pertemuan laut
dan danau itu sekarang merupakan Pura Negara Gambur Angelayang.
Di tempat itu dulu merupakan pelabuhan dagang yang bernama
Kuta Baning yang berarti Benteng Perang.
Lebih lanjut dikatakan, Kuta Baning mempunyai arti sebagai
berikut. Di atas merupakan sebuah tempat yang dikelilingi
dengan benteng berfungsi sebagai pengamanan karena daerah
tersebut merupakan pelabuhan dagang dan sebagai pusat perdagangan.
Tempat ini sekarang sebagai salah satu pura pesanakan Padma
Bhuana Kahyangan dengan nama Pura Negara Gambur Angelayang.
Pura ini merupakan lambang di mana agama merupakan satu
tujuan.
Dikatakannya, di Kawista inilah -- bila diruntut sejarah
-- dibangun istana, pusat pemerintahan dan pusat agama yang
didirikan oleh Sri Ugra Sena Warmadewa yang juga bergelar
Sri Kesari Warmadewa (secara etimologi kata ''Ugra'' sama
dengan kata ''Kesari'' artinya sama-sama Singa). Istana
tersebut sekarang ini dikenal dengan nama Pura Puseh Penegil
Dharma.
Sri Ugra Sena Warmadewa dikenal sebagai Sri Kesari Warmadewa
saat beliau memimpin penyerangan daerah Suwal, Gerung atau
Gurun yang dikenal sekarang dengan Sumbawa dan Lombok. Setelah
membangun Kauripan bersama Mpu Sendok, Tabanendra Warmadewa
membantu Ugrasena Warmadewa membangun Kawista. Istana beliau
di tepi selatan Kawista, yang keberadaannya sekarang merupakan
Pura Bukit Sinunggal.
Tabanendra Warmadewa bertugas mengembangkan wilayah Tajun
ke arah selatan sebagai sentra pertanian. Nama Tabanan diambil
dari nama Tabanendra Warmadewa.
Lebih lanjut dikatakan, pasca-Sri Kesari Warmadewa, daerah
Kawista juga sempat dijadikan kembali sebagai istana. Di
sana dipakai sebagai pusat pemerintahan dan pengembangan
agama. Selain bernama Kawista, pusat pemerintahan tersebut
juga dikenal dengan nama Banyu Buah dan Puseh Penegil Dharma,
sebagi pusat dari Padma Bhuana Kahyangan.
Nama Banyu Buah mempunyai arti ''berbuah di air''. Buah
yang dimaksud adalah padi. Pada zaman pemerintahan Nara
Singa Murti, sudah ada sistem subak untuk mengairi tanah
pertanian (sawah). Subak yang pertama adalah Subak Tukad
Dalem (tukad yang dibangun oleh Raja atau Dalem-red) yang
masih bisa dilihat peninggalannya di sekitar Pura Penegil
Dharma sekarang.
Kembali ke kata Kawista. Menurut Armaya, kata Kawista mempunyai
arti ''tanah yang suci''. Tanah sebelum campur tangan manusia
memang sudah dititahkan oleh Tuhan, Sang Pencipta sebagai
tempat yang suci. Di tempat tersebut akan dibangun tempat
suci, sebagai perlambang bangkitnya jalan-jalan sinar yang
menganugerahkan hari wisuda dari sebuah jiwa setelah melewati
lahir kembali yang siklusnya berulang-ulang.
Armaya mengatakan, di tempat suci merupakan pertanda dari
kembalinya putra-putri sang Sinar yang berbaur dengan kita
dalam wujud manusia yang terlahir lewat sang Illahi. Di
pura tersebut akan dibuka segel buku sang Sinar yang lembaran-lembarannya
direkatkan oleh tiap kepercayaan sebagai bahasa cinta kasih
universal. Pusat Kawista yang menjadi Istana, pusat pemerintahan
dan pusat agama, keberadaannya sekarang dikenal dengan nama
Pura Puseh Penegil Dharma, berlokasi di Banyu Buah, Desa
Kubutambahan. (sut)
Struktur dan Arsitektur Pura Penegil Dharma
PEMBANGUNAN tempat suci oleh Nara Singa Murti, mengikuti
sistem ketatanegaraan pemerintahan di Kediri. Istana sebagai
pusat pemerintahan juga pusat pengembangan agama. Raja sebagai
kepala pemerintahan berfungsi sebagai stabilisator dan dinamisator
makrokosmos. Menjalankan fungsi itu, Nara Singa Murti bergelar
Parameswara Sri Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana.
Menurut Klian Ulun Krama Pengemong Pura Penegil Dharma
Prof. Drs. Armaya dan pengikut spiritual Suhandoyo dari
Yogyakarta, Mahesa Cempaka atau Nara Singa Murti mempunyai
banyak nama. Masing-masing gelar mempunyai arti. Maharaja
Aji Jayapangus gelar yang diberikan di Jawa saat mengikuti
pendidikan. Sedangkan Jaya Sakti, Jaya Raga, Jaya Den Jaya,
gelar yang diberikan pada saat membebaskan Istana Kawista
dari sarang perompak yang mengganggu alur perdagangan laut.
Gelar Nara Singa Murti, gugusan bintang Leo atau bintang
utara, sebagai pertanda tempat pemerintahan raja. Singa
Murti, Singa Raja, Singa yang mengabdi pada Tuhan. Batara
Guru, Nara Singa Murti mengembangkan agama, sehingga terjadi
kolaborasi Ciwa, Buddha, Polinesia. Agama Hindu Bali yang
sekarang memiliki konsep tiga kepercayaan di atas. Upacara
tersebut dikenal dengan Tumpek Landep, Tumpek Wariga, Tumpek
Kuningan, Tumpek Kerulut, Tumpek Kandang, Tumpek Wayang.
Dicontohkan Tumpek Landep. Makna tumpek ini terkait dengan
hidup manusia. Manusia hidup menggunakan alat perjuang.
Alat ini untuk mempermudah hidup seperti membuat alat teknik
dan mengembangkan iptek. Umat makan untuk menjaga alat-alat
tubuhnya berfungsi normal. Manusia pada saat itu tidak selalu
tergantung pada benda. Berbeda dengan sekarang. Mereka lebih
mengagung-agungkan benda dan berorientasi pada kekayaan
materi.
Lebih lanjut dikatakan, Batara Maha Guru, gelar yang dipakai
setelah menyelesaikan pembangunan Padma Bhuana Kahyangan.
Batara Dana Diraja, beliau juga mengembangkan perekonomian
dan pelabuhan bernama Kuta Baning. Sekarang berada di Pura
Negara Gambur Angelayang. Batara Parameswara Cri Hyang
Ning Hyang Adi Dewa Lencana. Nara Singa Murti mengemban
tugas sebagai stabilisator dan dinamisator makrokosmos dan
mengembangkan konsep Padma Bhuwana Kahyangan.
Armaya mengatakan, padma berarti bunga teratai berdaun
delapan. Masing-masing daun bunga berisi kekuatan suci.
Di tengah daun berstana kekuatan Siwa. Pada bunga padma
merupakan sembilan kekuatan suci. Padma Bhuana Kahyangan
yang dibangun Nara Singa Murti berpusat di Pura Puseh Penegil
Dharma. Padma Bhuana Kahyangan terdiri atas Pura Puseh Penegil
Dharma, Negara Gambur Angelayang, Pingit, Meduwe Karang,
Patih, dan Pura Dalem Puri. Selain itu, terdapat Pura Pande,
Pura Sang Cempaka, dan Pura Candra Manik.
Dikatakan, dari konsep Padma Bhuana Kahyangan itu, Penegil
Dharma dikelilingi ke delapan pura pesanakan dikenal konsep
Asta Dala (Siwa). Dalam mengembangkan konsep Padma Bhuana
Kahyangan, ia dikenal dengan nama Asta Sura Sri Ratna Bumi
Banten. Bila kedelapan pura yang mengelilingi Pura Penegil
Dharma mengikuti konsep Asta Dala, lima pura yang berada
di Puseh Penegil Dharma mengikuti konsep tapak dara (Buda).
Lima pura di Puseh Penegil Dharma yang posisinya mengikuti
konsep tapak dara. Pura Pucaking Giri, situs Karang Harum
diperkirakan akarnya mencapai kedalaman 118 meter. Lokasinya
di sebelah delatan merupakan tempat pemujaan Batara Parameswara
Cri Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana. Tempat ini merupakan
pusat pengembangan agama, beliau merupakan maharaja dan
mahapandita.
Pura Kepatihan Petengen Agung berada di sebelah utara.
Tempat ini merupakan sekretaris negara, kalau dibandingkan
dengan susunan kabinet pemerintahan sekarang. Pelinggih
Ratu Gede Petengen Agung merupakan tempat departemen kesehatan
dengan adanya pelinggih Ratu Gede Balian Sakti di pura itu.
Konsep Nyegara Gunung
Pura Mutering Jagat salah satu konsep Nyegara Gunung. Arti
dari jagat adalah daratan. Mutering Jagat adalah laut. Tanpa
adanya laut tak mungkin ada daratan. Berlokasi di sebelah
timur. Di tempat ini distanakan putri dari Nara Singa Murti,
adik tiri dari Ratu Bagus Mas Aji Sapelinggih (dari ibu
yang berbeda-red).
Pura Kertha Negara Mas berlokasi di sebelah barat, tempat
istana Putra Nara Singa Murti yang bernama Ratu Bagus Mas
Aji Sapelinggih, bergelar Asta Sura Cri Ratna Bumi Banten
II yang merupakan Raja Bali terakhir sebelum Majapahit di
Bali. Tempat ini dahulu berfungsi sebagai istana raja.
Pura Kertha Pura di Tengah, di mana pada masa pemerintahan
merupakan tempat penerapan penegakan hukum. Di tempat ini
terdapat bangunan ''Bale Mudra Manik''. Sebuah bangunan
tempat pesamuhan para raja-raja Nusantara. Di tempat ini
distanakan cucu laki-laki yang bernama Ratu Ngurah Kertha
Pura dan cucu perempuan Ratu Ayu Mas Gemulung pada Bale
Mudra Manik yang diapit oleh pelinggih Ibunda Ratu Ayu Manik
Mekolem (Ratu Ayu Solo) di sebelah kiri dan pelinggih Ratu
Patih Sebali di sebelah kanan.
Delapan pura pesanakan yang mengikuti konsep Asta Dala
yakni Pura Pandita, di barat daya Pura Puseh Penegil Dharma,
Desa Kubutambahan. Pura ini merupakan kompleks penasihat
spiritual raja. Pura ini merupakan pesraman dari Resi Markandiya
zaman pemerintahan Sri Kesari Warmadewa. Pura Meduwe Karang,
berada di Desa Kubutambahan dan dibangun oleh Wijaya Mahadewi.
Pura Candra Manik dikenal pula dengan nama Pura Yeh Lesung
di Desa Bulian. Pura ini istana darurat dari Sri Wijaya
Mahadewi, pada saat Istana Kawista diserang oleh Wong Bajo.
Saat yang bersamaan Punggawa Udayana menyerang Tampaksiring
berkaitan dengan penganut sekte Bhairawa. Batara Indra yang
kita tahu dari cerita berdirinya Pura Tirta Empul adalah
Udayana. Saat itu diberikan gelar Indra Warmadewa. Di pura
ini (Candri Manik) oleh masyarakat dipercaya adanya nama
Dewi Suleca yang berstana.
Suleca berasal dari kata ''Salu'' dan ''Ica''. Salu berarti
sanggar agung berkaki pendek atau singgasana. Sedangkan
Ica berarti anugerah. Dari kata raja yang berarti Kinasihaning
Jawoto. Dengan kata lain Sri Wijaya Mahadewi merupakan kesayangan
Tuhan. Atas anugerah beliaulah Sri Wijaya Mahadewi menjadi
raja. Pura Negara Gambur Angelayang di Desa Kubutambahan
merupakan pusat perdagangan yang dikelilingi oleh benteng
yang disebut Kuta Baning. Dikatakan, tempat ini dipakai
transaksi perdagangan dan terjadinya kolaborasi budaya dari
pedagang Melayu, Cina, Babilonia, Pasundan, India, Atena,
dan pedagang-pedagang dari belahan dunia lainnya. ''Namun,
untuk membuktikan kebenaran sejarah itu, perlu ada pengkajian
yang sangat mendalam,'' katanya.
Menurut Armaya, pusat perdagangan ini di bawah pengawasan
Ratu Ngurah Kertha Pura dibantu penasihat administrasi pabean.
Sekarang dikenal dengan nama Ratu Gede atau Ayu Subandar.
Beliau adalah salah seorang panglima saat dinasti Sung berkuasa
di daratan Tiongkok yang diperbantukan untuk membantu Raja
Nara Singa Murti mengelola pelabuhan dan administrasi pabean.
Di pura ini terdapat pelinggih Ratu Agung Syah Bandar,
Ratu Agung Melayu, Ratu Bagus Sundawan, Ratu Gede Dalem
Mekah, Ratu Ayu Pasek, Ratu Gede Siwa, Batari Sri Dwijendra
dan Ratu Ayu Mutering Jagat. Keberadaan pura ini sangat
berjasa dalam pembinaan dan penerapan agama. Agama itulah
merupakan satu tujuan. Tempat di mana agama dan penganut
agama berkumpul dan bersatu.
Pura Pingit di Desa Bulian. Sesuai dengan nama Pura Pingit,
pura ini merupakan tempat melaksanakan pertapaan oleh Raja
Nara Singa Murti. Sekarang dikenal dengan tempat penyimpanan
prasasti (prasasti Bulian-red). Prasasti ini baru sebagian
kecil saja bisa dibaca salinannya yang dikenal dengan nama
prasasti Bulian A dengan nomor 633 dan prasati Bulian B
dengan nomor 706.
Masih dalam kompleks Pura Penegil Dharma. Di sana ada Pura
Patih di Desa Kubutambahan merupakan istana tepi siring
bagian barat. Pura Sang Cempaka di Desa Bulian merupakan
benteng pemantau laut berlokasi pada dataran tinggi. Pura
Penegil Dharma yang kini menjadi incaran orang-orang spiritual
memang memiliki kekuatan dan pancaran Illahi. Menurut Jro
Mangku Gde Made Astika, pura ini penuh dengan misteri. Pengalaman
spiritual sejak menjadi pemangku sangat unik. Apa yang tidak
pernah dibayangkan manusia, terjadi dan muncul di sekitar
pura itu. (sut)
Pura Penegil Dharma, Dalam Konteks Spiritual Modern
DALAM konteks kekinian, Pura Puseh Penegil Dharma (PPPD)
banyak menyedot perhatian banyak pihak. Mulai dari kalangan
spiritual, sejarawan, arkeolog dan lain-lain. Salah seorang
arkeolog itu adalah berkebangsaan Swis yakni Mr. Bruno Riek.
Ia pernah mengunjungi Pura Puseh Penyusuhan Dharma dalam
upaya mencari sebuah gugusan bintang. Tujuannya, membuktikan
sebuah teori tentang makrokosmos dan mikrokosmos.
Gugusan bintang yang dimaksud adalah gugusan bintang utara.
Teori itu menyebutkan, tempat di mana gugusan bintang utara
dapat dilihat dengan jelas, tempat di mana makrokosmos dan
mikrokosmos benar-benar menyatu di daerah tersebut. Pendapat
tersebut dikuatkan tokoh spiritual dari Benua Amerika, Elan
dan Carrol. Kedua orang ini merasakan getaran-getaran energi
illahi di lintas batas Pura Penegil Dharma tersebut.
Elan dari Kanada beserta Carrol dari Amerika dalam bahasa
spiritual mengandaikan, bahwa sebelum semua berawal, dan
sesudah segalanya berakhir, tempat ini sudah terpilih sebagai
temple. Pulau Bali menggambarkan inti dari cincin api dan
temple ini sebagai titik tengah tempat di mana semua kepercayaan
yang berbeda akan menyatu dan disucikan menuju suatu titik
-- unsur Tuhan yang suci dan unsur murni dari yang satu
yang membara dalam hati.
Pandangan Elan dan Carrel mengingatkan pada nama Kawista
yang mempunyai arti tanah yang suci. Temuan lain tentang
Pura Puseh Penegil Dharma, dapat ditemukan pada World Matrix
With Energy Centres. Dalam World Matrix With Energy Centres
disebutkan, ''Tempat ini (di Pura Puseh Penegil Dharma-red)
merupakan titik atau poin timur dari bola dunia. Titik barat
ada pada Danau Titicaka di Puncak Gunung Titicaka di Peru''.
Sebenarnya titik-titik tersebut, sesuai dengan isi bait-bait
wargasari yang menyebutkan ...Betel Kangin, Betel Kauh.
Maksudnya bahwa Bali merupakan Betel Kangin dan Danau Titicaka
di Pucak Gunung Titicaka merupakan Betel Kauh.
Seperti disebutkan pada peta itu, tempat ini merupakan
titik timur dari bola dunia. Di mana titik barat berada
di sebuah Danau Titicaka di Puncak Gunung Titicaka di Peru.
Jika sekarang masih tersisa mata air yang ada di Permandian
Air Sanih dan mata air yang berada di dalam Pura Penyusuhan,
memang tempat ini dahulu kala merupakan danau atau laguna
yang membentang dari Pura Dalem Puri Desa Kubutambahan sampai
Permandian Air Sanih.
Keberadaan laguna atau Danau itu memang disebutkan dalam
beberapa prasasti dengan nama Er Madatu, Banyu Plasa atau
Er Angga. Er Angga berasal dari Er Rangga. Rangga sama dengan
pohon tenggulun. Tenggulun berasal dari kata ''tanggu ulu''
yang berarti tanduk menjangan. Jika dilihat saat ini, memang
di sekitar Pura Puseh Penegil Dharma banyak ditemukan pohon
tenggulun yang dimaksud. Dahannya menyerupai tanduk menjangan.
Titik barat di mana danau tersebut berada di pucak Gunung
Titicaka, maka titik timur berada di gunung keempat yang
dimaksudkan adalah Pucaking Giri (Puncak Gunung). Sekarang
merupakan nama salah satu pura yang berada di Pusat Pura
Penyusuhan Penegil Dharma.
Pendapat lain yang memperkuat arti spiritual Pura Puseh
Penegil Dharma diungkapkan Mr. Jhon Barry, seorang koreografer
dari Colorado. Mr. Jhon Barry. Setelah melakukan perjalanan
ke negara Mesir (negeri Egip) untuk meneliti keberadaan
piramida yang sangat termasyur, ia melanjutkan perjalanannya
ke Bali untuk mencari Puncak Piramida yang diperkirakan
berada di Pulau Bali.
Dalam sebuah perayaan Natal 24 Desember 1998 lalu yang
dilaksanakan oleh kelompok warga negara Italia yang ada
di Pulau Bali, Jhon Barry mengikuti rombongan ikut merayakan
Natal di Pura Puseh Penegil Dharma. Tanpa disadari, pura
itulah yang dicari sebagai pucak piramida. Tempat itu dianggap
sebagai pucak dari sebuah piramida. Menurut pandangan beberapa
kelompok yang mendalami spiritual, tempat itu merupakan
tempat yang universal.
Dikunjungi Orang Spritual
Tak heran, sejak awal 1996, Pura Puseh Penegil Dharma banyak
dikunjungi oleh orang-orang yang senang melakukan perjalanan
spiritual. Tak pelak lagi Presiden Megawati Soekarnoputri
juga sempat ke sana. Jumlah pejabat di Bali juga banyak
yang bermeditasi di pura itu. Para pendalam spiritual itu
berasal dari Bali luar Bali, bahkan mancanegara. Banyak
dari mereka yang memberikan pandangan pribadi mereka tentang
keberadaan pura tersebut.
Pandangan dan bahasa spiritual Elan O'Brien Carrol dari
Kanada tentang keberadaan Pura Puseh Penegil Dharma seperti
ini: ''Sebelum semuanya ada, dan setelah semuanya tiada,
pura ini telah ditentukan sejak dahulu kala. Di saat kita
semua berada dalam haribaan Yang Esa. Awalnya kita satu,
kita adalah cinta kasih, kita adalah Tuhan itu sendiri''.
Kita adalah bagian dari sang Roh Pencipta yang bersemayam
di dalam diri kita semua. Kita sepakat untuk memainkan beragam
peran. Kita sepakat melupakan intisari Tuhan yang bersemayam
di dalam diri kita. Maksudnya, semua agar dapat berpencaran
dan mewujudkan bentuk yang lebih agung dari intisari Tuhan
yang bersemayam dalam segala yang ada.
Pura ini mengisyaratkan kesiapan kita mengingat atau bersujud
pada pura baik yang ada di Bhuana Alit maupun di Bhuana
Agung. Semua orang telah ambil bagian dalam membuka pintu
perwujudan penciptaan yang lebih agung. Semua kepercayaan
dan perwujudannya adalah bagian dari kunci universal ini.
Kunci ini adalah cinta kasih. Bila semua agama dan umat
manusia bersatu dalam satu titik fokus guna menyalakan ungkapan
mereka yang unik lewat Mudra dan Suara, daya mahkota dari
Yang Esa akan bangkit.
Merpati (cinta kasih) yang bersemayam di dalam diri kita
semua akan mulai berkelana dari bintang di dalam inti bumi.
Melewati jalanan sang Naga dan bumi ini akan mencuat menjadi
sebuah bintang yang menyatukan sorga-sorga dan bertahta
sebagai Kerajaan Tuhan.
Oleh sebab itu, semua orang akan mendapat kesempatan. Mereka
yang datang hanya perlu mengenali Tuhan yang bersemayam
di dalam dirinya. Memilih untuk melangkah ke depan dan mengingat
masa lalunya sebagai bagian dari intisari Tuhan sebagai
pencipta yang Esa. Tiap orang akan memegang kode-kode istimewa
yang diwujudkan dalam kepercayaan-kepercayaan mereka yang
unik sebagai bagian dari rencana Sang Pencipta.
Ini menjadi lambang dari lengkungan pelangi yang menyatu
di atas mau pun di bawah berlandaskan pemersatuan dua kutub
yang berlawanan. Pura ini diciptakan untuk menjadi pintu
masuk ke dalam mahkota yang hanya bisa dicapai dengan meniadakan
waktu, ruang dan tidak mendua serta hati yang saling bertautan.
*Ngurah Paramartha
source: Balipost |